Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

TERAPI MEDIKA MENTOSA TERHADAP MORBIDITAS SKIZOFRENIA

Go down

TERAPI MEDIKA MENTOSA TERHADAP MORBIDITAS SKIZOFRENIA Empty TERAPI MEDIKA MENTOSA TERHADAP MORBIDITAS SKIZOFRENIA

Post by Lia Andini SN Wed Jan 20, 2016 2:56 pm

REFERAT
TERAPI MEDIKA MENTOSA TERHADAP MORBIDITAS SKIZOFRENIA



DISUSUN OLEH:
Lia Andini Sulistianingrum, S.Ked
H1AP009026
PEMBIMBING:
dr. Andri Sudjatmoko, Sp. KJ



KEPANITERAAN  KLINIK KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI BENGKULU – RSJ SOEPRAPTO BENGKULU
2015
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa , karena atas berkat dan rahmat-Nya lah sehingga saya dapat menyelesaikan referat ini tepat pada waktunya. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Negeri Bengkulu. Dengan bekal pengetahuan dan pengarahan serta bimbingan yang diperoleh sebelumnya dan selama menjalani kepaniteraan, saya menyusun referat berjudul “Insomnia“. Pada kesempatan ini, saya mengucapkan banyak terimakasih kepada dr. Andri Sudjatmoko, Sp.KJ yang telah membimbing dan membantu saya dalam melaksanakan kepaniteraan dan dalam menyusun referat ini.
Saya menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format referat ini. Oleh karena itu, segala kritik dan saran saya terima dengan tangan terbuka.
Akhir kata , saya berharap referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan serta semua pihak yang ingin mengetahui sedikit banyak mengenai “terapi medika mentosa terhadap morbiditas skizofrenia”.



Bengkulu,    Desember 2015

                                                                                         
                                   Penyusun                                        




BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Skizofrenia merupakan gangguan psikiatri yang paling sering terjadi, hampir 1% penduduk di dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka dan dapat mengenai orang dari semua kelas sosial.1,3 Prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah 0,3-1% dan biasanya timbul pada usia sekitar 18-45 tahun.4 Diperkirakan sekitar 2 juta jiwa penduduk Indonesia menderita skizofrenia, dimana sekitar 99% pasien di RS Jiwa di Indonesia adalah penderita skizofrenia.4
Obat antipsikotik telah menjadi terapi farmakologi utama untuk  skizofrenia sejak 1950-an. Skizofrenia memerlukan terapi pemberian antipsikotik dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga sangat mungkin dalam proses pengobatan dapat ditemukan permasalahan dalam penggunaan antipsikotik. Beberapa jurnal ilmiah menyatakan hubungan antara penggunaan antipsikotik terutama antipsikotik atipikal dengan efek samping metabolik pada tingkat yang bervariasi dari penambahan berat badan, dislipidemi dan risiko terhadap diabetes tipe 2. Perubahan fisik seperti berat badan, perubahan kadar kolesterol maupun gula darah bisa menjadi indikasi efek samping metabolik pada pasien yang diobati  dengan antipsikotik ini. Berdasarkan penelitian epidemiologi, cross-sectional, dan prospektif menyatakan jika antipsikotik terutama antipisikotik atipikal menyebabkan peningkatan secara drastis berat badan dan perubahan metabolik seperti peningkatan glukosa darah puasa, resistensi insulin dan trigliserida. Potensi munculnya efek samping ini bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti dosis, pola dan durasi penggunaan antipsikotik, serta kerentanan seseorang terhadap munculnya efek samping ini juga berbeda-beda.

I.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas tentang terapi medika mentosa terhadap morbiditas skizofrenia
I.3 Tujuan
Sebagai referensi untuk menambah sumber bacaan mengenai terapi medika mentosa terhadap morbiditas skizofrenia  yang digunakan pada pasien dengan skizoprenia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SKIZOFRENIA
2.1.1 Definisi
Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.1
2.1.2 Etiologi
Sampai saat ini penyebab dari gangguan skizofrenia masih belum diketahui secara pasti. Namun, terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab skizofrenia, antara lain :
a. Faktor Genetik
Faktor keturunan juga menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur.1
Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut quantitative trait loci. Hal ini juga menjelaskan mengapa terdapat gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan skizofrenia (dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini.10
b. Faktor Biokimia
Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmiter dopamin yang berlebihan di bagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamin. Neuron dopaminergik di dalam jalur tersebut berjalan dari badan selnya di otak tengah ke neuron dopaminoseptif di sistem limbik dan korteks serebral. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamin yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmiter lain seperti serotonin dan norepinefrin juga memainkan peranan penting dalam terjadinya skizofrenia.10
c. Model Diatesis-Stress/Psikososial
Satu model untuk intergrasi faktor biologis, faktor psikososial dan lingkungan adalah model diathesis-stress. Model ini menggambarkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diathesis) yang bila dikenai pengaruh lingkungan yang menimbulkan stres sehingga muncul gejala skizofrenia. Dasar biologis untuk suatu kerentanan dibentuk lebih lanjut oleh pengaruh genetik, penyalahgunaan zat, stress psikologis, dan trauma.1
d. Neurologikal
Menurut konsep neurobiologikal gangguan jiwa sangat berkaitan dengan abnormalitas sruktur dari otak atau aktivitas berlebihan di lokasi spesifik yang dapat menyebabkan atau berkontribusi dalam gangguan jiwa. Sebagai contoh masalah komunikasi adalah salah satu bagian dari disfungsi secara luas. Hal ini juga diketahui bahwa hubungan antara nukleus yang mengontrol kognitif, perilaku, dan emosi terutama terlibat dalam gangguan psikiatri. Serebral korteks, merupakan daerah di otak yang sangat penting dalam membuat keputusan dan berfikir tingkat tinggi, seperti pemikiran abstrak.1
Sistem limbik, yang terlibat dalam mengatur perilaku emosional, memori, dan pembelajaran.11
a. Ganglia basal : mengkoordinasi gerakan.
b. Hipotalamus : meregulasi hormon di tubuh sepeti kebutuhan makan, minum dan seks.
c. Locus ceruleus : membuat sel saraf dapat meregulasi tidur dan terlibat dalam perilaku dan mood.
d. Substantia nigra : sel yang memproduksi dopamin dan terlibat dalam mengontrol pergerakkan yang kompleks, berfikir dan respon emosi.
2.1.3 Psikopatologi
Penelitian mutakhir menyebutkan bahwa perubahan-perubahan pada neurotransmiter dan resptor di sel-sel saraf otak (neuron) dan interaksi zat neurokimia dopamin dan serotonin, ternyata mempengaruhi alam pikir, perasaan, dan perilaku yang menjelma dalam bentuk gejala-gejala positif dan negatif skizofrenia.11


Gejala negatif Gejala positive
Alogia Halusinasi
Afek datar Delusi
avolition – apatis Tingkah laku aneh
anhedonia – asociality Gangguan berfikir positif formal
Gangguan attensi
Selain perubahan-perubahan yang sifatnya neurokimiawi di atas, dalam penelitian dengan menggunakan CT Scan otak, ternyata ditemukan pula perubahan pada anatomi otak pasien, terutama pada penderita kronis. Perubahannya ada pada pelebaran lateral ventrikel, atrofi korteks bagian depan, dan atrofi otak kecil (cerebellum).11
2.1.4 Klasifikasi
Skizofrenia dapat dibedakan menjadi beberapa tipe menurut
PPDGJ III tahun 1993, yaitu :
1) Skizofrenia paranoid (F 20. 0)
a) Memenuhi kriteria skizofrenia
b) Halusinasi dan / waham harus menonjol : halusinasi auditori yang memberi perintah
   atau auditorik yang berbentuk tidak verbal; halusinasi pembauan atau pengecapan rasa  
   atau    bersifat seksual;waham dikendalikan, dipengaruhi, pasif atau keyakinan dikejar
   kejar.
c) Gangguan afektif, dorongan kehendak, dan pembicaraan serta gejala katatonik relative    
   tidak ada.
2) Skizofrenia hebefrenik (F 20. 1)
a) Memenuhi kriteria skizofrenia
b) Pada usia remaja dan dewasa muda (15-25 tahun)
c) Kepribadian premorbid : pemalu, senang menyendiri
d) Gejala bertahan 2-3 minggu
e) Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya    
   menonjol. Perilaku tanpa tujuan, dan  tanpa maksud. Preokupasi dangkal dan dibuat-
   buat  terhadap agama, filsafat, dan tema abstrak.
f) Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, mannerism,    
  cenderung senang menyendiri, perilaku hampa tujuan, dan hampa perasaan
g) Afek dangkal (shallow) dan tidak wajar (in appropriate), cekikikan, puas diri, senyum
   sendiri, atau sikap tinggi hati, tertawa menyeringai, mengibuli secara bersenda gurau,
   keluhan hipokondriakal, ungkapan kata diulang-ulang
     h) Proses pikir disorganisasi, pembicaraan tak menentu, inkoheren

3) Skizofrenia katatonik (F 20. 2)
  a) Memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia
  b)Stupor (amat berkurang reaktivitas terhadap lingkungan, gerakan, atau aktivitas
    spontan)  atau mutisme
 c) Gaduh-gelisah (tampak aktivitas motorik tak bertujuan tanpa stimuli eksternal)
 d) Menampilkan posisi tubuh tertentu yang aneh dan tidak wajar serta mempertahankan
      posisi  tersebut
          e) Negativisme (perlawanan terhadap perintah atau melakukan ke arah yang berlawanan  
      dari perintah)
f) Rigiditas (kaku)
g) Flexibilitas cerea (waxy flexibility) yaitu mempertahankan posisi tubuh dalam posisi
    yang dapat dibentuk dari luar
   h) Command automatism (patuh otomatis dari perintah) dan pengulangan kata-kata serta  
       kalimat
   i) Diagnosis katatonik dapat tertunda jika diagnosis skizofrenia belum tegak karena pasien  
        yang tidak komunikatif
   4) Skizofrenia tak terinci atau undifferentiated (F 20. 3)
       a) Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofernia
       b) Tidak paranoid, hebefrenik, katatonik
       c) Tidak memenuhi skizofren residual atau depresi pascaskizofrenia

  5) Skizofrenia pasca-skizofrenia (F 20. 4)
      a) Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofernia selama 12 bulan terakhir ini
      b) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi gambaran
           klinisnya)
      c) Gejala – gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling sedikit kriteria
untuk episode depresif (F32.-), dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu. Apabila pasien tidak menunjukkan lagi gejala skizofrenia, diagnosis menjadi episode depresif (F32.-). Bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari
subtipe skizofrenia yang sesuai (F20.0 - F20.3).
         
          6) Skizofrenia residual (F 20. 5)
a) Gejala “negatif” dari skizofrenia yang menonjol, misalnnya perlambatan psikomotorik, aktifitas yang menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non verbal
yang buruk sperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara dan posisi tubuh, erawatan diri dan kinerja sosial yang buruk.

b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimasa lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia;

c) Sedikitnya sudah melewati kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom “negatif” dari skizofrenia;

d) Tidak terdapat dementia atau penyakit/gangguan otak organic lain, depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif tersebut.

         7) Skizofrenia simpleks (F 20. 6)
            a) Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung
                pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari
(1) Gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat
(2) halusinasi,
(3) waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik (2) Disertai dengan perubahan – perubahan perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.
             b) Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia  
                  lainnya.
    Cool. Skizofrenia lainnya (F.20.Cool
         Termasuk skizofrenia chenesthopathic (terdapat suatu perasaan yang tidak nyaman,    
         tidak enak, tidak sehat pada bagian tubuh tertentu), gangguan skizofreniform YTI.

   9) Skizofrenia tak spesifik (F.20.7)
       Merupakan tipe skizofrenia yang tidak dapat diklasifikasikan kedalam tipe yang telah  
      disebutkan.

2.1.5 Diagnosis
Diagnosis skizofrenia yang biasa digunakan adalah berdasarkan DSM-IV.
Kriteria diagnosis skizofrenia menurut DSM-IV :
1) Gejala Karakteristik : dua atau lebih gejala berikut ini yang muncul
dalam jangka waktu yang signifikan dalam periode 1 bulan, yaitu :
a) Delusi (waham, keyakinan yang kuat terhadap sesuatu yang
   sebenarnya tidak nyata)
b) Halusinasi (seperti mendengar suara-suara atau melihat
   sesuatu yang sebenarnya tidak ada)
c) Cara bicara tak teratur
d) Tingkah laku yang tak terkontrol
e) Gejala negatif, yaitu afek datar, alogia, atau tidak ada
    kemauan (avolition)

Catatan : jika wahamnya bersifat aneh/ganjil, atau halusinasinya terdiri dari suara-suara yang mengomentari orang itu atau suarasuara yang berbicara satu sama lain, maka satu gejala karakteristik saja cukup untuk mendiagnosa skizofrenia.

2) Disfungsi sosial/pekerjaan : adanya gangguan terhadap fungsi
    sosial atau pekerjaan untuk jangka waktu yang signifikan.
3) Durasi : tanda gangguan terjadi secara terus menerus selama enam bulan, yang merupakan
   gejala karakteristik seperti pada poin 1.
4) Gejala psikotik bukan disebabkan karena gangguan mood seperti pada bipolar.
     5) Gejala psikotik bukan disebabkan karena penggunaan obat atau kondisi medik tertentu.

2.1.6 Penatalaksanaan
Tujuan utama dari terapi skizofrenia adalah mengembalikan fungsi normal pasien dan
mencegah kekambuhan penyakitnya. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk masing-masing subtipe skizofrenia. Pengobatan hanya dibedakan berdasarkan gejala apa yang menonjol pada pasien. Terapi yang bisa dilakukan pada penderita skizofrenia meliputi terapi farmakologi dan non farmakologi.

1) Terapi farmakologi Obat-obatan yang biasa digunakan pada terapi farmakologi pada pasien skizofrenia adalah golongan obat antipsikotik. Pada awalnya, obat antipsikotik hanya digunakan saat episode akut saja, namun selanjutnya digunakan juga untuk mencegah risiko kekambuhan. Oleh karena itu, obat antipsikotik ini digunakan dalam jangka waktu yang lama karena memang berfungsi untuk terapi pemeliharaan. Selain untuk mencegah kekambuhan, antipsikotik juga berguna untuk mengurangi gejala.

2) Terapi non farmakologi
Terapi non farmakologi pada penderita skizofrenia meliputi pendekatan psikososial dan ECT (electro convulsive therapy). Peningkatan kualitas hidup dan kesembuhan pasien skizofrenia akan lebih baik jika diberikan juga terapi non farmakologi disamping terapi obat. Kombinasi kedua terapi ini akan mampu memberikan manfaat yang banyak bagi pasien. Pendekatan psikososial bertujuan untuk memberikan dukungan emosional
kepada pasien sehingga pasien mampu meningkatkan fungsi sosial dan pekerjaannya dengan lebih baik. Ada beberapa jenis pendekatan psikososial yang biasa dilakukan pada pasien skizofrenia, diantaranya yaitu program for Assertive Community Treatment
(PACT), intervensi keluarga, terapi perilaku kognitif (cognitive behavioural therapy), dan pelatihan keterampilan sosial (Ikawati, 2011). Selain pendekatan psikososial, ada juga terapi non farmakologi menggunakan ECT (electro convulsive therapy).
1) Terapi fase akutPada fase ini pasien menunjukkan gejala psikotik yang intens. Biasanya pada fase ini ditandai dengan munculnya gejala positif dan negatif. Pengobatan pada fase ini bertujuan untuk mengendalikan gejala psikotik sehingga tidak membahayakan terhadap diri sendiri maupun orang lain. Terapi utamanya adalah dengan menggunakan obat dan biasanya dibutuhkan rawat inap. Pemilihan antipsikotik yang benar dan dosis yang tepat dapat mengurangi gejala psikotik dalam waktu enam minggu.

2) Terapi fase stabilisasi
Pada fase ini pasien masih mengalami gejala psikotik dengan intensitas yang lebih ringan. Pada fase ini pasien masih memiliki kemungkinan yang besar untuk kambuh sehingga dibutuhkan pengobatan yang rutin untuk menuju ke tahap pemulihan yang lebih stabil.

 3) Terapi tahap pemeliharaan
Pada tahap ini dilakukan terapi jangka panjang dengan harapan dapat mempertahankan kesembuhan, mengontrol gejala, mengurangi risiko kekambuhan, mengurangi durasi rawat inap, dan mengajarkan keterampilan untuk hidup mandiri. Terapinya meliputi obat-obatan, terapi suportif, pendidikan keluarga dan konseling, serta rehabilitasi pekerjaan dan sosial.

2.1.7 Antipsikotik
Obat–obat ini pernah disebut neuroleptik, antiskizofrenia, antipsikotik, dan transkuilizer mayor. Istilah yang paling sering digunakan adalah neuroleptika dan antipsikotik. Antipsikotik memiliki aktivitas yang hampir sama terutama dalam mengeblok aktivitas dari neurotransmitter dopamin. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan terjadinya peningkatan aktivitas dopamin pada pasien skizofrenia. Namun, terdapat berbagai tipe skizofrenia yang menggambarkan penyebab fisiologi yang berbeda maka dapat dikatakan antipsikotik ini memiliki tingkat efektivitas yang berbeda untuk setiap pasien yang berbeda. Terdapat dua jenis antipsikotik yaitu antipsikotik tipikal dan atipikal. Pada dasarnya semua antipsikotik mempunyai efek klinis yang sama pada dosis ekivalen. Perbedaan utama pada efek samping. Pemilihan jenis antipsikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat. Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya adalah obat antipsikosis atipikal (golongan generasi kedua), sebaliknya jika gejala positif lebih menonjol dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal (golongan generasi pertama).

Antipsikotik dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
a. Antipsikotik tipikal (FGA)
Antipsikotik tipikal merupakan antipsikotik generasi lama yang mempunyai aksi untuk mengeblok reseptor dopamin D2. Antipsikotik jenis ini lebih efektif untuk mengatasi gejala positif yang muncul. Efek samping ekstrapiramidal banyak ditemukan pada penggunaan antipsikotik tipikal sehingga muncullah antipsikotik atipikal yang lebih aman. Contoh obat-obatan yang termasuk dalam antipsikotik tipikal diantaranya adalah klorpromazin, tiorizadin,
flufenazin, haloperidol, loxapin, dan perfenazin.
b. Antipsikotik atipikal (SGA)
Antipsikotik atipikal adalah generasi baru yang banyak muncul pada tahun 1990an. Aksi obat ini yaitu mengeblok reseptor 5-HT2 dan memiliki efek blokade pada reseptor dopamin yang rendah. Antipsikotik atipikal merupakan pilihan pertama dalam terapi skizofrenia karena efek sampingnya yang cenderung lebih kecil jika dibandingkan dengan antipsikotik tipikal. Antipsikotik atipikal menunjukkan penurunan dari munculnya efek samping karena penggunaan obat dan masih efektif diberikan untuk pasien yang telah resisten terhadap pengobatan. Antipsikotik ini efektif untuk mengatasi gejala baik positif maupun negatif. Contoh obat yang termasuk antipsikotik atipikal adalah clozapin, risperidon, olanzapin,
ziprasidon, dan quetiapin. Klasifikasi dan dosisnya dapat dilihat pada tabel I


       Efek samping antipsikotik
Selain manfaat antipsikotik yang telah dijelaskan sebelumnya, obat obat antipsikotik ini juga memiliki efek samping yang bermakna terutama jika digunakan dalam dosis besar dalam jangka waktu yang lama. Efek samping utama yang paling sering muncul dan dijadikan bahan pertimbangan dalam pemberian terapi adalah efek samping ekstrapiramidal pada penggunaan antipsikotik generasi lama. Termasuk dalam efek samping ekstrapiramidal ini yaitu distonia akut, pseudoparkinsonisme, dan akatsia. Efek samping ini umumnya muncul setelah beberapa hari sampai beberapa minggu setelah penggunaan antipsikotik dan biasanya sulit untuk diatasi. Selain adanya efek samping ekstrapiramidal yang muncul, efek samping lain yang ditimbulkan oleh penggunaan antipsikotik yaitu sedasi, neuroleptic malignant syndrome, gangguan kardiovaskular, efek antikolinergik dan antiadrenergik, gangguan metabolisme, kenaikan berat badan, dan disfungsi seksual (Crismon dkk., 2009). Salah satu cara untuk mengatasi efek samping dan meningkatkan kemanfaaatan dari antipsikotik adalah dengan menggunakan dosis obat serendah mungkin yang masih dapat memberikan efek farmakologis. Dosis tersebut harus tetap dikontrol.




2.1.9 Sindrom metabolik
Beberapa penelitian menunjukkan pengaruh pengobatan antipsikotik terhadap gangguan metabolisme dalam tubuh. Komponen utama dari sindrom metabolik ini meliputi resistensi insulin, obesitas abdominal/sentral, hipertensi, dan dislipidemia (peningkatan kadar trigliserida, penurunan kadar HDL kolesterol). Adanya peningkatan berat badan, gangguan metabolism glukosa, dan hiperglikemi telah diketahui menjadi salah satu dampak dari penggunaan antipsikotik. Hiperglikemia dan diabetes melitus tipe 2 banyak terjadi pada pasien skizofrenia. Prevalensi peningkatan berat badan dan diabetes pada pasien skizofrenia adalah 1,5 sampai 2 kali lebih besar dibandingkan populasi umum. Adanya peningkatan berat badan, ataupun hiperglikemia ini menjadi masalah yang serius karena dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas akibat adanya peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus tipe II.



Banyak teori yang mengemukakan tentang mekanisme yang mungkin memperantarai    
terjadinya perubahan metabolisme yang terjadi pada pasien yang menggunakan antipsikotik.
1. Teori yang pertama menyatakan jika penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia menyebabkan peningkatan berat badan. Bertambahnya berat badan pada pasien yang diobati dengan antipsikotik disebabkan oleh peningkatan nafsu makan yang tidak diseimbangi dengan peningkatan penggunaan energi. Akibatnya terjadi peningkatan penyimpanan lemak dalam jaringan adiposa yang mengakibatkan penambahan berat badan. Keadaan yang berlanjut menyebabkan terjadinya obesitas yang dilihat dari Body Mass Index (BMI). Obesitas dihubungkan dengan resistansi insulin dan merupakan faktor utama penyebab diabetes tipe 2 (Castagna, 2011)
2. Penggunaan antipsikotik banyak dikaitkan dengan kelainan dalam regulasi glukosa. Penggunaan antipsikotik dapat menyebabkan peningkatan penyimpanan lemak dalam jaringan adiposa yang kemudian memicu penurunan sensitivitas insulin (Newcomer dkk., 2002). Antipsikotik generasi kedua seperti clozapin dan olanzapin berhubungan dengan efek samping terhadap regulasi glukosa dalam berbagai tingkatan keparahan yang berbeda tergantung dari potensinya dalam peningkatan penyimpanan lemak dalam jaringan adiposa dibandingkan dengan antipsikotik tipikal. Clozapin dan olanzapin menyebabkan peningkatan
           berat badan dan meningkatkan massa lemak tubuh secara signifikan, dengan resistensi  
            insulin dan risiko diabetes mellitus (Newcomer dkk.2002).

3. Aktifitas antipsikotik atipikal adalah antagonis pada berbagai system neurotransmitter termasuk dopaminergik, adrenergik, serotonergik, histaminergik dan subtipe reseptor muskarinik (Teff & Kim, 2011). Neurotransmitter ini berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan jalur metabolisme dan juga regulasi asupan makanan. Reseptor yang mungkin berpengaruh terhadap timbulnya diabetes adalah dopamin, 5-HT1A , 5-HT2c, histamin-1 (Gianfrancesco dkk., 2003). a. Reseptor muskarinik dan histaminergik Suatu hipotesis yang menyimpulkan jika reseptor muskarinik dan histaminrgik memiliki peranan penting dalam kasus gangguan metabolisme yang berkaitan dengan penggunaan antipsikotik. Histamin dan muskarinik dikatakan sebagai mediator pada peningkatan berat badan dan abnormalitas dalam metabolism glukosa. Ikatan pada reseptor histamin H-1 dapat memicu peningkatan nafsu makan dan berat badan, sedangkan ikatan pada muskarinik M3 menyebabkan kelainan pada regulasi insulin (Teff & Kim, 2011). Perbedaan kemampuan pengikatan reseptor mungkin menjadi penyebab tingkat perubahan metabolisme, berat badan, dan peningkatan asupan makanan untuk setiap antipsikotik berbeda. Clozapin dan olanzapin adalah antagonis reseptor asetilkolin muskarinik kuat dan dikaitkan dengan kenaikan berat badan. Risperidon tidak diketahui afinitas terhadap reseptor asetilkolin muskarinik namun menyebabkan beberapa kasus new onset diabetes bila diberikan bersamaan dengan antagonis muskarinik yang biasa diresepkan untuk mengatasi efek samping ekstrapiramidal (Lean & Pajonk, 2003). Ini merupakan bukti peran reseptor asetilkolin muskarinik dalam sindrom metabolik yang terjadi pada pasien skizofrenia yang menggunakan antipsikotik.

a. Dopamin
Jalur dopamin di otak tengah berperan dalam control asupan makanan. Regulasi glukosa darah berpusat di hipotalamus. Antipsikotik yang berperan sebagai antagonis dopamin
menyebabkan glukosa darah tidak terkontrol (Gianfrancesco dkk., 2003). Sebuah bukti mengenai peran dopamin ini berdasarkan studi yang menunjukkan penggunaan agonis dopamine sentral dapat meningkatkan kontrol glukosa (Lipscombe, 2009).

b. Aktivitas reseptor serotonin 5-HT1A dan 5-HT2 juga di hubungkan dengan pengaruhnya terhadap kontrol glukosa. Walaupun mekanisme yang menghubungkan kedua reseptor ini sangat kompleks (Haupt & Newcomer, 2001). Reseptor 5-HT2c mungkin terlibat dalam kontrol asupan makanan. Jika reseptor ini diblok dapat menimbulkan kenaikan berat badan kecuali ziprasidon dan quetiapin (Lean & Pajonk, 2003). Saat terjadi resistensi insulin, tubuh berusaha untuk mengatasinya dengan mensekresi lebih banyak lagi insulin yang menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia. Hiperinsulinemia yang terjadi menyebabkan resistensi insulin dan keadaan yang lebih parah dapat menyebabkan kegagalan dalam regulasi reseptor insulin (Lean & Pajonk, 2003). Kelainan yang berhubungan dengan resistensi insulin termasuk intoleransi glukosa, hipertensi, dan dislipidemia (Handerson dkk., 2005). Resistensi insulin yang terjadi akibat penggunaan antipsikotik kemungkinan diakibatkan karena efek langsung dari peningkatan massa lemak di abdominal dan fungsi transport glukosa (Haupt & Newcomer, 2001). Faktor genetik dan gaya hidup sangat berpengaruh pada peningkatan berat badan dan gangguan metabolisme pada pasien skizofrenia. Sehingga perlu dipertimbangkan mengenai faktor risiko lain yang juga berperan dalam perkembangan diabetes melitus (Haddad, 2004), seperti:

1. Riwayat DM keluarga
2. Peningkatan usia
3. Obesitas
4. Ras ( insiden paling banyak terjadi pada ras asia dan afrika-karibia )
5. Merokok
6. Diet tinggi karbohidrat
7. Jarang olahraga
Oleh karena itu pasien-pasien skizofrenia yang mendapatkan antipsikotik sebaiknya dilakukan monitoring berat badan, kadar glukosa darah, profil lemak darah, sehingga akan mencegah morbiditas dan mortalitas akibat sindrom metabolik sebagai dampak penggunaan antipsikotik ini.
2.1.10 Monitoring
Penting untuk memonitor dan mengatur respons metabolik pada pasien yang diberikan antipsikotik atipikal. Pasien yang diberikan terapi antipsikotik generasi kedua sebaiknya diukur berat badan serta indeks massa tubuhnya untuk mendeteksi berat badan dan memeriksa kemungkinan diabetes dengan memeriksa kadar glukosa puasa terlebih dahulu, kadar trigliserida puasa (baseline) , serta riwayat keluarga. Setelah itu, dimonitor secara periodik  selama pemakaian terapi Monitoring selanjutnya adalah dengan mengukur kadar trigliserida puasa sebelum dan sesudah pemberian antipsikotik atipikal, sekaligus menilai apakah antipsikotik tersebut menyebabkan dislipidemia dan peningkatan resintansi insulin. Jika terdapat peningkatan bermakna BMI dan kadar trigliserida puasa maka perlu dipikirkan pemakaian antipsikotik lain. Pada pasien dengan obesitas, dislipidemia, prediabetes dan diabetes, penting untuk memonitor tekanan darah, kada glukosa puasa, serta ukuran lingkar pinggar sebelum dan sesudah pemberian antipsikotik atipikal. Untuk memberikan gambaran akurat tentang pasien sebaiknya dibuat dokumentasi dalam tabel sederhana yang memuat 4 parameter utama yaitu: berat badan dan BMI, kadar trigliserida puasa, kadar glukosa puasa, dan tekanan darah.  Pencatatan dilakukan secara berkala pada setiap pertemuan. Sebagai contoh, seseorang yang diberikan antipsikotik sebaiknya diberikan jadwal untuk menilai berat badannya pada minggu ke-4, ke-8, dan ke-12, dan seterusnya. Pemeriksaan tekanan darah, kadar gula darah puasa, dan pengukuran profil lipid sebaiknya diulang minimal 12 minggu sesudah pemberian antipsikotik pertama kali. Apabila ditemukan gejala seperti poliuria atau polidipsi yang merupakan indikator hiperglikiemia ataupun didapatkan tanda-tanda ketoasidosis diabetik seperti nausea, mual atau gangguan kesadaran, butuh evaluasi lebih lanjut serta bekerjasama spesialis medis lain terkait.
Manajemen untuk pasien dengan risiko penyakit kardiometabolik dapat dibagi menjadi 3
kriteria, yaitu unmanageable, seperti adanya faktor genetik dan usia, modestly manageable contohnya mengubah gaya hidup, dengan diet, latihan, berhenti merokok dan most manageable seperti mengganti antipsikotik.

2.1.11 Penatalaksanaan
Penting mempertimbangkan compliance pasien pada pemberian antipsikotik atipikal ini mengingat risiko kardiometabolik yang dapat timbul. Pasien sebaiknya diberi informasi mengenai risiko ini pada awal pemberian terapi. Selain itu, pasien dianjurkan juga melakukan latihan/olah raga serta konseling mengenai dietnya. Jika telah terjadi peningkatan berat badan, mengganti antipsikotik yang digunakan dengan ziprazidone atau aripiprazole dapa dipertimbangkan.
Pada penggunaan clozapine bila telah diabetes, sebaiknya dievalusi ulang apakah keuntungannya dibandingkan risiko yang timbul. Jika telah timbul diabetes dengan ketoasidosis, sebaiknya clozapine dihentikan. Pada penggunaan risperidone, peningkatan berat badan, peningkatan plasma lipid atau resintansi insulin relatif rendah. Meski demikian, tetap dilakukan monitoring. Hal yang sama juga dilakukan pada penggunaan quetiapin. Sementara itu, pada penggunaan olanzapine penting untuk melakukan monitoring secara teliti. Bila telah terjadi peningkatan berat badan, menurut penelitian pemberian topiramat 100-200 mg per hari dapat menurunkan berat badan. Pemberian H2 bloker seperti nizatidine dan famotidine dapat membantu penurunan berat badan pula. Metformin dapat diberikan bila telah terjadi gangguan metabolik. Untuk penggunaan ziprazidone dan aripriprazole, monitoring tetap penting dilakukan






























BAB III
KESIMPULAN

sebaiknya tidak mengabaikan timbulnya tanda dan gejala sindrom metabolik yang diinduksi pemakaian antipsikotik seperti peningkatan berat badan, hiperglikemia, peningkatan kadar glukosa atau diabetes. Monitoring dan manajemen terhadap pasien yang berisiko dapat membantu meminimalkan terjadinya risiko penyakit kardiometabolik. Pada  pasien dengan skizofrenia dan telah memiliki risiko diabetes, perlu dipertimbangkan pemilihan antipsikotik yang akan diberikan sebelum memulai terapi. Demikian juga pasien yang telah mengalami peningkatan berat badan dan kadar trigliserida, sebaiknya dipertimbangkan pemilihan antipsikotiknya, anjuran mengubah gaya hidup, atau keduanya. Penting memonitor tekanan darah, kadar glukosa puasa lingkar pinggang sebelum dan selama terapi antipsikotik. Hal ini diharapkan dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien dengan skizofrenia.


















DAFTAR PUSTAKA

1. Kannabiran M, Singh Vinod. Metabolic Syndrome and Atypical Antipsychotics:
2. German Journal of Psychiatry
3. Sadock, Benjamin J. Sadock, Virginia A. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2.
   2010. Jakarta:EGC. P.147-168.
4. Maslim, R. Penggunaan Klinisi Obat Psikotropika Edisi 3. Jakarta: PT Nuh Jaya.
5. Harris EC, Barraclough B. Excess mortality of mental disorder. Br J Psychiatry
   1998; 173:11-53.

6. Osby U, Correia N, Brandt L, et al. Mortality and causes of death in schizophrenia in  
   Stockholm Country, Sweden. Schizophr Res 2000;45:21-28.

7. World Health Organization. Body Mass Index (BMI).

8. John WN. Antipsychotic medication:Metabolic and Cardivaskular Risk. 2007 J
   ClinPsychiatry; 68:8-13.

Lia Andini SN

Posts : 6
Reputation : 0
Join date : 09.01.16

Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik