TERAPI PSIKOSOSIAL ANAK DENGAN ATTENTION DEFICIT HYPERACTIVITY DISORDER (ADHD)
:: Tugas dan Presentasi :: Referat
Halaman 1 dari 1
TERAPI PSIKOSOSIAL ANAK DENGAN ATTENTION DEFICIT HYPERACTIVITY DISORDER (ADHD)
TERAPI PSIKOSOSIAL ANAK DENGAN ATTENTION DEFICIT HYPERACTIVITY DISORDER (ADHD)
BAB I
PENDAHULUAN
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan gangguan perilaku yang paling banyak didiagnosis pada anak-anak dan remaja. ADHD adalah gangguan yang ditandai oleh defisit perhatian, hiperaktivitas, dan perilaku impulsif. Prevalensi ADHD pada anak usia sekolah adalah 8-10%, hal tersebut menjadikan ADHD sebagai salah satu gangguan yang paling umum pada masa kanak-kanak. Gejala inti ADHD meliputi gangguan atensi, hiperaktif, dan impulsivitas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 40-50% kasus ADHD menetap pada masa remaja, bahkan sampai dewasa. Bila menetap sampai remaja, dapat memunculkan masalah lain seperti kenakalan remaja, gangguan kepribadian antisosial, dan cenderung terlibat penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Orang dewasa dengan ADHD sering bertengkar dengan pimpinannya, sering pindah pekerjaan dan dalam melaksanakan tugasnya, seringkali terlihat tidak tekun.
Penanganan ADHD perlu melibatkan berbagai disiplin ilmu dalam suatu tim kerja yang terdiri dari dokter spesialis anak, psikiater, dokter spesialis saraf, psikolog, pendidik, dan pekerja sosial. Penanganan ADHD memerlukan evaluasi jangka panjang dan berulang untuk dapat menilai keberhasilan terapi. Penanganan ADHD biasanya berupa terapi obat, terapi perilaku, dan perbaikan lingkungan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) atau gangguan kronis pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH) merupakan gangguan perilaku yang paling banyak di diagnosis pada anak-anak. Gejala intinya meliputi gangguan atensi, hiperaktivitas, dan impulsivitas. Anak yang menderita gangguan tersebut akan sukar menyesuaikan aktivitas mereka dengan norma yang ada sehingga mereka sering dianggap sebagai anak yang tidak baik di mata orang dewasa maupun teman sebayanya. Mereka sering gagal mencapai potensinya dan memiliki banyak kesulitan komorbid seperti gangguan perkembangan, gangguan belajar spesifik, dan gangguan perilaku serta emosional lainnya.
2.2 Epidemiologi
Istilah Attention Deficit Disorder (ADD) pertama sekali diperkenalkan pada tahun 1980an dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) III edisi ketiga yang menjadi panduan psikiatris. Pada tahun 1994 istilah tersebut diganti Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan gangguan perilaku yang paling banyak didiagnosis pada anak-anak dan remaja.
Prevalensi ADHD pada anak usia sekolah adalah 8-10%, hal tersebut menjadikan ADHD sebagai salah satu gangguan yang paling umum pada masa kanak-kanak. Bradley dan Golden pada tahun 2005 mengatakan hal yang sama, yaitu ADHD merupakan masalah psikologis yang paling banyak terjadi akhir-akhir ini, sekitar 3-10% terjadi di Amerika Serikat, 3-7% di Jerman, 5-10% di Kanada dan Selandia Baru. Di Indonesia angka kejadiannya masih belum ditemukan angka yang pasti, meskipun kelainan ini tampak cukup banyak terjadi dan sering dijumpai pada anak usia pra sekolah dan usia sekolah. Saputro 2005 di Indonesia, populasi anak Sekolah Dasar adalah 16,3% dari total populasi yaitu 25,85 juta anak mengalami ADHD. Berdasarkan data tersebut diperkirakan tambahan kasus baru ADHD sebanyak 9000 kasus. Terdapat kecenderungan lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Secara epidemiologis rasion kejadian dengan perbandingan 4 : 1.
2.3 Etiologi dan faktor risiko
Penyebab ADHD dipahami sebagai disregulasi neurotransmiter tertentu didalam otak yang membuat seseorang lebih sulit untuk memiliki atau mengatur stimulus-stimulus internal dan eksternal. Beberapa neurotransmiter, termasuk dopamine dan norepinephrine, mempengaruhi produksi, pemakaian, pengaturan neurotransmiter lain juga beberapa struktur otak. Adanya peningkatan ambilan kembali dopamin ke dalam sel neuron daerah limbik dan lobus prefrontal dikatakan mengendalikan fungsi eksekutif perilaku. Fungsi eksekutif bertanggung jawab pada ingatan, pengorganisasian, menghambat perilaku, mempertahankan perhatian, pengendalian diri dan membuat perencanaan masa depan. Hal ini menyebabkan kemudahan mengalami gangguan dan ketiadaan perhatian dari sudut pandang fungsi otak adalah kegagalan untuk “menghentikan” atau menghilangkan pikiran-pikiran internal yang tidak diinginkan atau stimulus-stimulus kuat.
Gambar 2.1 Dopamin di otak
Perubahan suasana hati yang cepat dan kepekaan berlebihan merupakan akibat dari otak yang bermasalah dalam meredam bagian-bagian otak yang mengatur gerakan-gerakan motorik dan respon-respon emosional. Hal itulah yang membuat anak tidak dapat menunggu, menunda pemuasan dan menghambat tindakan. Hasil penelitian oleh Cantwell (1975) dan Morrison dan Stewart (1973) melaporkan bahwa pada orangtua biologis anak ADHD lebih banyak mengalami hiperaktivitas dibandingkan dengan orangtua adopsi anak ADHD. Hal ini menunjukkan bahwa peran herediter sangat besar sebagai salah satu faktor penyebab gangguan ini.
Penelitian neuropsikologis menunjukkan korteks frontal dan sirkuit yang menghubungkan fungsi eksekutif bangsal ganglia. Katekolamin adalah fungsi neurotransmiter utama yang berkaitan dengan fungsi otak lobus frontalis. Pada penderita ADHD terdapat kelemahan aktifitas otak bagian korteks prefrontal kanan bawah dan kaudatus kiri yang berkaitan dengan pengaruh proses editing prilaku, menurunnya kesadaran diri, dan dalam penghambatan respon otomatis terhadap rangsangan pada otak.
Perilaku ADHD adalah efek dari kecemasan yang tinggi yang dialami oleh anak sewaktu kecil, karena anak cemas maka pikirannya bekerja sangat aktif, memunculkan berbagai mental atau buah pikir, dengan tujuan agar anak bisa sibuk memikirkan gambar mental atau buah pikir itu sehingga dengan sendirinya kecemasan mereka akan berkurang. Berdasarkan gambaran diatas, maka nampak bahwa penyebab ADHD cukup kompleks, antara lain neurologis, herediter dan lingkungan.
2.4 Diagnosis
Gejala ADHD lebih jelas terlihat pada aktivitas-aktivitas yang membutuhkan usaha mental yang terfokus. Agar dapat didiagnosa dengan ADHD, tanda dan gejalanya harus muncul sebelum usia 7 tahun dan kadang sampai usia 2 -3 tahun. Gejala ADHD terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu kurangnya perhatian, hiperaktivitas dan perilaku impulsif. Gejala akan meringan seiiring pertumbuhan anak, tetapi tidak akan menghilang semuanya.
Adapun tanda dan gejala inatensi, yaitu :
1) Sering gagal memperhatikan perincian atau membuat kecerobohan dalam mengerjakan tugas dari sekolah ataupun aktivitas lainnya, serta berganti-ganti kegiatan dengan cepat.
2) Sering mengalami kesulitan untuk menjaga tingkat atensi yang sama selama mengerjakan tugas atau bermain atau kesulitan berkonsentrasi pada satu kegiatan saya.
3) Terlihat seperti tidak mendengar walaupun diajak berbicara langsung
4) Mengalami kesulitan untuk mengikuti perintah dan sering gagal menyelesaikan tugas dari sekolah, pekerjaan rumah ataupun tugas-tugas lainnya
5) Menghindari atau tidak menyukai atau mengalami kesulitan tugas-tugas yang membutuhkan usaha mental yang lama, seperti tugas dari sekolah atau pekerjaan rumah
6) Seringkali kehilangan barang yang diperlukan seperti buku, pensil, mainan atau peralatan
7) Mudah bosan pada suatu tugas atau kegiatan kecuali melakukan sesuatu yang disukai
Kesulitan untuk mengikuti instruksi
9) Seperti tidak mendengar ketika diajak berbicara
10) Pelupa
Tanda dan gejala perilaku yang hiperaktivitas:
1) Gelisah, tidak bisa diam ditempat duduk, selalu bergerak ditempat duduk
2) Berbicara tidak bisa berhenti
3) Seringkali berdiri dan meninggalkan bangkunya dikelas atau situasi lainnya dimana seharusnya tetap duduk
4) Sulit untuk bermain dengan tenang
5) Selalu siap bergerak
Tanda dan gejala impulsivitas:
1) Berbicara berlebihan
2) Menjawab pertanyaan sebelum pertanyaannya selesai dikatakan
3) Seringkali sulit menunggu gilirannya
4) Seringkali menyela atau mengganggu pembicaraan orang lain
Jika ditemukan perilaku-perilaku diatas dapat digolongkan dengan ADHD:
1) Berlangsung lebih dari enam bulan
2) Muncul sebelum berusia 7 tahun
3) Terjadi pada lebih dari satu setting (sekolah dan rumah)
4) Menganggu aktivitas sekolah, bermain dan aktivitas sehari-hari lainnya secara regular
5) Menyebabkan masalah dalam hubungannya dengan orang dewasa dan anak-anak lainnya
6) Pada bayi, adapun perilaku yang dapat digolongkan dengan ADHD, yaitu:
7) Sensitif terhadap bunyi, cahaya, suhu dan perubahan lingkungan
Aktif biasanya saat di buaian dan tidur sangat sedikit
9) Sering menangis
10) Bahkan perilaku bias sebaliknya, tenang dan lemas, tidur berlebihan dan berkembangannya sangat lambat pada bulan pertama.
Berdasarkan gejala yang menonjol, ADHD dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu:
1. Tipe yang dominant gangguan pemusatan perhatian
Diagnosis ADHD tipe gangguan pemusatan perhatian (menurut DSM IV) ditegakkan bila minimal ada 6 gejala gangguan pemusatan perhatian untuk waktu minimal 6 bulan dan didapat kurang dari 6 gejala hiperaktivitas serta dimulai sebelum usia 7 tahun. Gejala-gejala ini tetap ada pada saat anak di sekolah atau di rumah bersifat maladaptif, dan tak sesuai dengan tahap perkembangan anak.
2. Tipe yang dominant hiperaktivitas dan impulsivitas
Diagnosis ADHD tipe hiperaktivitas dan impulsivitas (menurut DSM IV) ditegakkan bila minimal ada 6 gejala hiperaktivitas dan impulsivitas untuk waktu minimal 6 bulan dan didapat kurang dari 6 gejala gangguan pemusatan perhatian dan dimulai sebelum usia 7 tahun. Gejala-gejala ini tetap ada pada saat anak di sekolah atau di rumah bersifat maladaptif, dan tak sesuai dengan tahap perkembangan anak.
3. Tipe campuran (gejalanya campuran dari gangguan pemusatan perhatian, hiperaktivitas, dan impulsivitas)
Diagnosis ADHD tipe campuran (menurut DSM IV) ditegakkan bila didapatkan 6 atau lebih gejala gangguan pemusatan perhatian dan 6 atau lebih gejala hiperaktivitas impulsivitas yang tetap ada selama paling sedikit 6 bulan, dimulai sebelum usia 7 tahun
serta gejala-gejala ini tetap ada saat di sekolah dan di rumah.
Tabel 2.1 Kriteria DSM-IV-TR untuk Atenttion Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
A. Salah satu (1) atau (2)
1. Gangguan pemusatan perhatian (inatensi) : enam atau lebih gejala in atensi berikut telah menetap sekurang – kurangnya 6 bulan bahkan sampai tingkat yang maladaptive dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan
a. Sering gagal dalam memberikan perhatian pada hal yang detail dan tidak teliti dalam mengerjakan tugas sekolah, pekerjaan atau aktivitas lainnya
b. Sering mengalami kesulitan dalam mempertahankan perhatian terhadap tugas atau aktivitas bermain
c. Sering tidak tampak mendengarkan apabila berbicara secara langsung
d. Sering tidak mengikuti instruksi dan gagal penyelesaian tugas sekolah, pekerjaan atau kewajiban di tempat kerja (bukan karena perilaku menentang atau tidak dapat mengikuti instruksi)
e. Sering mengalami kesulitan dalam menyusun tugas dan aktivitas
f. Sering menghindari, membenci atau enggan untuk terlibat dalam tugasyang memiliki usaha mental yang lama
g. Sering menghilangkan atau ketinggalan hal – hal yang perlu untuk tugas dan aktivitas
h. Sering mudah teralihkan perhatiannya oleh stimulasi dari luar
i. Sering lupa dalam aktivitas sehari-hari
2. Hiperaktivitas impulsivitas enam (atau lebih) gejala hiperaktivitas impulsivitas berikut telah menetap selama sekurang-kurangnya enam bulan sampai tingkat yang maladaptive dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan
Hiperaktivitas
a. Sering gelisah dengan tangan dan kaki atau sering mengeliat-ngeliatkan tubuh di tempat duduk
b. Sering meninggalkan tempat duduk dikelas atau didalam situasi yang diharapkan anak untuk tetap tenang
c. Sering berlari –lariatau memanjat secara berlebihandalam situasi yang tidak tepat
d. Sering mengalami kesulitan bermain dan terlibat dalam aktivitas waktu luang secara tenang
e. Sering “siap-siap pergi” atau seakan –akan “didorong oleh sebuah gerakan”
f. Sering berbicara berlebihan impulsivitas
g. Sering menjawab pertanyaan tanpa berfikir lebih dahulu sebelum pertanyaan selesai
h. Sering sulit menunggu gilirannya
i. Sering menyela atau menggangu orang lain
B. Beberapa gejala hiperaktivitas-impusif yang menyebabkan gangguan telah ada sebelum usia 7 tahun
C. Beberapa gangguan akibat gejala terdapat dalam dua atau lebih situasi
D. Harus terdapat bukti yang jelas adanya gangguan yang bermakna secara klinis dalam fungsi sosial, akademik dan fungsi pekerjaan
E. Gejala tidak semata-mata sekama gangguan perkembangan pervasif, skizofrenia atau gangguan psikotik lain dan bukan merupakan gangguan mental lain
2.5 Penatalaksanaan
Penanganan holistik anak ADHD yang terbaik adalah:
1. Farmakoterapi (Medikamentosa)
2. Terapi perilaku dan psikososial
3. Kombinasi pengobatan medikamentosa dengan terapi perilaku
4. Edukasi pasien dan keluarga mengenai anak ADHD.
A. Medika Mentosa
1. Psikostimulan atau stimulan
Adalah obat ADHD yang paling sering digunakan. Walaupun disebut stimulan, tetapi memiliki efek menenangkan pada orang dengan ADHD. Obat-obatan ini adalah Amfetamin-dekstroamfetamin (Adderall), Deksmetilfenidat (Focalin), Dekstroamfetamin (Dexedrine, Dextrostat), Lisdeksamfetamin (Vyvanse), dan Metilfenidat (ritalin, Concerta, Metadate, Daytrana). Yang terdapat di Indonesia adalah golongan metilfenidat dan dekstroamfetamin, hanya dengan merek dagang yang berbeda. Obat ini bekerja dengan meningkatkan dan menyeimbangkan kadar neurotransmitter otak, sehingga memperbaiki tanda-tanda dan gejala-gejala inti (inatensi, impulsivitas dan hiperaktivitas). Tetapi obat-obatan ini hanya bekerja untuk waktu terbatas. Selain itu, dosisnya berbeda pada tiap anak, jadi membutuhkan waktu yang cukup lama hingga tercapai dosis yang sesuai. Ada 2 jenis stimulan, yaitu jangka panjang dan jangka pendek. Yang jangka panjang berfungsi selama 6-12 jam, sementara yang jangka pendek berfungsi selama kurang lebih 4 jam. Metilfenildat merupakan stimulan jangka panjang yang berupa patch ditempelkan pada pinggul dan berfungsi selama 9 jam. Walaupun dapat bekerja selama 9 jam, tetapi obat ini baru akan berfungsi setelah 3 jam. Agar dapat bekerja pada pagi hari, patch-nya harus ditempelkan sewaktu anak masih tertidur. Efek samping paling umum dari obat-obatan stimulan adalah penurunan selera makan, penurunan berat badan, gangguan tidur, dan irritability sewaktu efek obat berkurang. Beberapa anak dapat menderita gerakan otot yang menyentak, seperti tics, yang akan menghilang sewaktu dosis diturunkan. Obat ini juga dapat sedikit menurunkan kecepatan pertumbuhan anak, walaupun pada sebagian besar kasus, tidak
ada efek permanen. Efek samping yang jarang terjadi adalah kematian anak karena penyakit jantung, terutama pada yang telah memiliki penyakit jantung atau defek jantung.
Sebelum memberikan obat jenis ini kepada anak, sebaiknya lakukan pemeriksaan fisik, tekanan darah, denyut nadi, berat badan dan tinggi badan anak. Selain itu periksa tekanan darah, denyut nadi, berat badan dan tinggi badan pasien tiap 3 bulan sekali dan lakukan pemeriksaan fisik tiap tahun.
2. Non-Stimulan
Obat nonstimulan, yaitu Atomoksetin (Strattera) dapat bekerja sebaik stimulan, tetapi kemungkinan penyalahgunaan lebih rendah. Obat ini diberikan pada anak dengan ADHD yang tidak merespon obat-obatan stimulan atau mengalami efek samping pada pemberian stimulan. Selain mengurangi gejala ADHD, atomoksetin juga dapat mengurangi rasa cemas. Obat ini diberikan satu atau dua kali sehari. Efek samping dari atomoksetin adalah rasa mual dan sedasi, penurunan selera makan dan berat badan. Efek samping yang jarang muncul adalah gangguan fungsi hati yang ditandai dengan kulit yang berwarna kuning (jaundice), urin berwarna gelap atau gejala-gejala flu yang tidak dapat dijelaskan, peningkatan resiko timbulnya ide-ide bunuh diri pada anak dan remaja atau tanda-tanda depresi lainnya. Tetapi obat ini tidak dijual di Indonesia.
3. Antidepresan
Obat ini digunakan pada anak yang tidak merespon stimulan atau atomoksetin, dan memiliki gangguan mood penyerta.
4. Obat anti hipertensi
Beberapa yang dimaksud seperti Clonidine (Catapres) dan Guanfacine (Intuniv, Tenex). Obat ini akan membantu menredakan gejala-gejala ADHD. Diberikan untuk mengurangi tics atau insomnia yang disebabkan obat ADHD lainnya atau mengobati agresi yang disebabkan oleh ADHD.
b. Non-Medika Mentosa
Tatalaksana lain untuk anak dengan ADHD ialah terapi psikososial. Hal ini meliputi terapi perilaku. Terapi perilaku dan konseling diberikan oleh psikiater, psikolog, atau petugas kesehatan jiwa lainnya. Beberapa anak dengan ADHD juga mengalami kondisi lainnya seperti gangguan cemas dan depresi. Konseling dapat membantu ADHD dan masalah penyertanya. Pengobatan psikososial adalah bagian penting dari pengobatan untuk attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD) pada anak-anak dan remaja. Literatur ilmiah, Institut Nasional Kesehatan Mental (NAMI - National Alliance on Mental Illness), dan banyak organisasi profesional setuju bahwa perawatan psikososial berorientasi perilaku juga disebut terapi perilaku atau modifikasi perilaku dan obat stimulan memiliki dasar yang solid menunjukkan adanya efektivitas.
Modifikasi perilaku adalah satu-satunya pengobatan nonmedis untuk ADHD dengan basis bukti ilmiah yang besar. Mengobati ADHD pada anak-anak sering melibatkan intervensi medis, pendidikan dan perilaku. Pendekatan ini komprehensif untuk pengobatan disebut "multimodal" dan terdiri dari orang tua dan anak pendidikan tentang diagnosis dan pengobatan, teknik manajemen perilaku, obat-obatan, dan pemrograman sekolah dan mendukung. Tingkat keparahan dan jenis ADHD mungkin faktor dalam menentukan komponen yang diperlukan. Pengobatan harus disesuaikan dengan kebutuhan unik dari masing-masing anak dan keluarga. Terapi psikososial dapat dibagi menjadi terapi kognitif, terapi interpersonal, dan terapi perilaku. Terapi psikososial ini mempunyai kelebihan yaitu adanya pendekatan mendalam terhadap individu yakni mendorong pasien untuk melihat ke dalam solusi, bukan tergantung pada sumber-sumber eksternal.
• Terapi psikososial
Terapi psikososial meliputi beberapa tipe berbeda dari psikoterapi dan pelatihan ketrampilan, dengan tujuan menyediakan dukungan (support). Edukasi dan pedoman untuk orang-orang dengan penyakit kejiwaan dan keluarga mereka. Terapi ini nantinya akan mendatangkan hasil yang baik seperti berkurangnya frekuensi dirawat di rumah sakit, kesulitan dalam rumah, di sekolah dan di tempat bekerja. Jenis-Jenis Terapi Psikososial:
(1) Psikoterapi
Terapi ini umumnya disebut juga dengan terapi bicara. Psikoterapi adalah ketika pasien, keluarganya, atau bisa juga pasangan atau kelompok duduk bersama dan berbicara dengan terapis atau tenaga kesehatan dalam bidang kejiwaan. Psikoterapi membantu pasien belajar tentang situasi perasaan (mood), pikiran, perilaku dan bagaimana mereja dapat memaknai hidup mereka. Terapi ini juga menyediakan cara-cara untuk menstruktur ulang cara berpikir dan merespon terhadap stres kondisi-kondisi lain.
(2) Psikoedukasi
Psikoedukasi mengajarkan orang tentang penyakit mereka dan bagaimana mereka akan menerima penatalaksanaannya. Psikoedukasi juga meliputi edukasi kepada keluarga dan teman dimana mereka belajar beberapa hal seperti strategi Coping, ketrampilan memecahkan masalah (problem solving skills), dan bagaimana mengenali tanda-tanda kekambuhan dari pasien. Psikoedukasi pada keluarga dapat menolong menurunkan ketegangan (tension) dalam rumah, dimana hal ini dapat membantu pasien dengan penyakit kejiwaan untuk sembuh.
(3) Self-Help dan Support Group
Metode self-help dan gruoup support dapat membantu mengatasi perasaan terisolasi atau menyendiri dan membantu dalam menambah insight pada kondisi mental pasien. Anggota-anggota dari support group dapat berbagi perasaan frustasi dan keberhasilan mereka, serta mendapat rujukan untuk bergabung dengan komunitas (support group) yang cocok, dan tips mengenai hal terbaik apa yang perlu dilakukan ketika sedang dalam tahap penyembuhan. Dalam terapi ini, pasien juga dapat membentuk sebuah perkawanan dengan anggota lain dalam kelompok tersebut dan saling membantu dalam proses penyembuhan.
(4) Rehabilitasi Psikososial
Rehabilitasi Psikososial membantu mengembangkan sosial, emosi, dan ketrampilan intelektual yang mereka butuhkan untuk hidup bahagia dengan jumlah tenaga profesional sesedikit munkgin. Rehabilitas psikososial menggunakan 2 strategi untuk intervensinya, yakni: mempelajari tentang ketrampilan Coping dimana mereka nantinya akan lebih baik dalam menangangi lingkungan yang berat (stressful environment) dan megembangkan sumber daya yang nantinya akan mengurangi stresor-stresor di kemudian hari. Berikut terapi psikososial untuk anak dengan ADHD:
A. Konseling
1. Terapi Perilaku. Guru dan orang tua dapat mempelajari strategi-strategi yang dapat mengubah perilaku anak untuk menangani situasi yang sulit. Strategi-strategi ini dapat berupa sistem reward dan timeout.
2. Psikoterapi. Ini memungkinkan anak dengan ADHD yang lebih tua untuk membicarakan masalah-masalah yang mengganggunya, menelaah pola tingkah laku dan belajar cara untuk menangani gejalanya.
3. Parenting Skills Training. Ini akan membantu orang tua mengembangkan cara untuk memahami dan mengarahkan perilaku anaknya.
4. Terapi Keluarga. Cara ini dapat membantu orangtua dan saudaranya untuk mengatasi stress hidup dengan orang dengan ADHD.
5. Pelatihan social skills. Ini akan membantu anak mempelajari perilaku sosial yang sesuai.
6. Kelompok Dukungan. Kelompok support dapat memberikan anak dengan ADHD dan orangtuanya jaringan dukungan sosial, informasi, dan pendidikan.
B. Terapi Perilaku
Terapi saling berbicara untuk anak dan keluarganya akan membantu semua pihak memahami dan mengatasi perasaan-perasaan tertekan karena ADHDnya. Orangtua sebaiknya menggunakan sistem reward dan hukuman untuk membantu angarahkan perilaku anaknya. Mempelajari bagaimana mengatasi perilaku disruptif sangatlah penting. Kelompok pendukung dapat membantu keluarga untuk berhubungan dengan orang lain yang memiliki masalah yang sama.
C. Terapi Gaya Hidup dan Penanganan di rumah
Karena ADHD merupakan gangguan yang kompleks, dan setiap orang dengan ADHD itu gejalanya unik, sulit memberikan anjuran yang tepat bagi tiap anak. Tetapi beberapa hal berikut mungkin dapat membantu.
1) Di Rumah
• Tunjukkan kasih sayang anda pada anak. Anak-anak perlu mendengar bahwa mereka dicintai dan dihargai. Hanya memperhatikan aspek-aspek negatif perilaku anak dapat merusak hubungan orangtua dan anak atau merusak rasa percaya diri dan harga diri anak. Jika anak sulit menerima tanda-tanda verbal rasa kasih sayang, berikan senyuman, tepuk pundaknya, atau peluk anak untuk menunjukkan kasih sayang. Puji perilaku yang baik.
• Bersabarlah. Tetap sabar dan tenang ketika menangani anak, walaupun sepertinya tidak dapat dikontrol. Jika orangtua tenang, anak akan menjadi lebih tenang.
• Jaga perspektif diri. Orangtua harus realisitis dalam pengharapan akan perbaikan kondisi anak.
• Kenali anak. Bermainlah bersama anak. Luangkan waktu dimana anak hanya bermain dengan orangtua, tanapa ada orang lain. Coba berikan perhatian positif daripada negatif.
• Jaga agar anak memiliki jadwal tidur dan makan yang tetap. Gunakan kalender yang besar untuk menandari aktivitas-aktivitas penting yang akan terjadi. Anak dengan ADHD mengalami kesulitan untuk menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan. Hindari transisi yang tiba-tiba dari satu aktivitas menjadi aktivitas lainnya.
• Pastikan anak beristirahat cukup. Anak yang tidak cukup istirahat akan menunjukkan gejala ADHD yang lebih buruk.
• Identifikasi situasi yang sulit. Coba hindari situasi yang sulit bagi anak anda, seperti duduk diam selama presentasi yang panjang atau berbelanja di Mall dan Supermarket dimana aneka ragam barang dapat membuatnya bingung.
• Gunakan timeout atau hilangkan priviledge untuk mendisiplinkan anak. Untuk anak dengan ADHD, timeout dari stimulasi sosial sangat efektif. Sebaiknya timeout dilakukan dengan waktu yang singkat, tetapi cukup lama bagi anak untuk mengontrol dirinya. Intinya adalah untuk memutuskan dan menghentikan perilaku yang tak terkontrol. Ini tidak selelalu dapat diterapkan, tetapi bagi banyak orang telah terbukti dapat membantu mengatasi perilaku anak yang impulsif atau overaktif.
• Bantu anak anda mengorganisir dan membuat sebuah buku tugas harian. Dan pastikan anak memiliki tempat yang tenagn untuk belajar. Kelompokkan barang-barang dalam kamar anak dan simpan dalam tempat-tempat yang ditandai dengan jelas. Jaga lingkungan anak tetap terorganisir dan rapi.
• Cari cara untuk memperbaiki rasa percaya diri dan rasa disiplin anak. Anak dengan ADHD seringkali berprestasi dalam membuat karya seni, les musik atau les menari, atau les bela diri, terutama karate atau tae kwon do. Tetapi jangan memaksa anak ke dalam aktivitas yang diluar kemampuannya. Beberapa kesuksesan kecil yang berturut-turut lebih membangun rasa percaya diri anak dari pada satu kesuksesan yang besar.
• Gunakan kata-kata yang singkat dan demonstrasikan ektika memberikan anak instruksi. Berbicaralah dengan perlahan dan tenang, bicaralah dengan spesifik dan konkret. Berikan instruksi satu demi satu. Hentikan anak dan lakukan kontak mata dengan anak sebelum dan selama memberikan instruksi.
• Orangtua juga harus beristirahat. Jika orangtua kelelahan dan stress, akan menjadi kurang efektif sebagai orangtua.
2) Di sekolah
• Tanyakan program sekolahnya.
Apakah ada program khusus disekolah tersebut untuk anak dengan ADHD. Ini dapat termasuk penyesuaian kurikulum, perubahan tata urang kelas, modifikasi teknik mengajar, instruksi keahlian belajar, serta peningkatan kerjasama antara orangtua dan guru.
• Orangtua perlu berbicara dengan guru.
Sebaiknya orangtua berkomunikasi dengan guru ankanya, dan mendukung usaha guru untuk menangani anak didalam kelas. Pastikan guru mengawasi belajar anak, dan memberikan umpanbalik positif, fleksibel dan sabar. Minta agar guru memberikan instruksi dan target yang jelas.
• Penggunaan komputer didalam kelas.
Anak dengan ADHD cenderung mengalami kesulitan menulis dan penggunaan komputer atau mesin ketik akan sangat membantu, berangkat dari tersebut orang tua perlu mendiskusikan hal ini juga dengan guru atau pihak sekolah.
3) Coping dan Dukungan
Mengasuh anak dengan ADHD merupakan tantangan bagi seluruh keluarganya. Orangtua mungkin akan tersakiti oleh perilaku anaknya dan bagaimana orang lain bereaksi terhadap perilaku anaknya. Stress menangani anak dengan ADHD dapat menekan pernikahannya. Belum lagi ditambah dengan beban keuangan yang ditangggung oleh karena ADHD. Saudara-saudara anak dengan ADHD juga mungkin mengalami kesulitan. Mereka dapat terpengaruh oleh saudaranya yang agresif atau menuntut tersebut, dan juga mungkin akan menerima perhatian yang lebih sedikit, karena anak dengan ADHD membutuhkan waktu dan perhatian yang lebih banyak dari orangtuanya.
• Teknik Coping
Banyak orangtua yang menyadari pola perilaku anaknya dan respons mereka terhadap perilaku mereka itu. Contohnya, anak mungkin akan menangis meraung-raung sebelum waktunya makan malan, dan orangtuanya akana memberikan cemilan agar anak itu diam sementara orangtua menyiapkan makanan. Ini secara tidak langsung mendorong anak untuk mengulang perilakunya. Merubah kebiasaan lama dengan yang baru memang sulit dan membutuhkan kerja keras. Jadi pastikan orangtua memiliki target dan pengharapan yang realisitis, sesuai dengan kemampuan fisik dan mental anak. Susun target-target kecil bagi orangtua dan anak, serta jangan mencoba nutuk membuat perubahan yang besar atau banyak sekaligus.
D. Terapi menggunakan musik
Wiebe (2007) dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa terapi musik dapat mengurangi perilaku repetitif pada anak-anak autis. Dengan mendengarkan musik anak autis merasa lebih tenang. Seorang ahli dari hasil penelitiannya memberikan rekomendasi bahwa terapi musik dan gerak dapat dikembangkan untuk formulasi strategi treatmen untuk anak-anak dengan ADHD (Jackson, 2003). Sedangkan Wheeler dan Stultz (2007) untuk membantu anak-anak dalam merespon musik tadi maka ditambahkan gerakan dengan menyanyi dan instrumen, sehingga anak-anak lebih trampil dalam merespon, lebih spontan dalam mengikuti irama dengan menggerak-gerakkan bagian tubuhnya. Pada anak-anak yang mengalami disability maka menunjukkan hasil bahwa terapi musik dan gerakan dapat membantu anak-anak belajar untuk mengatur diri dan dalam berhubungan dengan orang lain serta mengatur emosinya. Musik dan gerakan berpengaruh langsung ke otak dan berakibat ke proses kerja tubuh. Terapi musik dan gerak juga mampu mempengaruhi kondisi mental, sebab ada keterkaitan antara musik dengan emosi atau mental seseorang.
E. Terapi Bermain
Permainan adalah suatu bentuk penyesuaian diri manusia yang sangat berguna, menolong anak menguasai kecemasan dan konflik. Permainan dapat menjadi salah satu sarana yang dapat dilakukan untuk membantu anak mengembangkan hubungan sosial dan pembelajaran untuk memecahkan sebuah masalah. Pengembangan sosial, emosional, dan kemandirian dimaksudkan untuk membina anak agar dapat mengendalikan emosinya secara wajar dan dapat berinteraksi dengan baik dengan sesamanya maupun dengan orang dewasa serta dapat menolong dirinya sendiri dalam rangka kecakapan hidup. Permainan- permainan dapat bersifat teraupetik sehingga dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk menyembuhkan perilaku maladaptif bagi anak ADHD. Selain itu, terapi bermain juga diyakini dapat menyelesaikan kesulitan-kesulitan psikososial dan mendorong anak untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Di dalam sebuah permainan, anak akan diajak untuk berinteraksi dengan teman sepermainan dan juga dengan terapisnya. Anak akan diajak untuk menyelsaikan tugas hingga selesai, tidak mengambil sesuatu yang bukan miliknya, dan juga diajarkan untuk bisa sabar dalam menunggu antrian atau giliran dalam suatu kegiatan. Ada 5 jenis permainan sosialisasi yaitu:
1. Meluncur di tempat peluncuran
Tujuannya mengajarkan subjek untuk melaksanakan proses menaiki tangga dengan mematuhi peraturan dalam permainan ini. Disini subjek akan diajarkan untuk menunda kepuasan dengan sabar dalam menunggu sampai gilirannya meluncur.
2. Bermain ayunan
Salah satu tujuannya adalah melatih kemampuan kontrol diri dan bertanggung jawab akan keselamatan dirinya dan teman sepermainannya. Selain itu permainan ini juga dapat mengurangi situasi emosi subjek yang meningkat untuk segera bergantian bermain ayunan, emosi kesenangan yang meninggi ketika berayun, juga saat mengayunkan ayunan temannya.
3. Bermain puzzle atau bongkar pasang
Tujuannya adalah mengajarkan proses untuk memecahkan masalah. Dalam permainan puzzle subjek akan memasang dan melepas potongan-potongan gambar sehingga subjek tanpa sadar telah dilatih untuk berpikir kreatif dan subjek akan secara aktif mengembangkan kemampuannya membuat kesimpulan, memahami logika sebab-akibat dan gagasan bahwa objek yang utuh sebenarnya tersusun dari bagian-bagian yang kecil.
4. Melempar bola
Dalam permainan ini subjek secara bergantian akan memiliki kesempatan menerima dan melempar bola sebagai bentuk dari terjalinnya sebuah interaksi antar subjek. Salah satu tujuannya adalah subjek diajarkan untuk menunda kepuasan dengan bersabar menunggu giliran untuk melempar dan menangkap bola.
5. Estafet bola
Disini subjek akan diajarkan bekerja sama dengan teman-teman agar subjek bisa belajar berhati-hati dalam membawa bola agar bisa sampai ke subjek lainnya.
Kelima jenis permainan tersebut menurut penelitian dapat mengurangi periaku impulsif anak ADHD. Hal ini dikarenakan dalam permainan tersebut subjek diajarkan untuk sabar menunggu giliran melalui tahapan-tahapan dan langkah-langkah saat terapi permainan sosialisasi ini diterapkan kepada subjek.
2.6 Preventif
Sampai saat ini tidak ada cara mencegah ADHD. Tetapi ada cara untuk mencegah masalah yang mungkin ditimbulkannya, serta untuk memastikan bahwa sang anak akan sesehat mungkin. Baik itu sehat secara fisik, mental, ataupun emosional, yaitu:
• Hindari penggunaan apapun yang dapat mengganggu pertumbuhan fetus selama kehamilan. Jangan merokok, minum alkohol, ataupun menggunakan narkoba atau obat-obat yang dapat merusak janin.
• Lindungi anak dari paparan polutan dan toksin, termasuk asap rokok, bahan kimia untuk pertanian (pestisida, pupuk kimia) atau industru, dan cat yang mengandung Pb.
• Selalu konsisten. Buat batasan dan hukuman yang jelas untuk perilaku anak.
• Susun jadwal kegiatan rutin anak dengan tujuan yang jelas yang termasuk waktu tidur, kegiatan pagi hari, waktu makan, tugas-tugas sederhana dirumah dan waktu menonton TV.
• Hindari multitasking ketika berbicara dengan anak, lakukan kontak mata saat memberikan instruksi, dan berikan pujian pada anak setiap hari.
• Bekerjasama dengan guru dan pengasuh untuk mengidentifikasi masalah sedini mungkin.
• Jika anak memang memiliki ADHD atau kondisi lainnya yang mengganggu pembelajaran atau interaksi sosial, pengobatan dini dapat mengurangi efek dari kondisinya.
2.7 Komplikasi
ADHD dapat membuat anak-anak mengalami:
• Kesulitan belajar didalam kelas, yang dapat menyebabkan kegagalan akademik dan dihakimi oleh anak-anak lainnya dan orang dewasa.
• Cenderung untuk mengalami kecelakaan dan berbagai macam cedera lebih sering daripada anak lainnya.
• Lebih cenderung mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan teman dan orang dewasa.
• Lebih beresiko menyalahgunakan alkohol dan narkoba, serta tindakan-tindakan delinquent lainnya.
2.8 Prognosis
Perjalanan ADHD itu bervariasi, ada yang mengalami remisi dan menetap.
1) Persisten atau menetap. Pada 40-50% kasus, gejala akan persisten hingga masa remaja atau dewasa. Gejala akan lebih cenderung menetap jika terdapat riwayat keluarga, peristiwa negatif dalam hidupnya, komobiditas dengan gejala-gejala perilaku, depresi dan gangguan cemas. Dalam beberapa kasus, hiperaktivitasnya akan menghilang, tetapi tetap mengalami inatensi dan kesulitan mengontrol impuls (tidak hiperaktif, tetapi impulsif dan ceroboh). Anak ini rentan dengan penyalahgunaan alkohol dan narkoba, kegagalan disekolah, sulit mempertahankan pekerjaan, serta pelanggaran hukum.
2) Remisi. Pada 50% kasus, gejalanya akan meringan atau menghilang pada masa remaja atau dewasa muda. Biasanya remisi terjadi antara usia 12 hingga 20 tahun. Gejala yang pertama kali memudar adalah hiperaktivitas dan yang paling terakhir adalah distractibility.
a. Remisi total. Anak yang mengalami remisi total akan memiliki masa remaja dan dewasa yang produktif, hubungan interpersonal yang memuaskan, dan memiliki gejala sisa yang sedikit.
b. Remisi parsial. Pada masa dewasanya, anak dengan remisi parsial mudah menjadi antisosial, mengalami gangguan mood, sulit mempertahankan pekerjaan, mengalami kegagalan disekolah, melanggar hukum, dan menyalahgunakan alkohol dan narkoba.
Prognosa anak dengan ADHD tergantung dari derajat persistensi psikopatologi komorbidnya, terutama gangguan perilaku, disabilitas sosial, serta faktor-faktor keluarga. Prognosa yang optimal dapat didukung dengan cara memperbaiki fungsi sosial anak, mengurangi agresivitas anak, dan memperbaiki keadaan keluarganya secepat mungkin
DAFTAR PUSTAKA
Barbaresi W, Katusic S, Colligan R, et al. How common is attention-deficit/hyperactivity disorder? Towards resolution of the controversy: results from a population-based study. Acta Paediatr Suppl 2004; 93:55.
Barkley RA. Attention Deficit Hyperactivity Disorder: A Handbook for Diagnosis and Treatment. 2nd ed. New York, NY: Guilford Press; 1996
Bateman B, Warner JO, Hutchinson E, Dean T, Rowlandson P, Grant C, et al. The effects of a double blind, placebo controlled, artificial food colourings and benzoate preservative challenge on hyperactivity in a general population sample of preschool children. Archives of Disease in Childhood 2004;89(6):506-11.
Beauregard M, Levesque J. Functional magnetic resonance imaging investigation of the effects of neurofeedback training on the neural bases of selective attention and response inhibition in children with attention-deficit/hyperactivity disorder. Applied Psychophysiology & Biofeedback 2006;31(1):3-20.
Bilici M, Yildirim F, Kandil S, Bekarolu M, Yildirmi S, Deer O,et al. Double-blind, placebo-controlled study of zinc sulfate in the treatment of attention deficit hyperactivity disorder. Progress in Neuro-Psychopharmacology and Biological Psychiatry.2004;28(1):181-90.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC).Increasing prevalence of parent-reported attention-deficit/hyperactivity disorder among children --- United States, 2003 and 2007. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 2010; 59:1439.
Clayton EH, Hanstock TL, Garg ML, Hazell PL. Long chain omega-3 polyunsaturated fatty acids in the treatment of psychiatric illnesses in children and adolescents.Acta Neuropsychiatrica. 2007;19(2):92-103.
Coulter MK, Dean ME.Homeopathy for attention deficit/hyperactivity disorder or hyperkinetic disorder.Cochrane Database of Systematic Reviews. 2007(4):(CD005648).
Eric Taylor, Tim Kendall , Philip Asherson et al. 2008. Attention deficit hyperactivity disorder: Diagnosis and management of ADHD in children, young people and adults.
Faraone SV, Sergent J, Gillberg C, Biederman J. The worldwide prevalence of ADHD : is it an American condition?. World Psychiatry.2003 ; 2: 104-13.
Froehlich TE, Lanphear BP, Epstein JN, et al. Prevalence, recognition, and treatment of attention-deficit/hyperactivity disorder in a national sample of US children. Arch Pediatr Adolesc Med 2007; 161:857.
Green, M, Wong, M, Atkins, D, et al. Diagnosis of Attention Deficit/Hyperactivity Disorder: Technical Review 3. US Department of Health and Human Services, Agency for Health Care Policy and Research; Rockville, MD, 1999.
Hill P., Taylor, E. 2001. An auditable protocol for treating attentiondeficit/hyperactivity disorder. London UK. Arch Dis Child. 84: pp 404–409
Jackson, N. (2003). A Survey of Music Therapy Methods and Their Role in the Treatment of Early Elementary School Children with ADHD. Journal of Music Therapy. Proquest Education Journals: Temple University.
Khilnani S, Field T, Hernandez-Reif M, Schanberg S. Massage therapy improves mood and behavior of students with attentiondeficit/hyperactivity disorder. Adolescence 2003;38(152):623
Konofal E, Lecendreux M, Deron J, Marchand M, Cortese S, Zaim M, et al. Effects of iron supplementation on attention deficit hyperactivity disorder in children. Pediatr Neurol 2008;38(1):20-6.
McCann D, Barrett A, Cooper A, Crumpler D, Dalen L, Grimshaw K, et al. Food additives and hyperactive behaviourin 3-year-old and 8/9-year-old children in the community: a randomised, double-blind
Merikangas KR, He JP, Brody D, et al. Prevalence and treatment of mental disorders among US children in the 2001-2004 NHANES. Pediatrics 2010; 125:75.
Moore, David P. Eds. 2006. Little Black Book of Psychiatry.Jones and Bartlett Publishers. The 3rd Edition, pp: 45-48.
Moore. Kent L. Recent advances in the genetics off attention deficit hyperactivity disorder. Curr Psychiatry Res 2004; 6: 143.
Philip Asherson, Simon Bailey, Karen Bretherton et al. Diagnosis and management of ADHD in children, young people and adults. 2008
Pintov S, Hochman M, Livne A, Heyman E, Lahat E. Bach flowerremedies used for attention deficit hyperactivity disorder inchildren - a prospective double blind controlled study. European Journal of Paediatric Neurology 2005;9(6):395-8.
Pliszka S, AACAP Work Group on Quality Issues. Practice parameter for the assessment and treatment of children and adolescents with attention-deficit/hyperactivity disorder. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry 2007; 46:894.
Reiff MI, Banez GA, Culbert TP. Children who have attentional disorders: diagnosis and evaluation. Pediatr Rev. 1993;14:455–465
Wheeler, B.L. & Stultz, S. (2008). Using Typical Infant Development To Inform Music Therapy With Children With Disabilities. Early Childhood Education Journal.
Wiebe, J.E. (2007). ADHD The Classroom And Music: A.Case Study. Thesis. Saskatoon: Departement of Educational Psychology and Special EducationUniversity of Saskatchewan, Saskatoon.
BAB I
PENDAHULUAN
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan gangguan perilaku yang paling banyak didiagnosis pada anak-anak dan remaja. ADHD adalah gangguan yang ditandai oleh defisit perhatian, hiperaktivitas, dan perilaku impulsif. Prevalensi ADHD pada anak usia sekolah adalah 8-10%, hal tersebut menjadikan ADHD sebagai salah satu gangguan yang paling umum pada masa kanak-kanak. Gejala inti ADHD meliputi gangguan atensi, hiperaktif, dan impulsivitas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 40-50% kasus ADHD menetap pada masa remaja, bahkan sampai dewasa. Bila menetap sampai remaja, dapat memunculkan masalah lain seperti kenakalan remaja, gangguan kepribadian antisosial, dan cenderung terlibat penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Orang dewasa dengan ADHD sering bertengkar dengan pimpinannya, sering pindah pekerjaan dan dalam melaksanakan tugasnya, seringkali terlihat tidak tekun.
Penanganan ADHD perlu melibatkan berbagai disiplin ilmu dalam suatu tim kerja yang terdiri dari dokter spesialis anak, psikiater, dokter spesialis saraf, psikolog, pendidik, dan pekerja sosial. Penanganan ADHD memerlukan evaluasi jangka panjang dan berulang untuk dapat menilai keberhasilan terapi. Penanganan ADHD biasanya berupa terapi obat, terapi perilaku, dan perbaikan lingkungan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) atau gangguan kronis pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH) merupakan gangguan perilaku yang paling banyak di diagnosis pada anak-anak. Gejala intinya meliputi gangguan atensi, hiperaktivitas, dan impulsivitas. Anak yang menderita gangguan tersebut akan sukar menyesuaikan aktivitas mereka dengan norma yang ada sehingga mereka sering dianggap sebagai anak yang tidak baik di mata orang dewasa maupun teman sebayanya. Mereka sering gagal mencapai potensinya dan memiliki banyak kesulitan komorbid seperti gangguan perkembangan, gangguan belajar spesifik, dan gangguan perilaku serta emosional lainnya.
2.2 Epidemiologi
Istilah Attention Deficit Disorder (ADD) pertama sekali diperkenalkan pada tahun 1980an dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) III edisi ketiga yang menjadi panduan psikiatris. Pada tahun 1994 istilah tersebut diganti Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan gangguan perilaku yang paling banyak didiagnosis pada anak-anak dan remaja.
Prevalensi ADHD pada anak usia sekolah adalah 8-10%, hal tersebut menjadikan ADHD sebagai salah satu gangguan yang paling umum pada masa kanak-kanak. Bradley dan Golden pada tahun 2005 mengatakan hal yang sama, yaitu ADHD merupakan masalah psikologis yang paling banyak terjadi akhir-akhir ini, sekitar 3-10% terjadi di Amerika Serikat, 3-7% di Jerman, 5-10% di Kanada dan Selandia Baru. Di Indonesia angka kejadiannya masih belum ditemukan angka yang pasti, meskipun kelainan ini tampak cukup banyak terjadi dan sering dijumpai pada anak usia pra sekolah dan usia sekolah. Saputro 2005 di Indonesia, populasi anak Sekolah Dasar adalah 16,3% dari total populasi yaitu 25,85 juta anak mengalami ADHD. Berdasarkan data tersebut diperkirakan tambahan kasus baru ADHD sebanyak 9000 kasus. Terdapat kecenderungan lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Secara epidemiologis rasion kejadian dengan perbandingan 4 : 1.
2.3 Etiologi dan faktor risiko
Penyebab ADHD dipahami sebagai disregulasi neurotransmiter tertentu didalam otak yang membuat seseorang lebih sulit untuk memiliki atau mengatur stimulus-stimulus internal dan eksternal. Beberapa neurotransmiter, termasuk dopamine dan norepinephrine, mempengaruhi produksi, pemakaian, pengaturan neurotransmiter lain juga beberapa struktur otak. Adanya peningkatan ambilan kembali dopamin ke dalam sel neuron daerah limbik dan lobus prefrontal dikatakan mengendalikan fungsi eksekutif perilaku. Fungsi eksekutif bertanggung jawab pada ingatan, pengorganisasian, menghambat perilaku, mempertahankan perhatian, pengendalian diri dan membuat perencanaan masa depan. Hal ini menyebabkan kemudahan mengalami gangguan dan ketiadaan perhatian dari sudut pandang fungsi otak adalah kegagalan untuk “menghentikan” atau menghilangkan pikiran-pikiran internal yang tidak diinginkan atau stimulus-stimulus kuat.
Gambar 2.1 Dopamin di otak
Perubahan suasana hati yang cepat dan kepekaan berlebihan merupakan akibat dari otak yang bermasalah dalam meredam bagian-bagian otak yang mengatur gerakan-gerakan motorik dan respon-respon emosional. Hal itulah yang membuat anak tidak dapat menunggu, menunda pemuasan dan menghambat tindakan. Hasil penelitian oleh Cantwell (1975) dan Morrison dan Stewart (1973) melaporkan bahwa pada orangtua biologis anak ADHD lebih banyak mengalami hiperaktivitas dibandingkan dengan orangtua adopsi anak ADHD. Hal ini menunjukkan bahwa peran herediter sangat besar sebagai salah satu faktor penyebab gangguan ini.
Penelitian neuropsikologis menunjukkan korteks frontal dan sirkuit yang menghubungkan fungsi eksekutif bangsal ganglia. Katekolamin adalah fungsi neurotransmiter utama yang berkaitan dengan fungsi otak lobus frontalis. Pada penderita ADHD terdapat kelemahan aktifitas otak bagian korteks prefrontal kanan bawah dan kaudatus kiri yang berkaitan dengan pengaruh proses editing prilaku, menurunnya kesadaran diri, dan dalam penghambatan respon otomatis terhadap rangsangan pada otak.
Perilaku ADHD adalah efek dari kecemasan yang tinggi yang dialami oleh anak sewaktu kecil, karena anak cemas maka pikirannya bekerja sangat aktif, memunculkan berbagai mental atau buah pikir, dengan tujuan agar anak bisa sibuk memikirkan gambar mental atau buah pikir itu sehingga dengan sendirinya kecemasan mereka akan berkurang. Berdasarkan gambaran diatas, maka nampak bahwa penyebab ADHD cukup kompleks, antara lain neurologis, herediter dan lingkungan.
2.4 Diagnosis
Gejala ADHD lebih jelas terlihat pada aktivitas-aktivitas yang membutuhkan usaha mental yang terfokus. Agar dapat didiagnosa dengan ADHD, tanda dan gejalanya harus muncul sebelum usia 7 tahun dan kadang sampai usia 2 -3 tahun. Gejala ADHD terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu kurangnya perhatian, hiperaktivitas dan perilaku impulsif. Gejala akan meringan seiiring pertumbuhan anak, tetapi tidak akan menghilang semuanya.
Adapun tanda dan gejala inatensi, yaitu :
1) Sering gagal memperhatikan perincian atau membuat kecerobohan dalam mengerjakan tugas dari sekolah ataupun aktivitas lainnya, serta berganti-ganti kegiatan dengan cepat.
2) Sering mengalami kesulitan untuk menjaga tingkat atensi yang sama selama mengerjakan tugas atau bermain atau kesulitan berkonsentrasi pada satu kegiatan saya.
3) Terlihat seperti tidak mendengar walaupun diajak berbicara langsung
4) Mengalami kesulitan untuk mengikuti perintah dan sering gagal menyelesaikan tugas dari sekolah, pekerjaan rumah ataupun tugas-tugas lainnya
5) Menghindari atau tidak menyukai atau mengalami kesulitan tugas-tugas yang membutuhkan usaha mental yang lama, seperti tugas dari sekolah atau pekerjaan rumah
6) Seringkali kehilangan barang yang diperlukan seperti buku, pensil, mainan atau peralatan
7) Mudah bosan pada suatu tugas atau kegiatan kecuali melakukan sesuatu yang disukai
Kesulitan untuk mengikuti instruksi
9) Seperti tidak mendengar ketika diajak berbicara
10) Pelupa
Tanda dan gejala perilaku yang hiperaktivitas:
1) Gelisah, tidak bisa diam ditempat duduk, selalu bergerak ditempat duduk
2) Berbicara tidak bisa berhenti
3) Seringkali berdiri dan meninggalkan bangkunya dikelas atau situasi lainnya dimana seharusnya tetap duduk
4) Sulit untuk bermain dengan tenang
5) Selalu siap bergerak
Tanda dan gejala impulsivitas:
1) Berbicara berlebihan
2) Menjawab pertanyaan sebelum pertanyaannya selesai dikatakan
3) Seringkali sulit menunggu gilirannya
4) Seringkali menyela atau mengganggu pembicaraan orang lain
Jika ditemukan perilaku-perilaku diatas dapat digolongkan dengan ADHD:
1) Berlangsung lebih dari enam bulan
2) Muncul sebelum berusia 7 tahun
3) Terjadi pada lebih dari satu setting (sekolah dan rumah)
4) Menganggu aktivitas sekolah, bermain dan aktivitas sehari-hari lainnya secara regular
5) Menyebabkan masalah dalam hubungannya dengan orang dewasa dan anak-anak lainnya
6) Pada bayi, adapun perilaku yang dapat digolongkan dengan ADHD, yaitu:
7) Sensitif terhadap bunyi, cahaya, suhu dan perubahan lingkungan
Aktif biasanya saat di buaian dan tidur sangat sedikit
9) Sering menangis
10) Bahkan perilaku bias sebaliknya, tenang dan lemas, tidur berlebihan dan berkembangannya sangat lambat pada bulan pertama.
Berdasarkan gejala yang menonjol, ADHD dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu:
1. Tipe yang dominant gangguan pemusatan perhatian
Diagnosis ADHD tipe gangguan pemusatan perhatian (menurut DSM IV) ditegakkan bila minimal ada 6 gejala gangguan pemusatan perhatian untuk waktu minimal 6 bulan dan didapat kurang dari 6 gejala hiperaktivitas serta dimulai sebelum usia 7 tahun. Gejala-gejala ini tetap ada pada saat anak di sekolah atau di rumah bersifat maladaptif, dan tak sesuai dengan tahap perkembangan anak.
2. Tipe yang dominant hiperaktivitas dan impulsivitas
Diagnosis ADHD tipe hiperaktivitas dan impulsivitas (menurut DSM IV) ditegakkan bila minimal ada 6 gejala hiperaktivitas dan impulsivitas untuk waktu minimal 6 bulan dan didapat kurang dari 6 gejala gangguan pemusatan perhatian dan dimulai sebelum usia 7 tahun. Gejala-gejala ini tetap ada pada saat anak di sekolah atau di rumah bersifat maladaptif, dan tak sesuai dengan tahap perkembangan anak.
3. Tipe campuran (gejalanya campuran dari gangguan pemusatan perhatian, hiperaktivitas, dan impulsivitas)
Diagnosis ADHD tipe campuran (menurut DSM IV) ditegakkan bila didapatkan 6 atau lebih gejala gangguan pemusatan perhatian dan 6 atau lebih gejala hiperaktivitas impulsivitas yang tetap ada selama paling sedikit 6 bulan, dimulai sebelum usia 7 tahun
serta gejala-gejala ini tetap ada saat di sekolah dan di rumah.
Tabel 2.1 Kriteria DSM-IV-TR untuk Atenttion Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
A. Salah satu (1) atau (2)
1. Gangguan pemusatan perhatian (inatensi) : enam atau lebih gejala in atensi berikut telah menetap sekurang – kurangnya 6 bulan bahkan sampai tingkat yang maladaptive dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan
a. Sering gagal dalam memberikan perhatian pada hal yang detail dan tidak teliti dalam mengerjakan tugas sekolah, pekerjaan atau aktivitas lainnya
b. Sering mengalami kesulitan dalam mempertahankan perhatian terhadap tugas atau aktivitas bermain
c. Sering tidak tampak mendengarkan apabila berbicara secara langsung
d. Sering tidak mengikuti instruksi dan gagal penyelesaian tugas sekolah, pekerjaan atau kewajiban di tempat kerja (bukan karena perilaku menentang atau tidak dapat mengikuti instruksi)
e. Sering mengalami kesulitan dalam menyusun tugas dan aktivitas
f. Sering menghindari, membenci atau enggan untuk terlibat dalam tugasyang memiliki usaha mental yang lama
g. Sering menghilangkan atau ketinggalan hal – hal yang perlu untuk tugas dan aktivitas
h. Sering mudah teralihkan perhatiannya oleh stimulasi dari luar
i. Sering lupa dalam aktivitas sehari-hari
2. Hiperaktivitas impulsivitas enam (atau lebih) gejala hiperaktivitas impulsivitas berikut telah menetap selama sekurang-kurangnya enam bulan sampai tingkat yang maladaptive dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan
Hiperaktivitas
a. Sering gelisah dengan tangan dan kaki atau sering mengeliat-ngeliatkan tubuh di tempat duduk
b. Sering meninggalkan tempat duduk dikelas atau didalam situasi yang diharapkan anak untuk tetap tenang
c. Sering berlari –lariatau memanjat secara berlebihandalam situasi yang tidak tepat
d. Sering mengalami kesulitan bermain dan terlibat dalam aktivitas waktu luang secara tenang
e. Sering “siap-siap pergi” atau seakan –akan “didorong oleh sebuah gerakan”
f. Sering berbicara berlebihan impulsivitas
g. Sering menjawab pertanyaan tanpa berfikir lebih dahulu sebelum pertanyaan selesai
h. Sering sulit menunggu gilirannya
i. Sering menyela atau menggangu orang lain
B. Beberapa gejala hiperaktivitas-impusif yang menyebabkan gangguan telah ada sebelum usia 7 tahun
C. Beberapa gangguan akibat gejala terdapat dalam dua atau lebih situasi
D. Harus terdapat bukti yang jelas adanya gangguan yang bermakna secara klinis dalam fungsi sosial, akademik dan fungsi pekerjaan
E. Gejala tidak semata-mata sekama gangguan perkembangan pervasif, skizofrenia atau gangguan psikotik lain dan bukan merupakan gangguan mental lain
2.5 Penatalaksanaan
Penanganan holistik anak ADHD yang terbaik adalah:
1. Farmakoterapi (Medikamentosa)
2. Terapi perilaku dan psikososial
3. Kombinasi pengobatan medikamentosa dengan terapi perilaku
4. Edukasi pasien dan keluarga mengenai anak ADHD.
A. Medika Mentosa
1. Psikostimulan atau stimulan
Adalah obat ADHD yang paling sering digunakan. Walaupun disebut stimulan, tetapi memiliki efek menenangkan pada orang dengan ADHD. Obat-obatan ini adalah Amfetamin-dekstroamfetamin (Adderall), Deksmetilfenidat (Focalin), Dekstroamfetamin (Dexedrine, Dextrostat), Lisdeksamfetamin (Vyvanse), dan Metilfenidat (ritalin, Concerta, Metadate, Daytrana). Yang terdapat di Indonesia adalah golongan metilfenidat dan dekstroamfetamin, hanya dengan merek dagang yang berbeda. Obat ini bekerja dengan meningkatkan dan menyeimbangkan kadar neurotransmitter otak, sehingga memperbaiki tanda-tanda dan gejala-gejala inti (inatensi, impulsivitas dan hiperaktivitas). Tetapi obat-obatan ini hanya bekerja untuk waktu terbatas. Selain itu, dosisnya berbeda pada tiap anak, jadi membutuhkan waktu yang cukup lama hingga tercapai dosis yang sesuai. Ada 2 jenis stimulan, yaitu jangka panjang dan jangka pendek. Yang jangka panjang berfungsi selama 6-12 jam, sementara yang jangka pendek berfungsi selama kurang lebih 4 jam. Metilfenildat merupakan stimulan jangka panjang yang berupa patch ditempelkan pada pinggul dan berfungsi selama 9 jam. Walaupun dapat bekerja selama 9 jam, tetapi obat ini baru akan berfungsi setelah 3 jam. Agar dapat bekerja pada pagi hari, patch-nya harus ditempelkan sewaktu anak masih tertidur. Efek samping paling umum dari obat-obatan stimulan adalah penurunan selera makan, penurunan berat badan, gangguan tidur, dan irritability sewaktu efek obat berkurang. Beberapa anak dapat menderita gerakan otot yang menyentak, seperti tics, yang akan menghilang sewaktu dosis diturunkan. Obat ini juga dapat sedikit menurunkan kecepatan pertumbuhan anak, walaupun pada sebagian besar kasus, tidak
ada efek permanen. Efek samping yang jarang terjadi adalah kematian anak karena penyakit jantung, terutama pada yang telah memiliki penyakit jantung atau defek jantung.
Sebelum memberikan obat jenis ini kepada anak, sebaiknya lakukan pemeriksaan fisik, tekanan darah, denyut nadi, berat badan dan tinggi badan anak. Selain itu periksa tekanan darah, denyut nadi, berat badan dan tinggi badan pasien tiap 3 bulan sekali dan lakukan pemeriksaan fisik tiap tahun.
2. Non-Stimulan
Obat nonstimulan, yaitu Atomoksetin (Strattera) dapat bekerja sebaik stimulan, tetapi kemungkinan penyalahgunaan lebih rendah. Obat ini diberikan pada anak dengan ADHD yang tidak merespon obat-obatan stimulan atau mengalami efek samping pada pemberian stimulan. Selain mengurangi gejala ADHD, atomoksetin juga dapat mengurangi rasa cemas. Obat ini diberikan satu atau dua kali sehari. Efek samping dari atomoksetin adalah rasa mual dan sedasi, penurunan selera makan dan berat badan. Efek samping yang jarang muncul adalah gangguan fungsi hati yang ditandai dengan kulit yang berwarna kuning (jaundice), urin berwarna gelap atau gejala-gejala flu yang tidak dapat dijelaskan, peningkatan resiko timbulnya ide-ide bunuh diri pada anak dan remaja atau tanda-tanda depresi lainnya. Tetapi obat ini tidak dijual di Indonesia.
3. Antidepresan
Obat ini digunakan pada anak yang tidak merespon stimulan atau atomoksetin, dan memiliki gangguan mood penyerta.
4. Obat anti hipertensi
Beberapa yang dimaksud seperti Clonidine (Catapres) dan Guanfacine (Intuniv, Tenex). Obat ini akan membantu menredakan gejala-gejala ADHD. Diberikan untuk mengurangi tics atau insomnia yang disebabkan obat ADHD lainnya atau mengobati agresi yang disebabkan oleh ADHD.
b. Non-Medika Mentosa
Tatalaksana lain untuk anak dengan ADHD ialah terapi psikososial. Hal ini meliputi terapi perilaku. Terapi perilaku dan konseling diberikan oleh psikiater, psikolog, atau petugas kesehatan jiwa lainnya. Beberapa anak dengan ADHD juga mengalami kondisi lainnya seperti gangguan cemas dan depresi. Konseling dapat membantu ADHD dan masalah penyertanya. Pengobatan psikososial adalah bagian penting dari pengobatan untuk attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD) pada anak-anak dan remaja. Literatur ilmiah, Institut Nasional Kesehatan Mental (NAMI - National Alliance on Mental Illness), dan banyak organisasi profesional setuju bahwa perawatan psikososial berorientasi perilaku juga disebut terapi perilaku atau modifikasi perilaku dan obat stimulan memiliki dasar yang solid menunjukkan adanya efektivitas.
Modifikasi perilaku adalah satu-satunya pengobatan nonmedis untuk ADHD dengan basis bukti ilmiah yang besar. Mengobati ADHD pada anak-anak sering melibatkan intervensi medis, pendidikan dan perilaku. Pendekatan ini komprehensif untuk pengobatan disebut "multimodal" dan terdiri dari orang tua dan anak pendidikan tentang diagnosis dan pengobatan, teknik manajemen perilaku, obat-obatan, dan pemrograman sekolah dan mendukung. Tingkat keparahan dan jenis ADHD mungkin faktor dalam menentukan komponen yang diperlukan. Pengobatan harus disesuaikan dengan kebutuhan unik dari masing-masing anak dan keluarga. Terapi psikososial dapat dibagi menjadi terapi kognitif, terapi interpersonal, dan terapi perilaku. Terapi psikososial ini mempunyai kelebihan yaitu adanya pendekatan mendalam terhadap individu yakni mendorong pasien untuk melihat ke dalam solusi, bukan tergantung pada sumber-sumber eksternal.
• Terapi psikososial
Terapi psikososial meliputi beberapa tipe berbeda dari psikoterapi dan pelatihan ketrampilan, dengan tujuan menyediakan dukungan (support). Edukasi dan pedoman untuk orang-orang dengan penyakit kejiwaan dan keluarga mereka. Terapi ini nantinya akan mendatangkan hasil yang baik seperti berkurangnya frekuensi dirawat di rumah sakit, kesulitan dalam rumah, di sekolah dan di tempat bekerja. Jenis-Jenis Terapi Psikososial:
(1) Psikoterapi
Terapi ini umumnya disebut juga dengan terapi bicara. Psikoterapi adalah ketika pasien, keluarganya, atau bisa juga pasangan atau kelompok duduk bersama dan berbicara dengan terapis atau tenaga kesehatan dalam bidang kejiwaan. Psikoterapi membantu pasien belajar tentang situasi perasaan (mood), pikiran, perilaku dan bagaimana mereja dapat memaknai hidup mereka. Terapi ini juga menyediakan cara-cara untuk menstruktur ulang cara berpikir dan merespon terhadap stres kondisi-kondisi lain.
(2) Psikoedukasi
Psikoedukasi mengajarkan orang tentang penyakit mereka dan bagaimana mereka akan menerima penatalaksanaannya. Psikoedukasi juga meliputi edukasi kepada keluarga dan teman dimana mereka belajar beberapa hal seperti strategi Coping, ketrampilan memecahkan masalah (problem solving skills), dan bagaimana mengenali tanda-tanda kekambuhan dari pasien. Psikoedukasi pada keluarga dapat menolong menurunkan ketegangan (tension) dalam rumah, dimana hal ini dapat membantu pasien dengan penyakit kejiwaan untuk sembuh.
(3) Self-Help dan Support Group
Metode self-help dan gruoup support dapat membantu mengatasi perasaan terisolasi atau menyendiri dan membantu dalam menambah insight pada kondisi mental pasien. Anggota-anggota dari support group dapat berbagi perasaan frustasi dan keberhasilan mereka, serta mendapat rujukan untuk bergabung dengan komunitas (support group) yang cocok, dan tips mengenai hal terbaik apa yang perlu dilakukan ketika sedang dalam tahap penyembuhan. Dalam terapi ini, pasien juga dapat membentuk sebuah perkawanan dengan anggota lain dalam kelompok tersebut dan saling membantu dalam proses penyembuhan.
(4) Rehabilitasi Psikososial
Rehabilitasi Psikososial membantu mengembangkan sosial, emosi, dan ketrampilan intelektual yang mereka butuhkan untuk hidup bahagia dengan jumlah tenaga profesional sesedikit munkgin. Rehabilitas psikososial menggunakan 2 strategi untuk intervensinya, yakni: mempelajari tentang ketrampilan Coping dimana mereka nantinya akan lebih baik dalam menangangi lingkungan yang berat (stressful environment) dan megembangkan sumber daya yang nantinya akan mengurangi stresor-stresor di kemudian hari. Berikut terapi psikososial untuk anak dengan ADHD:
A. Konseling
1. Terapi Perilaku. Guru dan orang tua dapat mempelajari strategi-strategi yang dapat mengubah perilaku anak untuk menangani situasi yang sulit. Strategi-strategi ini dapat berupa sistem reward dan timeout.
2. Psikoterapi. Ini memungkinkan anak dengan ADHD yang lebih tua untuk membicarakan masalah-masalah yang mengganggunya, menelaah pola tingkah laku dan belajar cara untuk menangani gejalanya.
3. Parenting Skills Training. Ini akan membantu orang tua mengembangkan cara untuk memahami dan mengarahkan perilaku anaknya.
4. Terapi Keluarga. Cara ini dapat membantu orangtua dan saudaranya untuk mengatasi stress hidup dengan orang dengan ADHD.
5. Pelatihan social skills. Ini akan membantu anak mempelajari perilaku sosial yang sesuai.
6. Kelompok Dukungan. Kelompok support dapat memberikan anak dengan ADHD dan orangtuanya jaringan dukungan sosial, informasi, dan pendidikan.
B. Terapi Perilaku
Terapi saling berbicara untuk anak dan keluarganya akan membantu semua pihak memahami dan mengatasi perasaan-perasaan tertekan karena ADHDnya. Orangtua sebaiknya menggunakan sistem reward dan hukuman untuk membantu angarahkan perilaku anaknya. Mempelajari bagaimana mengatasi perilaku disruptif sangatlah penting. Kelompok pendukung dapat membantu keluarga untuk berhubungan dengan orang lain yang memiliki masalah yang sama.
C. Terapi Gaya Hidup dan Penanganan di rumah
Karena ADHD merupakan gangguan yang kompleks, dan setiap orang dengan ADHD itu gejalanya unik, sulit memberikan anjuran yang tepat bagi tiap anak. Tetapi beberapa hal berikut mungkin dapat membantu.
1) Di Rumah
• Tunjukkan kasih sayang anda pada anak. Anak-anak perlu mendengar bahwa mereka dicintai dan dihargai. Hanya memperhatikan aspek-aspek negatif perilaku anak dapat merusak hubungan orangtua dan anak atau merusak rasa percaya diri dan harga diri anak. Jika anak sulit menerima tanda-tanda verbal rasa kasih sayang, berikan senyuman, tepuk pundaknya, atau peluk anak untuk menunjukkan kasih sayang. Puji perilaku yang baik.
• Bersabarlah. Tetap sabar dan tenang ketika menangani anak, walaupun sepertinya tidak dapat dikontrol. Jika orangtua tenang, anak akan menjadi lebih tenang.
• Jaga perspektif diri. Orangtua harus realisitis dalam pengharapan akan perbaikan kondisi anak.
• Kenali anak. Bermainlah bersama anak. Luangkan waktu dimana anak hanya bermain dengan orangtua, tanapa ada orang lain. Coba berikan perhatian positif daripada negatif.
• Jaga agar anak memiliki jadwal tidur dan makan yang tetap. Gunakan kalender yang besar untuk menandari aktivitas-aktivitas penting yang akan terjadi. Anak dengan ADHD mengalami kesulitan untuk menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan. Hindari transisi yang tiba-tiba dari satu aktivitas menjadi aktivitas lainnya.
• Pastikan anak beristirahat cukup. Anak yang tidak cukup istirahat akan menunjukkan gejala ADHD yang lebih buruk.
• Identifikasi situasi yang sulit. Coba hindari situasi yang sulit bagi anak anda, seperti duduk diam selama presentasi yang panjang atau berbelanja di Mall dan Supermarket dimana aneka ragam barang dapat membuatnya bingung.
• Gunakan timeout atau hilangkan priviledge untuk mendisiplinkan anak. Untuk anak dengan ADHD, timeout dari stimulasi sosial sangat efektif. Sebaiknya timeout dilakukan dengan waktu yang singkat, tetapi cukup lama bagi anak untuk mengontrol dirinya. Intinya adalah untuk memutuskan dan menghentikan perilaku yang tak terkontrol. Ini tidak selelalu dapat diterapkan, tetapi bagi banyak orang telah terbukti dapat membantu mengatasi perilaku anak yang impulsif atau overaktif.
• Bantu anak anda mengorganisir dan membuat sebuah buku tugas harian. Dan pastikan anak memiliki tempat yang tenagn untuk belajar. Kelompokkan barang-barang dalam kamar anak dan simpan dalam tempat-tempat yang ditandai dengan jelas. Jaga lingkungan anak tetap terorganisir dan rapi.
• Cari cara untuk memperbaiki rasa percaya diri dan rasa disiplin anak. Anak dengan ADHD seringkali berprestasi dalam membuat karya seni, les musik atau les menari, atau les bela diri, terutama karate atau tae kwon do. Tetapi jangan memaksa anak ke dalam aktivitas yang diluar kemampuannya. Beberapa kesuksesan kecil yang berturut-turut lebih membangun rasa percaya diri anak dari pada satu kesuksesan yang besar.
• Gunakan kata-kata yang singkat dan demonstrasikan ektika memberikan anak instruksi. Berbicaralah dengan perlahan dan tenang, bicaralah dengan spesifik dan konkret. Berikan instruksi satu demi satu. Hentikan anak dan lakukan kontak mata dengan anak sebelum dan selama memberikan instruksi.
• Orangtua juga harus beristirahat. Jika orangtua kelelahan dan stress, akan menjadi kurang efektif sebagai orangtua.
2) Di sekolah
• Tanyakan program sekolahnya.
Apakah ada program khusus disekolah tersebut untuk anak dengan ADHD. Ini dapat termasuk penyesuaian kurikulum, perubahan tata urang kelas, modifikasi teknik mengajar, instruksi keahlian belajar, serta peningkatan kerjasama antara orangtua dan guru.
• Orangtua perlu berbicara dengan guru.
Sebaiknya orangtua berkomunikasi dengan guru ankanya, dan mendukung usaha guru untuk menangani anak didalam kelas. Pastikan guru mengawasi belajar anak, dan memberikan umpanbalik positif, fleksibel dan sabar. Minta agar guru memberikan instruksi dan target yang jelas.
• Penggunaan komputer didalam kelas.
Anak dengan ADHD cenderung mengalami kesulitan menulis dan penggunaan komputer atau mesin ketik akan sangat membantu, berangkat dari tersebut orang tua perlu mendiskusikan hal ini juga dengan guru atau pihak sekolah.
3) Coping dan Dukungan
Mengasuh anak dengan ADHD merupakan tantangan bagi seluruh keluarganya. Orangtua mungkin akan tersakiti oleh perilaku anaknya dan bagaimana orang lain bereaksi terhadap perilaku anaknya. Stress menangani anak dengan ADHD dapat menekan pernikahannya. Belum lagi ditambah dengan beban keuangan yang ditangggung oleh karena ADHD. Saudara-saudara anak dengan ADHD juga mungkin mengalami kesulitan. Mereka dapat terpengaruh oleh saudaranya yang agresif atau menuntut tersebut, dan juga mungkin akan menerima perhatian yang lebih sedikit, karena anak dengan ADHD membutuhkan waktu dan perhatian yang lebih banyak dari orangtuanya.
• Teknik Coping
Banyak orangtua yang menyadari pola perilaku anaknya dan respons mereka terhadap perilaku mereka itu. Contohnya, anak mungkin akan menangis meraung-raung sebelum waktunya makan malan, dan orangtuanya akana memberikan cemilan agar anak itu diam sementara orangtua menyiapkan makanan. Ini secara tidak langsung mendorong anak untuk mengulang perilakunya. Merubah kebiasaan lama dengan yang baru memang sulit dan membutuhkan kerja keras. Jadi pastikan orangtua memiliki target dan pengharapan yang realisitis, sesuai dengan kemampuan fisik dan mental anak. Susun target-target kecil bagi orangtua dan anak, serta jangan mencoba nutuk membuat perubahan yang besar atau banyak sekaligus.
D. Terapi menggunakan musik
Wiebe (2007) dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa terapi musik dapat mengurangi perilaku repetitif pada anak-anak autis. Dengan mendengarkan musik anak autis merasa lebih tenang. Seorang ahli dari hasil penelitiannya memberikan rekomendasi bahwa terapi musik dan gerak dapat dikembangkan untuk formulasi strategi treatmen untuk anak-anak dengan ADHD (Jackson, 2003). Sedangkan Wheeler dan Stultz (2007) untuk membantu anak-anak dalam merespon musik tadi maka ditambahkan gerakan dengan menyanyi dan instrumen, sehingga anak-anak lebih trampil dalam merespon, lebih spontan dalam mengikuti irama dengan menggerak-gerakkan bagian tubuhnya. Pada anak-anak yang mengalami disability maka menunjukkan hasil bahwa terapi musik dan gerakan dapat membantu anak-anak belajar untuk mengatur diri dan dalam berhubungan dengan orang lain serta mengatur emosinya. Musik dan gerakan berpengaruh langsung ke otak dan berakibat ke proses kerja tubuh. Terapi musik dan gerak juga mampu mempengaruhi kondisi mental, sebab ada keterkaitan antara musik dengan emosi atau mental seseorang.
E. Terapi Bermain
Permainan adalah suatu bentuk penyesuaian diri manusia yang sangat berguna, menolong anak menguasai kecemasan dan konflik. Permainan dapat menjadi salah satu sarana yang dapat dilakukan untuk membantu anak mengembangkan hubungan sosial dan pembelajaran untuk memecahkan sebuah masalah. Pengembangan sosial, emosional, dan kemandirian dimaksudkan untuk membina anak agar dapat mengendalikan emosinya secara wajar dan dapat berinteraksi dengan baik dengan sesamanya maupun dengan orang dewasa serta dapat menolong dirinya sendiri dalam rangka kecakapan hidup. Permainan- permainan dapat bersifat teraupetik sehingga dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk menyembuhkan perilaku maladaptif bagi anak ADHD. Selain itu, terapi bermain juga diyakini dapat menyelesaikan kesulitan-kesulitan psikososial dan mendorong anak untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Di dalam sebuah permainan, anak akan diajak untuk berinteraksi dengan teman sepermainan dan juga dengan terapisnya. Anak akan diajak untuk menyelsaikan tugas hingga selesai, tidak mengambil sesuatu yang bukan miliknya, dan juga diajarkan untuk bisa sabar dalam menunggu antrian atau giliran dalam suatu kegiatan. Ada 5 jenis permainan sosialisasi yaitu:
1. Meluncur di tempat peluncuran
Tujuannya mengajarkan subjek untuk melaksanakan proses menaiki tangga dengan mematuhi peraturan dalam permainan ini. Disini subjek akan diajarkan untuk menunda kepuasan dengan sabar dalam menunggu sampai gilirannya meluncur.
2. Bermain ayunan
Salah satu tujuannya adalah melatih kemampuan kontrol diri dan bertanggung jawab akan keselamatan dirinya dan teman sepermainannya. Selain itu permainan ini juga dapat mengurangi situasi emosi subjek yang meningkat untuk segera bergantian bermain ayunan, emosi kesenangan yang meninggi ketika berayun, juga saat mengayunkan ayunan temannya.
3. Bermain puzzle atau bongkar pasang
Tujuannya adalah mengajarkan proses untuk memecahkan masalah. Dalam permainan puzzle subjek akan memasang dan melepas potongan-potongan gambar sehingga subjek tanpa sadar telah dilatih untuk berpikir kreatif dan subjek akan secara aktif mengembangkan kemampuannya membuat kesimpulan, memahami logika sebab-akibat dan gagasan bahwa objek yang utuh sebenarnya tersusun dari bagian-bagian yang kecil.
4. Melempar bola
Dalam permainan ini subjek secara bergantian akan memiliki kesempatan menerima dan melempar bola sebagai bentuk dari terjalinnya sebuah interaksi antar subjek. Salah satu tujuannya adalah subjek diajarkan untuk menunda kepuasan dengan bersabar menunggu giliran untuk melempar dan menangkap bola.
5. Estafet bola
Disini subjek akan diajarkan bekerja sama dengan teman-teman agar subjek bisa belajar berhati-hati dalam membawa bola agar bisa sampai ke subjek lainnya.
Kelima jenis permainan tersebut menurut penelitian dapat mengurangi periaku impulsif anak ADHD. Hal ini dikarenakan dalam permainan tersebut subjek diajarkan untuk sabar menunggu giliran melalui tahapan-tahapan dan langkah-langkah saat terapi permainan sosialisasi ini diterapkan kepada subjek.
2.6 Preventif
Sampai saat ini tidak ada cara mencegah ADHD. Tetapi ada cara untuk mencegah masalah yang mungkin ditimbulkannya, serta untuk memastikan bahwa sang anak akan sesehat mungkin. Baik itu sehat secara fisik, mental, ataupun emosional, yaitu:
• Hindari penggunaan apapun yang dapat mengganggu pertumbuhan fetus selama kehamilan. Jangan merokok, minum alkohol, ataupun menggunakan narkoba atau obat-obat yang dapat merusak janin.
• Lindungi anak dari paparan polutan dan toksin, termasuk asap rokok, bahan kimia untuk pertanian (pestisida, pupuk kimia) atau industru, dan cat yang mengandung Pb.
• Selalu konsisten. Buat batasan dan hukuman yang jelas untuk perilaku anak.
• Susun jadwal kegiatan rutin anak dengan tujuan yang jelas yang termasuk waktu tidur, kegiatan pagi hari, waktu makan, tugas-tugas sederhana dirumah dan waktu menonton TV.
• Hindari multitasking ketika berbicara dengan anak, lakukan kontak mata saat memberikan instruksi, dan berikan pujian pada anak setiap hari.
• Bekerjasama dengan guru dan pengasuh untuk mengidentifikasi masalah sedini mungkin.
• Jika anak memang memiliki ADHD atau kondisi lainnya yang mengganggu pembelajaran atau interaksi sosial, pengobatan dini dapat mengurangi efek dari kondisinya.
2.7 Komplikasi
ADHD dapat membuat anak-anak mengalami:
• Kesulitan belajar didalam kelas, yang dapat menyebabkan kegagalan akademik dan dihakimi oleh anak-anak lainnya dan orang dewasa.
• Cenderung untuk mengalami kecelakaan dan berbagai macam cedera lebih sering daripada anak lainnya.
• Lebih cenderung mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan teman dan orang dewasa.
• Lebih beresiko menyalahgunakan alkohol dan narkoba, serta tindakan-tindakan delinquent lainnya.
2.8 Prognosis
Perjalanan ADHD itu bervariasi, ada yang mengalami remisi dan menetap.
1) Persisten atau menetap. Pada 40-50% kasus, gejala akan persisten hingga masa remaja atau dewasa. Gejala akan lebih cenderung menetap jika terdapat riwayat keluarga, peristiwa negatif dalam hidupnya, komobiditas dengan gejala-gejala perilaku, depresi dan gangguan cemas. Dalam beberapa kasus, hiperaktivitasnya akan menghilang, tetapi tetap mengalami inatensi dan kesulitan mengontrol impuls (tidak hiperaktif, tetapi impulsif dan ceroboh). Anak ini rentan dengan penyalahgunaan alkohol dan narkoba, kegagalan disekolah, sulit mempertahankan pekerjaan, serta pelanggaran hukum.
2) Remisi. Pada 50% kasus, gejalanya akan meringan atau menghilang pada masa remaja atau dewasa muda. Biasanya remisi terjadi antara usia 12 hingga 20 tahun. Gejala yang pertama kali memudar adalah hiperaktivitas dan yang paling terakhir adalah distractibility.
a. Remisi total. Anak yang mengalami remisi total akan memiliki masa remaja dan dewasa yang produktif, hubungan interpersonal yang memuaskan, dan memiliki gejala sisa yang sedikit.
b. Remisi parsial. Pada masa dewasanya, anak dengan remisi parsial mudah menjadi antisosial, mengalami gangguan mood, sulit mempertahankan pekerjaan, mengalami kegagalan disekolah, melanggar hukum, dan menyalahgunakan alkohol dan narkoba.
Prognosa anak dengan ADHD tergantung dari derajat persistensi psikopatologi komorbidnya, terutama gangguan perilaku, disabilitas sosial, serta faktor-faktor keluarga. Prognosa yang optimal dapat didukung dengan cara memperbaiki fungsi sosial anak, mengurangi agresivitas anak, dan memperbaiki keadaan keluarganya secepat mungkin
DAFTAR PUSTAKA
Barbaresi W, Katusic S, Colligan R, et al. How common is attention-deficit/hyperactivity disorder? Towards resolution of the controversy: results from a population-based study. Acta Paediatr Suppl 2004; 93:55.
Barkley RA. Attention Deficit Hyperactivity Disorder: A Handbook for Diagnosis and Treatment. 2nd ed. New York, NY: Guilford Press; 1996
Bateman B, Warner JO, Hutchinson E, Dean T, Rowlandson P, Grant C, et al. The effects of a double blind, placebo controlled, artificial food colourings and benzoate preservative challenge on hyperactivity in a general population sample of preschool children. Archives of Disease in Childhood 2004;89(6):506-11.
Beauregard M, Levesque J. Functional magnetic resonance imaging investigation of the effects of neurofeedback training on the neural bases of selective attention and response inhibition in children with attention-deficit/hyperactivity disorder. Applied Psychophysiology & Biofeedback 2006;31(1):3-20.
Bilici M, Yildirim F, Kandil S, Bekarolu M, Yildirmi S, Deer O,et al. Double-blind, placebo-controlled study of zinc sulfate in the treatment of attention deficit hyperactivity disorder. Progress in Neuro-Psychopharmacology and Biological Psychiatry.2004;28(1):181-90.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC).Increasing prevalence of parent-reported attention-deficit/hyperactivity disorder among children --- United States, 2003 and 2007. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 2010; 59:1439.
Clayton EH, Hanstock TL, Garg ML, Hazell PL. Long chain omega-3 polyunsaturated fatty acids in the treatment of psychiatric illnesses in children and adolescents.Acta Neuropsychiatrica. 2007;19(2):92-103.
Coulter MK, Dean ME.Homeopathy for attention deficit/hyperactivity disorder or hyperkinetic disorder.Cochrane Database of Systematic Reviews. 2007(4):(CD005648).
Eric Taylor, Tim Kendall , Philip Asherson et al. 2008. Attention deficit hyperactivity disorder: Diagnosis and management of ADHD in children, young people and adults.
Faraone SV, Sergent J, Gillberg C, Biederman J. The worldwide prevalence of ADHD : is it an American condition?. World Psychiatry.2003 ; 2: 104-13.
Froehlich TE, Lanphear BP, Epstein JN, et al. Prevalence, recognition, and treatment of attention-deficit/hyperactivity disorder in a national sample of US children. Arch Pediatr Adolesc Med 2007; 161:857.
Green, M, Wong, M, Atkins, D, et al. Diagnosis of Attention Deficit/Hyperactivity Disorder: Technical Review 3. US Department of Health and Human Services, Agency for Health Care Policy and Research; Rockville, MD, 1999.
Hill P., Taylor, E. 2001. An auditable protocol for treating attentiondeficit/hyperactivity disorder. London UK. Arch Dis Child. 84: pp 404–409
Jackson, N. (2003). A Survey of Music Therapy Methods and Their Role in the Treatment of Early Elementary School Children with ADHD. Journal of Music Therapy. Proquest Education Journals: Temple University.
Khilnani S, Field T, Hernandez-Reif M, Schanberg S. Massage therapy improves mood and behavior of students with attentiondeficit/hyperactivity disorder. Adolescence 2003;38(152):623
Konofal E, Lecendreux M, Deron J, Marchand M, Cortese S, Zaim M, et al. Effects of iron supplementation on attention deficit hyperactivity disorder in children. Pediatr Neurol 2008;38(1):20-6.
McCann D, Barrett A, Cooper A, Crumpler D, Dalen L, Grimshaw K, et al. Food additives and hyperactive behaviourin 3-year-old and 8/9-year-old children in the community: a randomised, double-blind
Merikangas KR, He JP, Brody D, et al. Prevalence and treatment of mental disorders among US children in the 2001-2004 NHANES. Pediatrics 2010; 125:75.
Moore, David P. Eds. 2006. Little Black Book of Psychiatry.Jones and Bartlett Publishers. The 3rd Edition, pp: 45-48.
Moore. Kent L. Recent advances in the genetics off attention deficit hyperactivity disorder. Curr Psychiatry Res 2004; 6: 143.
Philip Asherson, Simon Bailey, Karen Bretherton et al. Diagnosis and management of ADHD in children, young people and adults. 2008
Pintov S, Hochman M, Livne A, Heyman E, Lahat E. Bach flowerremedies used for attention deficit hyperactivity disorder inchildren - a prospective double blind controlled study. European Journal of Paediatric Neurology 2005;9(6):395-8.
Pliszka S, AACAP Work Group on Quality Issues. Practice parameter for the assessment and treatment of children and adolescents with attention-deficit/hyperactivity disorder. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry 2007; 46:894.
Reiff MI, Banez GA, Culbert TP. Children who have attentional disorders: diagnosis and evaluation. Pediatr Rev. 1993;14:455–465
Wheeler, B.L. & Stultz, S. (2008). Using Typical Infant Development To Inform Music Therapy With Children With Disabilities. Early Childhood Education Journal.
Wiebe, J.E. (2007). ADHD The Classroom And Music: A.Case Study. Thesis. Saskatoon: Departement of Educational Psychology and Special EducationUniversity of Saskatchewan, Saskatoon.
dondayuniermawati- Posts : 3
Reputation : 0
Join date : 15.03.16
Similar topics
» komorbiditas ADHD
» TERAPI MEDIKA MENTOSA TERHADAP MORBIDITAS SKIZOFRENIA
» REFERAT TERAPI OKUPASI PADA PASIEN SKIZOFRENIA
» Efektivitas antiansietas dalam terapi gangguan depresi berat
» Referat ADHD
» TERAPI MEDIKA MENTOSA TERHADAP MORBIDITAS SKIZOFRENIA
» REFERAT TERAPI OKUPASI PADA PASIEN SKIZOFRENIA
» Efektivitas antiansietas dalam terapi gangguan depresi berat
» Referat ADHD
:: Tugas dan Presentasi :: Referat
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik