Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Pentingnya Deteksi Dini dan Intervensi Dini Pada Anak Autis

Go down

Pentingnya Deteksi Dini dan Intervensi Dini Pada Anak Autis Empty Pentingnya Deteksi Dini dan Intervensi Dini Pada Anak Autis

Post by Darwan Sukro walida Sun Apr 19, 2015 2:19 pm

BAB I
PENDAHULUAN

Autisme  berasal dari kata autos ( diri ) dan isme ( paham/aliran ). Autisme secara etimologi adalah anak yang memiliki gangguan perkembangan dalam dunianya sendiri. Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan yang semakin meningkat angka kejadiannya saat ini, hal ini menimbulkan kecemasan yang dalam bagi para orangtua. Hingga saat ini belum dapat ditemukan penyebab pasti dari gangguan autisme ini, sehingga belum dapat dikembangkan cara pencegahan dan penanganan yang tepat. Pada  awalnya autisme dipandang sebagai gangguan yang disebabkan oleh faktor psikologis yaitu pola pengasuhan orangtua yang tidak hangat secara emosional, tetapi barulah sekitar tahun 1960 dimulai penelitian neurologis yang membuktikan bahwa autisme disebabkan oleh adanya abnormalitas pada otak (Yeni, Murni, & Oktora, 2009).
Autisme dapat terjadi pada semua kelompok masyarakat kaya, miskin, di desa di kota, berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia. Jumlah anak yang terkena autisme semakin meningkat pesat di berbagai belahan dunia, kondisi ini menyebabkan banyak orangtua menjadi was-was sehingga sedikit saja anak menunjukkan gejala yang dirasa kurang normal selalu dikaitkan dengan gangguan autisme. Di California pada tahun 2002 disimpulkan terdapat 9 kasus autisme per-harinya. Di Amerika Serikat disebutkan autisme terjadi pada 15.000-60.000 anak dibawah 15 tahun. Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta lebih, hingga saat ini belum diketahui berapa persisnya jumlah penderita namun diperkirakan jumlah anak autisme dapat mencapai 150-200 ribu orang. Perbandingan antara laki dan perempuan adalah 2,6-4 : 1, namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat (Yeni, Murni, & Oktora, 2009).
Autisme termasuk kasus yang jarang, biasanya identifikasinya melalui pemeriksaan yang teliti di rumah sakit, dokter atau sekolah khusus.Akhir – akhir  ini terdapat kecenderungan peningkatan kasus-kasus autisme pada anak (autisme infantil) yang datang pada praktek neurologi dan praktek dokter lainnya. Umumnya keluhan utama yang disampaikan oleh orang tua adalah keterlambatan bicara, perilaku aneh dan acuh tak acuh, atau cemas apakah anaknya tuli (Yeni, Murni, & Oktora, 2009).
Terapi anak autisme membutuhkan deteksi dini, intervensi edukasi yang intensif, lingkungan yang terstruktur, atensi individual, staf yang terlatih baik, dan peran serta orang tua sehingga melibatkan banyak bidang, baik bidang kedokteran, pendidikan, psikologi maupun bidang sosial. Dalam bidang kedokteran, untuk menangani masalah autisme dengan pengobatan khususnya medika mentosa, di bidang pendidikan dapat dilakukan dengan memberikan latihan pada orang tua penderita. Terapi perkembangan perilaku dapat dilakukan dalam bidang psikologi, sedangkan mendirikan yayasan autisme sebagai lembaga yang mampu secara profesional menangani masalah autisme adalah salah satu contoh yang dilakukan dalam bidang sosial (Yeni, Murni, & Oktora, 2009).
Prognosis untuk penderita autisme tidak selalu buruk. Pada gangguan autisme, anak yang mempunyai IQ diatas 70 dan mampu menggunakan komunikasi bahasa mempunyai prognosis yang baik. Berdasarkan gangguan pada otak, autisme tidak dapat sembuh total tetapi gejalanya dapat dikurangi, perilaku dapat diubah ke arah positif dengan berbagai terapi. Sejauh ini masih belum terdapat kejelasan secara pasti mengenai penyebab dan faktor risikonya sehingga strategi pencegahan yang dilakukan masih belum optimal. Saat ini tujuan pencegahan mungkin hanya sebatas untuk mencegah agar gangguan yang terjadi tidak lebih berat lagi, bukan untuk menghindari kejadian autisme (Yeni, Murni, & Oktora, 2009). Oleh karena itu apabila tidak dilakukan intervensi secara dini dan tatalaksana yang tepat sulit diharapkan perkembangan yang optimal akan dapat terjadi, mereka akan semakin terisolir dari dunia luar dan hidup dalam dunianya sendiri, dengan berbagai gangguan mental dan perilaku yang semakin mengganggu dan tentunya semakin banyak dampak negatif yang akan terjadi di kemudian hari. Oleh karena itu, dalam referat ini penulis lebih menekankan intrervensi secara dini terrhadap anak autis khususnya dalam meperbaiki perilaku dan menaikan IQ dari anak autis.

























BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Autisme
Autisme berasal dari kata “autos” yang berarti segala sesuatu yang mengarah pada diri sendiri. Dalam kamus psikologi umum (1982), autisme berarti  preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita autisme sering disebut orang yang hidup di “alamnya” sendiri.
Autisme merupakan salah satu kelompok gangguan pada anak yang ditandai dengan munculnya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, komunikasi, ketertarikan pada interaksi sosial, dan perilakunya (Sadock, 2007).

B. Epidemiologi
Penyandang autisme pada anak (autisme infantile) dalam kurun waktu 10 sampai 20 tahun terakhir semakin meningkat di dunia. Prevalensi anak autis di dunia pada tahun 1987 diperkirakan 1 berbanding 5.000 kelahiran. Sepuluh tahun kemudian yaitu tahun 1997, angka itu berubah menjadi 1 berbanding 500 kelahiran. Sedangkan, pada tahun 2000 prevalensi anak autisme meningkat menjadi 1 banding 150 kelahiran dan tahun 2001 perbandingannya berubah menjadi 1:100 kelahiran. Secara global prevalensinya berkisar 4 per 10.000 penduduk, dan pengidap autisme laki-laki lebih banyak dibandingkan wanita (lebih kurang 4 kalinya). Sedangkan penyandang autis di Indonesia diperkirakan lebih dari 400.000 anak (Lubis, 2009).  Penelitian yang dilakukan di Brick Township, New Jersey (Bertrand, 2001) melaporkan angka prevalensi autis yaitu 40 per 10.000 untuk anak 3-10 tahun dengan autisme dan 67 per 10.000 untuk seluruh spektrum autisme pada anak-anak. Penelitian terbaru di Canada menyatakan bahwa prevalensi autisme mencapai 0,6 sampai 0,7% atau satu berbanding 150 kelahiran (Fombonne, 2009).

C. Etiologi
Etiologi pasti dari autis belum sepenuhnya jelas. Beberapa teori yang menjelaskan tentang autisme infantil  yaitu:
1. Teori psikoanalitik
Teori yang dikemukakan oleh Bruto Bettelheim (1967) menyatakan bahwa autisme terjadi karena penolakan orangtua terhadap anaknya. Anak menolak orang tuanya dan mampu merasakan persaan negatif mereka. Anak  tersebut meyakini bahwa dia tidak memiliki dampak apapun pada dunia sehingga menciptakan “benteng kekosongan” untuk melindungi dirinya dari penderitaan dan kekecewaan (Lubis, 2009).
2. Genetik
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki 3-4 kali beresiko lebih tinggi dari wanita. Sementara risiko autis jika memiliki saudara kandung yang juga autis sekitar 3% (Kasran, 2003). Kelainan dari gen pembentuk metalotianin juga berpengaruh pada kejadian autis. Metalotianin adalah kelompok protein yang merupakan mekanisme kontrol tubuh terhadap tembaga dan seng. Fungsi lainnya yaitu perkembangan sel saraf, detoksifikasi logam berat, pematangan saluran cerna, dan penguat sistem imun. Disfungsi metalotianin akan menyebabkan penurunan produksi asam lambung, ketidakmampuan tubuh untuk membuang logam berat dan kelainan sisten imun yang sering ditemukan pada orang autis. Teori ini juga dapat menerangkan penyebab lebih berisikonya laki-laki dibanding perempuan. Hal ini disebabkan karena sintesis metalotianin ditingkatkan oleh estrogen dan progesteron (Kasran, 2003).
3. Studi biokimia dan riset neurologis
Pemeriksaan post-mortem otak dari beberapa penderita autistik menunjukkan adanya dua daerah di dalam sistem limbik yang kurang berkembang yaitu amygdala dan hippocampus. Kedua daerah ini bertanggung jawab atas emosi, agresi, sensory input, dan belajar. Penelitian ini juga menemukan adanya defisiensi sel Purkinye di serebelum. Dengan menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI), telah ditemukan dua daerah di serebelum, lobulus VI dan VII, yang pada individu autistik secara nyata lebih kecil dari pada orang normal. Satu dari kedua daerah ini dipahami sebagai pusat yang bertanggung jawab atas perhatian. Dari segi biokimia jaringan otak, banyak penderita-penderita autistik menunjukkan kenaikan dari serotonin dalam darah dan cairan serebrospinal dibandingkan dengan orang normal (Kasran, 2003).
D. Patogenesis Autisme
Penyebab terjadinya autisme sangat beraneka ragam dan tidak ada satupun yang spesifik sebagai penyebab utama dari autisme. Ada indikasi bahwa faktor genetik berperan dalam kejadian autisme. Dalam suatu studi yang melibatkan anak kembar terlihat bahwa dua kembar monozygot (kembar identik) kemungkinan 90% akan sama-sama mengalami autisme; kemungkinan pada dua kembar dizygot (kembar fraternal) hanya sekitar 5-10% saja (Kasran, 2003).
Sampai sejauh ini tidak ada gen spesifik autisme yang teridentifikasi meskipun baru-baru ini telah dikemukakan terdapat keterkaitan antara gen serotonin-transporter. Selain itu adanya teori opioid yang mengemukakan bahwa autisme timbul dari beban yang berlebihan pada susunan saraf pusat oleh opioid pada saat usia dini. Opioid kemungkinan besar adalah eksogen dan opioid merupakan perombakan yang tidak lengkap dari gluten dan casein makanan. Meskipun kebenarannya diragukan, teori ini menarik banyak perhatian. Pada dasarnya, teori ini mengemukakan adanya barrier yang defisien di dalam mukosa usus, di darah-otak (blood-brain) atau oleh karena adanya kegagalan peptida usus dan peptida yang beredar dalam darah untuk mengubah opioid menjadi metabolit yang tidak bersifat racun dan menimbulkan penyakit (Kasran, 2003). Barrier yang defektif ini mungkin diwarisi (inherited) atau sekunder karena suatu kelainan. Berbagai uraian tentang abnormalitas neural pada autisme telah menimbulkan banyak spekulasi mengenai penyakit ini. Namun, hingga saat ini tidak ada satupun, baik teori anatomis yang sesuai maupun teori patofisiologi autisme atau tes diagnostik biologik yang dapat digunakan untuk menjelaskan tentang sebab utama autisme. Beberapa peneliti telah mengamati beberapa abnormalitas jaringan otak pada individu yang mengalami autisme, tetapi sebab dari abnormalitas ini belum diketahui, demikian juga pengaruhnya terhadap perilaku (Kasran, 2003).
Kelainan yang dapat dilihat terbagi menjadi dua tipe, disfungsi dalam stuktur neural dari jaringan otak dan abnormalitas biokimia jaringan otak. Dalam kaitannya dengan struktur otak, pemeriksaan post-mortem otak dari beberapa penderita autistik menunjukkan adanya dua daerah di dalam sistem limbik yang kurang berkembang yaitu amygdala dan hippocampus. Kedua daerah ini bertanggung jawab atas emosi, agresi, sensory input, dan belajar. Peneliti ini juga menemukan adanya defisiensi sel Purkinye di serebelum. Dengan menggunakan magnetic resonance imaging, telah ditemukan dua daerah di serebelum, lobulus VI dan VII, yang pada individu autistik secara nyata lebih kecil dari pada orang normal. Satu dari kedua daerah ini dipahami sebagai pusat yang bertanggung jawab atas perhatian. Didukung oleh studi empiris neurofarmakologis dan neurokimia pada autisme, perhatian banyak dipusatkan pada neurotransmitter dan neuromodulator, pertama sistem dopamine mesolimbik, kemudian sistem opioid endogen dan oksitosin, selanjutnya pada serotonin, dan ditemukan adanya hubungan antara autisme dengan kelainan-kelainan pada sistem tersebut (Kasran, 2003).
Sedangkan dari segi biokimia jaringan otak, banyak penderita-penderita autistik menunjukkan kenaikan dari serotonin dalam darah dan cairan serebrospinal dibandingkan dengan orang normal. Perlu disinggung bahwa abnormalitas serotonin ini juga tampak pada penderita down syndrome, kelainan hiperaktivirtas, dan depresi unipoler. Juga terbukti bahwa pada individu autistik terdapat kenaikan dari beta-endorphins, suatu substansi di dalam badan yang mirip opiat. Diperkirakan adanya ketidakpekaan individu autistik terhadap rasa sakit disebabkan oleh karena peningkatan kadar betaendorphins ini (Kasran, 2003).
E. Kriteria Diagnonis Autisme
Untuk menetapkan diagnosis gangguan autism, DSM IV (Diagnostic Statistical Manual yang dikembangkan oleh para psikiater dari Amerika) mendefinisikan anak autis sebagai berikut:
1. Terdapat paling sedikit enam pokok dari kelompok a, b dan c, meliputi sekurang-kurangnya: satu item dari kelompok a, sekurang-kurangnya satu item dari kelompok b, sekurang-kurangnya satu item dari kelompok c  
a. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang ditunjukkan oleh paling sedikit dua diantara berikut:
a. Memiliki kesulitan dalam mengunakan berbagai perilaku non verbal seperti, kontak mata, ekspresi muka, sikap tubuh, bahasa tubuh lainnya yang mengatur interaksi sosial
b. Memiliki kesulitan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya atau teman yang sesuai dengan tahap perkembangan mentalnya.
c. Ketidakmampuan untuk berbagi kesenangan, minat, atau keberhasilan secara spontan  dengan orang lain (seperti; kurang tampak adanya perilaku memperlihatkan, membawa atau menunjuk objek yang menjadi minatnya).
d. Ketidakampuan dalam membina hubungan sosial atau emosi yang timbal balik.

b. Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi yang ditunjukkan oleh paling sedikit satu dari yang berikut:
a. Keterlambatan dalam perkembangan bicara atau sama sekali tidak (bukan disertai dengan mencoba untuk mengkompensasikannya melalui cara-cara komunikasi alternatif seperti gerakan tubuh atau lainnya)
b. Bagi individu yang mampu berbicara, kurang mampu untuk memulai pembicaraan atau memelihara suatu percakapan dengan  yang lain
c. Pemakaian bahasa yang stereotipe atau berulang-ulang atau bahasa yang aneh (idiosyncantric)
d. Cara bermain  kurang bervariatif, kurang mampu bermain pura-pura secara spontan, kurang mampu meniru secara sosial sesuai dengan tahap perkembangan mentalnya

c. Pola minat perilaku yang terbatas, repetitive, dan stereotype seperti yang ditunjukkan oleh paling tidak satu dari yang berikut:
a. Keasikan dengan satu atau lebih pola-pola minat yang terbatas dan stereotipe baik dalam intensitas maupun dalam fokusnya.
b. Tampak tidak fleksibel atau kaku dengan rutinitas atau ritual yang khusus, atau yang tidak memiliki manfaat.
c. perilaku motorik yang stereotip dan berulang-ulang (seperti :memukul-mukulkan atau menggerakgerakkan  tangannya atau mengetuk-ngetukan jarinya, atau menggerakkan seluruh tubuhnya). Keasikan yang menetap dengan bagian-bagian dari benda (object).

2. Perkembangan abnormal atau terganggu sebelum usia tiga tahun seperti yang ditunjukkan oleh keterlambatan atau fungsi yang abnormal pada paling sedikit satu dari bidang-bidang berikut: (1) interaksi sosial, (2) penggunaan bahasa untuk berkomunikasi, (3) simbolis atau berimajinasi
3. Sebaiknya tidak dikelompokkan ke dalam Rett Disorder, Childhood Integrative Disorder, atau Asperger Syndrom.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa anak autis yaitu anak-anak yang mengalami kesulitan perkembangan otak yang kompleks yang mempengaruh banyak fungsi-fungsi: persepsi (perceiving), intending, imajinasi (imagining) dan perasaan (feeling) yang terjadi sebelum umur tiga tahun dengan dicirikan oleh adanya hambatan kualitatif dalam interaksi sosial, komunikasi dan terobsesi pada satu kegiatan atau obyek yang mana mereka memerlukan layanan pedidikan khusus untuk mengembangkan potensinya.
F. Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding autisme infantil, antara lain:
a. Gangguan perkembangan pervasif yang lainnya
Beberapa kelainan yang dimasukkan dalam kelompok ini adalah anak-anak yang mempunyai ciri-ciri autisme, yaitu gangguan perkembangan sosial, bahasa, dan perilaku, namun cirri lainnya berbeda dengan autism infantil. Gangguan ini adalah sebagai berikut:
1) Sindroma Rett
Sindroma Rett adalah penyakit otak yang progresif tapi khusus mengenai anak perempuan. Perkembangan anak sampai usia 5 bulan normal, namun setelah itu mundur. Umumnya kemunduran yang terjadi sangat parah meliputi perkembangan bahasa, interaksi sosial maupun motoriknya.


2) Sindroma Asperger
Pada sindroma Asperger mempunyai ketiga ciri autism namun masih memiliki intelegensia yang baik dan kemampuan bahasanya juga hanya terganggu dalam derajat ringan. Oleh karena itu, sindroma Asperger sering disebut sebagai “high functioning autism”.
Gangguan Asperger berbeda dengan autism infantil. Onset usia autisme infantile terjadi lebih awal dan tingkat keparahannya lebih parah dibandingkan gangguan Asperger. Pasien autisme infantil menunjukkan penundaan dan penyimpangan dalam kemahiran berbahasa serta adanya gangguan kognitif. Oral vocabulary test menunjukkan keadaan yang lebih baik pada gangguan Asperger. Defisit sosial dan komunikasi lebih berat pada autisme. Selain itu ditemukan adanya manerisme motorik sedangkan pada gangguan Asperger yang menonjol adalah perhatian terbatas dan motorik yang canggung, serta gagal mengerti isyarat nonverbal. Lebih sulit membedakan gangguan Asperger dengan autisme infantil tanpa retardasi mental. Gangguan Asperger biasanya memperlihatkan gambaran IQ yang lebih baik daripada autisme infantil, kecuali autisme infantil high functioning. Batas antara gangguan Asperger dan high functioning autism untuk gangguan berbahasa dan gangguan belajar sangat kabur. Gangguan Asperger mempunyai verbal intelligence yang normal sedangkan autisme infantil mempunyai verbal intelligence yang kurang. Gangguan Asperger mempunyai empati yang lebih baik dibandingkan dengan autisme infantil, sekalipun keduanya mengalami kesulitan berempati




3) Sindroma Disintegratif
Sindroma ini ditandai dengan kemunduran dari apa yang telah dicapai setelah umur 2 tahun, paling sering sekitar umur 3-4 tahun. Gangguan ini sangat jarang terjadi dan paling sering mengenai anak laki-laki dibanding perempuan.
b. Gangguan perkembangan bahasa (disfasia)
Disfasia terjadi karena gangguan perkembangan otak hemisfer kiri, sebagai daerah pusat berbahasa. Ada beberapa subtipe gangguan ini yang menyerupai dengan autism infantil khususnya ditinjau dari perkembangan bahasa wicaranya. Bedanya pada disfasia tidak terdapat perilaku repetitive maupun obsesif.
Kriteria Autisme Infantil Disfasia
Insidensi 2-5 dalam 10.000 5 dalam 10.000
Ratio jenis kelamin
(Laki-laki:Perempuan) 3-4 : 1 sama atau hampir sama
Riwayat keluarga adanya keterlambatan bicara / gangguan bahasa 25 % kasus 25 % kasus
Ketulian yang berhubungan sangat jarang tidak jarang
Komunikasi nonverbal tidak ada/rudimenter Ada
Kelainan bahasa (misalnya ekolalia, frasa stereotipik di luar konteks) lebih sering lebih jarang
Gangguan artikulasi lebih jarang lebih sering
Tingkat intelegensia sering terganggu parah walaupun mungkin terganggu, seringkali kurang parah
Pola test IQ tidak rata, rendah pada skor verbal, rendah pada sub test pemahaman lebih rata, walaupun IQ verbal lebih rendah dari IQ kinerja
Perilaku autistik, gangguan kehuidupan sosial, aktivitas
stereotipik dan ritualistik lebih sering dan lebih parah tidak ada atau jika ada, kurang parah
Permainan imaginatif tidak ada/rudimenter biasanya ada

c. Skizofrenia dengan onset masa anak-anak
Skizofrenia jarang pada anak-anak di bawah 5 tahun. Skizofrenia disertai dengan halusinasi atau waham, dengan insidensi kejang dan retardasi mental yang lebih rendah dan dengan IQ yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak autistik.
Kriteria Autisme Infantil Skizofrenia dengan onset masa anak-anak
Usia onset <36 bulan >5 tahun
Insidensi 2-5 dalam 10.000 Tidak diketahui, kemungkinan sama atau bahkan lebih jarang
Rasio jenis kelamin
(Laki-laki:Perempuan) 3-4:1 1,67:1
Status sosioekonomi Lebih sering pada sosioekonomi tinggi Lebih sering pada sosioekonomi rendah
Penyulit prenatal dan perinatal dan disfungsi otak Lebih sering pada gangguan
Autistic Lebih jarang pada skizofrenia
Karakteristik perilaku Gagal untuk mengembangkan hubungan : tidak ada bicara (ekolalia); frasa stereotipik; tidak ada atau buruknya pemahaman bahasa; kegigihan atas kesamaan dan stereotipik. Halusinasi dan waham, gangguan pikiran
Fungsi adaptif Biasanya selalu terganggu Pemburukan fungsi
Tingkat inteligensi Pada sebagian besar kasus
subnormal, sering terganggu parah (70%) Dalam rentang normal
Kejang grand mal 4-32% Tidak ada atau insidensi rendah




d. Retardasi Mental (RM)
Hal yang tidak mudah untuk membedakan autisme infantil dengan retardasi mental, sebab autisme juga sering disertai retardasi mental. Kira-kira 40% anak autistik adalah teretardasi sedang, berat atau sangat berat, dan anak yang teretardasi mungkin memiliki gejala perilaku yang termasuk ciri autistik. Pada retardasi mental tidak terdapat 3 ciri pokok autism secara lengkap. Retardasi mental adalah gangguan intelegensi, biasanya diketahui setelah anak sekolah karena ketidaksanggupan anak mengikuti  pelajaran formal. Pembagian retardasi mental mental dilihat dari kemampuan Intelligent Quetient (IQ), retardasi mental ringan IQ 55-70, RM sedang IQ 40-55, RM berat 25-40, RM sangat berat IQ < 25.
Ciri utama yang membedakan antara gangguan autistik dan retardasi mental adalah:
1) Anak teretardasi mental biasanya berhubungan dengan orang tua atau anak-anak lain dengan cara yang sesuai dengan umur mentalnya.
2) Mereka menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain.
3) Mereka memilki sifat gangguan yang relatif tetap tanpa pembelahan fungsi
e. Afasia didapat dengan kejang
Afasia didapat dengan kejang adalah kondisi yang jarang yang kadang sulit dibedakan dari gangguan autistik dan gangguan disintegratif masa anak-anak. Anak-anak dengan kondisi ini normal untuk beberapa tahun sebelum kehilangan bahasa reseptif dan ekspresifnya selama periode beberapa minggu atau beberapa bulan. Sebagian akan mengalami kejang dan kelainan EEG menyeluruh pada saat onset, tetapi tanda tersebut biasanya tidak menetap. Suatu gangguan yang jelas dalam pemahaman bahasa yang terjadi kemudian, ditandai oleh pola berbicara yang menyimpang dan gangguan bicara. Beberapa anak pulih tetapi dengan gangguan bahasa residual yang cukup besar

f. Ketulian kongenital atau gangguan pendengaraan parah
Anak-anak autistik sering kali dianggap tuli oleh karena anak-anak tersebut sering membisu atau menunjukkan tidak adanya minat secara selektif terhadap bahasa ucapan. Ciri-ciri yang membedakan yaitu bayi autistik mungkin jarang berceloteh sedangkan bayi yang tuli memiliki riwayat celoteh yang relatif normal dan selanjutnya secara bertahap menghilang dan berhenti pada usia 6 bulan-1 tahun.
Anak yang tuli berespon hanya terhadap suara yang keras, sedangkan anak autistik mungkin mengabaikan suara keras atau normal dan berespon hanya terhadap suara lunak atau lemah. Hal yang terpenting, audiogram atau potensial cetusan auditorik menyatakan kehilangan yang bermakna pada anak yang tuli. Tidak seperti anak-anak autistik, anak-anak tuli biasanya dekat dengan orang tuanya, mencari kasih sayang orang tua dan sebagai bayi senang digendong.
g. Pemutusan psikososial
Gangguan parah dalam lingkungan fisik dan emosional (seperti pemisahan dari ibu, kekerdilan psikososial, perawatan di rumah sakit, dan gagal tumbuh) dapat menyebabkan anak tampak apatis, menarik diri, dan terasing. Keterampilan bahasa dan motorik dapat terlambat. Anak-anak dengan tanda tersebut hampir selalu membaik dengan cepat jika ditempatkan dalam lingkungan psikososial yang menyenangkan dan diperkaya, yang tidak terjadi pada anak autistik.

G. Deteksi Dini Autisme
Menurut Mardiyono (2010), deteksi dini pada anak dengan autisme melalui beberapa tahapan, antara lain :
1. Deteksi Dini Sejak dalam Kandungan
Sampai sejauh ini dengan kemajuan tehnologi kesehatan di dunia masih juga belum mampu mendeteksi resiko autism sejak dalam kandungan. Terdapat beberapa pemeriksaan biomolekular pada janin bayi untuk mendeteksi autism sejak dini, namun pemeriksaan ini masih dalam batas kebutuhan untuk penelitian.

2. Deteksi Dini Sejak Lahir hingga Usia 5 tahun
Autisme agak sulit di diagnosis pada usia bayi, tetapi penting untuk mengetahui gejala dan tanda penyakit ini sejak dini karena penanganan yang lebih cepat akan memberikan hasil yang lebih baik.
Ada beberapa gejala yang harus diwaspadai terlihat sejak bayi atau anak menurut usia :
a. Usia 0-6 bulan
• Bayi tampak terlalu tenang ( jarang menangis)
• Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik
• Gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama bila mandi
• Tidak “babbling”
• Tidak ditemukan senyum sosial diatas 10 minggu
• Tidak ada kontak mata diatas umur 3 bulan
• Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal
b. Usia 6 – 12 Bulan
• Kaku bila digendong
• Tidak mau bermain permainan sederhana (ciluk ba, da-da)
• Tidak mengeluarkan kata
• Tidak tertarik pada boneka
• Memperhatikan tangannya sendiri
• Terdapat keterlambatan dalam perkembangan motor kasar/halus
• Mungkin tidak dapat menerima makanan cair

c. Usia 2 – 3 tahun
• Tidak tertarik untuk bersosialisasi dengan anak lain
• Melihat orang sebagai “benda”
• Kontak mata terbatas
• Tertarik pada benda tertentu
• Kaku bila digendong

d. Usia 4 – 5 Tahun
• Sering didapatkan ekolalia (membeo)
• Mengeluarkan suara yang aneh (nada tinggi atau datar)
• Marah bila rutinitas yang seharusnya berubah
• Menyakiti diri sendiri (membenturkan kepala)
• Temperamen tantrum atau agresif

Deteksi Dini dengan Skrening
Beberapa ahli perkembangan anak menggunakan klarifikasi yang disebut sebagai Zero to three's Diagnostic Classification of Mental Health and Development Disorders of Infacy and early Childhood. DC-0-3 menggunakan konsep bahwa proses diagnosis adalah proses berkelanjutan dan terus menerus, sehingga dokter yang merawat dalam pertambahan usia dapat mendalami tanda, gejala dan diagnosis pada anak. Menurut Judarwanto W (2010), beberapa deteksi dini dengan menggunakan skrening antara lain :
a. MSDD  (Multisystem Developmental Disorders)
MSDD (Multisystem Developmental Disorders) adalah diagnosis gangguan perkembangan dalam hal kesanggupannya berhubungan, berkomunikasi, bermain dan belajar. Gangguan MSDD tidak menetap seperti gangguan pada Autistis Spectrum Disorders, tetapi sangat mungkin untuk terjadi perubahan dan perbaikkan. Pengertian MSDD meliputi gangguan sensoris multipel dan interaksi sensori motor. Gejala MSDD meliputi : gangguan dalam berhubungan sosial dan emosional dengan orang tua atau pengasuh, gangguan dalam mempertahankan dan mengembangkan komunikai, gangguan dalam proses auditory dan gangguan dalam proses berbagai sensori lain atau koordinasi motorik.

b. Pervasive Developmental Disorders Screening Test PDDST – II
PDDST-II adalah salah satu alat skrening yang telah dikembangkan oleh Siegel B. dari Pervasive Developmental Disorders Clinic and Laboratory, Amerika Serikat sejak tahun 1997. Perangkat ini banyak digunakan di berbagai pusat terapi gangguan perliaku di dunia. Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang cukup baik sebagai alat bantu diagnosis atau skrening autis.

c. Deteksi Dini Dengan Chat (Cheklist in Toddler)
Terdapat beberapa perangkat diagnosis untuk skreening (uji tapis) pada penyandang autism sejak usia 18 bulan sering dipakai di adalah CHAT (Checklist Autism in Toddlers). CHAT dikembangkan di Inggris dan telah digunakan untuk penjaringan lebih dari 16.000 balita. Pertanyaan berjumlah 14 buah meliputi aspek-aspek : imitation, pretend play, and joint attention. Menurut American of Pediatrics, Committee on Children With Disabilities. Technical Report : The Pediatrician's Role in Diagnosis and Management of Autistic Spectrum Disorder inChildren.

Rapid Attention Back and Fourt Comunicattion Test
Tes untuk mengetahui gejala autisme pada anak yang ada saat ini rata-rata memakan waktu hingga dua jam. Untuk itu, tim peneliti dari Universitas Emory dan Georgia Tech mencoba menawarkan cara baru yang lebih cepat. Dengan metode ‘Rapid Attention Back and Forth Communication Test’ atau “Rapid ABC”, uji gejala autisme anak hanya berlangsung selama lima menit. Caranya, anak dilibatkan dalam kegiatan yang sederhana yang memerlukan konsentrasi, komunikasi, dan pengenalan. Tes sangat efektif untuk mengetahui gejala awal autisme pada anak usia 18 bulan hingga dua tahun. Meski begitu, tes ini tidak dapat menggantikan screening autisme secara komprehensif. Setelah  mengidentifikasi cepat anak yang berisiko autisme di awal perkembangan, mereka harus segera mendapat terapi.
Menurut Levine (2008), mengatakan gejala gangguan spektrum autisme mencakup gangguan dalam interaksi sosial dan komunikasi, tetapi juga dicirikan oleh perilaku yang tidak biasa seperti gerakan berulang, mengepakkan tangan dan kurangnya kontak mata. Sebelumnya diagnosis dan intervensi terkait dengan hasil jangka panjang lebih baik, ” katanya seperti dikutip dari Momlogic. Levine juga mencatat bahwa jika orangtua curiga anak mereka mungkin terkena autisme, tes Rapid ABC hanyalah tes cepat. Kemudian harus dilanjutkan dengan uji diagnostik untuk evaluasi emosional dan fisik secara menyeluruh.



H. Penatalaksanaan Autisme
Penatalaksanaan gangguan autistik bertujuan untuk :
1. Mengurangi masalah perilaku
2. Meningkatkan kemampuan belajar dan perkembanganya terutama dalam penguasaan bahasa
3. Mampu bersosialisasi dan beradaptasi di lingkungan sosialnya
Tujuan ini dapat tercapai dengan baik melalui suatu program terapi yang menyeluruh dan bersifat individual, dimana pendidikan khusus dan terapi wicara merupakan komponen yang penting. Namun yang paling tidak boleh dilupakan adalah masing-masing individu anak adalah unik, sehingga jangan beranggapan bahwa satu metode tersebut akan berhasil pula untuk anak yang lain.
Suatu tim kerja terpadu yang terdiri dari : tenaga pendidik, tenaga medis (psikiater, dokter anak), psikolog, ahli terapi wicara, terapi okupasi, pekerja sosial, perwat ,sangat diperlukan agar dapat mendeteksi dini, dan memberi penanganan yang sesuai dan tespt waktu. Semakin dini terdeteksi dan mendapat penanganan yang tepat, akan dapat tercapai hasil yang optimal.
Pendekatan edukatif
Pada prinsipnya pendekatan edukatif sangat bergantung  pada kondisi berat/ringannya gangguan yang ada. Pada yang mempunyai intelegensi normal-tinggi sebaiknya dimasukkan ke sekolah formal umum, sedangkan yang mempunyai intelegensi dibawah rata-rata sebaiknya bersekolah di SLB-C, tentu dengan catatan perilaku dan e osinya telah terkendali.bila belum dapat dikendalikan seharusnya mendapatkan pendidikan khusus seperti Treatment and Education of Autistic and related Communication Handicapped Children (TEACCH).
Salah satu program aplikasi metode TEACCH adalah dengan menggunakan system komunikasi visual, yang mana anak berkomunikasi dengan setiap orang melalui gambar dan foto. Hal ini karena ketertarikan anak autis terhadap obyek (gambar) lebih tinggi daripada terhadap manusia. Proses timbal balik dalam suatu system komunikasi dengan gambarpun dibuat lebih mudah sehingga lebih mudah divisualisasi. seorang anak autis membawa gambar untuk meminta pertolongan, kemudian guru menghampiri, anak menunjuukkan gambar minta dan kue, kemudian gurunya memberikan kue.  Dalam aplikasi metode TEACCH, kurikulum berikut karakteristik sosial telah diobservasi selama observasi yang meliputi: proximity, (kedekatan), objects and body use (penggunaan benda dan tubuh), social response (respon sosial), social initiation (permulaan sosial), interfering (behavior), menyentuh prilaku dan adaptation to change (menyesuaikan terhadap perubahan).
1. Proximity. Pada proximity, observasi dilakukan tentang toleransi bagian tubuh, “arah” adalah aspek lain dari: apakah kita menatap dengan benar ketika sedang berbicara dengan anak autis? Apakah dia (anak autis) melihat kita ketika kita bicara kepadanya? Apakah dia memahami aktivitas? (missal: area rekreasi untuk bermain, atau sudut ruangan untuk bekerja
2. Objects and body use. Apakah anak autis memiliki banyak gerakan yang aneh? (missal: jalan berjinjit)? Apakah dia memahami bahwa sendok adalah alat yang digunakan untuk makan dengan atau tanpa bunyi ketika menggunakannya?
3. Response social. Bagaimana reaksi anak autis ketika orang lain tersenyum atau mengucapkan salam? Atau ketika teman atau saudaranya mengajak bermain? Apakah anak autis dapat berjabatan tangan?
4. Social initiation. Apakah anak autis dapat mengucapkan selamat pagi pada dirinya sendiri di pagi hari? Itu dapat menjadi suatu keterampilan hubungan masyarakat yang sangat penting di kemudian hari ketika dia sudah bekerja. Kemampuan prilaku adaptif ini dapat menentukan sikap karyawan lain untuk menghargai dan menerima orang autis. Apakah orang autis dapat menjelaskan bahwa dia kebingungan, belum mengerti sesuatu atau bahwa dia tidak mempunyai garpu dan sendok?
5. interfering behavior. Apakah anak autis menunjukkan agresi terhadap dirinya sendiri atau orang lain?
6. Adaptation to change. Apakah anak autis merasa terganggu ketika program atau posisi benda yang ada di lingkungannya berubah? Apakah dia mampu menggeneralisir keterampilan dan prilaku yang adaptif pada aktivitas situasi lain?.      
Karakteristik itu semua diamatai dalam berbagai situasi yang relevan dengan kehidupan anak autis, waktunya tersetruktur, ketika sedang bermain, waktu makan, Selama perjalanan, ketika bertemu dengan orang lain.
Terapi Perilaku
Dengan modifikasi perilaku yang spesifik, yang telah disesuaikan dengan kebutuhan anak, diharapkan dapat membantu anak autis untuk mempelajari perilaku yang diharapkan dan membuang perilaku yang bermasalah.
Dalam suatu penelitian dikatakan dengan terapi intensif selama 1-2 tahun anak-anak yang masih amat muda ini dapat berhasil meningkatkan IQ dan fungsi adaptasinya lebih tinggi dibanding dengan kelompok anak yang tidak memperoleh terapi yang intensif. Pada akhir dari terapi sekitar 42 % dapat masuk kesekolah umum.
Jenis terapi perilaku yang banyak digunakan :
1. Metode ABA (Apllied Behavioral Analysis) : terapi dilakukan dengan memberikan positive reinforcement  bila anak menuruti perintah terapis
2. Metode option : child centered,  dimana terapis selalu mengikuti kemauan anak.
3. Metode floor time:  terapi bermain yang dilakukan pada anak.

ABA (Apllied  Behavioral Analysis)
ABA banyak digunakan karena keberhasilanya dalam menangani anak-anak dengan kebutuhan kusus. Di dalam programnya terdapat 500 perilaku target meliputi :
1. Kemampuan bahasa
2. Kemampuan social
3. Kemampuan Emosional
4. Kemampuan akademik
5. Kemampuan bantu diri
Teknik pembelajaran dalam ABA memilki dua hal pokok, yaitu adanya penerapan prinsip proses belajar dan adanya suatu teknik mengubah perilaku berdasarkan prinsip-prinsip modifikasi perilaku. ABA bertujuan untuk meminimalkan kegagalan anak dan memaksimalkan keberhasilan anak. Sebaikny anak dapat diberi prompt( bantuan yang diberi untuk meningkatkan respon yang benar) oleh terapis agar anak mengerti apa yang diharapkan dari mereka dan belajar keterampilan baru.
Ada beberapa jenis prompt:
1. Prompt penuh
2. Prompt visual
3. Prompt lisan
4. Prompt gestural
5. Prompt model
6. Prompt  dimensional
7. Prompt posisi/letak

Metode perilaku meningkatkan belajar tidak hanya dengan mengajar anak tetapi juga mengganti perilaku bermasalah dengan yang lebih sesuai. Terapis dilatih untuk dapat meningkatkan kepatuhan dan perilaku target anak autis dengan menggunakan imbalan-imbalan. Keberhasilan anak secara ketat dimonitor oleh pengumpulan data yang rinci. Anak autis yang sudah menguasai target dimasukkan pada lembar khusus pemeliharaan (maintenance) agar anak tidak mengalami regresi saat tugas baru dikenalkan.
Secara umum program awal meliputi suatu program kesiapan belajar, prigram Imitasi, program bahasa reseptif, program bahasa ekspresif dan tugas pre akademik (matching), bila terdapat kemajuan, dapat ditambahkan program lain.
Penanganan awal, mungkin anak akan berontak, keluar ruangan, menangis dan mengamuk bahkan adapula yang menunjukkan sikapagresi dan menyakiti diri sendiri seperti menggigit, mecakar, membenturkan kepala ketembok, dsb. Untuk meminimalkan dan mencegah hal tersebut, dapat dilakukan beberapa petunjuk yang sederhana
• Kenali anak secara mendalam dulu, cari tahu bagaimana perilakunya, apa kesukaanya, kebiasaannya, hal yang membuatnya senang dan sensitive melalui observasi dan wawancara
• Ajak anak adaptasi dengan lingkungan belajar terlebih dahulu tanpa dipaksa, biarkan anak bereksplorasi terhadap lingkungan baru tersebut. Perkenalkan guru-guru yang akan mengajar dan kenalkan teman-temanya supaya ia paham dengan orang-orang disekitarnya
• Susun program individual anak bersama guru, terapis dan orangtua. Bila perlu dikonsultasikan dengan konsultan individual education programe. Menyiapkan ruang belajar yang nyaman, tenang dan cukup penerangan dan ventilasi
• Mempersiapkan alat-alat peraga, lembar program dan lembar penilaian terlebih dahulu sebelum proses belajar dimulai dan jangan keluar masuk ruangan saat proses belajar sedang berlangsung
• Buat jam belajar menyenangkan, pertahankan dengan menarik, dan berikan pujian yang konstan untuk tetap tinggal di kursi. Campur tuntutan belajar dengan aktiftas bermain. Mulai dengan membuat jam belajar amat singkat (5-10 menit) dengan istirahat yang waktunya sama. Pada awalnya selama istirahat biarkan anak untuk mengerjakan apa saja yang mereka inginkan, tetapi nanti waktu istirahat selanjutnya sebaiknya menjadi suatu bagian latihan dengan sejumlah instruksi.
• Catat semua penilaian dalam belajar dan monitor kemajuan programnya, dan masukkan lembar penilaian tersebut ke dalam map khusus
• Terapis perlu meningkatkan kepatuhan, suara cukup jelas dan singkat dan selesai aktifitas harus berakhir secara positif. Artinya bagaimanapun amukan anak, harus diakhiri dengan anak menyelesaikan dengan baik suatu uji coba, walaupun sangat mudah
• Beriakan reward apabila anak mampu menyelesaikan tugas dengan baik. Reward akan dihentikan secar pelan-pelan sehingga nantinya reward tersebut berupa senyum, kata-kata yang menyenangkan. Awalnya reward berupa makanan, mainan kesenangan, stiker dsbnya.
• Jam dan waktu belajara dilaksanakan dengan konsisten, rutin dan sesuai jadwal (usahakan 40 jam/ minggu)
• Aktifitas belajar tidak hanya didalam ruangan saja, perlu dilatih untuk menggeneralisasi kemampuan yang dimiliki diluar ruangan, bila perlu perlu jadwalkan outbond seminggu sekali agar anak tidak jenuh.

Terapi Farmakologis
Sampai saat ini tidak ada obat-obatan atau cara lain yang dapat menyembuhkan autisme. Meskipun demikian, obat-obat antidepresan yang bersifat seratogenik dapat mengendalikan gejala-gejala stereotipi dan perubahan-perubahan iklim perasaan, tetapi masih diperlukan suatu penelitian klinis lebih lanjut dan lebih terkendali dari obat-obat ini (Kasran, 2003).

I. Prognosis
Prognosis anak autisme dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Berat ringannya gejala atau kelainan otak.
2. Usia, diagnosis dini sangat penting oleh karena semakin muda umur anak saat dimulainya terapi semakin besar kemungkinan untuk berhasil.
3. Kecerdasan, makin cerdas anak tersebut makin baik prognosisnya
4. Bicara dan bahasa, 20 % anak autis tidak mampu berbicara seumur hidup, sedangkan sisanya mempunyai kemampuan bicara dengan kefasihan yang berbeda-beda.
5. Terapi yang intensif dan terpadu.
Penanganan/intervensi terapi pada anak autisme harus dilakukan dengan intensif dan terpadu. Seluruh keluarga harus terlibat untuk memacu komunikasi dengan anak. Penanganan anak autisme memerlukan kerjasama tim yang terpadu yang berasal dari berbagai disiplin ilmu antara lain psikiater, psikolog, neurolog, dokter anak, terapis bicara dan pendidik.


Prognosis untuk penderita autisme tidak selalu buruk. Pada gangguan autisme, anak yang mempunyai IQ diatas 70 dan mampu menggunakan komunikasi bahasa mempunyai prognosis yang baik. Berdasarkan gangguan pada otak, autisme tidak dapat sembuh total tetapi gejalanya dapat dikurangi, perilaku dapat diubah ke arah positif dengan berbagai terapi.




DAFTAR PUSTAKA


American of Pediatrics, Committee on Children With Disabilities. Technical Report : The Pediatrician's Role in Diagnosis and Management of Autistic Spectrum Disorder in Children. Pediatrics !107 : 5, May 2001)
Bertrand, J., Mars, A., Boyle, C., Bove, F., Yeargin-Allsop, M., Decoufle, P. 2001.  Prevalence of autism in a United States Population. Pediatrics, 108; 1155-61.
Cohen DJ. 1996. Volkmar FR: Handbood of Autism and Pervasive Developmental Disorders. NY: Wiley
Levine, S. (2008). Variable cortisol circadian rhythms in children with autism and
anticipatory stress. Journal of Psychiatry and Neuroscience, 33(3) 227-234. PMCID: PMC2441887 PDF     Pubmed
Fombonne, Eric. 2009. Epidemiology of Pervasive Developmental Disorders. Pediatrics Research, 6 (65); 591-8.
.Kasran, Suharko. 2003. Autisme: Konsep yang Sedang Berkembang. Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Jurnal Kedokteran Trisakti, Vol. 22 No. 1; 24-30.
Lubis, Misbah. 2009. Penyesuaian Diri Orang Tua yang Memiliki Anak Autis.
Rapin, I. 1997. Autism. New Journal English Medicine, Vol 337; 97-104.
Sadock, B. J dan Alcot, V. 2007. Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry Behavioural Sciences/Clinical Psychiatry. 10th Edition. University School of Medicine New York; Chapter 42.
Yeni, A. F., Murni, J. Y., & Oktora, R. 2009. Autisme dan Penatalaksanaan.

Darwan Sukro walida

Posts : 8
Reputation : 0
Join date : 19.04.15

Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik