Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Gangguan Somatisasi

Go down

Gangguan Somatisasi Empty Gangguan Somatisasi

Post by denny christian lukas Mon Feb 22, 2016 12:38 pm

BAB I
LAPORAN KASUS
 
I.       IDENTITAS PASIEN
Nama                           : Ny. H
Usia                             : 30 tahun
Jenis kelamin               : Perempuan
Anak ke                       : 5 dari 6 bersaudara
Agama                         : Islam
Pendidikan                  : SMA
Suku                            : Bengkulu
Status                          : Menikah
Pekerjaan                     : Swasta
Alamat                        : xxxxxxxxxxxxx Kota Bengkulu
Tanggal Pemeriksaan  : 8/02/2015 pukul 16.30 WIB
 
II.    Riwayat Psikiatri
A.    Keluhan Utama
Mudah cemas dan tidak berkonstrasi sejak ± 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
B.     Riwayat Gangguan Sekarang
Autoanamnesis:
Sejak ± 4 tahun yang lalu, sejak pasien melahirkan anak keduanya pasien mengaku badannya sering terasa capek, ia merasa badanya lebih mudah lemas saat melakukan aktivitas. Saat bekerja pasien sering berhenti tiba – tiba karena ia merasakan capek dan tidak tahan, nyeri di ulu hati, dan terkadang menjalar ke punggung kanannya,  nyeri semakin sering dirasakan pasien, selain itu pasien mengaku  lebih banyak berkeringat dingin. Pasien mengaku tidak nyaman dengan keluhannya, sehingga pasien beberapa kali pergi ke dukun untuk mengobati keluhannya, pasien beberapa kali diberikan ramuan, dan diminta untuk mencari beberapa tanaman untuk di konsumsi. Pasien dikatakan memilki darah kotor yang tidak keluar, sehingga mempengaruhi kondisi kesehatannya, apabila dibiarkan lama akan berbahaya untuk pasien. Semenjak itu pasien mengaku bertmbah cemas, ia menjadi semakin takut untuk melakukan aktivitas apapun. Ia merasakan bahwa badanya tambah tidak enak, dan sering sakit-sakitan.
Sejak ± 6 bulan yang lalu, pasien mengaku keluhannya terus bertambah, menurut pasien nyeri ulu hati nya dirasakan bertambah berat, nyeri menjalar sampai ke punggung kanan pasien, keringat dingin, dan terasa menyesak. Selain itu pasien mengaku keluhannya bertambah banyak, ia merasa dada nya berdebar lebih cepat, ia takut ia menderita sakit jantung. Selama ini pasien sudah berobat ke rumah sakit umum ± 6x, pasien meminta dokter melakukan pemeriksaan darah, pemeriksaan rekam jantung, dan rontgen, setelah didapatkan hasil, dokter menjelaskan bahwa hasilnya normal, dan tidak didapatkan kelainan yang berarti, pasien di katakan menderita sakit maag kronis,  namun menurut pasien ia menderita sakit yang parah, dan perlu mendapatkan pengobatan dirumah sakit. Pasien juga kembali mengobati keluhannya ke alternatif, ia diminta meminum ramu-ramuan tanaman. Menurut pasien keluhannya tidak berkurang, dan semakin bertambah berat.
Sejak 1 minggu yang lalu, pasien menjadi semakin cemas, ia takut ia akan meninggal karena sakit jantungnya. Ia menjadi lebih pendiam, namun ia tiba – tiba saja ingin mengobrol dengan suaminya, ia lalu menangis dan mencritakan masalahnya ke suaminya. Ia lebih banyak menghabiksan waktunya dikamar, ia sempat tidak mau berjualan lagi beberapa hari. Selain itu pasien mengaku sulit untuk berkonsentrasi, ia sulit bepikir karena pikiran penyakitnya tersebut berulang – ulang di pikirannya. Kemudian pasien kemudian disarankan oleh suami dan saudaranya  untuk berobat ke RSKJ Soeprapto Bengkulu. Menurut saudaranya ada keluarganya yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien, setelah berobat ke RSKJ Soeprapto Bengkulu keluarganya tersebut mengalami perbaikan.
 
Heteroanamnesis
Suami pasien membenarkan apa yang sudah diceritakan pasien, menurut suami akhir – akhir ini pasien menjadi lebih pendiam, dan lebih mudah emosi, terutama ke anak-anak. Apabila rumah berantakan dan tidak terurus pasien marah, selanjutnya pasien menjadi diam, dan akhirnya menangis. Selain itu pekerjaan rumah menjadi sedikit berantakan, karena pasien lebih banyak diam, pasien hanya duduk – duduk saja seperti orang termenung. Pasien sering bercerita tentang yang dirasakannya ke suami, menurutnya ia sangat cemas, ia takut menderita sakit yang berbahaya sehingga umurnya nanti akan lebih pendek, pasien masih sangat ingin mengurus anak –anak nya sampai dewasa, dan hidup bahagia dengan suami.  Menurut suami karena keluhan yan dimilki pasien bertambah berat, maka ia berinisiatif untk mengajak berobat kepoli rawat jalan RSKJ Soeprapto Bengkulu, ia ingin membantu pasien untuk segera sembuh dan seperti sedia kala.
 
C.    Riwayat Gangguan Sebelumnya
1.   Riwayat Gangguan Psikiatri
Pasien belum pernah berobat ke rumah sakit jiwa maupun ke psikiater sebelumnya.
2.   Riwayat Gangguan Medik
Pasien tidak memiliki riwayat gangguan medis sebelumnya dan pasien belum pernah dirawat di rumah sakit. Tidak ada riwayat trauma kepala, kejang dan demam sebelumnya.
3.   Riwayat Penggunaan Zat Psikoaktif / Alkohol
Riwayat mengkonsumsi alkohol, rokok, dan narkoba disangkal.
 
D.    Riwayat Kehidupan Pribadi
1.   Riwayat prenatal
Pasien lahir cukup bulan dan ditolong oleh bidan dirumah. Selama kehamilan dan kelahiran pasien tidak ada masalah. Ibu pasien tidak pernah mengonsumsi obat-obatan selama mengandung pasien.
2.   Riwayat masa kanak-kanak awal (0-3 tahun)
Pertumbuhan dan perkembangan pada masa bayi dan balita normal. Pasien minum ASI sejak lahir.
3.   Riwayat masa kanak pertengahan (3-11 tahun)
Pertumbuhan dan perkembangan pada masa ini normal. Pasien berkembang menjadi anak seperti seumurannya. Pasien memiliki banyak teman yang sebaya dengannya. Pasien menamatkan sekolah dasar dan tidak pernah tinggal kelas. Pasien tidak terlalu menonjol disekolahnya.
4.   Riwayat masa remaja
Setelah tamat SD pasien melanjutkan sekolah ke SMP N. Pasien saat remaja berkembang menjadi remaja perempuan yang normal sesuai dengan seusianya. Pasien mengaku memiliki banyak teman, terutama teman perempuan, pasien di sekolah suka berkumpul dengan teman – teman se grup nya saja. Pulang sekolah ia nyaman bermain dengan teman di sebelah rumahnya, ia bisa pulang malam karena keasikan main.
5.   Riwayat dewasa muda
Pasien menyelesaikan pendidikan SMA nya dengan baik. Selanjutnya pasien hanya dirumah untuk membantu orang tuanya. Pasien memilki keinginan kuat untuk kuliah, namun karena keterbatasan biaya pasien tidak melanjutkan sekolahnya. Sehari – hari pasin di membantu membereskan peralatan rumah tangga, bersih-bersih, dan masak.
6. Riwayat pendidikan
   Pasien sampai menamatkan pendidikan SMA dengan baik. Di sekolah pasien biasa-biasa saja, tidak terlalu berprestasi, dan tamat tepat pada waktunya.
7. Riwayat pekerjaan
     Pasien sehari-hari bekerja sebagai IRT, selain itu di rumah pasien membuka kantin. Pasien membuka kantin di Sekolah tempat suaminya bekerja, biasanya ia membuka dagangannya dari jam 7 sampai jam 2 siang. Ia menjual makan-makanan riingan, dan minuman.
8. Riwayat pernikahan
     Pasien menikah di usia 21 tahun dengan suaminya sekarang, yang pada saat itu berusia 24 tahun. Pasien mengaku bahagia dengan pernikahannya. Hingga saat ini pasien telah dikaruniai 2 orang anak dari pernikahannya.
9. Riwayat kehidupan beragama
     Pasien beragama islam,rajin beribadah dan menghormati agama orang lain
10. Riwayat Psikoseksual
     Pasien sudah menikah dan memiliki 2 orang anak, fungsi seksual tdk terganggu
11. Riwayat pelanggaran hukum
Pasien tidak pernah melakukan pelanggaran hukum dan terlibat dalam masalah hukum.
12. Aktivitas sosial
Pasien saat ini masih sering berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Hanya saja pasien sekarang jadi malas untuk mengikuti kegiatan sosial di lingkungannya karena pasien merasa mudah kelelahan dan butuh lebih banyak istirahat dari biasanya.
 
 
E.     Riwayat Keluarga
      Di keluarga pasien tidak terdapat  keluarga yang memiliki keluhan serupa dengan pasien. Hubungan pasien dengan keluarga inti seperti suami, anak dan keluarga besarnya baik.
 
Genogram
ð  Pasien
 

ð  Laki- laki
 

ð  Perempuan
 
ð  Keluarga yang tinggal serumah dengan pasien
 
ð  Menikah
 
 
F.     Situasi Kehidupan Sekarang
      Pasien sekarang tinggal dirumah bersama suami dan 2 orang anaknya. Keseharian pasien hanya dihabiskan dirumah untuk mengurusi rumah tangga dan menjaga daganganya di rumah. Pasien jadi jarang mengikuti kegiatan sosial dilingkungannya karena merasa kelelahan. Lingkungan tempat tinggal terkesan cukup berantakan. Pasien tinggal di perumahan sekolah,pasien menempati rumah sekolah SMPN di tempat suaminya bekerja, cukup padat penduduk dan berdekatan dengan tetangga. Hubungan pasien dengan keluarga dan tetangga dikenal cukup baik.
 
G.    Persepsi Pasien Terhadap Dirinya dan Lingkungannya
      Pasien mengakui bahwa dirinya saat ini sedang mengalami masalah. Pasien berpikir bahwa apabila dibiarkan terlalu lama penyakitnya akan berbahaya, pasien takut dan sangat ingin sembuh. Pasien mengaku sangat sayang suami, dan 2 orang anaknya, sehingga ia tidak mau sakit-sakitan, pasien merasa jika hal ini didiamkan berlarut-larut akan mengganggu aktivitasnya sehari-hari sehingga pasien terus berusaha berkali – kali mencari pengobatan untuk mengatasi keluhannya sekarang.
 
III. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal  08 febuari 2016, hasil pemeriksaan ini menggambarkan situasi keadaan pasien saat dilakukan pemeriksaan home visite.
 
A.    Deskripsi Umum
1.   Penampilan
Perempuan berusia 30 tahun, paras wajah sesuai umur dengan postur tubuh yang atletikus, kesan gizi cukup. Pasien memakai baju lengan panjang warna hitam dan memakai celana panjang warna hitam berbahan kain. Kebersihan cukup baik. Pasien tampak senang saat didatangi pada waktu home visite.
2.   Kesadaran
Compos mentis, secara kualitas tidak berubah.
3.   Perilaku dan Aktivitas Psikomotor
Keadaan pasien tenang. Pasien tidak memperlihatkan gerak-gerik yang tidak bertujuan, gerak berulang, maupun gerakan abnormal/involunter.
4.   Pembicaraan
·      Kuantitas: pasien dapat menjawab pertanyaan dan dapat mengungkapkan isi hatinya dengan cukup jelas.
·      Kualitas: pasien dapat menjawab pertanyaan jika ditanya dan menjawab pertanyaan dengan spontan, Pasien sering bercerita dengan spontan mengenai keadaan dirinya saat ini. Intonasi berbicara pasien cukup jelas. Pembicaraan dapat dimengerti.
·      Tidak ada hendaya dalam berbahasa.
5.   Sikap terhadap pemeriksa
Pasien kooperatif, kontak mata adekuat. Pasien selalu menjawab pertanyaan dengan melihat kearah pemeriksa. Pasien dapat menjawab pertanyaan dengan cukup baik.
 
B.     Keadaan Afektif
1.   Mood          : Labil
2.   Afek           : menyempit
 
C.    Gangguan Persepsi
Tidak terdapat gangguan persepsi
 
D.    Proses Pikir
1.   Bentuk pikir : realistik
2.   Arus pikir
a.    Produktivitas : Pasien dapat menjawab spontan saat diajukan pertanyaan.
b.   Kontinuitas : Koheren, mampu memberikan jawaban sesuai pertanyaan.
c.    Hendaya berbahasa : Tidak terdapat hendaya berbahasa
3.   Isi pikiran    : waham (-), fobia (-), obsesi (-), konpulsi(-).
 
E.     Fungsi Intelektual / Kognitif
1.   Taraf pendidikan, pengetahuan umum dan kecerdasan
·      Taraf pendidikan
Pasien lulusan Sekolah Menengah Atas
·      Pengetahuan Umum
Baik, pasien dapat menjawab dengan tepat siapa gubernur Bengkulu, dan Presiden Republik Indonesia
2.   Daya konsentrasi dan perhatian
Konsentrasi pasien baik, pasien dapat menghitung dengan benar angka-angka yang diberikan pemeriksa 100-7-7-7+20 ..
3.   Orientasi
·      Waktu    : Baik, pasien mengetahui waktu wawancara dilakukan yaitu sore hari.
·      Tempat   : Baik, pasien mengetahui dia sedang berada di rumahnya, dan menjalani pengobatan di RSKJ bengkulu
·      Orang     : Baik, pasien mengetahui nama ibu dan  saudara – saudaranya. Selain itu pasien juga mengetahui dirinya diwawancarai oleh siapa.
·      Situasi    : Baik, pasien mengetahui bahwa dia sedang konsultasi dan  wawancara.
4.   Daya Ingat
·      Daya ingat jangka panjang
Baik, pasien masih dapat mengingat nama-nama teman pasien pada saat di sekolah dasar
·      Daya ingat jangka menengah
Baik, pasien dapat mengingat umur berapa dia menikah dan pertama kali memiliki anak.
·      Daya ingat jangka pendek
Baik, pasien dapat mengingat secara tepat, pasien sarapan dengan lauk apa saja.
·         Daya ingat segera
Baik, pasien dapat mengingat nama pemeriksa, dan dapat menyebutkan nama benda yang baru saja diucapkan oleh pemeriksa.
·      Akibat hendaya daya ingat pasien
Tidak ada hendaya dalam daya ingat pada pasien
6.    Kemampuan baca tulis: baik
7.    Kemampuan visuospasial: baik
8.    Berpikir abstrak: baik, pasien dapat menjelaskan persamaan jeruk dan apel.
9.    Kemampuan menolong diri sendiri : baik, pasien dapat melakukan perawatan diri sehari - hari secara mandiri seperti mandi, makan dan minum.
 
F.     Daya Nilai
Daya nilai sosial :  baik.
Uji daya nilai realitas pasien : baik.
 
 
 
 
G.    Pengendalian Impuls
      Pengendalian impuls pasien baik, selama wawancara pasien dapat mengendalikan emosi dengan baik dan tampak selama pemeriksaan dilakukan pasien menceritakan kondisinya dengan tenang.
 
H.    Tilikan
      Tilikan derajat 4. Pasien menyadari bahwa dirinya sedang sakit, namun pasien tidak mengetahui penyebabnya. Pasien berusaha untuk mencari pengobatan gangguan yang dia alami dan memiliki motivasi untuk sembuh yang sangat baik.
 
I.       Taraf Dapat Dipercaya
Kemampuan pasien untuk dapat dipercaya cukup akurat, pasien berkata dengan jujur mengenai peristiwa yang terjadi, dan di cross check juga dengan keterangan dari teman pasien yang menceritakan kejadian yang serupa.
 
IV. PEMERIKSAAN FISIK
a.      Status Generalis
·      KU              : Tampak lemas
·      Sensorium   : Compos mentis
Vital Sign
·      TD              : 120/70 mmHg
·      Nadi            : 88 x/menit
·      RR              : 20 x/menit
·      Suhu           : 36,8oC
b.      Status Internus
Kepala
Normosefali, deformitas tidak ada.
Mata
Edema palpebra tidak ada, sklera ikterik -/-, konjungtiva palpebra anemis -/-
Hidung
Simetris, deformitas (-), deviasi (-), tidak ada sekret.
Telinga      
Simetris, bentuk dalam batas normal, menggantung, deformitas
(-), sekret (-), nyeri tekan tragus  mastoid tidak ada
Mulut        
Bibir tidak sianosis, lidah kotor (-), papil lidah tersebar merata, mukosa lidah merah
Leher
Dalam batas normal, tiroid tidak membesar
Thorax
Tidak terdapat skar, spider naevi (-), simetris kiri dan kanan
Paru
I: Pernapasan statis-dinamis kiri = kanan.
P: Stemfremitus simetris kiri dan kanan
P: Sonor disemua lapang paru
A: Suara napas vesikuler normal (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
Jantung
I: Iktus kordis tidak  terlihat
P: Iktus kordis tidak teraba
P: Tidak dilakukan
A: Bunyi jantung I dan II normal, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
I: Datar, tampak benjolan (-)
A: Bising usus (+)
P: Timpani (+) di seluruh regio abdomen
P: Nyeri tekan (-)
Ektremitas
Superior, inferior, dekstra, sinistra dalam batas normal
 
V. PEMERIKSAAN DIAGNOSIS LANJUT
     Pada pasien belum dilakukan pemeriksaan penunjang, sehingga disarankan untuk  melakukan pemeriksaan darah rutin dan urin lengkap.
 
VI. FORMULASI DIAGNOSIS.
·   Aksis I
ü  Pada pasien tidak terdapat gangguan/ kelainan fisik yang menyebabkan disfungsi otak, sehingga pada pasien ini gannguan mental organik disingkirkan.
ü  Pada anamnesis didapatkan bahwa pasien tidak memilki riwayat pengunaan zat psikotropika atau zat adiktif lainnya, sehingga pada pasien gangguan perilaku akibat penyalagunaan zat dapat disingkirkan.
ü  Pada pasien tidak didapatkan gangguan isi pikir ataupun gangguan persepsi.
ü  Pada pasien dicurigai mengalami gangguan somatisasi. Hal ini sesuai dengan yang didapatkan saat anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien menunjukkan keluhan serta gejala yang berulang – ulang, disertai dengan permintaan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, walaupun dari hasil menunjukkan bahwa pasien tidak memilki kelainan yang berarti pasien tetap merasa cemas dan ketakutan akan penyakitnya. Selain itu akibat dari keadaan ini pada pasien terdapat disabilitas dalam lingkungan keluarga dan sosialnya, pasien menjadi lebih emosi dan dan tidak mau melakukan aktivitas sehari – harinya.
·    Aksis II
Berdasarkan uraian diatas dan berdasarkan data yang didapat bahwa pasien tidak memiliki mengalami retardasi mental atau gangguan kepribadian.
·      Aksis III
Gastritis
·      Aksis IV
Primary support group (keluarga)
Masalah Psikososial
Masalah Sosioekonomi.
·      Aksis V
GAF Scale 60-51: gejala sedang (moderate), disabilitas sedang.
 
VI. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
·      Aksis I           
F45.0 Gangguan Somatisasi
·      Aksis II          
Tidak ada diagnosis
·      Aksis III
Gastritis
·      Aksis IV
Primary support group (keluarga)
Masalah Psikososial
Masalah Sosioekonomi.
·         Aksis V
GAF scale 60-51
Diagnosis Banding
F 45.1 Gangguan somatoform tak terperinci
 
VII. PROGNOSIS
1.   Faktor yang memberikan pengaruh baik:
·      Pasien sudah bekerluarga
·      Suami pasien mendukung kesembuhan pasien
·      Tidak ada komirditas dengan gangguan psikiatri lainnya
·      Tidak ada faktor presipitasi.
2.   Faktor yang memberikan pengaruh buruk:
·     Faktor lingkungan tempat tinggal
·     Faktor sosioekonomi
 
Prognosis pasien secara menyeluruh adalah dubia ad bonam. Sehingga kesimpulan prognosis pada pasien berdasarkan wawancara diatas
sebagai berikut :
·      Quo Ad Vitam         : dubia ad bonam
·      Quo Ad Functionam            : dubia ad bonam
·      Quo Ad Sanationam            : dubia ad bonam
 
VIII. Terapi
·      Psikoterapi & Edukasi
Terapi relaksasi
Terapi kognitif perilaku
Psikoterapi suportif
·      Edukasi mengenai penyakit pasien.

denny christian lukas

Posts : 15
Reputation : 0
Join date : 20.02.16

Kembali Ke Atas Go down

Gangguan Somatisasi Empty Re: Gangguan Somatisasi

Post by denny christian lukas Mon Feb 22, 2016 12:39 pm

BAB II-III



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
 
2.1 GANGGUAN SOMATISASI
Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) dimana tidak dapat ditemukan penjelasan medis yang adekuat. Gejala dan keluhan somatik ini cukup serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.6,7
Gangguan somatisasi ditandai oleh banyak gejala somatik yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laoratorium. Gangguan ini biasanya dimulai sebelum usia 30 tahun, dapat berlanjut hingga tahunan, dan dikenali menurut DSM-IV-TR sebagai “kombinasi gejala nyeri, gastrointestinal, seksual, serta pseudoneurologis”. Gangguan somatisasi berbeda dengan gangguan somatoform lainnya karena banyak keluhan dan banyaknya sistem organ yang terlibat (contohnya gastrointestinal dan neurologis). 1
Ciri utama gangguan somatoform adalah adanya keluhan – keluhan gejala fisik yang berulang – ulang disertai dengan permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudh berkali – kali terbukti tidak ditemukan kelainan yang menjadi dasar keluhannya. Penderita juga menyangkal dan menolak untuk membahas kemungkinan kaitan antara keluhan fisik dengan problem atau konflik dalam kehidupan yang dialaminya, bahkan meskipun didapatkan gejala – gejala anxietas dan depresi. Gejala dan keluhan somatik menyebabkan penderitaan emosional/gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. 1,
          Gangguan somatisasi telah dikenal sejak zaman Mesir kuno. Nama awal untuk gangguan somatisasi adalah hysteria, suatu keadaan yang secara tidak tepat diperkirakan hanya mengenai wanita. (Kata “hysteria” didapatkan dari kata bahasa Yunani untuk rahim, hysteria). Pada abad ke-17 Thomas Syndenham menemukan bahwa faktor psikologis, yang dinamakannya penderitaan yang mendahukui (antecendent sorrow), adalah terlibat dalam patogenesis gejala. Di tahun 1859 Paul Briquetseorang dokter Perancis, mengamati banyaknya gejala dan sistem organ yang terlibat dan perjalanan penyakit yang biasanya kronis. Karena pengamatan klinis yang tajam tersebut, gangguan ini dinamakan sindroma Briquet selama periode waktu tertentu, walaupun istilah “gangguan somatisasi” menjadi standar di Amerika Serikat saat diperkenalkan DSM edisi ketiga (DSM-III) di tahun 1980. 6
 
2.2 EPIDEMIOLOGI
Somatisasi adalah gangguan yang kerap ditemukan. Prevalensi seumur hidup gangguan somatisasi dalam populasi umum lebih banyak ditemukan pada wanita daripada pria, yaitu diperkirakan sebanyak 0,2 sampai 2 persen pada wanita, dan <0,2 persen pada pria, dengan perbandingan 5:1.Prevalensi somatisasi subklinis mencapai 100 kali lebih besar. 2
          Di antara pasien yang datang ke tempat praktek dokter umum dan dokter keluarga, sebanyak 5 sampai 10 persen pasien memenuhi criteria diagnostik untuk gangguan somatisasi. Gangguan berhubungan terbalik dengan posisi sosial, terjadi paling sering pada pasien dengan pendidikan rendah dan miskin. Gangguan somatisasi didefinisikan sebagai dimulai sebelum usia 30 tahun; tetapi seringkali mulai selama usia belasan tahun.
          Beberapa penelitian telah menemukan bahwa gangguan somatisasi seringkali bersama-sama dengan gangguan mental lainnya. Kira-kira duapertiga dari semua pasien dengan gangguan somatisasi memliki gejala psikiatrik yang dapat diidentifikasi, dam sebanyak separuh pasien dengan gangguan somatsasi memiliki gangguan mental lainnya. Sifat kepribadian atau gangguan kepribadian yang seringkali meyertai adalah yang ditandai oleh cirri penghindaran, paranoid, mengalahkan diri sendiri, dan obsesif-kompulsif. Dua gangguan yang tidak lebih sering ditemukan pada pasien dengan gangguan somatisasi dibandingkan dengan populasi umum adalah gangguan bipolar dan penyalahgunaan zat.
 
2.3 ETIOLOGI
            Faktor etiologi dari gangguan somatisasi masih belum diketahui. Tidak terdapat penyebab tunggal dari gangguan somatisasi, sebagaimana sebagian besar kasus psikiatri lainnya, gangguan ini merupakan hasil akhir dari interaksi faktor genetik dengan berbagai peristiwa di kehidupan individu. Teori terkini mengenai etiologi gangguan somatisasi dibagi 3, yaitu psikososial, organic, dan genetik.3
 
1.      Faktor Psikososial
Gejala somatik merupakan bentuk pertahanan psikologi terhadap instabilitas mental. Pada somatisasi, serangan terhadap mental seseorang menghasilkan kecemasan yang memobilisasi pertahanan somatik, di mana terdapat perubahan dari “sakit psikologis” menjadi “sakit fisik”.4 Gejala somatik yang timbul merupakan komunikasi sosial seseorang untuk menghindari kewajiban (cnt : melakukan pekerjaan yang tidak disukai), mengekspresikan emosi (cnt: kemarahan terhadap saudara), atau untuk simbolisasi perasaan atau kepercayaan (cnt : nyeri perut).1
Pengalaman “sakit” merupakan faktor penting dari somatisasi. Anak yang menjumpai orang tua atau saudara yang sakit (terutama penyakit kronis atau berat) dapat mengalami gangguan somatoform ketika dewasa. Etnik, pendidikan, dan gender juga merupakan faktor sosial yang relevan terhadap somatisasi. Terdapat korelasi tinggi antara somatisasi dan etnik, kelas sosial rendah dengan tingkat edukasi minimal, dan jenis kelamin wanita.Selain itu, jenis kepribadian juga diduga mempengaruhi gangguan somatisasi. Pasien gangguan somatisasi yang memiliki ciri kepribadian kelompok B (dependen, histrionic, agresif-sensitif) tampak sejumlah 2 kali lipat dari pasien dengan anxietas atau depresi. 3
Pandangan perilaku pada gangguan somatisasi menekankan bahwa pengakaran parnteral, contoh parental, dan etika moral mungkin mengajarkan anak-anak untuk lebih bersomatisasi dibandingkan anak lain. Di samping itu, beberapa pasien dengan gangguan somatisasi berasal dari rumah yang tidak stabil dan telah mengalami penyiksaan fisik. Faktor sosial, cultural, dan etnik mungkin juga terlibat di dalam perkembangan gejala gangguan somatisasi.
 
2.      Faktor Organik
Beberapa penelitian menunjukkan dasar neuropsikologi pada gangguan somatisasi. Beberapa studi mengaitkan antara gangguan somatisasi dengan patologi otak, seperti epilepsy dan multiple sclerosis, namun asosiasi ini ditemukan hanya pada 3% pasien.6 Diduga juga bahwa disfungsi atensi dan kognitif yang berhubungan dengan inhibisi stimulasi aferen terdapat pada pasien (terutama pada lobus frontalis dan hemisphere yang tidak dominan), menghasilkan persepsi yang tidak tepat dan kesalahan penilaian input somatosensoris .1 Ditemukan hubungan antara somatisasi dan peningkatan level kortisol 24 jam (rangsangan psikologis),sebagaimana juga ditemukan terdapat asosiasi antara tekanan darah sistolik dengan somatisasi. 3
Beberapa penelitian mengarah pada dasar neuropsikologis untuk gangguan somatisasi. Penelitian tersebut mengajukan bahwa pasien memiliki gangguan perhatian dan kognitif karakteristik yang dapat menyebabkan persepsi dan penilaian yang salah terhadap masukan (input) somatosensorik. Gangguan yang dilaporkan adalah distraktibilitas yang berlebihan, ketidakmampuan untuk membiasakan terhadap stimulus yang berulang, pengelompokan konstruksi kognitif atas dasar impresionistik, asosiasi parsial, dan sirkumstansial.. Sejumlah penelitian yang terbatas mengenai pencitraan otak telah melaporkan penurunan metabolisme di lobus frontalis dan hemisfer nondominan.
Satu bidang riset neuroilmiah dasar yang sangat relevan dengan gangguan somatisasi dan gangguan somatiform lainnya menunjukkan pengaruh sitokin (cytokines). Sitokin adalah molekukl pembawa pesan (messanger molecules) yang digunakan oleh sistem kekebalan untuk berkomunikasi dalam dirinya sendiri dan berkomunikasi dengan sistem saraf, termasuk otak. Contoh sitokin adalah interleukin, faktor nekrosis tumor, dan interferon. Beberapa percobaan awal menyatakan bahwa sitokin dapat membantu penyebabkan suatu gejala nonspesifik dari penyakit, khususnya infeksi, seperti hipersomnia, anoreskia, kelelahan, dan depresi. Walaupun data belum mendukung hipotesis, regulasi abnormal sistem sitokin mungkin menyebabkan beberapa gejala yang ditemukan pada gangguan somatoform.
 
3.      Faktor Genetik.
Terdapat pola keturunan yaitu  sebesar 10-20% insidens terjadi pada saudara perempuan derajat pertama dari penderita gangguan somatisasi. 2 Ditemukan bahwa saudara lelaki pasien gangguan somatisai memiliki peningkatan prevalensi alkoholisme dan kepribadian antisosial.7  Beberapa penelitian pada populasi kembar menemukan bukti komponen genetik, namun lainnya menghasilkan kesimpulan sebaliknya. Mai (2004) menyimpulkan bahwa terdapat peran faktor genetik dalam gangguan somatisasi, namun efeknya terbatas. 3
Data genetika menunjukkan bahwa, sekurang-kurangnya pada beberapa keluarga, transmisi gangguan somatisasi memiliki suatu komponen genetika. Data menyatakan bahwa gangguan somatisasi cenderung berjalan di dalam keluarga, terjadi pada 10 sampai 20 persen sanak saudara wanita dengan gangguan somatisasi. Di dalam keluarga tersebut, sanak saudara laki-laki derajat pertama adalah rentan terhadap penyalahgunaan zat dan gangguan kepribaian antisosial. Suatu penelitian juga melaporkan angka kesesuaian pada 29 persen kembar monozigotik dan 10 persen kembar dizigotik, jadi menyatakan suatu efek genetika.
 
2.4 DIAGNOSIS dan GEJALA KLINIS
Untuk diagnosis gangguan somatisasi, DSM-IV-TR mengharuskan permulaan gejala terjadi sebelum usia pasien 30 tahun, dan berlangsung selama beberapa tahun. Selama perjalanan gangguan, pasien harus memiliki keluhan sedikitnya empat gejala nyeri, dua gejala gastrointestinal, satu gejala seksual, dan satu gejala pseudoneurologis, yang seluruhnya tidak dapat dijelaskan dengan pemeriksaan fisik atau laboratorium. Kriteria DSM-IV mengenai gangguan somatisasi terdapat pada halaman berikutnya.
Pasien dengan gangguan somatisasi umumnya telah mengunjungi banyak praktik dokter, mlakukan banyak tes imaging dan laboratorium, yang seluruhnya tidak memberikan hasil yang bermakna mengenai penyakit yang ia rasakan. Sebagai contoh, seorang pasien mungkin memiliki keluhan abdominal kronis (nyeri perut, diare) yang telah dievaluasi secara tuntas namun tidak ditemukan penyebabnya. Hal ini biasanya didahului dengan riwayat gejala lain yang tidak dapat dijelaskan, seperti anorgasmia, tinnitus telinga, dan nyeri kronis pada bahu, leher, punggung, dan kaki.5
Manifestasi klinis gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang berulang disertai permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-kali terbukti hasilnya negatif dan juga telah dijelaskan dokternya bahwa tidak ada kelainan yang mendasari keluhannya.6,7
Beberapa orang biasanya mengeluhkan masalah dalam bernafas atau menelan, atau ada yang “menekan di dalam tenggorokan”. Masalah-masalah seperti ini dapat merefleksikan aktivitas yang berlebihan dari cabang simpatis sistem saraf otonomik, yang dapat dihubungkan dengan kecemasan. Kadang kala, sejumlah simptom muncul dalam bentuk yang lebih tidak biasa, seperti “kelumpuhan” pada tangan atau kaki yang tidak konsisten dengan kerja sistem saraf. Dalam kasus-kasus lain, juga dapat ditemukan manifestasi dimana seseorang berfokus pada keyakinan bahwa mereka menderita penyakit yang serius, namun tidak ada bukti abnormalitas fisik yang dapat ditemukan.6,9
Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian (histrionik), terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk dokternya untuk menerima bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa perlu adanya pemeriksaan fisik yang lebih lanjut.6,8
Dalam kasus-kasus lain, orang berfokus pada keyakinan bahwa mereka menderita penyakit serius, namun tidak ada bukti abnormalitas fisik yang dapat ditemukan.6
Gambaran keluhan gejala somatoform:
Neuropsikiatri:
- “Kedua bagian dari otak saya tidak dapat berfungsi dengan baik”;
- “Saya tidak dapat menyebutkan benda di sekitar rumah ketika ditanya”
Kardiopulmonal:
- “Jantung saya terasa berdebar debar…. Saya kira saya akan mati”                         
Gastrointestinal:
- “Saya pernah dirawat karena sakit maag dan kandung empedu dan belum ada dokter yang dapat menyembuhkannya”
Genitourinaria:
- “Saya mengalami kesulitan dalam mengontrol BAK, sudah dilakukan pemeriksaan namun tidak di temukan apa-apa”
Musculoskeletal:
- “Saya telah belajar untuk hidup dalam kelemahan dan kelelahan sepanjang waktu”
Sensoris:
- “Pandangan saya kabur seperti berkabut, tetapi dokter mengatakan kacamata tidak akan membantu”
 
Pedoman diagnostik PPDGJ III
F45.0 Gangguan Somatisasi
Diagnostik pasti memerlukan semua hal berikut :
a.       adanya banyak keluhan – keluhan fisik yang bermacam – macam yang tidak dapat di jelaskan atas dasar adanya kelainan fisik yang sudah berlangsung sedikitnya 2 tahun
b.      tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan – keluhannya.
c.       Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga yang berkaitan dengan sifat keluhan – keluhannya dan dampak dari perilakunya. 10
 
 

Kriteria Diagnostik DSM IV-TR   :  GANGGUAN SOMATISASI
 
A.    Riwayat banyak keluhan fisik dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama suatu periode beberapa tahun dan menyebabkan pencarian terapi atau hendaya fungsi sosial, pekerjaan, atau area fungsi penting lain yang signifikan.
B.    Masing-masing kriteria berikut ini harus dipenuhi, dengan setiap gejala terjadi pada waktu kapanpun selama perjalanan gangguan :
(1)     empat gejala nyeri : riwayat nyeri yang berkaitan dengan sedikitnya empat tempat atau fungsi yag berbeda (cnt : kepala, abdomen, punggung, sendi, ekstremitas, dada, rectum, selama menstruasi, selama hubungan sekdual, atau selama berkemih)
(2)    dua gejala gastrointestinal : riwayat sedikitnya dua gejala gastrointestinal selain nyeri (cnt: mual, kembung, muntah selain selama hamil, diare, atau intoleransi terhadap beberapa makanan yang berbeda)
(3)    satu gejala seksual : riwayat sedikitnya satu gejala seksual atau reproduksi selain nyeri(cnt: ketidakpedulian terhadap seks, disfungsiereksi atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur, perdarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang hamil)
(4)    satu gejala pseudoneurologis : riwayat sedikitnya satu gejala atau deficit yang mengesankan keadaan neurologis tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis, atau kelemahan lokal, kesulitan menela, atau benjolan di tenggorok, afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi raba atau nyeri, penglihatan ganda, buta, tuli, kejang, gejala disosiatif seperti amnesia, atau hilang kesadaran selain pingsan)
C.     Baik (1) atau (2) :
(1)     Setelah  penelitian yang sesuai, setiap gejala Kriteria B tidak dapat dijelaskan secara utuh dengan keadaan medis umum yang diketahui atau efek langsung suatu zat (cnt : penyalahgunaan obat, pengobatan)
(2)    Jika terdapat keadaan medis umum, keluhan fisik, atau hendaya sosial atau pekerjaan yang diakibatkan jauh melebihi yang diperkirakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium
D.    Gejala dihasilkan tanpa disengaja atau dibuat-buat seperti pada gangguan buatan atau malingering
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

2.5 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding somatisasi antara lain adalah gangguan somatoform lain,yaitu reaksi konversi, hipokondriasis, dan nyeri dismorfik. Gangguan somatoform sendiri  juga harus dibedakan dengan gangguan psikiatri lain, seperti facticious disorders dan malingering, sebagaimana ditunjukkan oleh tabel berikut.4
 
Gambar 1. Diagnosis Banding Gangguan Somatoform
 
F45.1 Gangguan Somatoform Tak Terinci
Pedoman Diagnostik:
a)      Ada banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung sedikitnya 2 tahun.
b)      Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari bebarapa dokter bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhannya.
c)      Terdapat disabilitas dalam fungsinya dimasyarakat dan keluarga, yang berkaitan dengan sifat keluha-keluhannya dan dampak dari prilakunya
 
F45.2 Gangguan Hipokondrik
Untuk diagnosis pasti, kedua hal ini harus ada:
a)        Keyakinan yg menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yg serius yg melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemerikasaan yg berulang-ulang tidak menunjang adanya alasan fisik yg memadai, ataupun adanya peokupasi yg menetap kemungkinan deformitas atau perubahan bentuk penampakan fisiknya ( tidak sampai waham);
b)       Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari bebearap  dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yg melandasi keluhan.
 
F45.3 Disfungsi Otonomik Somatoform
Pedoman diagnostik
Diagnosis pasti, memerlukan semua hal berikut:
a)      Adanya gejala-gejala bangkitan otonomik, seperti palpitasi, berkeringat, tremor, muka panas/”flushing”, yg menetap dan mengganggu;
b)      Gejala subjektif tambahan mengacu pada sistem atau orgab tertentu (gejala tidak khas);
c)      Preokupasi dengan dan penderitaan (disterss) mengenai kemungkinan adanya gangguan yang serius (sering tidak begitu khas)  dari sistem atau organ tertentu, yg tidak terpengaruh oleh hasil pemeriksaan berulang, maupun penjelasan dari para dokter;
d)     Tidak terbukti adanya gangguan yg cukup berarti para struktur/fungsi dari sistem atau organ yg dimaksud.
 
F45.4 Gangguan Nyeri Somatoform Menetap
Pedoman diagnostik
a)      Keluhan utama adalah nyeri berat, menyiksa dan menetap, yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya atas dasar  proses fisiologik maupun adanya gangguan fisik.
b)      Nyeri timbul dalam hbungan dengan adanya konflik emosional atau problem psikososial yg cukup jelas untuk dapat dijadikan alasan dalam mempengaruhi terjadinya gangguan tersebut.
c)      Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan, baik personal maupun medis, untuk yang bersangkutan.
 
F45.8 Gangguan Somatoform lainnya
Pedoman diagnostik
      Pada gangguan ini keluhan-keluhannya tidak melalui sistem saraf otonom, dan terbatas secara spesifik pada bagian tubuh atau sistem tertentu. Ini sangat berbeda dengan gangguan Somatisasi (F45.0) dan Gangguan Somatoform Tak Terinci (F45.1) yg menunjukkan keluhan yg banyak dan berganti-ganti
      Tidak ada kaitan dengan adanya kerusakan jaringan.
      Gangguan berikut juga dimasukkan dalam kelompok ini:
a)      “globus hystericus” (perasaan ada benjolan di kerongkongan yg menyebabkan disfagia) dan bentuk disfagia lainnya.
b)      Tortikolis psikogenik, dan gangguan gerakan spasmodik lainnya (kecuali sindrom Tourette);
c)      Pruritus psikogenik;
d)     Dismenore psikogenik;
e)      “teet grinding”
F45.8 Gangguan Somatoform YTT
 
2.6 PENATALAKSANAAN
            Secara umum, penatalaksanaan pasien dengan gangguan somatisasi meliputi 2 hal, yaitu Cognitive and Behavioral Therapy (CBT) dan Farmakoterapi.        
Langkah pertama terapi adalah untuk memberi feedback diagnostik pada pasien. Penjelasan dikategorikan menjadi 3 bagian : rejection, conclusion, dan empowerment. Dengan rejection, dokter menyangkal kenyataan terdapat gejala atau mengimplikasikan bahwa pasien memiliki sumber rasa sakit yang imajiner. Pendekatan ini dapat diawali dengan kalimat “Tenang, tidak ada yang salah dengan Anda.” Conclusion  terjadi ketika dokter secara eksplisit atau implicit menyetujui penjelasan pasien. Pada akhirnya, dengan empowerment, dokter memberikan penjelasan yang nyatadan rasional untuk gejala somatik, bersamaan dengan peluang untuk memanajemen diri. Dokter mengetahui penderitaan pasien, tanpa rasa menuduh, dan membuat kesepakatan terapeutik. Dengan demikian gejala dan emosi dapat dihubungkan dengan baik. 3
 
Tujuan pengobatan
1.         Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan pemikiran/meyakinkan bahwa gejala hanya ada dalam pikiran tidak untuk kehidupan nyata).
2.         Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes diagnosis, treatment, dan obat-obatan yang tidak perlu.
3.         Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid (memperparah kondisi).
Strategi dan teknik psikoterapi dan psikososial
                1.       Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama
                2.       Buat jadwal regular dengan interval waktu kedatangan yang memadai
                3.       Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan ke masalah sosial.
 
Strategi dan teknik farmakologikal dan fisik
                1.           Diberikan hanya bila indikasinya jelas
                2.           Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi
                3.           Anti anxietas dan antidepressant.
 
 
Gambar 2. Langkah-langkah Manajemen Gangguan Somatisasi3
 
 
BAB III
PEMBAHASAN
 
Berdasarkan anamnesis maka pasien ini didiagnosis dengan gangguan somatisasi. Hal ini didasarkan karena gejala yang disampaikan pasien, dan riwayat pengobatan medisnya. Pasien mengaku selama ini mengobati keluhannya ke RS umum dan didapatkan bahwa pasien hanya menderita gastritis, dan tidak didapatkan kelainan lain. Namun pasien mengaku yakin memiliki gejala penyakit lain yang membuatnya tidak nyaman. Gejala yang dialami pasien  ini cukup serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien dan menganggu kemampuan sosialnya.
Pada pasien ini memenuhi kriteria untuk gangguan somatisasi berdasarkan PPDGJ III yaitu :
a.       adanya banyak keluhan – keluhan fisik yang bermacam – macam yang tidak dapat di jelaskan atas dasar adanya kelainan fisik yang sudah berlangsung sedikitnya 2 tahun
b.      tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan – keluhannya.
c.       Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga yang berkaitan dengan sifat keluhan – keluhannya dan dampak dari perilakunya. 10
Pada gangguan somatisasi ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian (histrionik), terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk dokternya untuk menerima bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa perlu adanya pemeriksaan fisik yang lebih lanjut. pasien ini mengaku sering berganti-ganti dokter di rumah sakit umum, pasien sering meminta untuk dilakukan pemeriksaan lab darah, serta pemeriksan penunjang yang lainnya. Apabila hasilnya sudah keluar, justru pasien mengaku berasa lebih cemas dan tidak tenang, walaupun dokter sudah menjelaskan bahwa pada pasien tidak didpatkan kelainan berarti. 9
Penanganan pada pasien sebaiknya dilakukan oleh satu dokter, hal ini berguna untuk membantu pasien mengerti secara jelas mengenai pasiennya, sebab apabila dilakukan oleh beberapa dokter yang berbeda, maka pasien akan memilki kesempatan untuk menjelaskan kembali mengenai keluhan – keluhan somatisnya. Interval pertemuan dengan dokter juga harus dibatasi, jagan terlalu sering, sehingga pasien bisa merasa lebih tenang. Meskipun pemeriksaan fisik harus dilakukan utnuk keluhan somatik yang baru, dokter atau terapi harus selalu mempertimbangkan bahwa itu merupakan keluhan somatisnya dan bukan keluhan kondisi medik. 9 Sebagai seorang dokter apabila menemukan pasien dengan gangguan somatisasi maka harus mampu mencegah adopsi dari rasa sakit pasien, invalidasi (tidak membenarkan pemikiran/meyakinkan bahwa gejala hanya ada dalam pikiran tidak untuk kehidupan nyata), dan akhirnya meyakinkan bahwa gejala yang dialami pasien merupkan bagian dari kecemasannya saja, sehingga tidak terlalu harus cemas.
Psikotererapi baik yang dilakukan secara individu atau perkelompok dapat membantu pasien, baik menghilangkan kecemasannya, atau mengurangi biaya perawatan rumah sakit, ataupun rawat inap. Psikoterapi membantu pasien mengatasi gejala-gejalanya, mengepresikan emosi yang mendasari kecemasannya, dan mengembangkan strategi alternatif untuk mengungkapkan perasaanya. 9
Pada pasien ini sangat dianjurkan untuk terapi relaksasi, terapi kognitif perilaku, psikoterapi suportif . Terapi relaksasi untuk mengatasi masalah sehari-hari pasien bila cemas. Prinsipnya adalah melatih pernapasan untuk menenangkan individu. Terapi kognitif perilaku yaitu individunya diajak bersama-sama membentuk kembali pola perilaku dan mengganti pikiran yang tidak rasional menjadi rasional. Psikoterapi suportif bertujuan untuk memperkuat mekanisme defens (pertahanan) pasien terhadap kecemasannya. Psikoterapi reedukatif bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan pasien terhadap penyakitnya serta mengembangkan kemampuannya untuk menunjang penyembuhan dirinya. Selain itu juga meningkatkan pengetahuan keluarga untuk mendukung kesembuhan pasien. Peningkatan pengetahuan dilakukan dengan edukasi baik terhadap pasien maupun keluarga.
Terapi psikofarmakologi dianjurkan apabila terdapat gangguan lain ( komorditas), pengawasan ketat  terhadap pemberian obat harus dilakukan karena pasien dengan gangguan somatisasi cenderung menggunakan obat-obatan berganti dan tidak rasional. 9 pada pasien tanpa adanya gangguan jiwa lainnya, sedikit data penelitian yang ada menunjukkan bahwa terapi farmakologis tidak efektif. 6
 
 
DAFTAR PUSTAKA
 
1.      Sadock BJ and Sadock VA. 2010. Kaplan & Sadock’s Concise Textbook of Clinical Psychiatry. New York, Lippincott Williams & Wilkins Inc
2.      American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. 4th ed. rev. Washington D.C, American Psychiatric Association
3.      Mai F. 2004. Somatization Disorder : A Practical Review. Canadian Journal of Psychiatry Vol. 49 (10) : 652 – 662
4.      Huwitz T. 2004. Somatization and Conversion Disorder. Canadian Journal of Psychiatry Vol. 49 (3) : 172 – 178
5.      Oyama O, Paltoo C, Greengold J. 2007. American Family Physician Vol. 76 (9) : 1333 – 1338
6.      Kaplan, H.I., Saddock, B.J., dan Grebb J.A., 2010. Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Jilid 2. Jakarta: Binanupa Aksara
7.      Mansjoer, A., dkk (editor), 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1. Penerbit Media Aesculapicus : Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura
8.      Departemen Kesehatan R.I., 1995. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III Cetakan Pertama. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI
9.      Elvira, S. D., dkk (editor), 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
10.   Maslim, R. 2001/ Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta : PT. Nuh Jaya

denny christian lukas

Posts : 15
Reputation : 0
Join date : 20.02.16

Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik