Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Efektivitas antiansietas dalam terapi gangguan depresi berat

Go down

Efektivitas antiansietas dalam terapi gangguan depresi berat Empty Efektivitas antiansietas dalam terapi gangguan depresi berat

Post by yuzanatiarasia Thu Jul 30, 2015 4:23 pm

Referat

EFEKTIVITAS ANTIANSIETAS DALAM TERAPI
GANGGUAN DEPRESI BERAT




Disusun oleh:
Yuzana Tiarasia
H1AP10018


Pembimbing:
Dr. Sheno Almes





Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu
Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Daerah Bengkulu
Bengkulu
2015

BAB I
PENDAHULUAN


Depresi merupakan gangguan mental serius yang ditandai dengan perasaan sedih dan cemas. Gangguan ini biasanya akan menghilang dalam beberapa hari, tetapi dapat juga berkelanjutan sehingga memengaruhi aktivitas seseorang.1 Gangguan depresi berada dibawah naungan gangguan mood.1 Pasien dalam keadaan mood terdepresi akan menunjukkan suatu keadaan kehilangan energi dan minat, perasaan bersalah, sulit berkonsentrasi dan memiliki gagasan untuk bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam aktivitas, kemampuan kognitif, bicara dan fungsi vegetatif seperti gangguan tidur. Gangguan tersebut hampir selalu menghasilkan hendaya interpersonal, sosial dan fungsi.1,2
Gangguan depresi berat merupakan gangguan yang paling sering terjadi dengan prevalensi seumur hidup sekitar 15%, sedangkan pada perempuan dapat mencapai angka 25%. Terdapat sekitar 10% pasien dengan gangguan depresi berobat ke fasilitas layanan primer, sedangkan sisanya sebanyak 15% pasien dengan gangguan tersebut di rawat inap rumah sakit. Angka prevalensi pada anak sekolah adalah sekitar 2%, sedangkan pada anak usia remaja didapatkan angka prevalensi sebesar 5% yang memiliki gangguan depresi berat.1
Terapi dalam gangguan depresi diantaranya adalah farmakoterapi. Pemberian terapi antidepresan sebagai terapi lini pertama gangguan depresi terbukti dapat mengurangi gejala depresi secara umum, meskipun juga terdapat gejala penyerta lain pada sindrom depresi seperti insomnia dan ansietas yang memerlukan terapi tambahan untuk mengatasi gejala penyerta tersebut.3 Pemberian antiansietas dalam hal ini diharapkan dapat memperbaiki gejala penyerta gangguan depresi tersebut.
Penulisan referat ini bertujuan untuk membahas mengenai efektivitas antiansietas dalam terapi gangguan depresi berat, sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai referensi dalam penatalaksanaan gangguan depresi berat serta dapat menurunkan angka morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan gangguan depresi berat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA



a. Definisi
Depresi merupakan gangguan mental yang serius yang ditandai dengan perasaan sedih dan cemas. Gangguan ini biasanya akan menghilang dalam beberapa hari tetapi dapat juga berkelanjutan yang dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari.3
Menurut WHO, depresi merupakan gangguan mental yang ditandai dengan munculnya gejala penurunan mood, kehilangan minat terhadap sesuatu, perasaan bersalah, gangguan tidur atau nafsu makan, kehilangan energi atau penurunan konsentrasi. Sedangkan berdasarkan Maramis, depresif adalah suatu gangguan perasaan dengan cirri-ciri semangat berkurang, rasa harga diri rendah, menyalahkan diri sendiri, gangguan tidur dan makan.4

b. Epidemiologi
Insiden dan prevalensi. Gangguan depresi berat merupakan gangguan yang paling sering terjadi dengan prevalensi seumur hidup sekitar 15% dan pada perempuan dapat mencapai 25%. Sekitar 10% pada pasien yang berobat ke fasilitas layanan primer, sedangkan sisanya 15% di tempat rawat inap rumah sakit. Angka prevalensi pada anak sekolah adalah sekitar 2%, sedangkan pada usia remaja didapatkan prevalensi 5% dari komunitas memiliki gangguan depresif berat.1,2
Jenis kelamin. Perempuan dua kali lipat lebih besar dibanding laki-laki. Diduga adanya perbedaan hormon, pengaruh melahirkan, perbedaan stressor psikososial antara laki-laki dan perempuan, dan model perilaku yang dipelajari tentang ketidakberdayaan.1
Usia. Rata-rata usia sekitar 40 tahun-an. Hampir 50% awitan diantara usia 20-50 tahun.Gangguan depresi berat dapat timbul pada masa anak atau lanjut usia. Data terkini menunjukkan gangguan depresi berat diusia kurang dari 20 tahun. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan meningkatnya penggunaan alkohol dan penyalahgunaan zat.1,2
Status perkawinan. Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai hubungan interpersonal yang erat atau pada mereka yang bercerai. Wanita yang tidak menikah memiliki kecenderungan yang lebih rendah untuk menderita depresi dibandingkan dengan yang menikah namun hal ini berbanding terbalik untuk laki-laki.1
Faktor sosioekonomi dan budaya. Tidak ditemukan korelasi antara status sosioekonomi dan gangguan depresi berat.1

c. Etiologi dan Patofisiologi
1. Faktor organobiologi
Hipotesis gangguan mood berhubungan dengan disregulasi heterogen pada amin biogenik seperti asam 5-hydroxyindoleacetic (5-HIAA) dan asam homovanilic (HVA) yang ada di dalam darah, urin dan cairan serebrospinal. Norepinefrin dan serotonin adalah dua neurotransmitter yang paling telibat dalam patofisiologi gangguan mood.
Penurunan regulasi reseptor beta adrenergic dan respon klinik anti depresan mungkin merupakan peran langsung sistem noradrenergik dalam depresi. Aktivitas dopamine mungkin berkurang pada depresi ditandai dengan penemuan subtipe baru reseptor dopamin dan meningkatnya pengertian fungsi regulasi presinaptik dan pascasinaptik dopamine memperkaya hubungan antara dopamine dan gangguan mood. Sedangkan pada serotonin pada orang dengan depresi biasanya akan berkurang. Serotonin berfungsi dalam meregulasi afek, agresi, tidur dan nafsu makan.1,2
2. Faktor genetik
Faktor genetik merupakan faktor penting dalam perkembangan gangguan mood dengan jalur penurunan yang kompleks. Penelitian sebelumnya yang dilakukan dalam keluarga menunjukkan bahwa generasi pertama lebih sering 2 sampai 10 kali mengalami depresi berat.
3. Faktor sosial
Peristiwa kehidupan dengan stressful sering mendahului episode pertama dibandingkan episode berikutnya. Teori yang ada terkait dengan hal tersebut adalah adanya perubahan biologi otak yang bertahan lama. Sehingga perubahan ini menyebabkan perubahan berbagai neurotransmitter dan sistem sinyal intraneuron, termasuk hilangnya beberapa neuron dan penurunan kontak sinap dan berdampak pada sinap dan hal tersebut dapat berdampak pada seorang individu berisiko tinggi mengalami episode berulang, gangguan mood, sekalipun tanpa stressor.1
Semua orang dengan dengan pola kepribadiannya dapat mengalami depresi sesuai dengan situasinya. Orang dengan gangguan kepribadian obsesi-kompulsi, histrionik dan ambang berisiko tinggi untuk mengalami depresi dibandingnya dengan gangguan kepribadian paranoid dan antisocial. Pasien dengan gangguan distimik dan siklotimik berisikko menjadi gangguan depresi berat. Peristiwa stressful merupaka predictor terkuat untuk kejadian episode depresi.1,2
Faktor psikodinamik pada depresi dikenal sebagai pandang klasik dari depresi dan dituangkan kedalam teori yang ditemukan oleh Sigmund Freud dan dilanjutkan oleh Karl Abraham. (1) gangguan hubungan ibu dan anak selama fase oral (10-18 bulan) merupakan faktor predisposisi terhadap episode depresi berulang; (2) depresi dapat dihubungkan dengan kenyataan atau bayangan kehilangan objek; (3) introjeksi merupakan bangkitan mekanisme pertahanan untuk mengatasi penderitaan yang berkaitan dengan kehilangan objek.; (4) akibat kehilangan objek cinta, diperlihatkan dalam bentuk campuran antara benci dan cinta, perasaan marah yang diarahkan pada diri sendiri Menurut Melanie Klein depresi termasuk agresi kearah mencintai. Sedangkan Edward Bibring menyatakan bahwa depresi adalah suatu fenomena yang terjadi ketika seseorang menyadari terdapat perbedaan antara ideal yang tinggi dengan ketidakmampuan untuk mewujudkan cita-cita tersebut.2
4. Formulasi lain dari depresi
Depresi merupakan hasil penyimpangan kognitif spesifik yang menghasilkan kecenderungan seseorang menjadi depresi. Postulat Aaron Beck menyatakan trias kognitif dari depresi mencakup (1) pandangan terhadap diri sendiri berupa persepsi negatif terhadap dirinya (2) tentang lingkungan yakni kecenderungan menganggap dunia bermusuhan terhadapnya (3) tentang masa depan yakni bayangan penderitaan dan kegagalan.2

d. Perjalanan penyakit
Sebelum episode pertama teridentifikasi, sekitar 50% gangguan depresi berat memperlihatkan gejala depresi yang bermakna. Gejala depresi yang teridentifikasi dini dan dapat teratasi lebih awal dapat mencegah berkembangnya gejala tersebut menjadi episode depresi penuh. Pada pasien dengan gangguan depresi berat, meskipun gejala mungkin telah ada, umumnya belum menunjukkan suatu premorbid gangguan kepribadian. Sekitar 50% pasien dengan episode depresi pertama terjadi sebelum usia 40 tahun biasanya dihubungkan dengan tidak adanya riwayat gangguan mood dalam keluarga, gangguan kepribadian antisosial dan penyalahgunaan alkohol.1,2
Episode depresi yang tidak ditangani akan berlangsung 6 – 13 bulan. Kebanyakan penanganan episode depresi sekitar 3 bulan. Namun karena merujuk kepada prosedur baku penatalaksaan gangguan depresi maka penatalksaan setidanya dilakukan selama 6 bulan agar tidak mudah kambuh.1

e. Tanda gejala
Episode depresi. Mood terdepresi, kehilangan minat dan berkurangnya energi adalah gejala utama dari depresi. Pasien juga mungkin mengatakan perasaannya sedih, tidak mempunyai harapan, dicampakkan atau tidak berharga. Emosi pada mood depresi kualitasnya berbeda dengan emosi duka cita atau kesedihan. Selain itu biasanya terdapat pikiran untuk melakukan bunuh diri pada sekitar dua per tiga pasien depresi dan 10 sampai 15% diantaranya melakukan bunuh diri. Beberapa pasien depresi terkadang tidak menyadari ia mengalami depresi dan tidak mengeluh tentang gangguan mood meskipun mereka menarik diri dari keluarga, teman dan aktivitas yang sebelumnya menarik bagi dirinya.1,2,4
Hampir semua pasien depresi (97%) mengeluh tentang penurunan energi dimana mereka mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas, mengalami hendaya di sekolah dan pekerjaanm dan menurunnya motivasi untuk terlibat dalam kegiatan baru. Sekitar 80% pasien mengeluh masalah tidur khususnya terjaga dini hari (terminal insomnia) dan sering bangun dimalam hari karena memikirkan masalah yang dihadapi. Kebanyakan pasien juga mengalami penurunan nafsu makan demikian pula dengan bertambah dan menurun berat badannya serta mengalami tidur lebih lama dari biasanya.1,2,4
Kecemasan adalah gejala tersering dari sepresi dan menyerang 90% pasien depresi. Perubahan asupan makanan dan istirahat dapat menyebabkan timbulnya penyakit lain secara bersamaan seperti diabetes mellitus, hipertensi, penyakit paru obstruktif kronik dan penyakit jantung. Gejala lain termasuk haid tidak normal dan menurunnya minat serta aktivitas seksual.2
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa depresi pada orangtua dapat dihubungkan dengan status ekonomi yang rendah, kehilangan pasanganm berbarengan dengan penyakit fisik dan isolasi sosial.1
Gangguan depresi ditandai oelh rasa lelah yang berkepanjangan dan sulit untuk konsentrasi, gangguan tidur (terutama bangun pagi cepat dan bangun beberapa kali saat tidur), nafsu makan berkurang, kehilangan berat badan, dan keluhan somatik.1

f. Kriteria diagnosis

Tabel 1. Kriteria diagnostik gangguan depresi berat menurut DSM-IV-TR
A. Pasien mengalami gangguan mood terdepresi (contoh: sedih atau perasaan kosong) atau kehilangan minat atau kesenangan sepanjang waktu selama 2 minggu atau lebih ditambah 4 atau lebih gejala-gejala berikut ini:
- Tidur: insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari
- Minat: menurunnya minat atau kesenangan hampir pada semua kegiatan hampir sepanjang waktu
- Rasa bersalah: perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak sesuai atau rasa tidak berharga hampir sepanjang waktu
- Energi: kehilangan energi atau letih hampir sepanjang waktu
- Konsentrasi: menurunnya kemampuan untuk berpikir/ konsentrasi; sulit membuat keputusan hampir sepanjang waktu
- Selera makan: menurun atau meningkat
- Psikomotor: agitasi atau retardasi
- Bunuh diri: pikiran berulang tentang mati/ ingin bunuh diri.
B. Gejalanya tidak memenuhi untuk kriteria episode campuran (episode
depresi berat dan episode manik).
C. Gejalanya menimbulkan penderitaan bermakna secara klinik atau
hendaya sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya.
D. Gejalanya bukanlah merupakan efek fisiologi langsung dari zat
(contoh: penyalahgunaan obat atau medikasi) atau kondisi medik
umum (hipotiroidisme).
E. Gejalanya tidaklah lebih baik dibandingkan dengan dukacita, misalnya
setelah kehilangan seseorang yang dicintai, gejala menetap lebih dari
dua bulan atau ditandai hendaya fungsi yang jelas, preokupasi rasa
ketidakbahagian yang abnormal, ide bunuh diri, gejala psikotik atau
retardasi mental.

g. Skala penilaian objektif untuk depesi
Skala penilaian objektif yang dapat digunakan dalam praktik dokter atau dokumentasi keadaan klinik pasien depresi adalah The Zung Self Rating depression scale yang terdiri dari 20 item skala pelaporan. Skor normal kurang dari 34, skor depresi adalah lebih dari 50. Skala tersebut meliputi indeks global intensitas gejala depresi pasien, termasuk kecendrungan ekspresi dari depresi.1
The raskin depression scale adalah suatu skala nilai klinik yang mengukur beratnya depresi pasien yang dilaporkan oleh pasien dan dokter pengamat, pada 5 point skala dari 3 dimensi meliputi pelaporan verbal, penampilan prilaku, dan gejala sekunder. Skala berkisar antara 3-13. Skor normal adalah 3, dan skor depresi adalah 7 atau lebih.1


h. Pemeriksaan status mental
1. Deskripsi umum:
Kemunduran psikomotor secara umum merupakan gejala yang paling sering, meskipun agitasi psikomotor juga terlihat terutama pada pasien usia lanjut. Meremas tangan dan menarik rambut merupakan gejala dari agitasi. Secara sederhana, pasien depresi memiliki postur tubuh yang dibungkukkan tidak ada gerakan spontan, sedih dan memalingkan wajah. Pada pemeriksaan klinis, pasien depresi memperlihatkan keseluruhan gejala dari kemunduran psikomotor yang tampak serupa dengan pasien skizofrenia katatonik.1



2. Mood, afek dan perasaan:
Gejala kunci adalah depresi, walaupun sekitar 50% pasien menyangkal perasaan depresi dan tidak tampak depresi. 1
3. Suara:
Pengurangan jumlah dan volume bicara; mereka merespon pertanyaan dengan satu-satu kata dan memperlihatkan perlambatan menjawab pertanyaan. Pemeriksa dapat menunggu 2 atau 3 menit untuk pasien menjawab pertanyaan.1
4. Gangguan persepsi:
Gangguan depresi berat dengan cirri psikotik mempunyai waham atau halusinasi. Bahkan tanpa waham dan halusinasi, beberapa dokter menyebut psychotic depression untuk kemunduran secara keseluruhan seperti membisu, tidak mandi dan kotor. 1
Mood congruent adalah suatu kondisi yang pada saat bersamaan pada pasien depresi ditemukan adanya waham dan halusinasi yang menetap, selain itu juga ditemukan perasaan bersalah, tidak berharga, kegagalan, penderitaan dan keadaan terminal penyakit somatik (kanker atau kerusakan otak). 1
Gambarannya adalah ketidakesesuaian isi waham dan halusinasi dengan mood depresi. Ketidaksesuaian antara isi waham dengan mood pada pasien meliputi tema grandiose tentang kemampuan yang berlebihan, pengetahuan, dan sesuatu yang berharga sebagai contoh, pasien percaya bahwa seseorang tersiksa karena dia adalah Messiah. 1
5. Pikiran:
Pandangan negatif terhadap dunia dan dirinya sendiri. Isi piker mereka sering meliputi rasa kehilangan, rasa bersalah, pikiran bunuh diri, dan kematian. Sekitar 10% dari semua pasien depresi menunjukkan gejala gangguan pikiran, biasanya dalam isi pikirnya adalah hambatan dan kemiskinan.1
5. Sensorium dan kognitif:
Kebanyakan pasien depresi tidak terganggu orientasinya baik orang, tempat dan waktu meskipun beberapa dari mereka tidak mempunyai minat untuk menjawab pertanyaaan tentang subjek tersebut selama wawancara. Sedangkan sekitar 50 – 75% dari pasien depresi mempunyai hendaya kognitif, kadang-kadang ditunjukkan sebagai pseudodementia depresi. Umumnya pasien mengeluhkan tidak mampu konsentrasi dan gampang lupa.1
6. Kontrol impuls:
Sekitar 10 sampai 15% melakukan bunuh diri dan dua pertiganya mempunyai ide untuk bunuh diri. Pasien dengan cirri psikotik biasanya mempertimbangkan untuk membunuh orang sebagai manifestasi waham, walaupun banyak pasien depresi kurang tenaga atau motivasi untuk mengikuti suara hati untuk melakukan kejahatan. Pasien dengan depresi berisiko tinggi untuk bunuh diri ketika energi mereka mulai meningkat. 1
7. Pertimbangan dan tilikan:
Penilaian sikap dan perilaku pasien terkini, selama wawancara. Tilikan pasien depresi terhadap gangguannya sering berlebihan: mereka selalu menekankan gejalanya, gangguannya, dan masalah hidup mereka. Ini menyulitkan untuk meyakinkan pasien bahwa perbaikan dapat terjadi. 1
8. Hal dapat dipercaya:
Pada wawancara dan perbincangan, pasien depresi terlalu melebihkan hal buruk dan meminimalkan hal baik. 1

i. Terapi
Terapi pasien dengan gangguan mood harus ditujukan pada beberapa tujuan. Pertama, keamanan pasien harus terjamin. Kedua, evaluasi diagnostik lengkap pada pasien harus dilakukan. Ketiga, rencana terapi yang ditujukan tidak hanya pada gejala saat itu tetapi kesejahteraan pasien dimasa mendatang juga harus dimulai. Walaupun terapi saat ini yang menekankan pada farmakoterapi dan psikoterapi ditujukan pada pasien secara individual, peristiwa hidup yang penuh tekanan juga dikaitakn dengan meningkatnya angka kekambuhan pada pasien dengan gangguan mood. Dengan demikian, terapi harus menurunkan jumlah dan keparahan stressor didalam kehidupan pasien.1


1. Rawat inap
Indikasi yang jelas untuk rawat inap adalah kebutuhan prosedur diagnosis, risiko bunuh diri atau membunuh dan kemampuan pasien yang menurun drastic untuk mendapatkan makanan dan tempat tinggal. Riwayat gejala yang berkembang cepat serta rusaknya sistem dukungan pasien yang biasa juga merupakan indikasi rawat inap.1,2
2. Terapi psikososial
Sebagian besar studi menunjukkan kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi adalah terapi yang paling efektif untuk gangguan depresi berat. Tiga jenis psikoterapi jangka pendek yaitu:1
a. Terapi kognitif
Sejumlah studi menunjukkan bahwa terapi kognitif efektif dalam penatalaksanaan gangguan depresi berat dan sebagian besar studi menunjukkan bahwa terapi ini setara efektivitasnya dengan farmakoterapi. Terapi kognitif dikembangkan dengan Aaron Beck dan memfokuskan pada distorsi kognitif yang diperkirakan ada pada gangguan depresi berat. Distorsi tersebut mencakup perhatian selektif terhadap aspek negatif keadaan dan kesimpulan patologis yang tidak realistis mengenai konsekuensi. Contohnya apati dan kurang tenaga adalah pengharapan pasien mengenai kegagalan disemua area. Tujuan terapi ini adalah untuk meringankan episode depresif dan mencegah kekambuhan dengan membantu pasien mengidentifikasi dan menguji kognisi begatif; mengembangkan cara berpikir alternative, fleksibel dan positif serta melatih respons perilaku dan kognitif baru.
b. Terapi interpersonal
Terapi ini dikembangkan oleh Gerald Klerman yang memfokuskan pada satu atau dua masalah interpersonal pasien saat ini. Terapi ini didasarkan pada dua asumsi. Pertama, masalah interpersonal saat ini cenderung memiliki akar pada hubungan yang mengalami disfungsi sejak awal. Kedua, masalah interpersonal saat ini cenderung terlibat didalam mencetuskan atau melanjutkan gejala depresif saat ini.
Program terapi ini biasanya terdiri dari atas 12 sampai 16 sesi dan ditandai dengan pendekatan terapeutik yang aktif. Fenomena intrapsikik seperti mekanisme defense dan konflik internal, tidak diselesaikan. Perilaku khas seperti tidak asertif, keterampilan sosial terganggu dan pikiran terdistorsi dapat diselesaikan tetapi hanya dalam konteks pengertiannya terhadap hubungan interpersonal
c. Terapi perilaku
Terapi perilaku didasarkan pada hipotesis bahwa pola perilaku maladaptif mengakibatkan seseorang menerima sedikit umpan balik positif dan mungkin sekaligus penolakan dari masyarakat. Pemusatan perhatian pada perilaku maladaptif didalam terapi diharapkan pasien dapat belajar berfungsi di dalam dunia sedemikian rupa sehingga mereka memperoleh dorongan positif.
3. Farmakoterapi
Antidepresan merupakan terapi gangguan depresif berat yang efektif dan spesifik. Penggunaan farmakoterapi spesifik diperkirakan dapat melipat-gandakan kemungkinan bahwa pasien dengan gangguan depresi berat akan pulih. Meskipun demikian masalah tetap ada dalam terapi gangguan depresi berat seperti: sejumlah pasien tidak memberikan respon terhadap terapi pertama; semua antidepresan yang saat ini tersedia membutuhkan 3 sampai 4 minggu hingga memberikan pengaruh terapeutik yang bermakna, walaupun obat tersebut dapat mulai menunjukkan pengaruhnya lebih dini dan relatif sampai saat ini semua antidepresan yang tersedia bersifat toksik bila overdosis serta memiliki efek samping.1,2
SSRI seperti fluoxetine, paroksetin (Paxil), dan sertralin (Zoloft), juga bupropion, venlafaksin (Efexxor), nefazodon, dan mirtazapin (Remeron). Efek samping dari antidepresan adalah dapat mengakibatkan kematian jika dikonsumsu overdosis. Trisiklik dan tetrasiklik adalah antidepresan yang paling mematikan. Efek samping lainnya adalah dapat menyebabkan hipotensi.4
Kesalahan klinis yang sering terjadi adalah penggunaan dosis yang terlalu rendah dalam jangka waktu singkat. Kecuali terjadi efek samping, dosis antidepresan harus dinaikkan sampai kadar maksimum yang direkomendasi atau dipertahankan kadar tersebut setidaknya selama 4 atau 5 minggu sebelum percobaan obat dapat dinggap tidak berhasil. Terapi antidepresan harus dipertahankan setidaknya 6 bulan atau selama episode sebelumnya, bergantung mana yang lebih lama. Terapi profilaksis perlu dipertimbangkan jika melibatkan gagasan bunuh diri yang bermakna atau gangguan fungsi psikosial.1,5
Alternatif terapi obat lainnya adalah elektrokonvulsif dan fototerapi. Terapi elektokonvulsif biasa digunakan ketika pasien tidak memberikan respons terhadap farmakoterapi atau tidak dapat mentoleransi farmakoterapi.1





















BAB III
PEMBAHASAN


Fase akut dari depresi sering disertai dengan ansietas, irritability, insomnia dan gangguan ansietas. Pada suatu penelitian terhadap 2876 pasien dengan depresi mayor, sekitar lebih dari 50% pasien mengalami ansietas, sehingga pemberian antiansietas dengan antidepresan dalam hal ini penting untuk diberikan. Terapi lini pertama untuk depresi adalah selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs), tetapi gejala insomnia, irritability dan ansietas kadang terjadi saat fase awal terapi. Gejala ini mungkin dapat menyebabkan pasien untuk putus obat lebih awal maupun terjadinya keterlambatan dalam respon antidepresan, Sehingga pemberian antiansietas seiring dengan pemberian antidepresan dapat membantu. Gejala insomnia pada sindrom depresif juga diyakini sering memberikan respon terhadap obat golongan antiansietas.6,7,8
Obat golongan benzodiazepine dapat mengurangi gejala terkait ansietas dan irritability dan sekaligus tidak memperburuk gejala inti seperti anhedonia dan kemudian dapat menyebabkan perbaikan depresi dalam jangka waktu pendek dan meringankan distress pasien. Namun pada beberapa pasien biasanya merasa tidak mampu untuk berhenti mengkonsumsi obat golongan ini sebagai antiansietas meskipunj gejala ansietas itu sendiri sudah tidak ada. Kecenderungan ini lah yang diperkirakan akan lebih kuat pada pasien dengan neurotisisme tingkat tinggi, yang terkenal dengan ciri kepribadian premorbid terkait depresi.6,9
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa terapi lini pertama gangguan depresi adalah SSRI yang merupakan antidepresan generasi kedua. Sedangkan pilihan terapi antidepresan lainnya terdiri dari antidepresan generasi pertama berupa MAO inhibitor dan golongan trisiklik serta antidepresan generasi ketiga yaitu serotonine norepinephrine reuptake inhibitor (SNRI). Indikasi.pemberian antidepresan diantaranya adalah depresi mayor, episode depresif gangguan bipolar, gangguan panik, gangguan obsesif kompulsif, eneuresis, dan nyeri kronik. Berikut ini akan dibahas mengenai SSRI yang merupakan terapi lini pertama gangguan depresi.5
Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) merupakan golongan obat yang kurang memperlihatkan pengaruhnya terhadap sistem kolinergik, adrenergik atau histaminergik, sehingga efek samping yang ditimbulkan lebih ringan. Perbandingan efektivitasnya dengan antidepresan lain sampai saat ini belum ditemukan bukti kuat terkait hal tersebut. Masa kerja obat golongan ini tergolong panjang yaitu antara 15-24 jam, dimana fluoksetin memiliki masa kerja lebih panjang yaitu 24-96 jam. Obat golongan ini merupakan obat yang secara spesifik menghambat ambilan serotonin (SSRI) dan juga sebagai inhibitor spesifik isoenzim P450. Selain itu golongan ini juga dapat meningkatkan kadar antidepresi trisiklik berdasarkan hambatan enzim CYP. Interaksi farmakodinamik yang berbahaya terjadi jika SSRI dikombinasikan dengan obat golongan inhibitor mono-amin-oksidase yang akan meningkatkan efek serotonin secara berlebihan yang disebut sindrom serotonin dengan gejala hipertermia, kekakuan otot, kejang, kolaps kardiovaskular dan gangguan perilaku serta gangguan tanda vital. Efek samping yang dapat ditimbulkan akibat penggunaan obat golongan ini antara lain adalah mual, penurunan libido dan fungsi seksual lainnya. Obat yang termasuk golongan ini adalah fluoksetin, paroksetin, sertralin, fluvoksamin, dan sitalopram.5
a. Fluoksetin
Obat ini merupakan obat golongan SSRI yang paling luas digunakan karena kurang menyebabkan antikolinergik, hampir tidak menimbulkan sedasi dan cukup diberikan satu kali. Dosis awal dewasa adalah 20 mg/ hari diberikan setiap pagi. Dosis obat dapat ditingkatkan jika efek terapi belum diperoleh dengan meningkatkan dosis 20 mg/ hari hingga 30 mg/ hari.
b. Sertralin
Merupakan SSRI yang serupa dengan fluoksetin namun bersifat lebih spesifik terhadap SERT yang merupakan transporter serotonin dan kurang selektif terhadap DAT yang merupakan transporter dopamin.
c. Flufoksamin
Efek sedasi dan efek antimuskarinik dari obat ini kurang dari fluoksetin dan cenderung meningkatkan metabolit oksidatif benzodiazepine, klozapin dan teofilin.

d. Paroksetin
Obat ini dimetabolisme oleh CYP 2D6 dengan waktu paruh 22 jam. Obat ini dapat meningkatkan kadar klozapin, teofilin dan warfarin. Penghentian obat secara mendadak juga dapat menimbulkan iritabilitas.
e. R-S-Sitalopram
Obat ini memiliki selektivitas yang paling tinggi terhadap SERT meskipun hal ini tidak dapat menjelaskan apakah berarti secara klinis. Metabolismenya oleh CYP 3A4 dan CYP 2C19 dapat meningkatkan interaksinya dengan obat lain.

Antiansietas yang digunakan dalam terapi gangguan depresi berat adalah golongan benzodiazepin yaitu merupakan pilihan terapi berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya yang mendukung efektivitas pemberiannya dalam terapi gangguan depresi. Obat golongan ini memiliki mekanisme kerja yaitu sebagai potensiasi inhibisi neuron dengan asam gamma amino butirat (GABA) sebagai mediator. Kerja benzodiazepin terutama merupakan interaksinya dengan reseptor penghambat neurotransmitter yang diaktifkan oleh GABA. Reseptor GABA merupakan protein yang terikat pada membrane dan dibedakan dalam 2 bagian besar subtype yaitu reseptor GABAA dan reseptor GABAB. Benzodizepin berikatan langsung dengan sisi spesifik reseptor GABA tersebut dan akan menyebabkan pembukaan kanal klorida sehingga memungkinkan masuknya ion klorida kedalam sel dan meningkatkan potensial elektrik sepanjang membran sel sehingga menyebabkan sel sukar tereksitasi. Ikatan benzodiazepin-reseptor dapat bekerja sebagai agonis, antagonis atau invers agonis yang tergantung dengan senyawa yang terikat.Efek farmakodinamik derivat ini lebih luas daripada efek barbituratndan meprobamat. Efek samping dari golongan ini adalah depresi SSP berupa kantuk dan ataksia, peningkatan hostilitas dan iritabilitas dan mimpi-mimpi hidup (vivid dreams), reaksi toksik berupa ruam, nyeri kepala, gangguan fungsi seksual, vertigo dan kepala terasa ringan, retardasi psikomotor, gangguan daya ingat, depresi serta emosi dapat menjadi tumpul. Kontraindikasi pemberian adalah jika diberikan bersama dengan alkohol, barbiturat atau fenotiazin dan pada pasien dengan gangguan pernapasan.4,5
Derivat benzodiazepin digunakan untuk menimbulkan sedasi, menghilangkan rasa cemas dan keadaan psikosomatik yang ada hubungan dengan rasa cemas. Selain sebagai antiansietas, derivat benzodiazepin digunakan juga sebagai hipnotik, antikonvulsi, pelemas otot dan induksi anastesi umum. Obat yang termasuk golongan ini antara lain adalah diazepam, lorazepam dan alprazolam. Alprazolam dan lorazepam merupakan obat golongan benzodiazepin yang memiliki onset kerja cepat. Dosis awal alprazolam adalah 0,25-0,5 mg diberikan sebanyak 3 kali dalam sehari per oral. Dosis tersebut dapat ditingkatkan jika dibutuhkan dan terjadi tolerasi. Dosis pemeliharaan dapat ditingkatkan sampai dosis maksimal 4 mg dengan dosis terbagi.5
Keuntungan pemberian terapi antidepresan dan benzodiazepines tampak pada suatu penelitian meta-analysis dari 9 penelitian komparatif acak selama 4 – 6 minggu pengobatan berkelanjutan. Kelompok terapi kombinasi menunjukkan angka terapi drop out lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok antidepresan tunggal. Angka drop out yang terjadi akibat reaksi efek samping obat juga terbukti rendah. Efek kombinasi terbukti dalam minggu pertama dan setelah dinilai pada minggu keempat, terapi kombinasi tetap memiliki efikasi yang lebih dengan angka respon terapi 63% dibandingkan dengan 38% untuk monoterapi. 9
Penggunaan terapi antidepresan dan benzodiazepine berguna dalam terapi pada minggu pertama yang dapat menyebabkan perbaikan yang cepat serta mengurangi angka dropout, meskipun sebaiknya antiansietas seperti benzodiazepine sebaiknya dapat dihentikan dalam beberapa minggu.6












BAB IV
KESIMPULAN


Penggunaan terapi antiansietas efektif dalam terapi gangguan depresi jika diberikan secara bersamaan dengan obat antidepresan. Efektivitas antiansietas terhadap gangguan depresi juga dibuktikan dengan beberapa penelitian yang menunjukkan hasil bahwa kombinasi terapi kedua jenis obat tersebut memiliki angka respon terapi yang lebih besar dibandingkan dengan monoterapi, yaitu terapi dengan hanya antidepresan saja.






















DAFTAR PUSTAKA



1. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s Concise Textbook of Clinical Psychiatry. 3rd Edition. 2008. USA Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, Wolters Kluwer Business. P 200-18.
2. Ismail RI, Siste K. Gangguan Depresi. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. 2010. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. p 209-22.
3. Maramis WF, Maramis AA. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi Kedua. 2009. Surabaya: Airlangga University Press.
4. Maslim, Rusdi. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Edisi Ketiga. 2007. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Unika Atmajaya.
5. Setiabudy, Rianto. Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima. 2007. Jakarta: Gaya Baru.
6. Kanba, Shigenobu. Although antidepressants and anxiolytics are frequently used together to treat depression in the acute phase, how effective is the concomitant use of these drugs?. J Psychiaty Neurosci 2004;29(6).
7. Fava M, Rush AJ, Alpert JE, et al. Difference in treatment outcome in treatment outcome in outpatients with anxioud versus nonanxious depression: a STAR*D report. Am J Psychiatry 20080;165:342.
8. Fava M, McCall WV, Krystal A, et al. Eszopiclone co-administered with fluoxetine in patients with insomnia coexisting with major depressive disorder. Biol Psychiatry 2006;59:1052
9. Furukawa TA, Streiner DL, Young LT. Antidepressant plus benzodiazepine for major depression. Cochrane Database Syst Rev 2001;CD001026.

yuzanatiarasia

Posts : 9
Reputation : 0
Join date : 28.05.15

Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik