REFERAT TERAPI OKUPASI PADA PASIEN SKIZOFRENIA
:: Tugas dan Presentasi :: Referat
Halaman 1 dari 1
REFERAT TERAPI OKUPASI PADA PASIEN SKIZOFRENIA
BAB I
PENDAHULUAN
Okupasi yang diadaptasi dari suatu kata dalam Bahasa Inggris yaitu “occupation” umumnya dipandang sebagai berbagai aktivitas yang memiliki maksud dan tujuan yang unik dalam kehidupan seseorang. Okupasi, yang dalam Bahasa Indonesia maknanya sepadan dengan “pekerjaan”, juga merupakan pokok pada identitas dan kompetensi seseorang, dan yang mempengaruhi bagaimana seseorang mempergunakan waktunya serta bagaimana ia membuat keputusan. Bahkan okupasi (occupation) telah didefinisikan oleh Law, Polatajko, Baptiste, dan Townsend (1997) sebagai berikut:
“Activities.....of everyday life, named, organized, and given value and meaning by individuals and culture. Occupations is everything people do to occupy themselves, including looking after themselves.....enjoying life.....and contributing to the social and economic fabric of their communities.....”
Terapi okupasi pertama kali dikembangkan dan diterapkan oleh Philippine Pinel pada abad ke-19 di sebuah rumah sakit jiwa di Paris. Dengan pekerjaan, pasien penyakit jiwa akan dapat dikembalikan ke arah hidup yang normal, bahkan bisa kembali seperti sebelum sakit. Adolf Meyer (1892), seorang psikiater di Amerika, melakukan upaya secara terstruktur dimana pasien neuro-psikiatrik diberikan aktivitas yang berguna ternyata menjadi dasar terapi okupasi. Meyer telah menyusun suatu dasar sistematis penggunaan aktivitas sebagai terapi.
Pada umumnya orang mengetahui tugas Ot adalah memberikan aktivitas motorik halus padahal area yang dikerjakan OT sangat luas dan sekarang untuk OT di negara maju seperti Amerika dan Canada sudah menjurus pada bidang sub spesialis pada area tertentu misalnya khusus pada bidang sensory integration, memory training, social skills training, dll. Secara umum OT adalah salah satu profesi kesehatan yang membantu individu dengan gangguan fisik, mental dan atau sosial dengan menggunakan berbagai macam aktivitas terapeutik yang telah diprogram dan diadaptasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anak untuk meningkatkan performa anak dalam hal aktivitas yang bersifat produktif baik di rumah maupun di sekolah seperti ketrampilan menulis, membaca, dll, aktivitas bantu diri (self care) seperti mandi, berpakaian, makan, minum, memakai sepatu, dll serta meningkatkan kemampuan bermain (play and leisure) dan interaksi sosial.
Pengertian aktivitas yang bersifat terapeutik adalah aktivitas yang memang telah dianalisis secara mendalam sehingga memiliki dampak terapeutik untuk meningkatkan performa anak dalam 3 area intervensi diatas yaitu area produktivitas (productivity), ketrampilan bantu diri/merawat dirinya sendiri (self care) dan aktivitas rekreasi anak yaitu bermain. Ketiga area tersebut adalah domain yang sangat esensial bagi anak untuk dapat berpartisipasi secara optimal dalam aktivitas kesehariannya baik di rumah, sekolah dan di masyarakat.
Skizofrenia merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai oleh psikopatologi yang disruptif dan melibatkan aspek kognisi, persepsi dan aspek lain perilaku. Ekspresi dari manifestasi penyakit ini bervariasi diantara pasien tetapi efeknya selalu berat dan bertahan dalam jangka waktu yang lama. Skizofrenia mengenai segala lapisan kelas dan umumnya muncul pada usia kurang dari 25 tahun, lalu selanjutnya menetap sepanjang hidup. Meskipun didiagnosis sebagai penyakit tunggal, skizofrenia mungkin terdiri atas suatu kumpulan gangguan dengan etiologi beragam, dan bervariasi dalam manifestasi klinis, respons pengobatan dan perjalanan penyakitnya.
Data epidemiologis menunjukkan bahwa di Amerika Serikat prevalensi skizofrenia adalah 1%, pada studi lain didapatkan rentang yang tidak jauh berbeda yaitu 0,6-1,9 %. Skizofrenia ditemukan pada semua lapisan masyarakat dan area geografis, prevalensi maupun insidensinya secara kasar sama di seluruh dunia. Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan mengatakan bahwa jumlah penderita gangguan kesehatan jiwa di masyarakat sangat tinggi, yakni satu dari empat penduduk Indonesia menderita kelainan jiwa rasa cemas, depresi, stress, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja sampai skizofrenia. Di era globalisasi gangguan kejiwaan meningkat sebagai contoh penderita tidak hanya dari kalangan kelasa bawah, sekarang kalangan pejabat dan masyarakat lapisan menengah ke atas juga terkena gangguan jiwa (Sutatminingsih, Raras. 2002). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RisKesDas) 2007 disebutkan, rata-rata nasional gangguan mental emosional ringan, seperti cemas dan depresi pada penduduk berusia 15 tahun ke atas mencapai 11,6%, dengan angka tertinggi terjadi di Jawa Barat, sebesar 20%. Sedangkan yang mengalami gangguan mental berat, seperti psikotis, skizofrenia, dan gangguan depresi berat, sebesar 0,46%. (Anonim, Depkes RI).
Jadi, dengan pekerjaan maka seseorang akan dapat “menikmati hidup”, dimana pekerjaan dapat mengalihkan perhatian atau pikiran seseorang dari hal-hal yang kurang menyenangkan, sehingga menjadi segar kembali untuk memikirkan hal-hal yang lain. Dengan pekerjaan, seseorang juga akan memberi kontribusi terhadap struktur sosial dan ekonomi komunitasnya sehingga dia menjadi lebih nyaman berada ditengah-tengah komunitas itu dan akan memudahkan adaptasi dengan lingkungannya. Secara fisik, pekerjaan membuat seseorang akan menggerakkan seluruh otot tubuhnya, sehingga tubuhnya akan tetap sehat. Dari semua hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa perkerjaan sangat bermanfaat bagi perkembangan fisik dan jiwa seseorang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Skizofrenia
Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu skizo yang artinya retak atau pecah, dan frenia yang artinya jiwa, dengan demikian, seseorang yang menderita skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakkan kepribadian (Hawari, 2003).
Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi individu, termasuk berfikir dan berkomunikasi, menerima dan menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukan emosi serta berperilaku dengan sikap yang tidak dapat diterima secara sosial (Isaacs, 2005).
2.2 Etiologi Skizofrenia
Hingga sekarang belum ditemukan penyebab (etiologi) yang pasti mengapa seseorang menderita skizofrenia, padahal orang lain tidak.Ternyata dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan tidak ditemukan faktor tunggal. Penyebab skizofrenia menurut penelitian mutakhir antara lain : (Yosep, 2010)
• Faktor genetik;
• Virus;
• Autoantibodi;
• Malnutrisi.
Dari penelitian diperoleh gambaran sebagai berikut : (Yosep, 2010)
1) Studi terhadap keluarga menyebutkan pada orang tua 5,6%, saudara kandung 10,1%; anak-anak 12,8%; dan penduduk secara keseluruhan 0,9%.
2) Studi terhadap orang kembar (twin) menyebutkan pada kembar identik 59,20%; sedangkan kembar fraternal 15,2%. Penelitian lain menyebutkan bahwa gangguan pada perkembangan otak janin juga mempunyai peran bagi timbulnya skizofrenia kelak dikemudian hari. Gangguan ini muncul, misalnya, karena kekurangan gizi, infeksi, trauma, toksin dan kelainan hormonal. Penelitian mutakhir menyebutkan bahwa meskipuna ada gen yang abnormal, skizofrenia tidak akan muncul kecuali disertai faktor-faktor lainnya yang disebut epigenetik faktor. Skizofrenia muncul bila terjadi interaksi antara abnormal gen dengan : (Yosep, 2010)
a. Virus atau infeksi lain selama kehamilan yang dapat menganggu perkembangan otak janin;
b. Menurunnya autoimun yang mungkin disebabkan infeksi selama kehamilan;
c. Komplikasi kandungan; dan
d. Kekurangan gizi yang cukup berat, terutama pada trimester kehamilan.
Seseorang yang sudah mempunyai faktor epigenetik tersebut, bila mengalami stresor psikososial dalam kehidupannya, maka risikonya lebih besar untuk menderita skizofrenia dari pada orang yang tidak ada faktor epigenetik sebelumnya. (Yosep, 2010)
2.3 Penegakkan diagnosis
Pedoman Diagnostik Skizofrenia menurut PPDGJ-III, adalah sebagai berikut (Maslim, 2003).:
- Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a. “thought echo”, yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda atau “thought insertion or withdrawal” yang merupakan isi yang asing dan luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan “thought broadcasting”, yaitu isi pikiranya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya;
b. “delusion of control”, adalah waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar atau “delusion of passivitiy” merupaka waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” diartikan secara jelas merujuk kepergerakan tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus), atau “delusional perception”yang merupakan pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
c. Halusinasi auditorik yang didefinisikan dalam 3 kondisi dibawah ini:
• Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien, atau
• Mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau
• Jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dan dunia lain).
e. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :
• Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau berbulan-bulan terus menerus;
• Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
• Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;
• Gejala-gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
e. Adanya gejala-gejala khas di atas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik (prodromal)
f. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.
Adapun kriteria diagnosis skizofrenia menurut DSM IV adalah (Tomb, 2003):
• Berlangsung minimal dalam enam bulan
• Penurunan fungsi yang cukup bermakna di bidang pekerjaan, hubungan interpersonal, dan fungsi dalam mendukung diri sendiri
• Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama berlangsungnya sebagian dari periode tersebut
• Tidak ditemui dengan gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif, gangguan mood mayor, autisme, atau gangguan organik.
2.4 Jenis-jenis skizofrenia
Kraepelin membagi skizofrenia menjadi beberapa jenis. Penderita digolongkan ke dalam salah satu jenis menurut gejala utama yang terdapat padanya. Akan tetapi batas-batas golongan-golongan ini tidak jelas, gejala-gejala dapat berganti-ganti atau mungkin seorang penderita tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu jenis. Pembagiannya sebagai berikut :(Maramis, 2009). Gejala klinis skizofrenia secara umum dan menyeluruh telah diuraikan di muka, dalam PPDGJ III skizofrenia dibagi lagi dalam 9 tipe atau kelompok yang mempunyai spesifikasi masing-masing, yang kriterianya di dominasi dengan hal-hal sebagai berikut :
Skizofrenia paranoid
Skizofrenia paranoid agak berlainan dari jenis-jenis yang lain dalam jalannya penyakit. Skizofrenia hebefrenik dan katatonik sering lama kelamaan menunjukkan gejala-gejala skizofrenia simplex, atau gejala-gejala hebefrenik dan katatonik bercampuran. Skizofrenia paranoid memiliki perkembangan gejala yang konstan. Gejala-gejala yang mencolok adalah waham primer, disertai dengan waham-waham sekunder dan halusinasi. Pemeriksaan secara lebih teliti juga didapatkan gangguan proses pikir, gangguan afek, dan emosi.
Jenis skizofrenia ini sering mulai sesudah umur 30 tahun. Permulaannya mungkin subakut, tetapi mungkin juga akut. Kepribadian penderita sebelum sakit sering dapat digolongkan skizoid, mudah tersinggung, suka menyendiri dan kurang percaya pada orang lain.Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia paranoid dapat didiganosis apabila terdapat butir-butir berikut :
• Memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia
• Sebagai tambahan :
o Halusinasi dan atau waham harus menonjol :
Suara-suara halusinasi satu atau lebih yang saling berkomentar tentang diri pasien, yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit, mendengung, atau bunyi tawa.
Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain perasaan tubuh halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.
Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau “Passivity” (delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas.
o Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejalakatatonik secara relatif tidak nyata / tidak menonjol.
Pasien skizofrenik paranoid memiliki karakteristik berupa preokupasi satu atau lebih delusi atau sering berhalusinasi. Biasanya gejala pertama kali muncul pada usia lebih tua daripada pasien skizofrenik hebefrenik atau katatonik. Kekuatan ego pada pasien skizofrenia paranoid cenderung lebih besar dari pasien katatonik dan hebefrenik. Pasien skizofrenik paranoid menunjukkan regresi yang lambat dari kemampuan mentalnya, respon emosional, dan perilakunya dibandingkan tipe skizofrenik lain.
Pasien skizofrenik paranoid biasanya bersikap tegang, pencuriga, berhati-hati, dan tak ramah.Mereka juga dapat bersifat bermusuhan atau agresif.Pasien skizofrenik paranoid kadang-kadang dapat menempatkan diri mereka secara adekuat didalam situasi sosial.Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh gangguan psikosis mereka dan cenderung tetap intak.
Skizofrenia Hebefrenik
Permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang mencolok adalah gangguan proses berpikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi atau double personality. Gangguan psikomotor seperti mannerism, neologisme atau perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada skizofrenia heberfenik. Waham dan halusinasi banyak sekali.
Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia hebefrenik dapat didiganosis apabila terdapat butir-butir berikut Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
• Diagnosis hebefrenikbiasanya ditegakkan pada usia remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun)..
• Untuk diagnosis hebefrenik yang menyakinkan umumnya diperlukan pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan :
o Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan;
o Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied), senyum sendirir (self-absorbed smiling), atau oleh sikap, tinggi hati (lofty manner), tertawa menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau (pranks), keluhan hipokondrial, dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated phrases);
o Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu (rambling) serta inkoheren.
o Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol (fleeting and fragmentary delusions and hallucinations). Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination) hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of purpose). Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien.
Menurut DSM-IV skizofrenia disebut sebagai skizofrenia tipe terdisorganisasi.
Skizofrenia Katatonik
Timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun, dan biasanya akut serta sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh-gelisah katatonik atau stupor katatonik. Stupor katatonik yaitu penderita tidak menunjukkan perhatian sama sekali terhadap lingkungannya. Gejala paling penting adalah gejala psikomotor seperti:
1. Mutisme, kadang-kadang dengan mata tertutup
2. Muka tanpa mimik, seperti topeng
3. Stupor, penderita tidak bergerak sama sekali untuk waktu yang lama, beberapa hari, bahkan kadang sampai beberapa bulan.
4. Bila diganti posisinya penderita menentang : negativisme
5. Makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga berkumpul dalam mulut dan meleleh keluar, air seni dan feses ditahan
6. Terdapat grimas dan katalepsi
Secara tiba-tiba atau pelan-pelan penderita keluar dari keadaan stupor ini dan mulai berbicara dan bergerak. Gaduh gelisah katatonik adalah terdapat hiperaktivitas motorik, tetapi tidak disertai dengan emosi yang semestinya dan tidak dipengaruhi rangsangan dari luar.
Penderita terus berbicara atau bergerak saja, menunjukan stereotipi, manerisme, grimas dan neologisme, tidak dapat tidur, tidak makan dan minum sehingga mungkin terjadi dehidrasi atau kolaps dan kadang-kadang kematian (karena kehabisan tenaga dan terlebih bila terdapat juga penyakit lain seperti jantung, paru, dan sebagainya)
Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia katatonik dapat didiganosis apabila terdapat butir-butir berikut :
• Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.
• Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya :
o Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara):
o Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
o Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh);
o Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakkan kearah yang berlawanan);
o Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya menggerakkan dirinya);
o Fleksibilitas cerea / ”waxy flexibility” (mempertahankan anggota gerak dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
o Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan secara otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat.
o Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain.
o Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk diagnostik untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif.
Pasien dengan skizofrenia katatonik biasanya bermanifestasi salah satu dari dua bentuk skizofrenia katatonik, yaitu stupor katatonik dan excited katatatonik. Pada katatonik stupor, pasien akan terlihat diam dalam postur tertentu (postur berdoa, membentuk bola), tidak melakukan gerakan spontan, hampir tidak bereaksi sama sekali dengan lingkungan sekitar bahkan pada saat defekasi maupun buang air kecil, air liur biasanya mengalir dari ujung mulut pasien karena tidak ada gerakan mulut, bila diberi makan melalui mulut akan tetap berada di rongga mulut karena tidak adanya gerakan mengunyah, pasien tidak berbicara berhari-hari, bila anggota badan pasien dicoba digerakkan pasien seperti lilin mengikuti posisi yang dibentuk, kemudian secara perlahan kembali lagi ke posisi awal. Bisa juga didapati pasien menyendiri di sudut ruangan dalam posisi berdoa dan berguman sangat halus berulang-ulang.
Pasien dengan excited katatonik, melakukan gerakan yang tanpa tujuan, stereotipik dengan impulsivitas yang ekstrim. Pasien berteriak, meraung, membenturkan sisi badannya berulang ulang, melompat, mondar mandir maju mundur.Pasien dapat menyerang orang disekitarnya secara tiba-tiba tanpa alasan lalu kembali ke sudut ruangan, pasien biasanya meneriakka kata atau frase yang aneh berulang-ulang dengan suara yang keras, meraung, atau berceramah seperti pemuka agama atau pejabat.Pasien hampir tidak pernah berinteraksi dengan lingkungan sekitar, biasanya asik sendiri dengan kegiatannya di sudut ruangan, atau di kolong tempat tidurnya.
Walaupun pasien skizofrenia katatonik hanya memunculkan salah satu dari kedua diatas, pada kebanyakan kasus gejala tersebut bisa bergantian pada pasien yang dalam waktu dan frekuensi yang tidak dapat diprediksi.Seorang pasien dengan stupor katatonik dapat secara tiba-tiba berteriak, meloncat dari tempat tidurnya, lalu membantingkan badannya ke dinding, dan akhirnya dalam waktu kurang dari satu jam kemudian kembali lagi ke posisi stupornya.
Selama stupor atau excited katatonik, pasien skizofrenik memerlukan pengawasan yang ketat untuk menghindari pasien melukai dirinya sendiri atau orang lain. Perawatan medis mungkin ddiperlukan karena adanya malnutrisi, kelelahan, hiperpireksia, atau cedera yang disebabkan oleh dirinya sendiri.
Skizofrenia Simplex
Sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama pada jenis simplex adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya sulit ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini timbulnya perlahan-lahan sekali. Permulaan gejala mungkin penderita mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari pergaulan.
Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia katatonik dapat didiganosis apabila terdapat butir-butir berikut :
• Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari :
o Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik, dandisertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.
o Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia lainnya.
Skizofrenia simpleks sering timbul pertama kali pada masa pubertas.Gejala utama pada jenis simpleks adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat.Jenis ini timbulnya perlahan-lahan sekali.Pada permulaan mungkin penderita mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia makin mundur dalam pekerjaan atau pelajaran dan akhirnya menjadi pengangguran, dan bila tidak ada orang yang menolongnya ia mungkin akan menjadi pengemis, pelacur, atau penjahat.
Skizofrenia residual
Jenis ini adalah keadaan kronis dari skizofrenia dengan riwayat sedikitnya satu episode psikotik yang jelas dan gejala-gejala berkembang ke arah gejala negatif yang lebuh menonjol. Gejala negatif terdiri dari kelambatan psikomotor, penurunan aktivitas, penumpula afek, pasif dan tidak ada inisiatif, kemiskinan pembicaraan, ekspresi nonverbal yang menurun, serta buruknya perawatan diri dan fungsi sosial.
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi semua :
• Gejala “negative” dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk;
• Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofenia;
• Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom “negative” dari skizofrenia;
• Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain, depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negative tersebut.
Menurut DSM IV, tipe residual ditandai oleh bukti-bukti yang terus menerus adanya gangguan skizofrenik, tanpa adanya kumpulan lengkap gejala aktif atau gejala yang cukup untuk memenuhi tipe lain skizofrenia.Penumpulan emosional, penarikan social, perilaku eksentrik, pikiran yang tidak logis, dan pengenduran asosiasi ringan adalah sering ditemukan pada tipe residual.Jika waham atau halusinasi ditemukan maka hal tersebut tidak menonjol dan tidak disertai afek yang kuat.
Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated).
Seringkali pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah dimasukkan kedalam salah satu tipe.PPDGJ mengklasifikasikan pasien tersebut sebagai tipe tidak terinci. Kriteria diagnostic menurut PPDGJ III yaitu:
• Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
• Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau katatonik.
• Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca skizofrenia.
Depresi Pasca-Skizofrenia
Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :
• Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria diagnosis umum skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
• Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya); dan
• Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling sedikit kriteria untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu.
• Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis menjadi episode depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai.
Skizofrenia lainnya
• Bouffe Delirante (acute delusional psychosis)
Konsep diagnosis skizofrenia dengan gejala akut yang kurang dari 3 bulan, kriteria diagnosisnya sama dengan DSM-IV-TR. 40% dari pasien yang didiagnosa dengan bouffe delirante akan progresif dan akhirnya diklasifikasikan sebagai pasien skizofren
• Oneiroid
Pasien dengan keadaan terperangkap dalam dunia mimpi, biasanya mengalami disorientasi waktu dan tempat.Istilah oneiroid digunakan pada pasien yang terperangkap dalam pengalaman halusinasinya dan mengesampingkan keterlibatan dunia nyata.
• Early onset schizophrenia
Skizofrenia yang gejalanya muncul pada usia anak-anak. Perlu dibedakan dengan retardasi mental dan autisme
• Late onset schizophrenia
Skizofrenia yang terjadi pada usia lanjut (>45 tahun). Lebih sering terjadi pada wanita dan pasien-pasien dengan gejala paranoid.
A. Pengertian Terapi Okupasi
Pekerjaan atau okupasi sejak dulu kala telah dikenal sebagai sesuatu untuk mempertahankan hidup atau survival, dan juga diketahui sebagai sumber kesenangan. Dengan bekerja seseorang akan menggunakan otot-otot dan pikirannya, misalnya dengan melakukan permainan (game), latihan gerak badan, kerajinan tangan dan lain-lain, di mana hal ini akan memengaruhi kesehatannya juga.
Pada tahun 2600 SM orang-orang di Cina berpendapat bahwa penyakit timbul karena ketidakaktifan organ tubuh. Socrates dan Plato (400 SM) mempercayai adanya hubungan yang erat antara tubuh dengan jiwa. Hypoocrates selalu menganjurkan pasiennya untuk melakukan latihan gerak badan sebagai salah satu cara pengobat pasiennya. Di Mesir dan Yunani (2000 SM) dijelaskan bahwa rekreasi dan permainan adalah salah suatu media terapi yang ampuh, misalnya menari, bermain musik, bermain boneka untuk anak-anak, dan bermain bola. Pekerjaan diketahui sangat bermanfaat bagi perkembangan jiwa maupun fisik manusia.
Socrates berkata bahwa seseorang harus membiasakan dini dengan selalu bekerja secara sadar dan jangan bermalas-malasan. Pekerjaan dapat juga digunakan sebagi pengalihan perhatian atau pikiran sehingga menjadi segar kembali untuk memikirkan hal-hal yang lain. Dengan okupasi/ pekerjaan, pasien jiwa akan dikembalikan ke arah hidup yang normal dan dapat meningkatkan minatnya sekaligus memelihara dan mempraktikkan keahlian yang dimilikinya sebelum sakit sehingga dia akan tetap sebagai seseorang yang produktif.
Pada tahun 1982, Adolf Meyer melaporkan bahwa penggunaan waktu dengan baik yaitu dengan melakukan aktivitas yang berguna ternyata merupakan suatu dasar terapi pasien neuripsikiatrik. Meyer adalah seorang psikiater. lstrinya adalah seorang pekerja sosial dan mulai menyusun suatu dasar yang sistematis tentang penggunaan aktivitas sebagai program terapi pasien jiwa. Masih banyak lagi ahli-ahli terkenal yang berjasa dalam pengembangan okupasiterapi sebagai salah satu terapi khususnya untuk pasien mental. Risetpun masih tetap dilakukan guna lebih mengefektitkan penggunaan okupasiterapi untuk terapi pasien mental.
Terapi okupasi berasal dan kata Occupational Therapy. Occupational berarti suatu pekerjaan, therapy berarti pengobatan. Jadi, Terapi Okupasi adalah perpaduan antara seni dan ilmu pengetahuan untuk mengarahkan penderita kepada aktivitas selektif, agar kesehatan dapat ditingkatkan dan dipertahankan, serta mencegah kecacatan melalui kegiatan dan kesibukan kerja untuk pendenita cacat mental maupun fisik. (American Occupational Therapist Association). Tenapis okupasi membantu individu yang mengalami gangguan dalam fungsi motorik, sensorik, kognitif juga fungsi sosial yang menyebabkan individu tersebut mengalami hambatan dalam melakukan aktivitas perawatan diri, aktivitas produktivitas, dan dalam aktivitas untuk mengisi waktu luang. Tujuan dan pelatihan Terapi okupasi itu sendiri adalah untuk mengembalikan fungsi penderita semaksimal mungkin, dan kondisi abnormal ke normal yang dikerahkan pada kecacatan fisik maupun mental, dengan memberikan aktivitas yang terencana dengan memperhatikan kondisi penderita sehingga penderita diharapkan dapat mandiri di dalam keluarga maupun masyarakat.
Intervensi yang diberikan menggunakan modalitas aktivitas yang tdah dianalisis dan diadaptasi yang kemudian diprogramkan untuk anak sesuai dengan kebutuhan khususnya. Secara garis besar intenvensi difokuskan pada hal-hal berikut.
1. Kemampuan (abilities)
a. Keseimbangan dan reaksi postur (balance and postural reactions).
b. Peregangan otot dan kekuatan otot (muscle tone and muscle strength).
c. Kesadaran anggota tubuh (body awareness).
d. Kemampuan keterampilan motorik halus (fine motor skill) seperti memegang/melepas, keterampilan manipulasi gerak jari, misal penggunaan pensil, gunting, keterampilan menulis, dan lain-lain.
e. Kemampuan keterampilan motorik kasar (gross motor shill) seperti lari, lompat, naik-turun tangga jongkok jalan dan lain-lain.
f. Mengenal bentuk, mengingat bentuk (visual perception).
g. Merespon stimuli, membedakan input sensori (sensory integration).
h. Perilaku termasuk level kesadaran, atensi, problem solving skill, dan lain- lain
2. Keterampilan (skill)
a. AktivitaS sehari-hari (activity daily living) seperti makan, minum, berpakaian mandi, dan lain-lain.
b. Pre-academic skill.
c. Keterampilafl sosial.
d. Keterampilan bermain.
3. Faktor Lingkungan
a. Lingkungan fisik.
b. Situasi keluarga.
c. Dukungan dan komunitas.
4. Okupasi Terapis sebagai Konsultan
Okupasi terapis sebagai konsultan pada area berikut ini:
a. Program intervensi awal.
b. Pengaturan rumah, sekolah, dan area bermain.
c. Lingkungan dan adaptasi mainan atau media belajar.
d. Alat bantu.
e. Strategi perilaku.
Untuk mencapai tujuan tersebut di dalam terapi okupasi memiliki dua prinsip kerja, yaitu sebagai berikut.
a. Supportive Occupatinal Therapy, yaitu menolong penderita untuk menghilangkan dan perasaan cemas, takut, dan memotivasi penderita untuk lebih giat didalam melakukan latihan.
b. Fungsional Occupational Therapy, antara lain untuk pengaturan posisi (bagi anak Cerebral Palsy), meningkatkan kekuatan otot dan daya tahan kerja, meningkatkan motorik kasar (gross motor) maupun motorik halus, (fine motor) serta meningkatkan konsentrasi dan kooordinasi gerak maupun sikap.
B. Pelaksanaan/Dimulainya Terapi Okupasi
Sebaiknya terapi okupasi dilakukan sedini mungkin, sejak penderita dirujuk oleh dokter. Sebelum penderita mulai latihan, perlu diberikan evaluasi awal dengan dilakukan observasi dan tes sederhana. Dalam evaluasi awal ini, hal yang harus diperhatikan adalah catatan medik dan dokter, macam kecacatan (Cerebral Palsy atau Retradasi Mental), berat ringannya kecacatan, kecerdasan, kebutuhan dan penderita itu sendiri dan hal-hal yang harus dijauhi/dihindarkan untuk segi keamanan penderita.
Evaluasi awal ini sangat berguna untuk menentukan aktivitas yang akan diberikan, agar sesual dengan kondisi dan kebutuhan penderita itu sendiri. Aktivitas yang diberikan di bagian terapi okupasi adalah sebagai berikut.
1. Aktivitas kehidupan sehari-hari/ADL. Aktivitas mi dibenikan agar pendenita dapat mandini tanpa tergantung orang lain.
2. Aktivitas bermain. Bermain mi diharapkan untuk dapat memperbaiki konsentrasi, koordinasi, motonik serta menumbuhkan bakat, hobi, minat, serta kesenangan.
3. Seni dan hasta karya. Untuk membenikan kesempatan pada penderita dalam mencapai suatu hasil yang maksimal, yang mengandung unsur-unsur kedewasaan dan kerumah tangga yang isesuaikan dengan kapasitas penderita.
Terapis di dalam memberikan suatu latihan harus bersikap sabar, ramah, dan dituntut untuk kreatif, selain itu, tidak kalah pentingnya juga peran serta onang tua dalam proses latihan. Pada hal ini diharapkan terapis dapat memberikan masukan-masukan kepada orang tua penderita untuk berlatih di rumah.
C. Perbedaan Terapi Okupasi dan Rehabilitasi Medis
Terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi seseorang untuk melaksanakan suatu tugas tertentu yang telah ditentukan dengan maksud untuk memperbaiki, memperkuat, dan meningkatkan kemampuan, serta mempermudah belajar keahlian atau fungsi yang dibutuhkan dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Selain itu, juga untuk meningkatkan produktivitas, mengurangi dan/atau memperbaiki ketidaknormalan (kecacatan), serta memelihara atau meningkatkan derajat kesehatan. Terapi okupasi lebih dititikberatkan pada pengen kemampuan yang masih ada pada seseorang, kemudian memelihara atau meningkatkannya sehingga dia mampu mengatasi masalah-masalah yang diharapkannya.
Terapi okupasi menggunakan okupasi (pekerjaan atau kegiatan) sebagai media. Tugas pekerjaan atau kegiatan yang dipilihkan adalah berdasarkan pemilihan terapis disesuaikan dengan tujuan terapis itu sendiri. Jadi, bukan hanya sekedar kegiatan untuk membuat seseorang sibuk. Tujuan utama terapi okupasi adalah membentuk seseorang agar mampu berdiri sendiri tanpa menggantungkan diri pada pertolongan orang lain. Rehabilitasi adalah suatu usaha yang terkoordinasi yang terdiri atas usaha medis, sosial, edukasional, dan vokasional, untuk melatih kembali seseorang untuk mencapai kemampuan fungsional pada taraf setinggi mungkin. Sementara itu, rehabilitasi medis adalah usaha-usaha yang dilakukan secara medis khususnya untuk mengurangi invaliditas atau mencegah memburuknya invaliditas yang ada.
D. Fungsi dan Tujuan Terapi Okupasi
Terapi okupasi adalah terapan medis yang terarah bagi pasien fisik maupun mental dengan menggunakan aktivitas sebagai media terapi dalam rangka memulihkan kembali fungsi seseorang sehingga dia dapat mandiri semaksimal mungkin. Aktivitas tersebut adalah berbagai macam kegiatan yang direncanakan dan disesuaikan dengan tujuan terapi. Pasien yang dikirimkan oleh dokter, untuk mendapatkan terapi okupasi adalah dengan maksud sebagai berikut.
1. Terapi khusus untuk pasien mental/jiwa.
2. Menciptakan suatu kondisi tertentu sehingga pasien dapat mengembangkan kemampuannya untuk dapat berhubungan dengan orang lain dan masyarakat sekitarnya.
3. Membantu dalam melampiaskan gerakan-gerakan emosi secara wajar dan produktif.
4. Membantu menemukan kernampuan kerja yang sesuai dengan bakat dan keadaannya.
5. Membantu dalam pengumpulan data guna penegakan diagnosis dan penetapan terapi lainnya.
6. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan ruang gerak sendi, kekuatan otot, dan koordinasi gerakan.
7. Mengajarkan aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan, herpakaian belajar menggunakan fasilitas umum (telepon, televisi, dan lain-lain), baik dengan maupun tanpa alat bantu, mandi yang bersih, dan lain-lain.
8. Membantu pasien untuk menyesuaikan din dengan pekerjaan rutin di rumahnya dan memberi saran penyederhanaan (siplifikasi) ruangan maupun letak alat-alat kebutuhan sehari-hari.
9. Meningkatkan toleransi kerja, memelihara, dan meningkatkan kemampuan yang masih ada.
10. Menyediakan berbagai macam kegiatan untuk dijajaki oleh pasien sebagai lai dalam pre-cocational training. Berdasarkan aktivitas ini akan dapat diketahui kemampuan mental dan fisik, kebiasaan kerja, sosialisasi, minat, potensi dan lainnya dan si pasien dalam mengarahkannya pada pekerjaan yang tepat dalam latihan kerja.
11. Membantu penderita untuk menerima kenyatan dan menggunakan waktu selama masa rawat dengan berguna.
12. Mengarahkan minat dan hobi agar dapat digunakan setelah kembali ke keluarga.
Program terapi okupasi adalah bagian dan pelayanan medis untuk tujuan rehabilitasi total seorang pasien melalui kerja sama dengan petugas lain di rumah sakit. Dalam pelaksanaan terapi okupasi kelihatannya akan banyak overlapping dengan terapi lainnya sehingga dibutuhkan adanya kerja sama yang terkoordinir dan terpadu
E. Peranan Terapi Okupasi / Pekerjaan dalam Pengobatan
Aktivitas dipercayai sebagai jembatan antara batin dan dunia luar. Melalui aktivitas manusia dihubungkan dengan lingkungan, kemudian mempelajarinya, mencoba keterampilan atau pengetahuan, mengekspresikan perasaan, memenuhi kebutuhan fisik maupun emosi, mengembangkan kemampuan. dan sebagai alat untuk mencapai tujuan hidup. Potensi tersebutlah yang digunakan sebagai dasar dalam pelaksanaan terapi okupasi, baik bagi penderita fisik maupun mental.
Aktivitas dalam terapi okupasi digunakan sebagai media baik untuk evaluasi, diagnosis. terapi. maupun rehabilitasi. Dengan mengamati dan mengevaluasi pasien saat mengerjakan suatu aktivitas dan menilai hasil pekerjaan dapat ditentukan arah terapi dan rehabilitasi selanjutnya dan pasien tersebut. Penting untuk diingat bahwa aktivitas dalam terapi okupasi tidak untuk menyembuhkan, tetapi hanya sebagai media. Diskusi yang terarah setelah penvelesaian suatu aktivitas adalah sangat penting karena dalarn kesenipatan tersebut terapis dapat mengarahkan pasien dan pasien dapat belajar mengenal dan mengatasi persoalannya.
Aktivitas yang dilakukan pasien diharapkan dapat menjadi tempat untuk berkomunikasi lehih balk dalam mengekpresikan dirinya. Kemampuan pasien akan dapat diketahui baik oleh terapi maupun oleh pasien itu sendiri melalui aktivitas yang dilakukan oleh pasien. Alat-alat atau bahan-bahan yang digunakan dalan1 melakukan suatu aktivitas, pasien akan didekatkan dengan kenyataan terutama dalani hal kemampuan dan kelemahannya. Aktivitas dalam kelompok akan dapat merangsang terjadinya interaksi di antara anggota yang berguna dalam meningkatkan sosialisasi dan menilai kemampuan diri masing-masing dalam hal keefisiensiannya untuk berhubungan dengan orang lain.
Aktivitas yang dilakukan meliputi aktivitas yang digunakan dalam terapi okupasi di mana sangat dipengaruhi oleh konteks terapi secara keseluruhan, lingkungan, sumber yang tersedia, dan juga oleh kemampuan si terapis sendiri (pengetahuan, keterampilan, minat, dan kreativitasnya). Adapun hal-hal yang mempengaruhi aktivitas dalam terapi okupasi antara lain sebagai berikut.
1. Jenis- Jenis aktivitas dalam terapi okupasi adalah sebagai benikut:
a. Latihan gerak badan
b. Olahraga
c. Permainan
d. Kerajinan tangan.
e. Kesehatan, kebersihan, dan kerapihan pribadi.
f. Pekerjaan sehari-hari (aktivitas kehidupan sehari-hari).
g. Praktik pre-vokasional.
h. Seni (tari, musik, lukis, drama, dan lain-lain).
i. Rekreasi (tamasya, nonton bioskop/drama, pesta ulang tahun, dan lain-lain).
j. Diskusi dengan topik tertentu (berita surat kabar, majalah, televisi, radio atau keadaan lingkungan).
2. Karekteristik aktivitas.
Aktivitas dalam terapi okupasi adalah segala macam aktivitas yang dapat menyibukkan seseorang secara produktif yaitu sebagai suatu media untuk belajar dan berkembang, sekaligus sebagai sumber kepuasaan emosional maupun fisik. Oleh karena itu setiap aktivitas yang digunakan dalam terapi okupasi harus mempunyai karekteristik sebagai berikut.
a. Setiap gerakan harus mempunyai alasan dan tujuan terapi yang jelas. Jadi bukan hanya sekedar menyibukkan pasien.
b. Mempunvai arti tertentu hagi pasien, artinva dikenal oleh atau ada hubungannya dengan pasien.
c. Pasien harus mengerti tuiuan mengerjakan kegiatan tersebut, dan apa kegunaannya terhadap upaya penyembuhan penyakitnya.
d. Harus dapat melihatkan pasien secara aktif walaupun minimal.
e. Dapat mencegah lebih beratnya kecacatan atau kondisi pasien, bahkan harus dapat meningkatkan atau setidak-tidaknya memelihara koondisinya.
f. Harus dapat memberi dorongan agar si pasien mau berlatih lebih giat sehingga dapat mandiri.
g. Harus sesuai dengan minat, atau setidaknya tidak dibenci olehnya.
h. Harus dapat dimodifikasi untuk tujuan peningkatan atau penyesuaian dengan dengan kemampuan pasien.
Faktor Yang Perlu Diperhatikan Dalam Memilih Aktivitas Adalah Sebagai Berikut:
a. Apakah bahan yang digunakan merupakan yang mudah dikontrol, ulet, kasar, kotor, halus, dan sebagainya.
b. Apakah aktivitas rumit atau tidak.
c. Apakah perlu dipersiapkan sebelum dilaksanakan.
d. Cara pemberian instruksi bagaimana.
e. Bagaimana kira-kira setelah hasil selesai.
f. Apakah perlu pasien membuat keputusan.
g. Apakah perlu konsentrasi.
h. lnteraksi yang mungkin terjadi apakah menguntungkan.
i. Apakah diperlukan kemampuan berkomunikasi.
j. Berapa lama dapat diselesaikan.
k. Apakah dapat dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat disesuaikan dengan kemampuan dan keterampilan pasien.
3. Analisis aktivitas.
Untuk dapat mengenal karekteristik maupun potensi atau aktivitas dalam rangka perencanaan terapi, maka aktivitas tersebut harus dianalisis terlebih dahulu. Hal-hal yang perlu dianalisis adalah sebagai berikut.
a. Jenis aktivitas.
b. Maksud dan tujuan penggunaan aktivitas tersebut (sesuai dengan tujuan terapi).
c. Bahan yang digunakan:
1) Khusus atau tidak
2) Karekteristik bahan:
a) mudah ditekuk atau tidak,
b) mudah dikontrol atau tidak,
c) menimbulkan kekotoran atau tidak,
d) 1 atau tidak,
3) Rangsangan yang dapat ditimbulkan:
a) taktil,
b) pendengaran,
c) pembauan,
d) penglihatan,
e) perabaan,
f) gerakan sendi,
g) dan sebagainya.
4) Warna
5) Macam-macamnya dan namanya
6) Banyaknya
d. Bagian-bagian aktivitas
1) Banyaknya bagian
2) Rumit atau sederhana
3) Apakah membutuhkan pengulangan
4) Apakah membutuhkan perhitungan matematika
e. Persiapan pelaksanaan:
1) Apakah harus dipersiapkan terlebih dahulu
2) Apakah harus ada contoh atau cukup dengan lisan
3) Apakah bahan telah tersedia atau harus dicani terlebih dahulu
4) Apakah ruangan untuk melaksanakan harus diatur
f. Pelaksanaan, apakah dalam pelaksanaan tugas ini perlu adanya:
1) Konsentrasi
2) Ketangkasan
3) Rasa sosial di antara pasien
4) Kemampuan mengatasi masalah
5) Kemampuan bekerja sendiri
6) Toleransi terhadap frustasi
7) Kemampuan mengikuti instruksi
Kemampuan membuat keputusan
g. Apakah aktivitas tersebut dapat merangsang timbulnya lnteraksi di antara mereka.
h. Apakah aktivitas tersebut membutuhkan konsentrasi, ketangkasan, inisiatif, penilaian, ingatan, komprehensi, dan lain-lain.
i. Apakah aktivitas tersebut melibatkan imajinasi, kreativitas, pelampiasan emosi dan lain-lain.
j. Apakah ada kontraindikasi untuk pasien tertentu. Dalam hal ini harus bertindak hati-hati karena dapat berbahaya bagi pasien maupun sekelilingnya (misalnya untuk pasien dengan paranoid sangat riskan memberikan benda tajam).
k. Hal yang penting lagi adalah apakah disukai oleh pasien.
F. Indikasi Terapi Okupasi
1. Seseorang yang kurang berfungsi dalam kehidupannya karena kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam pengintegrasian perkembangan psikososialnya.
2. Kelainan tingkah laku yang terlihat dalam kesulitannya berkomunikasi dengan orang lain.
3. Tingkah laku tidak wajar dalam mengekpresikan perasaan atau kebutuhan yang primitif.
4. Ketidakmampuan mengisiterprestasikan rangsangan sehingga reaksinya terhadap rangsangan tersebut tidak wajar pula
5. Terhentinya seseorang dalam fase pertumbuhan tertentu atau seseorang yang mengalami kemunduran.
6. Mereka yang lebih mudah mengekspresikan perasaannya melalui suatu aktivitas daripada dengan percakapan.
7. Mereka yang merasa lebih mudah mempelajari sesuatu dengan cara mempraktikkannya daripada dengan membayangkan.
8. Pasien cacat tubuh yang mengalami gangguan dalam kepribadiannya.
G. Proses Terapi Okupasi
Dokter yang mengirimkan pasien untuk terapi okupasi akan menyertakan juga data mengenai pasien herupa diagnosis, masalahnya, dan juga akan menyatakan apa yang perlu diperbuat dengan pasien tersehut. Apakah untuk mendapatkan data yang lebih banyak untuk keperluan diagnosis, terapi, atau rehabilitasi. Setelah pasien berada di unit terapi okupasi, maka terapis akan bertindak sebagai berikut.
1. Koleksi data. Data biasa didapatkan dan kartu rujukan atau status pasien yang disertakan ketika pertama kali pasien mengunjungi unit terapi okupasional. Jika dengan mengadakan wawancara dengan pasien atan keluarganya, atau dengan mengadakan kunjungan rumah. Data mi diperlukan untuk menyusun rencana terapi bagi pasien. Proses mi dapat berlangsung beberapa hari sesuai dengan kebutuhan.
2. Analisis data dan identifikasi masalah. Dan data yang terkumpul dapat ditarik suatu kesimpulan sementara tentang masalah dan/atau kesulitan pasien. Hal ini dapat berupa masalah di lingkungan keluarga atau pasien itu sendiri.
3. Penentuan tujuan. Dan masalah dan latar belakang pasien, maka dapat disusun daftar tujuan terapi sesuai dengan pnioritas, baik jangka pendek maupun jangka panjangnya.
4. Penentuan aktivitas. Setelah tujuan terapi ditetapkan maka dipilihlah aktivitas yang dapat mencapai tujuan terapi tersebut. Dalam proses mi pasien dapat diikutsertakan dalam menentukan jenis kegiatan yang akan dilaksanakan sehingga pasien merasa ikut bertanggung jawab atas kelancaran pelaksanaannya. Dalam hal mi harus diingat bahwa aktivitas tersebut tidak akan menyembuhkan penyakit, tetapi hanya sebagai media untuk dapat mengerti masalahnya dan mencoba mengatasinya dengan bimbingan terapis. Pasien juga harus diberitahu alasan-alasan mengapa dia harus mengerjakan aktivitas tersebut sehingga dia sadar dan diharapkan akan mengerjakannya dengan aktif.
5. Evaluasi. Evaluasi harus dilaksanakan secara teratur dan terencana sesuai dengan tujuan terapi. Hal ini perlu agar dapat menyesuaikan program terapi selanjutnya sesuai dengan perkembangan pasien yang ada. Hasil evaluasi yang didapatkan dapat dipergunakan unutk merencanakan hal-hal mengenai penyesualan jenis aktivitas yang akan diberikan. Namun, dalam hal tertentu penyesuaian aktivitas dapat dilakukan setelah beberapa waktu melihat bahwa tidak ada kemajuan atau kurang efektif terhadap pasien.
Hal-hal yang perlu dievaluasi antara lain adalah sebagai berikut:
1 Kemampuan membuat keputusan.
a. Tingkah laku selama bekerja.
b. Kesadaran adanya orang lain yang bekerja bersama dia dan yang mempunyai kebutuhan sendiri.
c. Kerjasama.
d. Cara memperlihatkan emosi (spontan, wajar, jelas, dan lain-lam).
e. Inisiatif dan tanggung jawab.
f. Kemampuan untuk diajak atau mengajak berunding.
g. Menyatakan perasaan tanpa agresi.
h. Kompetisi tanpa permusuhan.
i. Menerima kritik dan atasan atau teman sekerja.
j. Kemampuan menyatakan pendapat sendiri dan apakah bertanggung jawab atas pendapatnya tersebut.
k. Menyadari keadaan dirinya dan menerimanya.
l. Wajar dalam penampilan.
m. Orientasi tempat, waktu, situasi, dan orang lain.
n. Kemampuan menerima instruksi dan mengingatnya.
o. Kemampuan bekerja tanpa terus-menerus diawasi
p. Kerapian bekerja.
q. Kemampuan merencanakan suatu pekerjaan.
r. Toleransi terhadap frustasi.
s. Lambat atau cepat.
H. Pelaksanaan
1. Metode terapi okupasi dapat dilakukan baik secara individual, maupun berkelompok, tergantung dan keadaan pasien, tujuan terapi, dan lain-lain.Metode individual dilakukan untuk:
a. pasien baru yang bertujuan untuk mendapatkan lebih banyak informasi dan sekaligus untuk evaluasi pasien;
b. pasien yang beluni dapat atau mampu untuk berinteraksi dengan cukup baik di dalam suatu kelompok sehingga dianggap akan mengganggu kelancaran suatu kelompok bila dia dimasukkan dalam kelompok tersebut.
c. pasien wang sedang menjalani latihan kerja dengan tujuan agar terapis dapat niengevaluasi pasien lebih efektif.
2. Metode kelompok dilakukan untuk: pasien lama atas dasar seleksi dengan masalah atau hampir bersamaan, atau dalam melakukan suatu aktivitas untuk tujuan tertentu bagi beberapa pasien sekaligus. Sebelum memulai suatu kegiatan baik secara individual maupun kelompok, maka terapis harus mempersiapkan terlebih dahulu segala sesuatunya yang menyangkut pelaksanaan kegiatan tersebut. Pasien juga perlu dipersiapkan dengan cara memperkenalkan kegiatan dan menjelaskan tujuan pelaksanaan kegiatan tersebut sehingga dia atau mereka lebih mengerti dan berusaha untuk ikut aktif. Jumlah anggota dalam suatu kelompok disesuaikan dengan jenis aktivitas yang akan dilakukan, dan kemampuan terapis mengawasi.
3. Waktu. Okupasiterapi dilakukan antara 1-2 jam setiap sesi balk yang individu maupun kelompok setiap hari, dua kali atau tiga kali seminggu tergantung tujuan terapi, tersedianva tenaga dan fasilitas, dan sebagainya. Sesi ini dibagi menjadi dua bagian yaitu ‘jam untuk menyelesaikan kegiatan-kegiatan dan 1-1½ jam untuk diskusi. Dalam diskusi ini dibicarakan mengenai pelaksanaan kegiatan tersebut, antara lain kesulitan yang dihadapi, kesan mengarahkan diskusi tersebut kearah yang sesuai dengan tujuan terapi.
4. Terminasi. Keikutsertaan seseorang pasien dalam kegiatan okupasiterapi dapat dasar bahwa pasien:
a. Dianggap telah mampu mengatasi persolannya
b. Dianggap tidak akan berkembang lagi
c. Dianggap perlu mengikuti program lainnya sebelum okupasiterapi
BAB III
PEMBAHASAN
Terapi Okupasi pada Pasien dengan Skizofrenia
Terapi okupasi juga dapat merupakan bagian dari rehabilitasi medik untuk pasien-pasien dengan penyakit fisik maupun gangguan mental. Disini, terapi okupasi merupakan terapi medik yang terarah dengan menggunakan aktivitas sebagai media terapi, dalam rangka memulihkan kembali fungsi seseorang sehingga mampu mandiri semaksimal mungkin.
Pada pasien-pasien dengan gangguan jiwa, aktivitas dalam terapi okupasi biasanya dilakukan untuk membantu dalam mendiagnosis, terapi, evaluasi, maupun rehabilitasi. Hal ini dapat dilakukan dengan mengamati pasien saat mengerjakan suatu aktivitas, saat berinteraksi dengan kelompoknya, dan dengan menilai hasil pekerjaannya. Dalam pengamatan tersebut dapat dikumpulkan data-data yang berguna untuk mendukung ke arah suatu diagnosis tertentu serta menetapkan terapi lainnya. Manfaat terapi didapat dengan membantu dalam melepaskan dorongan-dorongan emosional secara wajar dan produktif. Dengan memberikan terapi okupasi secara periodik maka akan dapat dilakukan evaluasi terhadap hasil pengobatan. Sedangkan tujuan rehabilitasi diperoleh dengan menciptakan suatu kondisi tertentu sehingga pasien dapat mengembangkan kemampuannya untuk dapat berhubungan dengan orang lain dan masyarakat sekitar. Disamping itu juga dapat membantu menemukan kemampuan kerja yang sesuai dengan bakat dan keadaannya.
Sebagaimana telah dipahami, bahwa pada sebagian penderita gangguan skizofrenia digambarkan memiliki perjalanan penyakit yang kronis dan disertai dengan terjadinya deteriorasi dari taraf fungsi sebelumnya. Deteriorasi atau kemunduran tersebut mungkin sudah dimulai sejak fase prodromal selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan sebelum onset penyakit, yang mencakup terdapatnya keruntuhan taraf fungsi dalam bidang pekerjaan, aktivitas sosial (pergaulan sosial), serta penelantaran penampilan pribadi dan perawatan diri.
Pada penderita dengan skizofrenia sering terdapat beberapa gejala secara bersama-sama seperti gangguan bentuk dan isi pikiran, arus pikiran, persepsi, afek, serta gangguan pada perilaku yang dapat bermanifestasi sebagai perilaku katatonik maupun gejala-gejala negatif. Pada penderita skizofrenia dengan gejala-gejala negatif seperti sikap apatis, pembicaraan yang terhenti, dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar biasanya akan mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial. Selain itu bisa juga terjadi suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek perilaku seseorang yang bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tak bertujuan, sikap malas, sikap berdiam diri (self-absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial.
Pada proses penyembuhan pasien skizofrenia mendapat terapi kognitif yang menekankan pada komunikasi dan terapi okupasi yang menekankan pada suatu kegiatan atau karya. Kurangnya aktifitas pasien akan membuat pasien lebih asyik dengan dunia sendiri sehingga bisa memicu terjadinya kekambuhan.
Telah pula diyakini bahwa cara yang paling efisien dalam penanganan pasien dengan skizofrenia adalah melalui kombinasi psikofarmakologi dan intervensi psikososial seperti psikoterapi, terapi keluarga, dan terapi okupasi. Hal ini telah dibuktikan setidaknya dari sebuah penelitian mengenai terapi okupasi pada pasien dengan skizofrenia yang resisten terhadap pengobatan (treatment-resistant schizophrenia) yang dilakukan oleh Buchain dkk. di Sao Paulo, Brazil.
Penelitian yang dipublikasikan tahun 2002 ini menggunakan rancangan penelitian acak terkontrol (randomized controlled trial) dengan melibatkan 26 orang pasien skizofrenia yang resisten terhadap pengobatan, yang kemudian diikuti dan dievaluasi selama 6 bulan. Secara acak, mereka terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok penelitian dan kelompok kontrol. Kelompok penelitian menerima penanganan psikofarmakologi dengan Clozapine yang disertai dengan sesi terapi okupasi, sedangkan kelompok kontrol hanya menerima Clozapine. Untuk mengevaluasi hasil akhirnya digunakan skala Interactive Observation in Occupational Therapy (EIOTO). Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa intervensi terapi okupasi ternyata efektif sepanjang periode observasi, terutama setelah memasuki bulan ke-4 hingga akhir penelitian. Sehingga disimpulkan bahwa kombinasi Clozapine dan terapi okupasi tampaknya lebih efektif dibandingkan hanya Clozapine saja pada pasien dengan skizofrenia yang resisten pengobatan.
BAB IV
PENUTUP
Terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi seseorang untuk melaksanakan suatu tugas tertentu yang telah ditentukan dengan maksud untuk memperbaiki, memperkuat dan meningkatkan kemampuan, dan mempermudah mempelajari keahlian atau fungsi yang dibutuhkan dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Juga untuk meningkatkan produktivitas, mengurangi dan atau memperbaiki ketidak normalan (kecacatan), dan memelihara atau meningkatkan derajat kesehatan
Pelaksanaan/Dimulainya Terapi Okupasi, sebaiknya dilakukan sedini mungkin, sejak penderita dirujuk oleh dokter. Sebelum penderita mulai latihan, perlu diberikan evaluasi awal dengan dilakukan observasi dan tes sederhana.
Tujuan terapi okupasi:
1. Terapi khusus untuk pasien mental/jiwa.
2. Menciptakan suatu kondisi tertentu sehingga pasien dapat mengembangkan kemampuannya untuk dapat berhubungan dengan orang lain dan masyarakat sekitarnya.
3. Membantu dalam melampiaskan gerakan-gerakan emosi secara wajar dan produktif.
4. Membantu menemukan kernampuan kerja yang sesuai dengan bakat dan keadaannya.
5. Membantu dalam pengumpulan data guna penegakan diagnosis dan penetapan terapi lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Andreasen, N,C., Carpenter, M.T., Kane, J.M.,Lasser, R.A.,Marder, S.R., Weinberger, D.R. 2005. Remission in Schizophrenia: Proposed Criteria and Rationale for Consensus. Am J Psychiatry. 162:441–449.
2. Durand, V. Mark, & Barlow, David H. (2006). Psikologi Abnormal. Edisi Keempat. Jilid Pertama. Jogjakarta : Pustaka Pelajar
3. Jenkins, J.H.,Garcia, J.I.R., Chang, C.L., Young, J.S., Lopez, S.R. 2006. FamilySupport Predicts Psychiatric Medication Usage Among Mexican AmericanIndividuals with Schizophrenia. Social Psyciatry and Psychiatric Epidemology,41. 624-631.
4. Kaplan H.I, Sadok B.J. Sinopsis Psikiatri, Edisi ketujuh, Jilid I, Binarupa Aksara, Jakarta, 1997 : 777-83
5. Kaplan H.I, Sadok B.J. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat, Cetakan I, Widya Medika, Jakarta, 1998 : 227-229
6. Kaplan H.I, Sadok B.J. Comprensive Textbook Of Psychiatry, William & Walkins. 5th Edition, USA, 1998 : 128
7. Maramis, W. F. (2009). Ilmu Kedokteran Jiwa edisi 2. Surabaya: Pusat penerbitan dan percetakan.
8. Maslim R, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkasan dari PPGDJ-III, Jakarta, 2001 : 65
9. Nevid, Jeffrey S., Rathus, Spencer A., & Greene, Beverly. (2005). Psikologi Abnormal. Edisi Kelima. Jilid Pertama. Jakarta : Penerbit Erlangga
10. Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ III), Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1993.
11. Occupational therapy practice framework: Domain and process, In American Journal of Occupational Therapy, vol. 56(6), 2002; p609-639
12. Budiman A, Siahaan H B; Okupasiterapi, Dalam Makalah Pelatihan Terapi Keluarga dan Terapi Relaksasi, Ciloto, 1993; hal. 1-9.
13. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik; Skizofrenia, Gangguan Skizotipal dan Gangguan Waham, Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III, Jakarta, Departemen Kesehatan RI, Cetakan I, 1993; hal. 103-136.
14. Buchain P C, et all; Randomized controlled trial of occupational therapy in patients with treatment-resistant schizophrenia, In Rev Bras Psiquiatr, vol. 25(1), 2003; p26-30.
REFERAT
TERAPI OKUPASI PADA PASIEN SKIZOFRENIA
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kelulusan Kepanitraan Klinik
di Bagian Psikiatri
oleh :
Meilisa Sri Suzana , S.Ked
H1AP10026
Pembimbing :
dr. Lucy M. Bangun, SpKJ
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN PSIKIATRI
RSKJ SOEPRAPTO PROV BENGKULU
UNIVERSITAS BENGKULU
2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “ Terapi Okupasi Pada Pasien Skizofrenia” ini dengan baik dan selesai tepat waktu. Penulisan referat ini bertujuan untuk memenuhi sebagian syarat kelulusan kepaniteraan klinik Psikiatri di RSKJ Soeprapto Prov Bengkulu.
Selesainya referat ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan referat ini hingga selesai, terutama kepada dr. Lucy M. Bangun, SpKJ , selaku dokter pembimbing dan konsulen psikiatri di RSKJ Soeprapto Prov Bengkulu yang telah membimbing dan memberikan masukan dalam penyusunan referat ini. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada teman-teman sejawat serta pihak-pihak lain yang telah membantu dalam penyusunan referat ini yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa Referat ini belum sempurna, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan referat ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan semoga referat ini dapat bermanfaat serta menjadi bahan masukan bagi dunia pendidikan.
Penulis,
Meilisa Sri Suzana, S.Ked
H1AP10026
PENDAHULUAN
Okupasi yang diadaptasi dari suatu kata dalam Bahasa Inggris yaitu “occupation” umumnya dipandang sebagai berbagai aktivitas yang memiliki maksud dan tujuan yang unik dalam kehidupan seseorang. Okupasi, yang dalam Bahasa Indonesia maknanya sepadan dengan “pekerjaan”, juga merupakan pokok pada identitas dan kompetensi seseorang, dan yang mempengaruhi bagaimana seseorang mempergunakan waktunya serta bagaimana ia membuat keputusan. Bahkan okupasi (occupation) telah didefinisikan oleh Law, Polatajko, Baptiste, dan Townsend (1997) sebagai berikut:
“Activities.....of everyday life, named, organized, and given value and meaning by individuals and culture. Occupations is everything people do to occupy themselves, including looking after themselves.....enjoying life.....and contributing to the social and economic fabric of their communities.....”
Terapi okupasi pertama kali dikembangkan dan diterapkan oleh Philippine Pinel pada abad ke-19 di sebuah rumah sakit jiwa di Paris. Dengan pekerjaan, pasien penyakit jiwa akan dapat dikembalikan ke arah hidup yang normal, bahkan bisa kembali seperti sebelum sakit. Adolf Meyer (1892), seorang psikiater di Amerika, melakukan upaya secara terstruktur dimana pasien neuro-psikiatrik diberikan aktivitas yang berguna ternyata menjadi dasar terapi okupasi. Meyer telah menyusun suatu dasar sistematis penggunaan aktivitas sebagai terapi.
Pada umumnya orang mengetahui tugas Ot adalah memberikan aktivitas motorik halus padahal area yang dikerjakan OT sangat luas dan sekarang untuk OT di negara maju seperti Amerika dan Canada sudah menjurus pada bidang sub spesialis pada area tertentu misalnya khusus pada bidang sensory integration, memory training, social skills training, dll. Secara umum OT adalah salah satu profesi kesehatan yang membantu individu dengan gangguan fisik, mental dan atau sosial dengan menggunakan berbagai macam aktivitas terapeutik yang telah diprogram dan diadaptasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anak untuk meningkatkan performa anak dalam hal aktivitas yang bersifat produktif baik di rumah maupun di sekolah seperti ketrampilan menulis, membaca, dll, aktivitas bantu diri (self care) seperti mandi, berpakaian, makan, minum, memakai sepatu, dll serta meningkatkan kemampuan bermain (play and leisure) dan interaksi sosial.
Pengertian aktivitas yang bersifat terapeutik adalah aktivitas yang memang telah dianalisis secara mendalam sehingga memiliki dampak terapeutik untuk meningkatkan performa anak dalam 3 area intervensi diatas yaitu area produktivitas (productivity), ketrampilan bantu diri/merawat dirinya sendiri (self care) dan aktivitas rekreasi anak yaitu bermain. Ketiga area tersebut adalah domain yang sangat esensial bagi anak untuk dapat berpartisipasi secara optimal dalam aktivitas kesehariannya baik di rumah, sekolah dan di masyarakat.
Skizofrenia merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai oleh psikopatologi yang disruptif dan melibatkan aspek kognisi, persepsi dan aspek lain perilaku. Ekspresi dari manifestasi penyakit ini bervariasi diantara pasien tetapi efeknya selalu berat dan bertahan dalam jangka waktu yang lama. Skizofrenia mengenai segala lapisan kelas dan umumnya muncul pada usia kurang dari 25 tahun, lalu selanjutnya menetap sepanjang hidup. Meskipun didiagnosis sebagai penyakit tunggal, skizofrenia mungkin terdiri atas suatu kumpulan gangguan dengan etiologi beragam, dan bervariasi dalam manifestasi klinis, respons pengobatan dan perjalanan penyakitnya.
Data epidemiologis menunjukkan bahwa di Amerika Serikat prevalensi skizofrenia adalah 1%, pada studi lain didapatkan rentang yang tidak jauh berbeda yaitu 0,6-1,9 %. Skizofrenia ditemukan pada semua lapisan masyarakat dan area geografis, prevalensi maupun insidensinya secara kasar sama di seluruh dunia. Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan mengatakan bahwa jumlah penderita gangguan kesehatan jiwa di masyarakat sangat tinggi, yakni satu dari empat penduduk Indonesia menderita kelainan jiwa rasa cemas, depresi, stress, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja sampai skizofrenia. Di era globalisasi gangguan kejiwaan meningkat sebagai contoh penderita tidak hanya dari kalangan kelasa bawah, sekarang kalangan pejabat dan masyarakat lapisan menengah ke atas juga terkena gangguan jiwa (Sutatminingsih, Raras. 2002). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RisKesDas) 2007 disebutkan, rata-rata nasional gangguan mental emosional ringan, seperti cemas dan depresi pada penduduk berusia 15 tahun ke atas mencapai 11,6%, dengan angka tertinggi terjadi di Jawa Barat, sebesar 20%. Sedangkan yang mengalami gangguan mental berat, seperti psikotis, skizofrenia, dan gangguan depresi berat, sebesar 0,46%. (Anonim, Depkes RI).
Jadi, dengan pekerjaan maka seseorang akan dapat “menikmati hidup”, dimana pekerjaan dapat mengalihkan perhatian atau pikiran seseorang dari hal-hal yang kurang menyenangkan, sehingga menjadi segar kembali untuk memikirkan hal-hal yang lain. Dengan pekerjaan, seseorang juga akan memberi kontribusi terhadap struktur sosial dan ekonomi komunitasnya sehingga dia menjadi lebih nyaman berada ditengah-tengah komunitas itu dan akan memudahkan adaptasi dengan lingkungannya. Secara fisik, pekerjaan membuat seseorang akan menggerakkan seluruh otot tubuhnya, sehingga tubuhnya akan tetap sehat. Dari semua hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa perkerjaan sangat bermanfaat bagi perkembangan fisik dan jiwa seseorang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Skizofrenia
Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu skizo yang artinya retak atau pecah, dan frenia yang artinya jiwa, dengan demikian, seseorang yang menderita skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakkan kepribadian (Hawari, 2003).
Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi individu, termasuk berfikir dan berkomunikasi, menerima dan menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukan emosi serta berperilaku dengan sikap yang tidak dapat diterima secara sosial (Isaacs, 2005).
2.2 Etiologi Skizofrenia
Hingga sekarang belum ditemukan penyebab (etiologi) yang pasti mengapa seseorang menderita skizofrenia, padahal orang lain tidak.Ternyata dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan tidak ditemukan faktor tunggal. Penyebab skizofrenia menurut penelitian mutakhir antara lain : (Yosep, 2010)
• Faktor genetik;
• Virus;
• Autoantibodi;
• Malnutrisi.
Dari penelitian diperoleh gambaran sebagai berikut : (Yosep, 2010)
1) Studi terhadap keluarga menyebutkan pada orang tua 5,6%, saudara kandung 10,1%; anak-anak 12,8%; dan penduduk secara keseluruhan 0,9%.
2) Studi terhadap orang kembar (twin) menyebutkan pada kembar identik 59,20%; sedangkan kembar fraternal 15,2%. Penelitian lain menyebutkan bahwa gangguan pada perkembangan otak janin juga mempunyai peran bagi timbulnya skizofrenia kelak dikemudian hari. Gangguan ini muncul, misalnya, karena kekurangan gizi, infeksi, trauma, toksin dan kelainan hormonal. Penelitian mutakhir menyebutkan bahwa meskipuna ada gen yang abnormal, skizofrenia tidak akan muncul kecuali disertai faktor-faktor lainnya yang disebut epigenetik faktor. Skizofrenia muncul bila terjadi interaksi antara abnormal gen dengan : (Yosep, 2010)
a. Virus atau infeksi lain selama kehamilan yang dapat menganggu perkembangan otak janin;
b. Menurunnya autoimun yang mungkin disebabkan infeksi selama kehamilan;
c. Komplikasi kandungan; dan
d. Kekurangan gizi yang cukup berat, terutama pada trimester kehamilan.
Seseorang yang sudah mempunyai faktor epigenetik tersebut, bila mengalami stresor psikososial dalam kehidupannya, maka risikonya lebih besar untuk menderita skizofrenia dari pada orang yang tidak ada faktor epigenetik sebelumnya. (Yosep, 2010)
2.3 Penegakkan diagnosis
Pedoman Diagnostik Skizofrenia menurut PPDGJ-III, adalah sebagai berikut (Maslim, 2003).:
- Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a. “thought echo”, yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda atau “thought insertion or withdrawal” yang merupakan isi yang asing dan luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan “thought broadcasting”, yaitu isi pikiranya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya;
b. “delusion of control”, adalah waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar atau “delusion of passivitiy” merupaka waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” diartikan secara jelas merujuk kepergerakan tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus), atau “delusional perception”yang merupakan pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
c. Halusinasi auditorik yang didefinisikan dalam 3 kondisi dibawah ini:
• Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien, atau
• Mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau
• Jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dan dunia lain).
e. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :
• Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau berbulan-bulan terus menerus;
• Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
• Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;
• Gejala-gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
e. Adanya gejala-gejala khas di atas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik (prodromal)
f. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.
Adapun kriteria diagnosis skizofrenia menurut DSM IV adalah (Tomb, 2003):
• Berlangsung minimal dalam enam bulan
• Penurunan fungsi yang cukup bermakna di bidang pekerjaan, hubungan interpersonal, dan fungsi dalam mendukung diri sendiri
• Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama berlangsungnya sebagian dari periode tersebut
• Tidak ditemui dengan gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif, gangguan mood mayor, autisme, atau gangguan organik.
2.4 Jenis-jenis skizofrenia
Kraepelin membagi skizofrenia menjadi beberapa jenis. Penderita digolongkan ke dalam salah satu jenis menurut gejala utama yang terdapat padanya. Akan tetapi batas-batas golongan-golongan ini tidak jelas, gejala-gejala dapat berganti-ganti atau mungkin seorang penderita tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu jenis. Pembagiannya sebagai berikut :(Maramis, 2009). Gejala klinis skizofrenia secara umum dan menyeluruh telah diuraikan di muka, dalam PPDGJ III skizofrenia dibagi lagi dalam 9 tipe atau kelompok yang mempunyai spesifikasi masing-masing, yang kriterianya di dominasi dengan hal-hal sebagai berikut :
Skizofrenia paranoid
Skizofrenia paranoid agak berlainan dari jenis-jenis yang lain dalam jalannya penyakit. Skizofrenia hebefrenik dan katatonik sering lama kelamaan menunjukkan gejala-gejala skizofrenia simplex, atau gejala-gejala hebefrenik dan katatonik bercampuran. Skizofrenia paranoid memiliki perkembangan gejala yang konstan. Gejala-gejala yang mencolok adalah waham primer, disertai dengan waham-waham sekunder dan halusinasi. Pemeriksaan secara lebih teliti juga didapatkan gangguan proses pikir, gangguan afek, dan emosi.
Jenis skizofrenia ini sering mulai sesudah umur 30 tahun. Permulaannya mungkin subakut, tetapi mungkin juga akut. Kepribadian penderita sebelum sakit sering dapat digolongkan skizoid, mudah tersinggung, suka menyendiri dan kurang percaya pada orang lain.Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia paranoid dapat didiganosis apabila terdapat butir-butir berikut :
• Memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia
• Sebagai tambahan :
o Halusinasi dan atau waham harus menonjol :
Suara-suara halusinasi satu atau lebih yang saling berkomentar tentang diri pasien, yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit, mendengung, atau bunyi tawa.
Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain perasaan tubuh halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.
Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau “Passivity” (delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas.
o Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejalakatatonik secara relatif tidak nyata / tidak menonjol.
Pasien skizofrenik paranoid memiliki karakteristik berupa preokupasi satu atau lebih delusi atau sering berhalusinasi. Biasanya gejala pertama kali muncul pada usia lebih tua daripada pasien skizofrenik hebefrenik atau katatonik. Kekuatan ego pada pasien skizofrenia paranoid cenderung lebih besar dari pasien katatonik dan hebefrenik. Pasien skizofrenik paranoid menunjukkan regresi yang lambat dari kemampuan mentalnya, respon emosional, dan perilakunya dibandingkan tipe skizofrenik lain.
Pasien skizofrenik paranoid biasanya bersikap tegang, pencuriga, berhati-hati, dan tak ramah.Mereka juga dapat bersifat bermusuhan atau agresif.Pasien skizofrenik paranoid kadang-kadang dapat menempatkan diri mereka secara adekuat didalam situasi sosial.Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh gangguan psikosis mereka dan cenderung tetap intak.
Skizofrenia Hebefrenik
Permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang mencolok adalah gangguan proses berpikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi atau double personality. Gangguan psikomotor seperti mannerism, neologisme atau perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada skizofrenia heberfenik. Waham dan halusinasi banyak sekali.
Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia hebefrenik dapat didiganosis apabila terdapat butir-butir berikut Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
• Diagnosis hebefrenikbiasanya ditegakkan pada usia remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun)..
• Untuk diagnosis hebefrenik yang menyakinkan umumnya diperlukan pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan :
o Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan;
o Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied), senyum sendirir (self-absorbed smiling), atau oleh sikap, tinggi hati (lofty manner), tertawa menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau (pranks), keluhan hipokondrial, dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated phrases);
o Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu (rambling) serta inkoheren.
o Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol (fleeting and fragmentary delusions and hallucinations). Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination) hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of purpose). Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien.
Menurut DSM-IV skizofrenia disebut sebagai skizofrenia tipe terdisorganisasi.
Skizofrenia Katatonik
Timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun, dan biasanya akut serta sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh-gelisah katatonik atau stupor katatonik. Stupor katatonik yaitu penderita tidak menunjukkan perhatian sama sekali terhadap lingkungannya. Gejala paling penting adalah gejala psikomotor seperti:
1. Mutisme, kadang-kadang dengan mata tertutup
2. Muka tanpa mimik, seperti topeng
3. Stupor, penderita tidak bergerak sama sekali untuk waktu yang lama, beberapa hari, bahkan kadang sampai beberapa bulan.
4. Bila diganti posisinya penderita menentang : negativisme
5. Makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga berkumpul dalam mulut dan meleleh keluar, air seni dan feses ditahan
6. Terdapat grimas dan katalepsi
Secara tiba-tiba atau pelan-pelan penderita keluar dari keadaan stupor ini dan mulai berbicara dan bergerak. Gaduh gelisah katatonik adalah terdapat hiperaktivitas motorik, tetapi tidak disertai dengan emosi yang semestinya dan tidak dipengaruhi rangsangan dari luar.
Penderita terus berbicara atau bergerak saja, menunjukan stereotipi, manerisme, grimas dan neologisme, tidak dapat tidur, tidak makan dan minum sehingga mungkin terjadi dehidrasi atau kolaps dan kadang-kadang kematian (karena kehabisan tenaga dan terlebih bila terdapat juga penyakit lain seperti jantung, paru, dan sebagainya)
Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia katatonik dapat didiganosis apabila terdapat butir-butir berikut :
• Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.
• Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya :
o Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara):
o Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
o Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh);
o Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakkan kearah yang berlawanan);
o Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya menggerakkan dirinya);
o Fleksibilitas cerea / ”waxy flexibility” (mempertahankan anggota gerak dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
o Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan secara otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat.
o Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain.
o Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk diagnostik untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif.
Pasien dengan skizofrenia katatonik biasanya bermanifestasi salah satu dari dua bentuk skizofrenia katatonik, yaitu stupor katatonik dan excited katatatonik. Pada katatonik stupor, pasien akan terlihat diam dalam postur tertentu (postur berdoa, membentuk bola), tidak melakukan gerakan spontan, hampir tidak bereaksi sama sekali dengan lingkungan sekitar bahkan pada saat defekasi maupun buang air kecil, air liur biasanya mengalir dari ujung mulut pasien karena tidak ada gerakan mulut, bila diberi makan melalui mulut akan tetap berada di rongga mulut karena tidak adanya gerakan mengunyah, pasien tidak berbicara berhari-hari, bila anggota badan pasien dicoba digerakkan pasien seperti lilin mengikuti posisi yang dibentuk, kemudian secara perlahan kembali lagi ke posisi awal. Bisa juga didapati pasien menyendiri di sudut ruangan dalam posisi berdoa dan berguman sangat halus berulang-ulang.
Pasien dengan excited katatonik, melakukan gerakan yang tanpa tujuan, stereotipik dengan impulsivitas yang ekstrim. Pasien berteriak, meraung, membenturkan sisi badannya berulang ulang, melompat, mondar mandir maju mundur.Pasien dapat menyerang orang disekitarnya secara tiba-tiba tanpa alasan lalu kembali ke sudut ruangan, pasien biasanya meneriakka kata atau frase yang aneh berulang-ulang dengan suara yang keras, meraung, atau berceramah seperti pemuka agama atau pejabat.Pasien hampir tidak pernah berinteraksi dengan lingkungan sekitar, biasanya asik sendiri dengan kegiatannya di sudut ruangan, atau di kolong tempat tidurnya.
Walaupun pasien skizofrenia katatonik hanya memunculkan salah satu dari kedua diatas, pada kebanyakan kasus gejala tersebut bisa bergantian pada pasien yang dalam waktu dan frekuensi yang tidak dapat diprediksi.Seorang pasien dengan stupor katatonik dapat secara tiba-tiba berteriak, meloncat dari tempat tidurnya, lalu membantingkan badannya ke dinding, dan akhirnya dalam waktu kurang dari satu jam kemudian kembali lagi ke posisi stupornya.
Selama stupor atau excited katatonik, pasien skizofrenik memerlukan pengawasan yang ketat untuk menghindari pasien melukai dirinya sendiri atau orang lain. Perawatan medis mungkin ddiperlukan karena adanya malnutrisi, kelelahan, hiperpireksia, atau cedera yang disebabkan oleh dirinya sendiri.
Skizofrenia Simplex
Sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama pada jenis simplex adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya sulit ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini timbulnya perlahan-lahan sekali. Permulaan gejala mungkin penderita mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari pergaulan.
Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia katatonik dapat didiganosis apabila terdapat butir-butir berikut :
• Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari :
o Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik, dandisertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.
o Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia lainnya.
Skizofrenia simpleks sering timbul pertama kali pada masa pubertas.Gejala utama pada jenis simpleks adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat.Jenis ini timbulnya perlahan-lahan sekali.Pada permulaan mungkin penderita mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia makin mundur dalam pekerjaan atau pelajaran dan akhirnya menjadi pengangguran, dan bila tidak ada orang yang menolongnya ia mungkin akan menjadi pengemis, pelacur, atau penjahat.
Skizofrenia residual
Jenis ini adalah keadaan kronis dari skizofrenia dengan riwayat sedikitnya satu episode psikotik yang jelas dan gejala-gejala berkembang ke arah gejala negatif yang lebuh menonjol. Gejala negatif terdiri dari kelambatan psikomotor, penurunan aktivitas, penumpula afek, pasif dan tidak ada inisiatif, kemiskinan pembicaraan, ekspresi nonverbal yang menurun, serta buruknya perawatan diri dan fungsi sosial.
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi semua :
• Gejala “negative” dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk;
• Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofenia;
• Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom “negative” dari skizofrenia;
• Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain, depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negative tersebut.
Menurut DSM IV, tipe residual ditandai oleh bukti-bukti yang terus menerus adanya gangguan skizofrenik, tanpa adanya kumpulan lengkap gejala aktif atau gejala yang cukup untuk memenuhi tipe lain skizofrenia.Penumpulan emosional, penarikan social, perilaku eksentrik, pikiran yang tidak logis, dan pengenduran asosiasi ringan adalah sering ditemukan pada tipe residual.Jika waham atau halusinasi ditemukan maka hal tersebut tidak menonjol dan tidak disertai afek yang kuat.
Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated).
Seringkali pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah dimasukkan kedalam salah satu tipe.PPDGJ mengklasifikasikan pasien tersebut sebagai tipe tidak terinci. Kriteria diagnostic menurut PPDGJ III yaitu:
• Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
• Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau katatonik.
• Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca skizofrenia.
Depresi Pasca-Skizofrenia
Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :
• Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria diagnosis umum skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
• Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya); dan
• Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling sedikit kriteria untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu.
• Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis menjadi episode depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai.
Skizofrenia lainnya
• Bouffe Delirante (acute delusional psychosis)
Konsep diagnosis skizofrenia dengan gejala akut yang kurang dari 3 bulan, kriteria diagnosisnya sama dengan DSM-IV-TR. 40% dari pasien yang didiagnosa dengan bouffe delirante akan progresif dan akhirnya diklasifikasikan sebagai pasien skizofren
• Oneiroid
Pasien dengan keadaan terperangkap dalam dunia mimpi, biasanya mengalami disorientasi waktu dan tempat.Istilah oneiroid digunakan pada pasien yang terperangkap dalam pengalaman halusinasinya dan mengesampingkan keterlibatan dunia nyata.
• Early onset schizophrenia
Skizofrenia yang gejalanya muncul pada usia anak-anak. Perlu dibedakan dengan retardasi mental dan autisme
• Late onset schizophrenia
Skizofrenia yang terjadi pada usia lanjut (>45 tahun). Lebih sering terjadi pada wanita dan pasien-pasien dengan gejala paranoid.
A. Pengertian Terapi Okupasi
Pekerjaan atau okupasi sejak dulu kala telah dikenal sebagai sesuatu untuk mempertahankan hidup atau survival, dan juga diketahui sebagai sumber kesenangan. Dengan bekerja seseorang akan menggunakan otot-otot dan pikirannya, misalnya dengan melakukan permainan (game), latihan gerak badan, kerajinan tangan dan lain-lain, di mana hal ini akan memengaruhi kesehatannya juga.
Pada tahun 2600 SM orang-orang di Cina berpendapat bahwa penyakit timbul karena ketidakaktifan organ tubuh. Socrates dan Plato (400 SM) mempercayai adanya hubungan yang erat antara tubuh dengan jiwa. Hypoocrates selalu menganjurkan pasiennya untuk melakukan latihan gerak badan sebagai salah satu cara pengobat pasiennya. Di Mesir dan Yunani (2000 SM) dijelaskan bahwa rekreasi dan permainan adalah salah suatu media terapi yang ampuh, misalnya menari, bermain musik, bermain boneka untuk anak-anak, dan bermain bola. Pekerjaan diketahui sangat bermanfaat bagi perkembangan jiwa maupun fisik manusia.
Socrates berkata bahwa seseorang harus membiasakan dini dengan selalu bekerja secara sadar dan jangan bermalas-malasan. Pekerjaan dapat juga digunakan sebagi pengalihan perhatian atau pikiran sehingga menjadi segar kembali untuk memikirkan hal-hal yang lain. Dengan okupasi/ pekerjaan, pasien jiwa akan dikembalikan ke arah hidup yang normal dan dapat meningkatkan minatnya sekaligus memelihara dan mempraktikkan keahlian yang dimilikinya sebelum sakit sehingga dia akan tetap sebagai seseorang yang produktif.
Pada tahun 1982, Adolf Meyer melaporkan bahwa penggunaan waktu dengan baik yaitu dengan melakukan aktivitas yang berguna ternyata merupakan suatu dasar terapi pasien neuripsikiatrik. Meyer adalah seorang psikiater. lstrinya adalah seorang pekerja sosial dan mulai menyusun suatu dasar yang sistematis tentang penggunaan aktivitas sebagai program terapi pasien jiwa. Masih banyak lagi ahli-ahli terkenal yang berjasa dalam pengembangan okupasiterapi sebagai salah satu terapi khususnya untuk pasien mental. Risetpun masih tetap dilakukan guna lebih mengefektitkan penggunaan okupasiterapi untuk terapi pasien mental.
Terapi okupasi berasal dan kata Occupational Therapy. Occupational berarti suatu pekerjaan, therapy berarti pengobatan. Jadi, Terapi Okupasi adalah perpaduan antara seni dan ilmu pengetahuan untuk mengarahkan penderita kepada aktivitas selektif, agar kesehatan dapat ditingkatkan dan dipertahankan, serta mencegah kecacatan melalui kegiatan dan kesibukan kerja untuk pendenita cacat mental maupun fisik. (American Occupational Therapist Association). Tenapis okupasi membantu individu yang mengalami gangguan dalam fungsi motorik, sensorik, kognitif juga fungsi sosial yang menyebabkan individu tersebut mengalami hambatan dalam melakukan aktivitas perawatan diri, aktivitas produktivitas, dan dalam aktivitas untuk mengisi waktu luang. Tujuan dan pelatihan Terapi okupasi itu sendiri adalah untuk mengembalikan fungsi penderita semaksimal mungkin, dan kondisi abnormal ke normal yang dikerahkan pada kecacatan fisik maupun mental, dengan memberikan aktivitas yang terencana dengan memperhatikan kondisi penderita sehingga penderita diharapkan dapat mandiri di dalam keluarga maupun masyarakat.
Intervensi yang diberikan menggunakan modalitas aktivitas yang tdah dianalisis dan diadaptasi yang kemudian diprogramkan untuk anak sesuai dengan kebutuhan khususnya. Secara garis besar intenvensi difokuskan pada hal-hal berikut.
1. Kemampuan (abilities)
a. Keseimbangan dan reaksi postur (balance and postural reactions).
b. Peregangan otot dan kekuatan otot (muscle tone and muscle strength).
c. Kesadaran anggota tubuh (body awareness).
d. Kemampuan keterampilan motorik halus (fine motor skill) seperti memegang/melepas, keterampilan manipulasi gerak jari, misal penggunaan pensil, gunting, keterampilan menulis, dan lain-lain.
e. Kemampuan keterampilan motorik kasar (gross motor shill) seperti lari, lompat, naik-turun tangga jongkok jalan dan lain-lain.
f. Mengenal bentuk, mengingat bentuk (visual perception).
g. Merespon stimuli, membedakan input sensori (sensory integration).
h. Perilaku termasuk level kesadaran, atensi, problem solving skill, dan lain- lain
2. Keterampilan (skill)
a. AktivitaS sehari-hari (activity daily living) seperti makan, minum, berpakaian mandi, dan lain-lain.
b. Pre-academic skill.
c. Keterampilafl sosial.
d. Keterampilan bermain.
3. Faktor Lingkungan
a. Lingkungan fisik.
b. Situasi keluarga.
c. Dukungan dan komunitas.
4. Okupasi Terapis sebagai Konsultan
Okupasi terapis sebagai konsultan pada area berikut ini:
a. Program intervensi awal.
b. Pengaturan rumah, sekolah, dan area bermain.
c. Lingkungan dan adaptasi mainan atau media belajar.
d. Alat bantu.
e. Strategi perilaku.
Untuk mencapai tujuan tersebut di dalam terapi okupasi memiliki dua prinsip kerja, yaitu sebagai berikut.
a. Supportive Occupatinal Therapy, yaitu menolong penderita untuk menghilangkan dan perasaan cemas, takut, dan memotivasi penderita untuk lebih giat didalam melakukan latihan.
b. Fungsional Occupational Therapy, antara lain untuk pengaturan posisi (bagi anak Cerebral Palsy), meningkatkan kekuatan otot dan daya tahan kerja, meningkatkan motorik kasar (gross motor) maupun motorik halus, (fine motor) serta meningkatkan konsentrasi dan kooordinasi gerak maupun sikap.
B. Pelaksanaan/Dimulainya Terapi Okupasi
Sebaiknya terapi okupasi dilakukan sedini mungkin, sejak penderita dirujuk oleh dokter. Sebelum penderita mulai latihan, perlu diberikan evaluasi awal dengan dilakukan observasi dan tes sederhana. Dalam evaluasi awal ini, hal yang harus diperhatikan adalah catatan medik dan dokter, macam kecacatan (Cerebral Palsy atau Retradasi Mental), berat ringannya kecacatan, kecerdasan, kebutuhan dan penderita itu sendiri dan hal-hal yang harus dijauhi/dihindarkan untuk segi keamanan penderita.
Evaluasi awal ini sangat berguna untuk menentukan aktivitas yang akan diberikan, agar sesual dengan kondisi dan kebutuhan penderita itu sendiri. Aktivitas yang diberikan di bagian terapi okupasi adalah sebagai berikut.
1. Aktivitas kehidupan sehari-hari/ADL. Aktivitas mi dibenikan agar pendenita dapat mandini tanpa tergantung orang lain.
2. Aktivitas bermain. Bermain mi diharapkan untuk dapat memperbaiki konsentrasi, koordinasi, motonik serta menumbuhkan bakat, hobi, minat, serta kesenangan.
3. Seni dan hasta karya. Untuk membenikan kesempatan pada penderita dalam mencapai suatu hasil yang maksimal, yang mengandung unsur-unsur kedewasaan dan kerumah tangga yang isesuaikan dengan kapasitas penderita.
Terapis di dalam memberikan suatu latihan harus bersikap sabar, ramah, dan dituntut untuk kreatif, selain itu, tidak kalah pentingnya juga peran serta onang tua dalam proses latihan. Pada hal ini diharapkan terapis dapat memberikan masukan-masukan kepada orang tua penderita untuk berlatih di rumah.
C. Perbedaan Terapi Okupasi dan Rehabilitasi Medis
Terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi seseorang untuk melaksanakan suatu tugas tertentu yang telah ditentukan dengan maksud untuk memperbaiki, memperkuat, dan meningkatkan kemampuan, serta mempermudah belajar keahlian atau fungsi yang dibutuhkan dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Selain itu, juga untuk meningkatkan produktivitas, mengurangi dan/atau memperbaiki ketidaknormalan (kecacatan), serta memelihara atau meningkatkan derajat kesehatan. Terapi okupasi lebih dititikberatkan pada pengen kemampuan yang masih ada pada seseorang, kemudian memelihara atau meningkatkannya sehingga dia mampu mengatasi masalah-masalah yang diharapkannya.
Terapi okupasi menggunakan okupasi (pekerjaan atau kegiatan) sebagai media. Tugas pekerjaan atau kegiatan yang dipilihkan adalah berdasarkan pemilihan terapis disesuaikan dengan tujuan terapis itu sendiri. Jadi, bukan hanya sekedar kegiatan untuk membuat seseorang sibuk. Tujuan utama terapi okupasi adalah membentuk seseorang agar mampu berdiri sendiri tanpa menggantungkan diri pada pertolongan orang lain. Rehabilitasi adalah suatu usaha yang terkoordinasi yang terdiri atas usaha medis, sosial, edukasional, dan vokasional, untuk melatih kembali seseorang untuk mencapai kemampuan fungsional pada taraf setinggi mungkin. Sementara itu, rehabilitasi medis adalah usaha-usaha yang dilakukan secara medis khususnya untuk mengurangi invaliditas atau mencegah memburuknya invaliditas yang ada.
D. Fungsi dan Tujuan Terapi Okupasi
Terapi okupasi adalah terapan medis yang terarah bagi pasien fisik maupun mental dengan menggunakan aktivitas sebagai media terapi dalam rangka memulihkan kembali fungsi seseorang sehingga dia dapat mandiri semaksimal mungkin. Aktivitas tersebut adalah berbagai macam kegiatan yang direncanakan dan disesuaikan dengan tujuan terapi. Pasien yang dikirimkan oleh dokter, untuk mendapatkan terapi okupasi adalah dengan maksud sebagai berikut.
1. Terapi khusus untuk pasien mental/jiwa.
2. Menciptakan suatu kondisi tertentu sehingga pasien dapat mengembangkan kemampuannya untuk dapat berhubungan dengan orang lain dan masyarakat sekitarnya.
3. Membantu dalam melampiaskan gerakan-gerakan emosi secara wajar dan produktif.
4. Membantu menemukan kernampuan kerja yang sesuai dengan bakat dan keadaannya.
5. Membantu dalam pengumpulan data guna penegakan diagnosis dan penetapan terapi lainnya.
6. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan ruang gerak sendi, kekuatan otot, dan koordinasi gerakan.
7. Mengajarkan aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan, herpakaian belajar menggunakan fasilitas umum (telepon, televisi, dan lain-lain), baik dengan maupun tanpa alat bantu, mandi yang bersih, dan lain-lain.
8. Membantu pasien untuk menyesuaikan din dengan pekerjaan rutin di rumahnya dan memberi saran penyederhanaan (siplifikasi) ruangan maupun letak alat-alat kebutuhan sehari-hari.
9. Meningkatkan toleransi kerja, memelihara, dan meningkatkan kemampuan yang masih ada.
10. Menyediakan berbagai macam kegiatan untuk dijajaki oleh pasien sebagai lai dalam pre-cocational training. Berdasarkan aktivitas ini akan dapat diketahui kemampuan mental dan fisik, kebiasaan kerja, sosialisasi, minat, potensi dan lainnya dan si pasien dalam mengarahkannya pada pekerjaan yang tepat dalam latihan kerja.
11. Membantu penderita untuk menerima kenyatan dan menggunakan waktu selama masa rawat dengan berguna.
12. Mengarahkan minat dan hobi agar dapat digunakan setelah kembali ke keluarga.
Program terapi okupasi adalah bagian dan pelayanan medis untuk tujuan rehabilitasi total seorang pasien melalui kerja sama dengan petugas lain di rumah sakit. Dalam pelaksanaan terapi okupasi kelihatannya akan banyak overlapping dengan terapi lainnya sehingga dibutuhkan adanya kerja sama yang terkoordinir dan terpadu
E. Peranan Terapi Okupasi / Pekerjaan dalam Pengobatan
Aktivitas dipercayai sebagai jembatan antara batin dan dunia luar. Melalui aktivitas manusia dihubungkan dengan lingkungan, kemudian mempelajarinya, mencoba keterampilan atau pengetahuan, mengekspresikan perasaan, memenuhi kebutuhan fisik maupun emosi, mengembangkan kemampuan. dan sebagai alat untuk mencapai tujuan hidup. Potensi tersebutlah yang digunakan sebagai dasar dalam pelaksanaan terapi okupasi, baik bagi penderita fisik maupun mental.
Aktivitas dalam terapi okupasi digunakan sebagai media baik untuk evaluasi, diagnosis. terapi. maupun rehabilitasi. Dengan mengamati dan mengevaluasi pasien saat mengerjakan suatu aktivitas dan menilai hasil pekerjaan dapat ditentukan arah terapi dan rehabilitasi selanjutnya dan pasien tersebut. Penting untuk diingat bahwa aktivitas dalam terapi okupasi tidak untuk menyembuhkan, tetapi hanya sebagai media. Diskusi yang terarah setelah penvelesaian suatu aktivitas adalah sangat penting karena dalarn kesenipatan tersebut terapis dapat mengarahkan pasien dan pasien dapat belajar mengenal dan mengatasi persoalannya.
Aktivitas yang dilakukan pasien diharapkan dapat menjadi tempat untuk berkomunikasi lehih balk dalam mengekpresikan dirinya. Kemampuan pasien akan dapat diketahui baik oleh terapi maupun oleh pasien itu sendiri melalui aktivitas yang dilakukan oleh pasien. Alat-alat atau bahan-bahan yang digunakan dalan1 melakukan suatu aktivitas, pasien akan didekatkan dengan kenyataan terutama dalani hal kemampuan dan kelemahannya. Aktivitas dalam kelompok akan dapat merangsang terjadinya interaksi di antara anggota yang berguna dalam meningkatkan sosialisasi dan menilai kemampuan diri masing-masing dalam hal keefisiensiannya untuk berhubungan dengan orang lain.
Aktivitas yang dilakukan meliputi aktivitas yang digunakan dalam terapi okupasi di mana sangat dipengaruhi oleh konteks terapi secara keseluruhan, lingkungan, sumber yang tersedia, dan juga oleh kemampuan si terapis sendiri (pengetahuan, keterampilan, minat, dan kreativitasnya). Adapun hal-hal yang mempengaruhi aktivitas dalam terapi okupasi antara lain sebagai berikut.
1. Jenis- Jenis aktivitas dalam terapi okupasi adalah sebagai benikut:
a. Latihan gerak badan
b. Olahraga
c. Permainan
d. Kerajinan tangan.
e. Kesehatan, kebersihan, dan kerapihan pribadi.
f. Pekerjaan sehari-hari (aktivitas kehidupan sehari-hari).
g. Praktik pre-vokasional.
h. Seni (tari, musik, lukis, drama, dan lain-lain).
i. Rekreasi (tamasya, nonton bioskop/drama, pesta ulang tahun, dan lain-lain).
j. Diskusi dengan topik tertentu (berita surat kabar, majalah, televisi, radio atau keadaan lingkungan).
2. Karekteristik aktivitas.
Aktivitas dalam terapi okupasi adalah segala macam aktivitas yang dapat menyibukkan seseorang secara produktif yaitu sebagai suatu media untuk belajar dan berkembang, sekaligus sebagai sumber kepuasaan emosional maupun fisik. Oleh karena itu setiap aktivitas yang digunakan dalam terapi okupasi harus mempunyai karekteristik sebagai berikut.
a. Setiap gerakan harus mempunyai alasan dan tujuan terapi yang jelas. Jadi bukan hanya sekedar menyibukkan pasien.
b. Mempunvai arti tertentu hagi pasien, artinva dikenal oleh atau ada hubungannya dengan pasien.
c. Pasien harus mengerti tuiuan mengerjakan kegiatan tersebut, dan apa kegunaannya terhadap upaya penyembuhan penyakitnya.
d. Harus dapat melihatkan pasien secara aktif walaupun minimal.
e. Dapat mencegah lebih beratnya kecacatan atau kondisi pasien, bahkan harus dapat meningkatkan atau setidak-tidaknya memelihara koondisinya.
f. Harus dapat memberi dorongan agar si pasien mau berlatih lebih giat sehingga dapat mandiri.
g. Harus sesuai dengan minat, atau setidaknya tidak dibenci olehnya.
h. Harus dapat dimodifikasi untuk tujuan peningkatan atau penyesuaian dengan dengan kemampuan pasien.
Faktor Yang Perlu Diperhatikan Dalam Memilih Aktivitas Adalah Sebagai Berikut:
a. Apakah bahan yang digunakan merupakan yang mudah dikontrol, ulet, kasar, kotor, halus, dan sebagainya.
b. Apakah aktivitas rumit atau tidak.
c. Apakah perlu dipersiapkan sebelum dilaksanakan.
d. Cara pemberian instruksi bagaimana.
e. Bagaimana kira-kira setelah hasil selesai.
f. Apakah perlu pasien membuat keputusan.
g. Apakah perlu konsentrasi.
h. lnteraksi yang mungkin terjadi apakah menguntungkan.
i. Apakah diperlukan kemampuan berkomunikasi.
j. Berapa lama dapat diselesaikan.
k. Apakah dapat dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat disesuaikan dengan kemampuan dan keterampilan pasien.
3. Analisis aktivitas.
Untuk dapat mengenal karekteristik maupun potensi atau aktivitas dalam rangka perencanaan terapi, maka aktivitas tersebut harus dianalisis terlebih dahulu. Hal-hal yang perlu dianalisis adalah sebagai berikut.
a. Jenis aktivitas.
b. Maksud dan tujuan penggunaan aktivitas tersebut (sesuai dengan tujuan terapi).
c. Bahan yang digunakan:
1) Khusus atau tidak
2) Karekteristik bahan:
a) mudah ditekuk atau tidak,
b) mudah dikontrol atau tidak,
c) menimbulkan kekotoran atau tidak,
d) 1 atau tidak,
3) Rangsangan yang dapat ditimbulkan:
a) taktil,
b) pendengaran,
c) pembauan,
d) penglihatan,
e) perabaan,
f) gerakan sendi,
g) dan sebagainya.
4) Warna
5) Macam-macamnya dan namanya
6) Banyaknya
d. Bagian-bagian aktivitas
1) Banyaknya bagian
2) Rumit atau sederhana
3) Apakah membutuhkan pengulangan
4) Apakah membutuhkan perhitungan matematika
e. Persiapan pelaksanaan:
1) Apakah harus dipersiapkan terlebih dahulu
2) Apakah harus ada contoh atau cukup dengan lisan
3) Apakah bahan telah tersedia atau harus dicani terlebih dahulu
4) Apakah ruangan untuk melaksanakan harus diatur
f. Pelaksanaan, apakah dalam pelaksanaan tugas ini perlu adanya:
1) Konsentrasi
2) Ketangkasan
3) Rasa sosial di antara pasien
4) Kemampuan mengatasi masalah
5) Kemampuan bekerja sendiri
6) Toleransi terhadap frustasi
7) Kemampuan mengikuti instruksi
Kemampuan membuat keputusan
g. Apakah aktivitas tersebut dapat merangsang timbulnya lnteraksi di antara mereka.
h. Apakah aktivitas tersebut membutuhkan konsentrasi, ketangkasan, inisiatif, penilaian, ingatan, komprehensi, dan lain-lain.
i. Apakah aktivitas tersebut melibatkan imajinasi, kreativitas, pelampiasan emosi dan lain-lain.
j. Apakah ada kontraindikasi untuk pasien tertentu. Dalam hal ini harus bertindak hati-hati karena dapat berbahaya bagi pasien maupun sekelilingnya (misalnya untuk pasien dengan paranoid sangat riskan memberikan benda tajam).
k. Hal yang penting lagi adalah apakah disukai oleh pasien.
F. Indikasi Terapi Okupasi
1. Seseorang yang kurang berfungsi dalam kehidupannya karena kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam pengintegrasian perkembangan psikososialnya.
2. Kelainan tingkah laku yang terlihat dalam kesulitannya berkomunikasi dengan orang lain.
3. Tingkah laku tidak wajar dalam mengekpresikan perasaan atau kebutuhan yang primitif.
4. Ketidakmampuan mengisiterprestasikan rangsangan sehingga reaksinya terhadap rangsangan tersebut tidak wajar pula
5. Terhentinya seseorang dalam fase pertumbuhan tertentu atau seseorang yang mengalami kemunduran.
6. Mereka yang lebih mudah mengekspresikan perasaannya melalui suatu aktivitas daripada dengan percakapan.
7. Mereka yang merasa lebih mudah mempelajari sesuatu dengan cara mempraktikkannya daripada dengan membayangkan.
8. Pasien cacat tubuh yang mengalami gangguan dalam kepribadiannya.
G. Proses Terapi Okupasi
Dokter yang mengirimkan pasien untuk terapi okupasi akan menyertakan juga data mengenai pasien herupa diagnosis, masalahnya, dan juga akan menyatakan apa yang perlu diperbuat dengan pasien tersehut. Apakah untuk mendapatkan data yang lebih banyak untuk keperluan diagnosis, terapi, atau rehabilitasi. Setelah pasien berada di unit terapi okupasi, maka terapis akan bertindak sebagai berikut.
1. Koleksi data. Data biasa didapatkan dan kartu rujukan atau status pasien yang disertakan ketika pertama kali pasien mengunjungi unit terapi okupasional. Jika dengan mengadakan wawancara dengan pasien atan keluarganya, atau dengan mengadakan kunjungan rumah. Data mi diperlukan untuk menyusun rencana terapi bagi pasien. Proses mi dapat berlangsung beberapa hari sesuai dengan kebutuhan.
2. Analisis data dan identifikasi masalah. Dan data yang terkumpul dapat ditarik suatu kesimpulan sementara tentang masalah dan/atau kesulitan pasien. Hal ini dapat berupa masalah di lingkungan keluarga atau pasien itu sendiri.
3. Penentuan tujuan. Dan masalah dan latar belakang pasien, maka dapat disusun daftar tujuan terapi sesuai dengan pnioritas, baik jangka pendek maupun jangka panjangnya.
4. Penentuan aktivitas. Setelah tujuan terapi ditetapkan maka dipilihlah aktivitas yang dapat mencapai tujuan terapi tersebut. Dalam proses mi pasien dapat diikutsertakan dalam menentukan jenis kegiatan yang akan dilaksanakan sehingga pasien merasa ikut bertanggung jawab atas kelancaran pelaksanaannya. Dalam hal mi harus diingat bahwa aktivitas tersebut tidak akan menyembuhkan penyakit, tetapi hanya sebagai media untuk dapat mengerti masalahnya dan mencoba mengatasinya dengan bimbingan terapis. Pasien juga harus diberitahu alasan-alasan mengapa dia harus mengerjakan aktivitas tersebut sehingga dia sadar dan diharapkan akan mengerjakannya dengan aktif.
5. Evaluasi. Evaluasi harus dilaksanakan secara teratur dan terencana sesuai dengan tujuan terapi. Hal ini perlu agar dapat menyesuaikan program terapi selanjutnya sesuai dengan perkembangan pasien yang ada. Hasil evaluasi yang didapatkan dapat dipergunakan unutk merencanakan hal-hal mengenai penyesualan jenis aktivitas yang akan diberikan. Namun, dalam hal tertentu penyesuaian aktivitas dapat dilakukan setelah beberapa waktu melihat bahwa tidak ada kemajuan atau kurang efektif terhadap pasien.
Hal-hal yang perlu dievaluasi antara lain adalah sebagai berikut:
1 Kemampuan membuat keputusan.
a. Tingkah laku selama bekerja.
b. Kesadaran adanya orang lain yang bekerja bersama dia dan yang mempunyai kebutuhan sendiri.
c. Kerjasama.
d. Cara memperlihatkan emosi (spontan, wajar, jelas, dan lain-lam).
e. Inisiatif dan tanggung jawab.
f. Kemampuan untuk diajak atau mengajak berunding.
g. Menyatakan perasaan tanpa agresi.
h. Kompetisi tanpa permusuhan.
i. Menerima kritik dan atasan atau teman sekerja.
j. Kemampuan menyatakan pendapat sendiri dan apakah bertanggung jawab atas pendapatnya tersebut.
k. Menyadari keadaan dirinya dan menerimanya.
l. Wajar dalam penampilan.
m. Orientasi tempat, waktu, situasi, dan orang lain.
n. Kemampuan menerima instruksi dan mengingatnya.
o. Kemampuan bekerja tanpa terus-menerus diawasi
p. Kerapian bekerja.
q. Kemampuan merencanakan suatu pekerjaan.
r. Toleransi terhadap frustasi.
s. Lambat atau cepat.
H. Pelaksanaan
1. Metode terapi okupasi dapat dilakukan baik secara individual, maupun berkelompok, tergantung dan keadaan pasien, tujuan terapi, dan lain-lain.Metode individual dilakukan untuk:
a. pasien baru yang bertujuan untuk mendapatkan lebih banyak informasi dan sekaligus untuk evaluasi pasien;
b. pasien yang beluni dapat atau mampu untuk berinteraksi dengan cukup baik di dalam suatu kelompok sehingga dianggap akan mengganggu kelancaran suatu kelompok bila dia dimasukkan dalam kelompok tersebut.
c. pasien wang sedang menjalani latihan kerja dengan tujuan agar terapis dapat niengevaluasi pasien lebih efektif.
2. Metode kelompok dilakukan untuk: pasien lama atas dasar seleksi dengan masalah atau hampir bersamaan, atau dalam melakukan suatu aktivitas untuk tujuan tertentu bagi beberapa pasien sekaligus. Sebelum memulai suatu kegiatan baik secara individual maupun kelompok, maka terapis harus mempersiapkan terlebih dahulu segala sesuatunya yang menyangkut pelaksanaan kegiatan tersebut. Pasien juga perlu dipersiapkan dengan cara memperkenalkan kegiatan dan menjelaskan tujuan pelaksanaan kegiatan tersebut sehingga dia atau mereka lebih mengerti dan berusaha untuk ikut aktif. Jumlah anggota dalam suatu kelompok disesuaikan dengan jenis aktivitas yang akan dilakukan, dan kemampuan terapis mengawasi.
3. Waktu. Okupasiterapi dilakukan antara 1-2 jam setiap sesi balk yang individu maupun kelompok setiap hari, dua kali atau tiga kali seminggu tergantung tujuan terapi, tersedianva tenaga dan fasilitas, dan sebagainya. Sesi ini dibagi menjadi dua bagian yaitu ‘jam untuk menyelesaikan kegiatan-kegiatan dan 1-1½ jam untuk diskusi. Dalam diskusi ini dibicarakan mengenai pelaksanaan kegiatan tersebut, antara lain kesulitan yang dihadapi, kesan mengarahkan diskusi tersebut kearah yang sesuai dengan tujuan terapi.
4. Terminasi. Keikutsertaan seseorang pasien dalam kegiatan okupasiterapi dapat dasar bahwa pasien:
a. Dianggap telah mampu mengatasi persolannya
b. Dianggap tidak akan berkembang lagi
c. Dianggap perlu mengikuti program lainnya sebelum okupasiterapi
BAB III
PEMBAHASAN
Terapi Okupasi pada Pasien dengan Skizofrenia
Terapi okupasi juga dapat merupakan bagian dari rehabilitasi medik untuk pasien-pasien dengan penyakit fisik maupun gangguan mental. Disini, terapi okupasi merupakan terapi medik yang terarah dengan menggunakan aktivitas sebagai media terapi, dalam rangka memulihkan kembali fungsi seseorang sehingga mampu mandiri semaksimal mungkin.
Pada pasien-pasien dengan gangguan jiwa, aktivitas dalam terapi okupasi biasanya dilakukan untuk membantu dalam mendiagnosis, terapi, evaluasi, maupun rehabilitasi. Hal ini dapat dilakukan dengan mengamati pasien saat mengerjakan suatu aktivitas, saat berinteraksi dengan kelompoknya, dan dengan menilai hasil pekerjaannya. Dalam pengamatan tersebut dapat dikumpulkan data-data yang berguna untuk mendukung ke arah suatu diagnosis tertentu serta menetapkan terapi lainnya. Manfaat terapi didapat dengan membantu dalam melepaskan dorongan-dorongan emosional secara wajar dan produktif. Dengan memberikan terapi okupasi secara periodik maka akan dapat dilakukan evaluasi terhadap hasil pengobatan. Sedangkan tujuan rehabilitasi diperoleh dengan menciptakan suatu kondisi tertentu sehingga pasien dapat mengembangkan kemampuannya untuk dapat berhubungan dengan orang lain dan masyarakat sekitar. Disamping itu juga dapat membantu menemukan kemampuan kerja yang sesuai dengan bakat dan keadaannya.
Sebagaimana telah dipahami, bahwa pada sebagian penderita gangguan skizofrenia digambarkan memiliki perjalanan penyakit yang kronis dan disertai dengan terjadinya deteriorasi dari taraf fungsi sebelumnya. Deteriorasi atau kemunduran tersebut mungkin sudah dimulai sejak fase prodromal selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan sebelum onset penyakit, yang mencakup terdapatnya keruntuhan taraf fungsi dalam bidang pekerjaan, aktivitas sosial (pergaulan sosial), serta penelantaran penampilan pribadi dan perawatan diri.
Pada penderita dengan skizofrenia sering terdapat beberapa gejala secara bersama-sama seperti gangguan bentuk dan isi pikiran, arus pikiran, persepsi, afek, serta gangguan pada perilaku yang dapat bermanifestasi sebagai perilaku katatonik maupun gejala-gejala negatif. Pada penderita skizofrenia dengan gejala-gejala negatif seperti sikap apatis, pembicaraan yang terhenti, dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar biasanya akan mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial. Selain itu bisa juga terjadi suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek perilaku seseorang yang bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tak bertujuan, sikap malas, sikap berdiam diri (self-absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial.
Pada proses penyembuhan pasien skizofrenia mendapat terapi kognitif yang menekankan pada komunikasi dan terapi okupasi yang menekankan pada suatu kegiatan atau karya. Kurangnya aktifitas pasien akan membuat pasien lebih asyik dengan dunia sendiri sehingga bisa memicu terjadinya kekambuhan.
Telah pula diyakini bahwa cara yang paling efisien dalam penanganan pasien dengan skizofrenia adalah melalui kombinasi psikofarmakologi dan intervensi psikososial seperti psikoterapi, terapi keluarga, dan terapi okupasi. Hal ini telah dibuktikan setidaknya dari sebuah penelitian mengenai terapi okupasi pada pasien dengan skizofrenia yang resisten terhadap pengobatan (treatment-resistant schizophrenia) yang dilakukan oleh Buchain dkk. di Sao Paulo, Brazil.
Penelitian yang dipublikasikan tahun 2002 ini menggunakan rancangan penelitian acak terkontrol (randomized controlled trial) dengan melibatkan 26 orang pasien skizofrenia yang resisten terhadap pengobatan, yang kemudian diikuti dan dievaluasi selama 6 bulan. Secara acak, mereka terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok penelitian dan kelompok kontrol. Kelompok penelitian menerima penanganan psikofarmakologi dengan Clozapine yang disertai dengan sesi terapi okupasi, sedangkan kelompok kontrol hanya menerima Clozapine. Untuk mengevaluasi hasil akhirnya digunakan skala Interactive Observation in Occupational Therapy (EIOTO). Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa intervensi terapi okupasi ternyata efektif sepanjang periode observasi, terutama setelah memasuki bulan ke-4 hingga akhir penelitian. Sehingga disimpulkan bahwa kombinasi Clozapine dan terapi okupasi tampaknya lebih efektif dibandingkan hanya Clozapine saja pada pasien dengan skizofrenia yang resisten pengobatan.
BAB IV
PENUTUP
Terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi seseorang untuk melaksanakan suatu tugas tertentu yang telah ditentukan dengan maksud untuk memperbaiki, memperkuat dan meningkatkan kemampuan, dan mempermudah mempelajari keahlian atau fungsi yang dibutuhkan dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Juga untuk meningkatkan produktivitas, mengurangi dan atau memperbaiki ketidak normalan (kecacatan), dan memelihara atau meningkatkan derajat kesehatan
Pelaksanaan/Dimulainya Terapi Okupasi, sebaiknya dilakukan sedini mungkin, sejak penderita dirujuk oleh dokter. Sebelum penderita mulai latihan, perlu diberikan evaluasi awal dengan dilakukan observasi dan tes sederhana.
Tujuan terapi okupasi:
1. Terapi khusus untuk pasien mental/jiwa.
2. Menciptakan suatu kondisi tertentu sehingga pasien dapat mengembangkan kemampuannya untuk dapat berhubungan dengan orang lain dan masyarakat sekitarnya.
3. Membantu dalam melampiaskan gerakan-gerakan emosi secara wajar dan produktif.
4. Membantu menemukan kernampuan kerja yang sesuai dengan bakat dan keadaannya.
5. Membantu dalam pengumpulan data guna penegakan diagnosis dan penetapan terapi lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Andreasen, N,C., Carpenter, M.T., Kane, J.M.,Lasser, R.A.,Marder, S.R., Weinberger, D.R. 2005. Remission in Schizophrenia: Proposed Criteria and Rationale for Consensus. Am J Psychiatry. 162:441–449.
2. Durand, V. Mark, & Barlow, David H. (2006). Psikologi Abnormal. Edisi Keempat. Jilid Pertama. Jogjakarta : Pustaka Pelajar
3. Jenkins, J.H.,Garcia, J.I.R., Chang, C.L., Young, J.S., Lopez, S.R. 2006. FamilySupport Predicts Psychiatric Medication Usage Among Mexican AmericanIndividuals with Schizophrenia. Social Psyciatry and Psychiatric Epidemology,41. 624-631.
4. Kaplan H.I, Sadok B.J. Sinopsis Psikiatri, Edisi ketujuh, Jilid I, Binarupa Aksara, Jakarta, 1997 : 777-83
5. Kaplan H.I, Sadok B.J. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat, Cetakan I, Widya Medika, Jakarta, 1998 : 227-229
6. Kaplan H.I, Sadok B.J. Comprensive Textbook Of Psychiatry, William & Walkins. 5th Edition, USA, 1998 : 128
7. Maramis, W. F. (2009). Ilmu Kedokteran Jiwa edisi 2. Surabaya: Pusat penerbitan dan percetakan.
8. Maslim R, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkasan dari PPGDJ-III, Jakarta, 2001 : 65
9. Nevid, Jeffrey S., Rathus, Spencer A., & Greene, Beverly. (2005). Psikologi Abnormal. Edisi Kelima. Jilid Pertama. Jakarta : Penerbit Erlangga
10. Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ III), Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1993.
11. Occupational therapy practice framework: Domain and process, In American Journal of Occupational Therapy, vol. 56(6), 2002; p609-639
12. Budiman A, Siahaan H B; Okupasiterapi, Dalam Makalah Pelatihan Terapi Keluarga dan Terapi Relaksasi, Ciloto, 1993; hal. 1-9.
13. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik; Skizofrenia, Gangguan Skizotipal dan Gangguan Waham, Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III, Jakarta, Departemen Kesehatan RI, Cetakan I, 1993; hal. 103-136.
14. Buchain P C, et all; Randomized controlled trial of occupational therapy in patients with treatment-resistant schizophrenia, In Rev Bras Psiquiatr, vol. 25(1), 2003; p26-30.
REFERAT
TERAPI OKUPASI PADA PASIEN SKIZOFRENIA
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kelulusan Kepanitraan Klinik
di Bagian Psikiatri
oleh :
Meilisa Sri Suzana , S.Ked
H1AP10026
Pembimbing :
dr. Lucy M. Bangun, SpKJ
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN PSIKIATRI
RSKJ SOEPRAPTO PROV BENGKULU
UNIVERSITAS BENGKULU
2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “ Terapi Okupasi Pada Pasien Skizofrenia” ini dengan baik dan selesai tepat waktu. Penulisan referat ini bertujuan untuk memenuhi sebagian syarat kelulusan kepaniteraan klinik Psikiatri di RSKJ Soeprapto Prov Bengkulu.
Selesainya referat ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan referat ini hingga selesai, terutama kepada dr. Lucy M. Bangun, SpKJ , selaku dokter pembimbing dan konsulen psikiatri di RSKJ Soeprapto Prov Bengkulu yang telah membimbing dan memberikan masukan dalam penyusunan referat ini. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada teman-teman sejawat serta pihak-pihak lain yang telah membantu dalam penyusunan referat ini yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa Referat ini belum sempurna, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan referat ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan semoga referat ini dapat bermanfaat serta menjadi bahan masukan bagi dunia pendidikan.
Penulis,
Meilisa Sri Suzana, S.Ked
H1AP10026
Meilisa Sri S- Posts : 4
Reputation : 0
Join date : 20.02.16
Similar topics
» TERAPI MEDIKA MENTOSA TERHADAP MORBIDITAS SKIZOFRENIA
» Tilikan Diri Pasien Skizofrenia
» Faktor Resiko Relaps dan Tilikan Pasien Skizofrenia
» peram keluarga pada pasien dengan gangguan jiwa
» Faktor Risiko Relaps pada Skizofrenia
» Tilikan Diri Pasien Skizofrenia
» Faktor Resiko Relaps dan Tilikan Pasien Skizofrenia
» peram keluarga pada pasien dengan gangguan jiwa
» Faktor Risiko Relaps pada Skizofrenia
:: Tugas dan Presentasi :: Referat
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik