Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

KETERGANTUNGAN DAN PENYALAHGUNAAN ZAT PSIKOAKTIF

Go down

KETERGANTUNGAN DAN PENYALAHGUNAAN ZAT PSIKOAKTIF Empty KETERGANTUNGAN DAN PENYALAHGUNAAN ZAT PSIKOAKTIF

Post by Ulan Noputri Thu Nov 26, 2015 11:02 am

Referat
Ketergantungan dan Penyalahgunaan
Zat Psikoaktif







Oleh :
Ulan Noputri
H1AP09046


Pembimbing :
dr. Lucy Marturia Bangun, Sp.KJ



KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA
RUMAH SAKIT KHUSUS JIWA SOEPRAPTO BENGKULU
FAKULTAS KEDOKTERAN & ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan referat yang berjudul Gangguan  jiwa akibat pemakaian Ganja .
Dalam kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Lucy. M. Bangun, Sp.KJ selaku pembimbing dalam penyusunan referat, serta semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian referat ini.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas  selama mengikuti Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa di Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Kota Bengkulu .
Penulis menyadari bahwa dalam pengumpulan data dan penulisan referat ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran diterima penulis dengan tangan terbuka. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.


Bengkulu, 17 November  2015
 Penyusun












DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB 1.  PENDAHULUAN 1
BAB 2.  TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi 3
2.2 Epidemiologi 4
2.3 Etiologi     4
2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi Penggunaan zat   7
2.5 Tahapan-tahapan yang dialami oleh Penyalahguaan zat..     9
2.6 Kriteria Ketergantungan dan Penyalahgunaan zat 10
2.7 Jenis-jenis NAPZA 14
2.8 Gejala Klinis 20
2.9 Gambaran Kekambuhan   21
2.10 Penanganan dan rehabilitasi   22
BAB 3.  KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan 25
3.2 Saran 25
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang
Di Indonesia jumlah penyalah guna narkoba diperkirakan ada sebanyak 3,8 juta sampai 4,1 juta orang dalam setahun terakhir (current users) pada kelompok usia 10-59 tahun di tahun 2014.1 Hasil proyeksi angka prevalensi penyalahguna narkoba akan meningkat setiap tahun. Fakta tersebut di dukung oleh adanya kecenderungan peningkatan angka sitaan dan pengungkapan kasus narkoba.
Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya (NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika dan Bahan/ Obat berbahanya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten. Meskipun dalam Kedokteran, sebagian besar golongan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) masih bermanfaat bagi pengobatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila disertai peredaran di jalur ilegal, akan berakibat sangat merugikan bagi individu maupun masyarakat luas khususnya generasi muda.
Fenomena penyalahgunaan zat mempunyai banyak implikasi untuk penelitian otak, psikiatri klinis, dan masyarakat pada umumnya. Dinyatakan dengan sederhana, beberapa zat dapat mempengaruhi keadaan mental yang dirasakan dari dalam (sebagai contohnya, mood) maupun aktivitas yang dapat diobservasi dari luar (yaitu, perilaku). 1
Relaps merupakan perilaku penggunaan kembali narkoba setelah menjalani penanganan secara rehabilitasi yang ditandai dengan adanya pemikiran, perilaku dan perasaan adiktif setelah periode putus zat. Secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhi terbentuknya relaps yaitu faktor internal dan faktor eksternal dari individu. Intervensi yang dapat diberikan pada kasus relaps narkoba harus meliputi terapi perilaku (konseling, terapi kognitif, terapi sosial), terapi medis, dan terapi keagamaan.
Data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan pada tahun 2006 di lembaga Balai Kasih Sayang Pamardi Siwi BNN menunjukkan bahwa terdapat 38 kasus relaps berkali-kali dan masuk kembali ke lembaga rehabilitasi yang sama. Tahun 2007 tingkat relaps sebesar 95% bahkan ada residen yang ma¬suk untuk ke empat kalinya ke lembaga rehabilitasi tersebut. Tahun 2008 menunjukkan data relaps di indonesia mencapai 90%.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Menurut WHO, ketergantungan adalah keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik dan psikis, sehingga tubuh memerlukan jumlah zat/obat yang makin bertambah (toleransi), dan apabila pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat (withdrawal syamptom). Sedangkan penyalahgunaan zat adalah pemakaian terus-menerus atau jarang tetapi berlebihan terhadap suatu zat atau obat yag sama sekali tidak ada kaitannya dengan  terapi medis. Zat yang dimaksud adalalah zat psikoaktif yang berpengaruh  pada sistem saraf pusat (otak) dan dapat mempengaruhi kesadaran, perilaku, pikiran, dan perasaan.1
Ketergantungan secara perilaku adalah menekankan pada aktivitas mencari zat dan bukti terkait tentang pola penggunaan patologis. Sedangkan ketergantungan fisik adalah merujuk pada efek fisik (fisiologis) dari episode multiple penggunaan zat. Selain itu ketergantungan juga berhubungan dengan kata kecanduan dan pecandu.1
Ketergantungan psikologis adalah kondisi ketergantungan yang ditandai dengan stimulasi kognitif dan efektif yang mendorong kognitif (perilaku) seseorang untuk selalu mengonsumsi narkoba. Stimulasi kognitif tampak pada individu yang selalu membayangkan, memikirkan, dan merencanakan untuk dapat menikmati narkoba. Sementara itu, stimulasi afektif adalah rangsangan emosi yang mengarahkan individu untuk merasakan kepuasan yang pernah dialami sebelumnya. Orang yang memiliki stimulasi afektif cenderung akan mengulang-ulang kenikmatan dari pengonsumsian narkoba sebelumnya. Sementara itu, kondisi konatif merupakan hasil kombinasi dari stimulasi kognitif ataupun stimulasi afektif, berupa perilaku nyata (real behavior) dalam bentuk penggunaan narkoba yang sesunguhnya. Dengan demikian, ketergantungan psikologis ditandai dengan ketergantungan pada aspek-aspek pemikiran (kognitif), emosi-perasaan (afektif) untuk selalu tertuju pada narkoba, dan berusaha sungguh-sungguh untuk mengonsumsinya.
Ketergantungan fisiologis adalah kondisi ketergantungan yang ditandai dengan kecenderungan sakaw (lapar/haus akan narkoba). Sensasi rasa lapar atau haus mendorong individu untuk segera mengonsumsi narkoba. Kondisi sakaw sering kali tak mampu dihambat atau dihalangi pecandu. Karena itu, mau tak mau ia harus memenuhinya. Tidak terpenuhinya rasa sakaw akan menyebabkan suatu penderitaan (kelaparan/kehausan). Dengan demikian, orang yang mengalami ketergantungan secara fisiologis terhadap narkoba, akan sulit dihentikan atau dilarang untuk mengonsumsi. Semakin keras dilarang, semakin keras pula ia berupaya bagaimana memperoleh dan dapat mengonsumsi narkoba tersebut. Apakah dengan cara halal atau tidak, seseorang tidak memedulikan lagi norma-norma etika yang ada dalam lingkungan sosial.

2.2 Epidemiologi
Dewasa ini diperkirakan di Indonesia terdapat lebih dari 3,5 juta pengguna zat psikoaktif (Badan Narkotika Nasional, 2006). Dalam jumlah tersebut, hanya kurang dari 10 ribu orang yang tersentuh layanan “terapi”: 1000 orang dalam terapi substitusi metadon, 500 orang terapi substitusi buprenorfin, kurang dari 1000 orang dalam rehabilitasi (pesantren, theraupetic communities, kelompok bantu diri/self-help group), 2000 orang dalam layanan medis lain dan sekitar 4000 orang menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan dan tahanan polisi. Sedangkan hasil penelitian BNN bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (puslitkes-UI) pada tahun 2008 menunjukkan angka prevalensi pecandu narkoba di Indonesia sebesar 1,9% atau sekitar 3,1-3,5 juta jiwa. Di tahun 2011 angka prevalensi itu naik menjadi 2,2% atau sekitar 3,7-4,7 juta orang.2,3

2.3 Etiologi
a. Faktor Psikodinamik (teori psikososial dan psikodinamika)
Pendekatan psikodinamika untuk seseorang dengan penyalahgunaan zat diterima dan dinilai secara lebih luas, daripada dalam pengobatan pasien alkoholik. Berbeda dengan pasien alkoholik, mereka dengan penyalahgunaan banyak zat disebabkan lebih mungkin memiliki masa anak-anak yang tidak stabil, lebih mungkin mengobati diri sendiri dengan zat, dan lebih mungkin mendapatkan manfaat dari psikoterapi. Penelitian yang cukup banyak menghubungkan gangguan kepribadian dengan perkembangan ketergantungan zat.
Teori psikososial lain menjelaskan hubungan dengan keluarga dan dengan masyarakat pada umumnya. Terdapat banyak alasan untuk mencurigai suatu peranan masyarakat dalam perkembangan pola penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Tetapi, dalam tekanan sosial tersebut, tidak semua anak mendapatkan diagnosis penyalahgunaan atau ketergantungan zat, jadi mengarahkan kemungkinan adanya keterlibatan faktor penyebab lainnya.
b. Teori Perilaku
Beberapa model perilaku penyalahgunaan zat memfokuskan pada perilaku mencari zat dibanding pada gejala ketergantungan fisik. Sebagian besar penyalahgunaan zat menimbulkan pengalaman positif setelah penggunaan pertama, dan oleh karena itu zat tersebut bertindak sebagai penguat positif perilaku mencari zat.1
Prinsip pertama dan kedua adalah kualitas pendorong positif dan efek merugikan dari beberapa zat. Sebagian besar zat yang disalahgunakan disertai dengan suatu pengalaman positif setelah digunakan untuk pertama kalinya. Jadi, zat bertindak sebagai suatu pendorong postitif untuk perilaku mencari zat lagi. Banyak zat juga disertai dengan efek merugikan, yang bertindak menurunkan perilaku dalam mencari zat lagi. Ketiga, orang harus mampu membedakan zat yang disalahgunakan dari zat lainnya. Keempat, hampir semua perilaku mencari zat disertai dengan petunjuk lain yang menjadi berhubungan dengan pengalaman menggunakan zat.
c. Faktor Genetik
Bukti-bukti kuat dari penelitian pada anak kembar, anak angkat, dan saudara kandung telah menimbulkan indikasi yang jelas bahwa penyalahgunaan alkohol mempunyai suatu komponen genetika dalam penyebabnya. Terdapat banyak data yang kurang meyakinkan dimana jenis lain penyalahgunaan atau ketergantungan zat memiliki pola genetika dalam perkembangannya. Tetapi, beberapa penelitian telah menemukan suatu dasar genetika untuk ketergantungan dan penyalahgunaan zat non alkohol. Baru-baru ini, peneliti telah menggunakan teknologi RFLP (Restriction Fragment Length Polumorphism) dalam meneliti penyalahgunaan zat dan ketergantungan zat, dan beberapa laporan hubungan RFLP telah diterbitkan.
d. Faktor Neurokimiawi
Dengan pengecualian alcohol, para peneliti telah mengidentifikasi neurotransmitter atau reseptor neurotransmitter tertentu yang terlibat dengan sebagian besar zat yang disalahgunakan. Sejumlah peneliti mendasarkan studi mereka pada hipotesis tersebut. Sebagai contoh, opioid bekerja sebagai resptor opioid. Seseorang dengan aktivitas opioid endogen yang terlalu sedikit (contohnya konsentrasi endorfinyang rendah) atau dengan aktivitas antagonis opioid endogen yang terlalu banyak mungkin beresiko mengalami ketergantungan opioid. Bahkan pada orang dengan fungsi resptor endogen dan konsentrasi neurotransmitter yang benar-benar normal, penyalahgunaan jangka panjang suatu zat tertentu pada akhirnya mungkin akan memodulasi sistem resptor di otak sehingga zat eksogen dibutuhkan untuk mempertahankan homeostatis. Proses pada tingkat reseptor semacam itu mungkin menjadi mekanisme untuk membentuk toleransi di dalam SSP. Namun, untuk menunjukkan adanya modulasi pelepasan neurotransmitter dan fungsi reseptor neurotransmitter terbukti sulit, dan penelitian terkini memfokuskan efek zat pada sistem duta kedua dan pada regulasi gen.1
e. Jaras dan Neurotransmitter
Neurotransmitter utama yang mungkin terlibat dalam perkembangan penyalahgunaan zat dan ketergantungan zat adalah sistem opiat, katekolamin (khususnya dopamine), dan GABA. Dan yang memiliki kepentingan khusus adalah neuron di daerah tegmental ventral yang berjalan ke daerah kortikal dan limbic, khususnya nucleus akumbens. Jalur khusus tersebut diperkirakan terlibat dalam sensasi menyenangkan (reward sensation) dan diperkirakan merupakan mediator utama untuk efek dari zat tertentu seperti amfetamin dan kokain. Lokus sereleus, kelompok terbesar neuron adrenergik, diperkirakan terlibat dalam perantara efek opiat dan opioid.1

2.4 Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Zat

1) Faktor diri/pribadi seseorang
Penyalahgunaan obat dipengaruhi oleh keadaan mental, kondisi fisik dan psikologis seseorang. Kondisi mental seperti gangguan kepribadian, depresi, dapat memperbesar kecenderungan seseorang untuk menyalahgunakan narkoba. Faktor individu pada umumnya ditentukan oleh dua aspek :
a. Aspek biologis
Secara biologis, seseorang dapat masuk ke dalam penyalahgunaan narkoba disebabkan antara lain karena ingin menghilangkan rasa sakit atau keletihan.
b. Faktor psikologis
Sebagian besar penyalahgunaan obat dimulai pada masa remaja. Seseorang dapat terjerumus dalam pemakaian narkoba karena beberapa alasan antara lain:
a) Ingin meningkatkan semangat dan gairah kerja atau juga ingin meningkatkan keperkasaan atau percaya diri.
b) Ingin melepaskan diri dari berbagai beban hidup yang menimpanya.
c) Ingin melepaskan diri dari kesunyian, kehampaan, atau ingin mencari hiburan.
d) Ingin diterima sebagai anggota suatu kelompok karena menganggap bahwa kelompok yang ingin dimasukinya mempunyai trend yang patut diikuti.
e) Ingin coba-coba atau ingin mencari pengalaman baru.
f) Merasa dijauhkan atau diasingkan atau tidak dicintai atau merasa tidak dihargai.


2) Faktor Lingkungan
a) Keluarga yang kurang komunikatif, kurang perhatian, kurang membagi kasih sayang dan kurangnya penghargaan terhadap sesama anggota keluarga.
b) Keluarga yang kurang pengawasannya terhadap sesama anggota keluarga .
c) Lingkungan sosial yang tidak harmonis dan tidak terikat dengan berbagai norma seperti norma hukum, agama, susila, dan lain-lain.
d) Lingkungan yang kurang disiplin, tidak mempunyai tata tertib, tidak mempunyai sistem pengawasan yang memadai, dan kurangnya sistem pengamanan lingkungan baik lingkungan pendidikan, lilngkungan kerja, atau tempat tinggal.
e) Pergaulan sebaya yang tidak sehat.
f) Peraturan atau undang-undang yang tidak tegas sehingga tidak membuat jera para pelaku peredaran narkoba.
g) Lemahnya penegakan hukum oleh para penegak hukum seperti polisi, hakim, jaksa, bea cukai, dan lain-lain.
h) Pandangan yang keliru tentang masalah penanggulangan narkoba bahwa masalah narkoba adalah urusan pemerintah saja.
i) Fasilitas pelayanan dan rehabilitasi yang mahal bagi korban narkoba.

3) Faktor Keberadaan Narkoba
a) Harga narkoba yang semakin murah dan semakin dijangkau oleh masyarakat. Hal ini terjadi juga karena adanya paket hemat dari kemasan narkoba itu sendiri.
b) Narkoba semakin banyak baik jenis, cara pemakaian, atau pun bentuk kemasannya.
c) Modus operasi para pelaku tindak pidana narkoba semakin jeli dan licik sehingga sulit diungkap oleh aparat penegak hokum.
d) Semakin mudahnya akses internet yang menginformasikan tentang keberadaan, pembuatan atau peredaran narkoba.
e) Perdagangan narkoba dikendalikan oleh sindikat yang kuat dan profesional

2.5 Tahapan-tahapan yang dialami oleh Penyalahguaan zat
Oleh U.S National Comission On Marihuana and Drug Abuse berusaha mengklasifikasikan tahapan penyalah-guna zat menjadi beberapa tahap
1) Experimental Users
Mereka yang menggunakan zat tadi tanpa mempunyai motivasi tertentu. Mereka hanya terdorong oleh rasa ingin tahu,. Pemakaian biasanya sesekali dengan dosis yang relatif kecil. Hal ini dapat disamakan  seesorang yang mulai mengenal rokok.
2) Recreational Users/ casual Users
Kelompok ini biasanya menggunakan zat/ obat  tertentu dalam pertemuan/pesta atau dalam kebersamaan (menikmati rekreasi). Mereka biasanya mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kelompoknya. Interaksi sosial masih dirasakan wajar-wajar saja hanya sewaktu mereka berkumpul biasanya mereka terbawa dan terhanyut dalam kecenderungan untuk memakai obat/ zat tadi secara berlebihan.
3) Situational Users
Umumnya orang yang tergolong tahap ketiga ini, mulai menggunakan obat/ zat secara sadar kalau mereka menghadapi masa – masa sulit. Mereka percaya bahwa hanya dengan menggunakan/mengkonsumsi  obat tadi, mereka lebih sanggup mengatasi persoalan hidup yang sulit tadi. Penggunaan obat pada golongan ini dapat merupakan satu pola tingkah laku tertentu sehingga mendorong individu tadi untuk mengulangi perbuatannya sehingga resiko menjadi ”addict”/ kecanduan akan menjadi jauh lebih besar dibandingkkan kelompok I dan II diatas.
4) Intensified Users
Kelompok yang sudah secara kronis menggunakan obat/ zat tertentu. Kelompok ini merasa butuh memakai obat tadi untuk memperoleh kenikmatan atau mencari pelarian dari tekanan hidup. Walau penggunaannya sudah lebih banyak, tapi individu semacam ini masih sangggup ber-interaksi dengan masyarakta secara baik. Hanya mereka bertendensi untuk mengkonsumsikan pemakaian obat tadi secara berlebihan.
5) Compulsive Dependence Users
Pengguna dengan jumlah dan frekuensi yang lebih banyak dengan jumlah dan frekuensi yang lebih banyak lagi melepaskan kebiasaannya tanpa merasakan guncanngan psikis/ fisik. Apabila mereka tidak menggunakan zat tadi, mereka sudah mengalami withdrawl symptoms/sindroma putus obat yang cukup berat. Mereka memang sudah tergantung hidupnya dari pemakaian obat/zat tadi.

2.6 Kriteria Ketergantungan dan Penyalahgunaan zat
Ketergantungan dan penyalahgunaan NAPZA adalah istilah kedokteran. Seseorang disebut ketergantungan dan mengalami penyalahgunaan NAPZA, bila memenuhi kriteria diagnostik tertentu. Menurut PPDGJ-III, Gangguan Penggunaan NAPZA terdiri atas 2 bentuk:2
1. Penyalahgunaan, yaitu yang mempunyai harmful effects terhadap kehidupan orang, menimbulkan problem kerja, mengganggu hubungan dengan orang lain (relationship) serta mempunyai aspek legal
2. Adiksi atau ketergantungan, yaitu yang mengalami toleransi, putus zat, tidak mampu menghentikan kebiasaan menggunakan, menggunakan dosis NAPZA lebih dari yang diinginkan.
Kriteria berdasarkan DSM-IV-TR yaitu :
a. Kriteria DSM-IV-TR untuk Intoksikasi Zat1
A. Berkembangnya sindrom spesifik zat yang reversible akibat baru saja mengkonsumsi (atau terpajan pada) suatu zat.
B. Terdapat perubahan perilaku atau psikologis yang maladaptive dan signifikan yang disebabkan oleh efek zat tersebut pada sistem saraf pusat (agresif, modd labil, hendaya kognitif, daya nilai terganggu, fungsi social atau okupasional terganggu) dan timbul selama atau segera setelah penggunaan zat.
C. Gejala tidak disebabkan suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan mental lain.
b. Kriteria DSM-IV-TR untuk Ketergantungan Zat1
Suatu pola maladaptif penggunaan zat, yang menimbulkan hendaya atau penderitaan yang secara klinis signifikan, yang dimanifestasikan oleh tiga (atau lebih) hal berikut, terjadi dalam periode 12 bulan yang sama:
1. Toleransi, seperti didefenisikan salah satu di bawah ini:
a. Kebutuhan untuk terus meningkatkan jumlah zat untuk mencapai intoksikasi atau efek yang diinginkan.
b. Penurunan efek yang sangat nyata dengan berlanjutnya penggunaan zat dalam jumlah yang sama.
2. Putus zat, seperti didefenisikan salah satu di bawah ini:
a. Karakteristik sindrom putus zat untuk zat tersebut (mengacu kriteria A dan B untuk keadaan purus zat dari suatu zat spesifik)
b. Zat yang sama (atau berkaitan erat) dikonsumsi untuk meredakan atau menghindari gejala putus zat
3. Zat sering dikonsumsi dalam jumlah lebih besar atau dalam periode yang lebih lama dari seharusnya
4. Terdapat keinginan persisten atau ketidakberhasilan upaya untuk mengurangi atau mengendalikan aktivitas penggunaan zat
5. Menghabiskan banyak waktu melakukan aktivitas yang diperlukan untuk memperoleh zat (cth., mengunjungi banyak dokter atau berkendara jarak jauh), menggunakan zat (cth., merokok ‘seperti kereta api’), atau untuk pulih dari efeknya
6. Mengorbankan atau mengurangi aktivitas reaksional, pekerjaan, atau sosial yang penting karena penggunaan zat
7. Penggunaan zat berlanjut meski menyadari masalah fisik atau psikologis rekuren yang dialami mungkin disebabkan atau dieksaserbasi zat tersebut (cth., saat ini menggunakan kokain walau menyadari adanya depresi terinduksi kokain atau minum berkelanjutan meski mengetahui bahwa ulkus akan menjadi lebih parah  dengan mengonsumsi alkohol).
c. Kriteria DSM-IV-TR untuk Penyalahgunaan Zat1
A. Suatu pola maladaptif penggunaan zat yang menimbulkan hendaya atau penderitaan yang secara klinis signifikan, seperti dimanifestasikan oleh satu (atau lebih) hal berikut yang terjadi dalam periode 12 bulan:
1. Penggunaan zat berulang mengakibatkan kegagalan memenuhi kewajiban peran utama dalam pekerjaan, sekolah, atau rumah (cth., absen berulang atau kinerja buruk dalam pekerjaan yang berhubungan dengan penggunaan zat; absen, skors, atau dikeluarkan dari sekolah terkait zat; penelantaran anak atau rumah tangga)
2. Penggunaan zat berulang pada situasi yang secara fisik berbahaya (cth., mengendarai mobil atau mengoperasikan mesin saat sedang mengalami hendaya akibat penggunaan zat)
3. Masalah hukum berulang terkait zat (cth., penahanan karena perilaku kacau terkait zat)
4. Penggunaan zat berlanjut meski memiliki masalah sosial atau interpersonal yang persisten atau rekuren yang disebabkan atau dieksaserbasi oleh efek zat (cth., berselisih dengan pasangan tentang konsekuensi intoksikasi, perkelahian fisik)
B. Gejala tidak memenuhi kriteria ketergantungan Zat untuk kelas zat ini.

d. Kriteria DSM-IV-TR untuk Keadaan Putus Zat1
A. Berkembangnya sindrom spesifik zat akibat penghentian penggunaan zat yang telah berlangsung lama dan berat.
B. Sindrom spesifik zat menyebabkan penderitaan atau hendaya yang secara klinis signifikan dalam fungsi sosial, okupasional, atau area fungsi penting lain.
C. Gejala tidak disebabkan oleh suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan mental lain.


Kriteria berdasarkan PPDGJ-III yaitu :
a. Kriteria PPDGJ-III untuk Sindrom ketegantungan2
a) Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa (kompulsi) untuk menggunakan zat psikoaktif.
b) Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan zat, termasuk sejak mulainya, usaha penghentian, atau pada tingkat sedang menggunakan.
c) Keadaan putus zat secara fisiologis ketika penghentian penggunaan zat atau pengurangan, terbukti dengan adanya gejala putus zat yang khas atau orang tersebut menggunakan zat atau golongan zat yang sejenis dengan tujuan untuk menghilangkan atau menghindari terjadinya gejala putus zat.
d) Terbukti adanya toleransi, berupa peningkatan dosis zat psikoaktif yang diperlukan guna memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh dengan dosis lebih rendah (contoh yang jelas dapat ditemukan pada individu yang ketergantungan alkohol dan opiad yang dosis hariannya dapat mencapai taraf yang dapat membuat tak berdaya atau mematikan bagi pengguna pemula).
e) Secara progresif mengabaikan menikmati kesenangan atau minta lain disebabkan penggunaan zat psikoaktif, meningkatnya jumlah waktu yang diperlukan untuk mendapatkan atau menggunakan zat atau untuk pulih dari akibatnya.
f) Tetap menggunakan zat meskipun ia menyadari adanya akibat yang merugikan kesehatannya, seperti gangguan fungsi hati karena minum alkohol yang berlebihan, keadaan depresi sebagai akibat dari suatu periode penggunaan zat yang berta, atau hendaya fungsi kognitif berkaitan dengan penggunaan zat; upaya perlu diadakan untuk memastikan bahwa pengguna zat sungguh-sungguh, atau dapat diandalkan, sadar akan hakekat dan besarnya bahaya.




b. Kriteria PPDGJ-III untuk Keadaan Putus Zat
a) Keadaan putus zat merupakan salah satu indikator dari sindrom ketergantungan dan diagnosis sindrom ketergantungan zat harus turut dipertimbangkan.
b) Keadaan putus zat hendaknya dicatat sebagai diagnosis utama, bila hal ini merupakan alasan rujukan dan cukup parah sampai memerlukan perhatian medis secara khusus.
c) Gejala fisik bervariasi sesuai dengan zat yang digunakan. Gangguan psikologis (misalnya anxietas, depresi, dan gangguan tidur) merupakan gambaran umum dari keadaan putus zat ini.
Yang khas ialah pasien akan melaporkan bahwa gejala putus zat akan mereda dengan meneruskan penggunaan zat.

Dalam konsep kedokteran, ketergantungan NAPZA merupakan gangguan yang menunjukkan adanya perubahan dalam proses kimiawi otak sehingga memberikan efek ketergantungan (craving, withdrawal, tolerance). Sedang penyalahgunaan dikaitkan dengan tingkah laku bereksperimentasi, mengalamsi rasa kecewa, perilaku membangkang, “masalah keuangan” dan self medication. Dalam masyarakat, kedua istilah tersebut sering disalahtafsirkan. Pada umumnya seseorang mengalami penyalahgunaan NAPZA, belum tentu menderita ketergantungan.2
2.7 Jenis-jenis NAPZA dan Efeknya
Karena potensi ketergantungan yang sangat besar, opioid selalu dianggap sebagai tolok ukur dalam pembicaraan masalah NAPZA menyangkut terapi, prevalensi dan lain-lainnya.
1. Alkohol
Umumnya digunakan dalam bentuk minuman beralkohol. Di indonesia, terutama di daerah Indoneisa Timur dan beberapa tempat di daerah Sumatera, terdapat antara 2-3 juta orang yang menggunakan minuman alkohol dari ringan sampai berat. Di Amerika Serikat terdapat 12-18 juta orang mengalami ketergantungan alkohol dan problem drinkers. Penyalahgunaan alkohol di kalangan remaja sukar dicegah karena kurang sempurnanya pengawasan. Di banyak negara berkembang, pemerintah umumnya dirasakan bersifat ambivalen, sebab sebagian besar anggaran belanjanya diambil dari pajak industri minuman beralkohol. Sebagian remaja sampai usia dewasa ‘cukup bebas’ dan berkesempatan menggunakan minuman beralkohol, laki-laki lebih banyak dari perempuan tetapi populasi peminum perempuan meningkat dan menggunakan alcohol, usia dewasa lebih stabil menggunakannya secara berkelanjutan.
Jenis-jenis minuman beralkohol di Indonesia sangat bervariasi (dari tradisional sampai fermentasi buatan, dari berkadar tinggi hingga rendah). Minuman beralkohol memberikan berbagai gambaran klinis, antara lain :
a) Intoksikasi berupa euforia, cadel, nistagmus, bradikardia, hipotensi, kejang, koma. Pada keadaan intoksikasi berat, reflek menjadi negatif.
b) Keadaan Putus Alkohol berupa halusinasi, ilusi (bad dream), kejang, delirium Tremens, gemetar, keluhan gastrointestinal, muka merah, mata merah dan hipertensi.
c) Gangguan fisik berupa mulai dari radang hati sampai kanker hati, gastritis, ulkus peptikum, pneumonia, gangguan vaskuler dan jantung, defeisiensi vitamin, fetal alcohol syndrom.
d) Gangguan mental berupa depresi hingga skizofrenia.
e) Gangguan lain berupa kecelakaan lalu lintas, perkelahian, problem domestik dan tindak kekerasan.

2. Opioid
Merupakan salah satu golongan NAPZA yang sangat kuat potensi ketergantungannya, sehingga disebut dengan julukan “horor drug”. Yang termasuk golongan opioid adalah morfin, petidin, heroin, metadon, kodein. Golongan opioid yang paling sering disalahgunakan adalah heroin.
Heroin di Indonesia disebut: putaw (atau ‘pete’, ‘hero’ atau ‘petewe’). Heroin merupakan opioid semisintetik yang yang berasal dari morfin. Bentuk heroin yaitu kristal putih yang larut dalam air. Bila heroin berwarna berarti berasal dari kontaminannya.
Di Indonesia, sekurangnya terdapat 300-500 ribu orang dengan ketergantungan heroin (di AS, sekurangnya 810.000 orang menjadi ketergantungan heroin ). Studi menunjukkan bahwa jumlah pengguna lama agak menurun selama setahun terakhir, tetapi pengguna pemula terutama remaja terus bertambah meski tidak bermakna, purity makin rendah (‘paket murah’) dengan sasaran populasi sosial ekonomi rendah, komplikasi makin marah (HIV/AIDS, hepatits, TB). Heroin dapat popular disebabkan karena awitan cepat, euforia kuat, dengan penggunaan ‘dragon’ dapat terjadi rush (atau abadi) atau penggunaan secara intra-venous merupakan pilihan utama adiksi.Akibat penyalahgunaan opioid yaitu :
a) Masalah fisik berupa abses pada kulit sampai septickemia, infeksi karena emboli, dapat sampai stroke, endokarditis, hepatitis (B dan C), HIV/AIDS, injeksi menyebabkan trauma pada jaringan saraf lokal, Opiate neonatal abstinence syndrome.
b) Masalah psikiatri yaitu berupa gejala withdrawal menyebabkan perilaku agresif, suicide, depresi berat sampai skozofrenia.
c) Masalah sosial yaitu berupa gangguan interaksi di rumah tangga sampai lingkungan masyarakat, traffic accidents, perilaku kriminal sampai tindak kekerasan, gangguan perilaku sampai antisosial (mencuri, mengancam, menodong, membohong, menipu sampai membunuh).
d) Penyebab kematian yaitu reaksi heroin akut menyebabkan kolaps-nya kardiovaskular dan akhirnya meninggal, overdose karena heroin menekan susunan saraf pusat, sukar bernafas dan menyebabkan kematian, adanya indak kekerasan, bronkhopneumonia, endokarditis.

3. Ganja
Daun ganja (juga kembangnya) berasal dari tanaman perdu Cannabis sativa. Bahan aktifnya berasal dari tanaman ganja yang bersifat adiktif, disebut delta tetra hidrokannabinol (THK) yang hanya larut dalam lemak. Karena tidak dapat larut dalam air, THK tinggal lama didalam lemak jaringan (termasuk jaringan lemak otak, sehingga menyebabkan brain damage).
Gambaran klinis disebakan ganja tergolongan kombinasi antara CNS-depresant, stimulansia dan halusinogenik. Di Indonesia, ganja disebut dengan cimek, gelek, maribuana, hashish. Bentuk umumnya yaitu serpihan daun atau kembang ganja yang diperjual belikan dalam bentuk lintingan, gram-graman, kilo-kiloan hingga berton-ton. Dikenal juga bentuk lain yaitu budha stick dan minyak ganja.

4. Kokain
Kokain adalah sejenis stimulansi yang di Indonesia saat ini belum begitu populer. Namun bertambahnya sitaan kokain secara ilegal dan meningkatnya kasus-kasus penggunaan kokain akhir-akhir ini, bukan tidak mungkin epidemi akan merajai pasaran peredaran NAPZA dalam masa-masa mendatang. Kokain dihasilkan dari daun tumbuhan yang disebut Erythroxylon coca. Tanaman tersebut tumbuh subur di sebelah timur pegunungan Andes di Amerika Selatan.
Bentuk kokain yang diperjualbelikan di Indonesia dalam bentuk bubuk putih. Harga 1 gram sekitar sejuta dua ratus ribu rupiah (lebih mahal dari heroin). Umumnya pengguna kokain memulai kebiasaannya dengan cara snorting dan berakhir dengan menyuntik intravenous atau dengan cara merokok. Akibat penyalahgunaan kokain adalah:
a) Masalah fisik (dengan penggunaan snorting) berupa pilek terus menerus, sinusitis, epistaksis, luka-luka pada rongga hidung, perforasi septum nasi. (dengan suntikan) berupa infeksi lokal pada kulit sampai sistemik (virus, bakteri, parasit atau jamur), abses daerah kulit, endokarditis bakteri, hepatitis (B dan C), HIV/AIDS. Inhalasi melalui merokok juga dapat menyebabkan radang tenggorokan, melanoptysis atau sputum bercak-bercak darah, bronkhitis kronik sampai pneumonia. Cocain baby (retardasi pertumbuhan intra-uterine, bayi lahir lebih kecil sampai prematur yang diikuti kelainan mental berupa irritable, gangguan tidur, kesukaran makan).
b) Masalah psikiatri berupa toleransi dan ketergantungan yaitu sifat toleransi tubuh terhadap kokain sangat cepat, kendati pengguna tidak menyadari dosis yang digunakan kian meningkat. Akibatnya, ia tidak mampu mengendalikan diri, dan untuk mencukupi kebutuhannya ia mengonsumsi kokain dengan mencampurinya dengan zat adiktif lain (speedball) untuk mendapatkan efek yang diinginkan.Gejala fisik putus zat kurang dikenal. Namun secara mental sangat merugikan, berupa agitasi, depresi, fatigue, “high craving”, cemas, marah meledak-ledak, gangguan tidur, mimpi aneh, makan berlebihan, mudah tersinggung, mual, otot-otot pegal hingga lethargy.
c) Masalah sosial brupa separasi perkawinan sampai perceraian, pertengkaran dalam rumah tangga, toleransi karena penggunaan kokain menyebabkan besarnya biaya penyediaan kokain, terbatasnya penghasilan menyebabkan hutang yang menumpuk, kehilangan pekerjaan karena hilangnya produktivitas diri, angka absen yang meningkat, kehilangan proffesional licence atau certificate, ditahan, dihukum hingga pidana.
d) Penyebab kematian, umumnya karena overdosis (lebih dari 1,2 sampai 1,5 gram bubuk kokain asli) berupa kelumpuhan alat pernapasan, aritmia kordis, kejang berulang kali, mati lemas karena merasa seperti dicekik, reaksi alergi, stroke (karena naiknya tekanan darah secara mendadak), kehamilan (pendarahan antepartum, aborsi). Pada bayi dapat terjadi Sudden Infant Death Syndrome.

5. Amfetamin
Adalah senyawa kimia yang bersifat stimulansia (lebih sering dikenal dengan Amphetamine Type Stimulants atau ATS). Dewasa ini oleh sindikat psikotropik ilegal, derivat amfetamin dipasarkan di Indonesia dalam bentuk ecstasy dan shabu. Akibat penyalahgunaan amfetamin (termasuk ecstasy dan shabu) adalah:
a) Masalah fisik berupa malnutrisi akibat defisiensi vitamin, kehilangan nafsu makan, denyut jantung meninggi sehingga menbahayakan bagi mereka yang pernah mempunyai riwayat penyakit jantung, gangguan ginjal, emboli paru dan stroke, hepatitis, HIV/AIDS bagi mereka yang menggunakan suntikan amfetamin.
b) Masalah psikiatri berupa Perilaku agresif, psikosis paranoid sampai skizofrenia, kondisi putus zat yang menyebabkan lethargy, fatigue, exausted, serangan panik, gangguan tidur, depresi berat, halusinasi (terutama ecstacy dan shabu.
c) Masalah social berupa tindak kekerasan (berkelahi), kecelakaan lalu lintas,aktivitas kriminal.

6. Benzodiazepin
Derivat benzodiazepin dikenal dalam bentuk tablet dan suntikan. Dalam bentuk suntikan umumnya menggunakan injeksi diazepam. Sedang dalam bentuk tablet cukup bervariasi: nitrazepam, flunitrazepam, flurazepam, bromazepam, dan diazepam. Akibat penyalahgunaan benzodiazepin menimbulkan:
a) Masalah fisik berupa penggunaan suntikan dapat menyebabkan abses, infeksi sitemik dan  hepatitis, HIV/AIDS, gangguan gastrointestinal, gangguan neurologic, malnutrisi.
b) Masalah psikiatri berupa perilaku agresif terutama dalam keadaan intoksikasi, ansietas, panik, withdrawal state menimbulkan perilaku agresif dan violence.
c) Masalah social berupa mengganggu interaksi dalam rumah tangga dan lingkungan masyarakat, tindak pidana dan terlibat hokum, dan enggunaan finansial terganggu (boros dan tidak menentu).

2.8 Gejala Klinis Penyalahguna Zat

a. Perubahan Fisik
Gejala fisik yang terjadi tergantung jenis zat yang digunakan, tapi secara umum dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Pada saat menggunakan NAPZA
berjalan sempoyongan, bicara pelo (cadel), apatis (acuh tak acuh), mengantuk, agresif,curiga.
2. Bila kelebihan disis (overdosis)
Nafas sesak,denyut jantung dan nadi lambat, kulit teraba dingin, nafas lambat/berhenti, meninggal.
3. Bila sedang ketagihan (putus zat/sakau)
Mata dan hidung berair,menguap terus menerus, diare, rasa sakit diseluruh tubuh, takut air sehingga malas mandi, kejang, kesadaran menurun.
4. Pengaruh jangka panjang
Penampilan tidak sehat,tidak peduli terhadap kesehatan dan kebersihan, gigi tidak terawat dan kropos, terdapat bekas suntikan pada lengan atau bagian tubuh lain (pada pengguna dengan jarum suntik).

b. Perubahan Sikap dan Perilaku
1. Prestasi sekolah menurun,sering tidak mengerjakan tugas sekolah,sering membolos, pemalas, kurang bertanggung jawab.
2. Pola tidur berubah,begadang,sulit dibangunkan pagi hari,mengantuk dikelas atau tampat kerja.
3. Sering berpegian sampai larut malam,kadang tidak pulang tanpa memberi tahu lebih dulu.
4. Sering mengurung diri, berlama-lama dikamar mandi, menghindar bertemu dengan anggota keluarga lain dirumah.
5. Sering mendapat telepon dan didatangi orang tidak dikenal oleh keluarga, kemudian menghilang.
6. Sering berbohong dan minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tak jelas penggunaannya, mengambil dan menjual barang berharga milik sendiri atau milik keluarga, mencuri, mengompas, terlibat tindak kekerasan atau berurusan dengan polisi.
7. Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, marah, kasar sikap bermusuhan, pencuriga, tertutup dan penuh rahasia.


2.9 Gambaran kekambuhan Penyalahguna Zat
Kekambuhan (relaps) merupakan perilaku penggunaan kembali narkoba setelah menjalani penanganan secara rehabilitasi yang ditandai dengan adanya pemikiran, perilaku, dan perasaan adiktif setelah periode putus zat. Relaps dapat terjadi apabila individu bergaul kembali dengan teman-teman pemakai narkoba atau bandarnya, Individu tidak mampu menahan keinginan atau sugesti untuk memakai kembali narkoba dan individu mengalami stres atau frustasi. Oleh karena itu terapi detoksifikasi seringkali dilakukan dengan tujuan untuk dapat menghentikan kecanduan. Namun demikian pada intinya, kesadaran dan niat penuh dari dalam hati merupakan senjata yang paling ampuh untuk memerangi keinginan.3,4
Secara umum dampak akibat penggunaan narkotika terbagi  menjadi dua yaitu dampak secara psikis dan dampak secara sosial. Untuk dampak psikis akibat yang sering muncul adalah pengguna menjadi sangat menurun produktivitasnya, kehilangan rasa percaya diri, memiliki sifat apatis serta mudah curiga kepada orang lain bahkan kepada orang terdekatnya seperti orang tuan atau saudara kandungnya sendiri. Sedangkan untuk dampak sosial akibat yang sering muncul adalah pengguna dikucilkan oleh masyarakat karena dianggap merupakan orang yang berperilaku kurang baik dan merugikan. Dan untuk para pengguna yang relaps efek yang ditimbulkan adalah dosis pemakaian yang semakin meningkat dari sebelumnya.4
Faktor-faktor penyebab terjadinya kekambuhan penyalahgunaan zat terbagi menjadi faktor eksternal dan faktor internal. Faktor internal yang diketahui memiliki pengaruh terhadap terjadinya relaps yakni motivasi dari dalam diri, keadaan emosi, depresi dan gangguan kecemasan, gangguan mood. Sedangkan Faktor eksternal yang memiliki pengaruh terhadap relaps yaitu konflik interpersonal dan tekanan sosial, dukungan sosial dan riwayat keluarga sbg pengguna, ekonomi keluarga yang memadai.
Rehabilitasi jangka panjang dalam hal ini yang digunakan adalah Therapeutic Community (TC) yang menggunakan pendekatan perubahan perilaku. Direkomendasikan bagi pasien yang sudah mengalami masalah penggunaan napza dalam waktu lama dan berulang kali relaps atau sulit untuk berada dalam kondisi abstinen atau bebas dari napza. Therapeutic Community (TC) dapat digambarkan sebagai model yang cocok atau sesuai dengan pasien yang membutuhkan lingkungan yang mendukung dan lingkungan lain yang bermakna dalam mempertahankan kondisi bebas napza atau abstinen.
Pencegahan relaps dapat dilakukan melalui pendekatan perilaku kognitif untuk manajemen diri yang berfokus pada pengajaran individu untuk mendapatkan alternatif terhadap situasi yang memiliki resiko tinggi akan terbentuknya kembali perilaku relaps, ada tiga kondisi yang beresiko tinggi akan membentuk perilaku relaps kembali yaitu emosi negatif, konflik interpersonal, dan tekanan sosial. Program yang dapat dilaksanakan untuk pencegahan relaps yaitu aftercare program. Program yang bertujuan agar individu mempunyai tempat atau kelompok yang sehat dan mengerti tentang dirinya serta memiliki lingkungan hidup yang positif.
2.10 Penanganan dan Rehabilitasi
Beberapa orang yang mengalami masalah terkait zat dapat sembuh tanpa penanganan formal, terutama seiring dengan bertambahnya usia mereka. Untuk pasien dengan gangguan yang tidak begitu parah, seperti kecanduan nikotin, intervensi yang relative singkat sering kali sama efektifnya dengan penanganganan yang lebih intensif. Oleh karena intervensi singkat ini tidak mengubah lingkungan, mengubah perubahan otak terinduksi zat, atau member keterampilan baru, perubahan motivasi pasien (perubahan kognitif) mungkin paling dapat menjelaskan dampaknya pada perilaku menggunakan obat. Untuk individu yang tidak merespons atau ketergantungannya lebih parah, berbagai intervensi tampaknya efektif.1
Membedakan prosedur dan teknik yang spesifik (terapi individu, terapi keluarga, terapi kelompok, pencegahan relaps, dan farmakoterapi) dengan program penanganan, sangat membantu. Sebagian besar program menggunakan sejumlah prosedur spesifik dan melibatkan bebrapa disiplin professional dan juga nonprofessional yang memiliki keterampilan khusus atau pengalaman pribadi dengan masalah zat yang sedang ditangani. Program penanganan terbaik menggabungkan prosedur dan disiplin yang spesifik untuk memenuhi kebutuhan pasien secara individual setelah dilakukan pengkajian yang cermat.1
Program seringkali dikelompokkan secara luas berdasarkan satu atau lebih karakteristik yang menonjol, apakah program hanya bertujuan mengontrol keadaan putus zat akut atau konsekuensi penggunaan obat saat ini atau difokuskan pada perubahan perilaku jangka panjang.
   Pendekatan penanganan untuk zat yang tercakup dalam bagian ini bervariasi menurut zatnya, pola penyalahgunaan, ketersediaan sistem pendukung psikososial, dan gambaran individu pasien. Dua tujuan utama penanganan penyalahgunaan zat telah ditentukan oleh, yang pertama adalah abstinensi zat dan yang kedua adalah kesejahteraan fisik, psikiatri, serta psikososial pasien. Pada beberapa kasus, mungkin perlu memulai terapi di unit rawat inap. Meski situasi rawat jalan lebih disukai dibanding situasi rawat inap, godaan yang tersedia bagi pasien rawat jalan untuk menggunakan secara berulang mungkin menjadi rintangan yang terlalu berat untuk memulai terapi. Penanganan rawat inap juga diindikasikan pada kasus gejala medis atau psikiatri berat, riwayat gagalnya penanganan rawat jalan, kurangnya dukungan psikososial, atau riwayat penyalahgunaan zat jangka panjang atau sangat berat. Setelah periode awal detoksifikasi, pasien memerlukan periode rehabilitas terus-menerus. Sepanjang penanganan, terapi individu, kelompok, atau keluarga bisa jadi efektif. Edukasi tentang penyalahgunaan zat serta dukungan terhadap upaya pasien adalah faktor eksternal dalam penanganan.1

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penyalahgunaan zat merupakan  suatu pola pemakaian zat yang maladaptive yang menimbulkan gejala-gejala gangguan kognitif, perilaku, dan fisiologik.  Banyak hal yang meneyebabkan penyalahgunaan zat antara lain adalah faktor individu dan lingkungan serta faktor zat itu sendiri. Penyalahgunaan zat, selain memberikan gejala fisik, menimbulkan gejala pada fungsi mental,misalnya gangguan pada suasana perasaan atau bahkan gejala psikotik, sehingga menimbulkan hendaya atau distress dalam fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya.
Dalam sudut pandang psikologis salah satu motif utama penggunaan ketergantungan zat adalah untuk meningkatkan mood, sehingga zat bernilai positif yaitu dapat  meningkatkan mood positif dan mengurangi mood negatif serta dapat mengurangi stres dan ketegangan. Sosiokultural menekankan pentingnya peran kelompok, orang tua, serta media dalam menentukan perilaku yang dapat diterima dan yang tidak, antara lain bagaimana contoh yang diberikan keluarga berperan dalam pembentukan penyalahgunaan zat dan penting juga untuk diperhatikan adalah ketersediaan zat di lingkungan jika banyak zat diperjualbelikan akan menimbulkan kecendrungan ke arah penyalah-gunaan zat.
3.1 Saran
1. Meningkatkan pengetahuan mengenai penggunaan zat dan dampaknya bagi semua kalangan (remaja, dewasa).
2. Meningkatkan Perhatian terhadap Program Terapi dan Rehabilitasi NAPZA.
3. Meningkatkan program-program pencegahan penyalahgunaan, ketergantungan, dan relaps sehingga bisa mengurangi penggunaan zat di Indonesia .

DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock BJ, Sadock VA, Gangguan Terkait Zat edited by Muttaqin H, Sihombing Retna NE. in Kaplan&Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis, 2nd ed. ECG: Jakarta. 2012, p. 86-146.
2. Maslim R, ed. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat. in PPDGJ-III. Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa FK-Unika Atmajawa: Jakarta. 2001, p. 36-43.
3. Husain AB, Gangguan Penggunaan Zat. in Buku Ajar Psikiatrik edited by Elvira SD, Hadisukanto G. Badan Penerbit FKUI: Jakarta. 2010, p. 138-69
4. Humas BNN. Rehabilitasi Adiksi Berbasis Masyarakat Dalam Rangka Dukungan Penguatan Lembaga Rehabilitasi Komponen Masyarakat. Cited. 2013 Augs.26. Available from URL:www.bnn.go.id


Ulan Noputri

Posts : 6
Reputation : 0
Join date : 13.11.15

Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik