Referat Efek samping Obat Antipsikotik
:: Tugas dan Presentasi :: Referat
Halaman 1 dari 1
Referat Efek samping Obat Antipsikotik
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Psikiatri adalah salah satu cabang ilmu kedokteran, yang mempelajari manusia secara utuh, tidak hanya masalah fisik, fisiologi atau patologi yang terjadi saja, tetapi juga melihat hubungan individu dengan lingkungannya. Terapi yang digunakan terhadap penderita gangguan jiwa berupa elektrik - holistik, yaitu komprehensif meliputi bidang organo-biologik, psiko-edukatif dan sosio-kultural, serta selalu mengikuti kaedah-kaedah ilmu kedokteran yang mutakhir. Dalam setiap kondisi tidak mudah untuk menentukan aspek mana yang harus lebih diprioritaskan. Istilah ‘biological priority’ dan ‘psychological supremacy’ sebenarnya bukan dimaksudkan untuk menempatkan satu diatas yang lain, tapi memperlakukannya sebagai proses berkesinambungan yang tidak terpisahkan.
Istilah antipsikotik dan neuroleptik secara bergantian, digunakan untuk menyebut kelompok obat yang digunakan untuk terapi skizofrenia, tetapi juga efektik untuk keadaan psikosis atau agitatif yang disebabkan karena hal lain. Obat-obat antipsikotik dahulu sering disebut dengan neuroleptik karena memiliki beberapa efek samping yang memberi gambaran seperti gangguan neurologis yang disebut pseudoneurologis, atau dikenal juga istilah major transquilizer karena adanya efek sedasi atau mengantuk yang berat.
Antipsikotik telah digunakan di kedokteran barat selama lebih 50 tahun. Reserpin dan klorpromazin merupakan obat – obat pertama yang ditemukan untuk mengobati skizofrenia. Sampai saat ini terus berkembang bahwa obat antipsikotik sering menimbulkan gejala saraf berupa gejala ekstrapiramidal. Dengan dikembangkannya golongan baru yang hampir tidak menimbulkan gejala ektrapiramidal istilah neuroleptik tidak lagi dapat dianggap sinonim dari istilah antipsikotik. Selanjutnya ditemukan generasi kedua antipsikotik yaitu haloperidol, yang penggunaannya cukup luas hingga selama 4 dekade. 1
Pada tahun 1990, ditemukan klozapin yang dikenal sebagai generasi pertama antipsikotik golongan atipikal. Disebut atipikal karena golongan obat ini sedikit menyebabkan reaksi ekstrapiramidal (EPS = extrapyramidal symptom) yang umum terjadi pada obat antipsikotik tipikal yang ditemukan lebih dahulu. Sejak ditemukan klozapin, pengembangan obat baru golongan atipikal ini terus dilakukan. Hal ini terlihat dengan ditemukannya obat baru yaitu risperidon, olanzapine, zotepin, ziprasidon dan lainnya. 1
Kebanyakan antipsikotik golongan tipikal mempunyai afinitas tinggi dalam menghambat reseptor dopamin 2, hal inilah yang diperkirakan menyebabkan reaksi ekstrapiramidal yang kuat. Obat golongan atipikal pada umumnya mempunyai afinitas yang lemah terhadap dopamine 2, selain itu juga memiliki afinitas terhadap reseptor dopamine 4, serotonin, histamine, reseptor muskarinik dan reseptor alfa adrenergic. Golongan antipsikotik atipikal diduga efektif untuk gejala positif ( seperti bicara kacau, halusinasi, delusi) maupun gejala negatif (miskin kata kata, afek yang datar, menarik diri dari lingkungan, inisiatif menurun) pasien skizofrenia. Golongan antipsikotik tipikal umumnya hanya berespon untuk gejala positif.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Antipsikotik
Obat antipsikotik adalah obat-obatan yang menghambat reseptor dopamine tipe 2 (D2). Indikasi utama untuk pemakaian obat adalah terapi skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya. 2
Obat yang digunakan untuk psikosis memiliki banyak sebutan yaitu anti psikotik, neuroleptik dan mayor transquilizer. Anti psikotik digunakan untuk mengatasi gejala akibat gangguan mental yang berat seperti skizofrenia, gangguan delusional, gangguan afektif berat, dan gangguan psikosis organik. Neuroleptika konvensional umumnya dapat mengurangi gejala positif, seperti : halusinasi, waham, tidak kooperatif, dan gangguan alam berpikir seperti loncat pikir/ flight of ideas maupun inkoherensi. Gejala positif skizofrenia tersebut bereaksi secara lebih responsif terhadap obat anti psikotik, sedang gejala negatifnya, seperti : pendataran afek, apatis, anhedonia dan blokade diri ternyata lebih sulit diatasi. Namun sekarang sudah ditemukan derivat baru untuk mengatasi gejala negatif tersebut. Obat-obatan jenis ini dikelompokkan dalam “Neuroleptika-aspesifik”.
2.2 Jenis - Jenis Antipsikotik
Berdasarkan rumus kimianya, obat-obat antipsikotik dibagi menjadi golongan fenotiazin misalnya chlorpromazine, dan golongan nonfenotiazine contohnya haloperidol. Sedangkan menurut cara kerjanya terhadap reseptor Dopamin dibagi menjadi Dopamine receptor Antagonist (DA) dan Serotonine Dopamine Antagonist (SDA). Obat-obat DA juga sering disebut dengan antipsikotik tipikal, dan obat-obat SDA disebut juga dengan antipsikotik atipikal. Golongan fenotiazine disebut juga obat berpotensi rendah (low potency), sedangkan golongan non fenotiazine disebut obat-obat potensi tinggi (high potency) karena hanya memerlukan dosis kecil untuk memperoleh efek yang setara dengan Chlorpromazine 100 mg. Obat-obat SDA makin berkembang dan makin menjadi pilihan karena efek klinis yang diperoleh setara dengan obat-obat konvensional disertai dengan efek samping yang jauh lebih ringan. Obat-obat jenis ini antara lain, Risperidon, Clozapine, Olanzapin, Quetiapin, Ziprazidon, dan aripripazol. Klasifikasi kemudian dibuat lebih sederhana dengan membaginya menjadi antipsikotik generasi I (APG-I) untuk obat-obat golongan antagonis Dopamin (DA) dan antipsikotik generasi II (APG-II) untuk obat-obat golongan serotonin dopamin antagonis (SDA).
Obat-obat anti psikotik ini terbagi atas dua golongan besar, yaitu :
I. Obat anti psikotik tipikal
1. Phenothiazine
• Rantai aliphatic : CHLORPROMAZINE
LEVOMEPROMAZINE
• Rantai piperazine : PERPHENAZINE
TRIFLUOPERAZINE
FLUPHENAZINE
• Rantai piperidine : THIORIDAZINE
2. Butyrophenone : HALOPERIDOL
3. diphenyl-butyl-piperidine : PIMOZIDE
II. obat anti psikotik atipikal
1. Benzamide : SULPIRIDE
2. Dibenzodiazepine CLOZAPINE
OLANZAPINE
QUETIAPINE
3. Benzisoxazole : RISPERIDON
Sediaan Obat Antipsikotik 2
No Nama obat Sediaan Dosis anjuran
1 Chlorpromazine Tab 25-100 mg
Amp 50mg/2cc 150-600mg/h
50-100 mg(im) setiap 4-6 jam
Anak anak >5 tahun ½ dosis orang dewasa, anak anak < 5 tahun 1 mg/kgBB . bila perlu diberikan 2x sehari.
2 Haloperidol Tab 0,5-1,5 mg- 5 mg
Amp 5mg/cc
Amp 50mg/cc 5-15 mg/h
5-10mg(im) setiap 4-6 jam
50 mg (im) setiap 2-4 minggu
3 Perphenazine Tab 2-4-8 mg 12-24 mg/h
4 Fluphenazine Tab 2,5-5 mg
Vial 25 mg/cc 10-15 mg/h
25 mg(im) setiap 2-4 minggu
5 Trifluoperazine Tab 1-5 mg 10-15 mg/h
6 Thioridazine Tab 50-100 mg 150-300 mg/h
7 Sulpiride Amp 100mg/2cc
Tab 200 mg 3-6 amp/h
300-600mg/h
8 Pimozide Tab 4 mg 2-4 mg/h
9 Risperidone Tab 1-2-3 mg
Vial 25 mg/cc
Vial 50 mg/cc 2-6 mg/h
25-50 mg(im) setiap 2 minggu
10 Clozapine Tab 25-100 mg 25-100mg/h
11 Quetiapine Tab 25-100 mg
200 mg 50-400 mg
12 Olanzapine Tab 5-10mg 10-20 mg/h
13 Zotepine Tab 25-50 mg 75-100 mg/h
14 Aripiprazole Tab 10-15 mg 10-15 mg/h
2.3 ANTIPSIKOTIK GENERASI PERTAMA (APG I)
Antipsikotik generasi pertama mempunyai cara kerja dengan memblok reseptor D2 khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh karena itu sering disebut juga dengan Antagonist Reseptor Dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional atau tipikal. Dapat menurunkan gejala positif hingga 60-70% dan hanya sedikit berpengaruh pada gejala negatif.1,5
Mekanisme kerja : Mekanisme kerja obat antipsikotik tipikal adalah memblokade dopamin pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak khusunya di sistem limbik dan sistem ekstrapirimidal (dopamin D2 receptor antagonists), sehingga efektif untuk gejala positif.
Dopamin merupakan neurotransmitter yang disekresikan oleh neuron-neuron yang berasal dari substansia nigra di batang otak. Neuron-neuron ini terutama berakhir pada region striata ganglia basalis. Pengaruh dopamin biasanya bersifat inhibisi. Pada skizofrenia diduga terjadi produksi dopamin yang berlebihan akibat sekresi dari sekelompok neuron proyeksi dopamine. Neuron - neuron ini menghasilkan system dopaminergik mesolimbik yang menjulurkan serabut-serabut saraf dan sekresi dopamine ke bagian medial dan anterior dari sistem limbik, khususnya ke dalam hipokampus, amigdala, nukleus kaudatus anterior dan sebagian lobus prefrontalis. Semua ini merupakan pusat-pusat pengatur tingkah laku yang sangat berpengaruh. Dengan menggunakan antipsikotik tipikal dianggap mampu mengurangi efek produksi dopamin yang berlebihan. Potensi antipsikotik untuk menurunkan gejala psikotik sangat berhubungan dengan afinitas obat tersebut dengan reseptor D2. Antipsikotik tipikal bekerja mengurangi produksi dopamine yang berlebihan dengan cara menghambat atau mencegah dopamine endogen untuk mengaktivasi reseptor.5,8
Antipsikotik tipikal mempunyai cara kerja dengan memblok reseptor D2 khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh karena itu sering disebut juga dengan antagonis reseptor dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional. Kerja dari antipsikotik ini menurunkan hiperaktivitas dopamine dijalur mesolimbik sehingga menyebabkan gejala positif menurun tetapi ternyata tidak hanya memblok reseptor D2 di mesolimbik tetapi juga di tempat lain seperti dijalur mesokortikal, nigrostriatal, dan tuberoinfundibular.1,5,8
Apabila antipsikotik tipikal memblok reseptor D2 dijalur mesokortikal, dapat memperberat gejala negatif dan gejala kognitif disebabkan penurunan dopamin di jalur tersebut. Jika hal ini terjadi, maka merupakan sebuah tantangan terapi, karena blokade reseptor dopamin di jalur ini secara teoritis akan menyebabkan memburuknya gejala negatif dan kognitif. Blokade reseptor D2 di tuberoinfundibular oleh antipsikotik tipikal menyebabkan peningkatan kadar prolaktin sehingga dapat terjadi disfungsi seksual dan peningkat berat badan. Fungsi normal jalur dopamin tuberoinfundibular menghambat pelepasan prolaktin. Pada wanita postpartum, aktivitas di jalur ini menurun, sehingga memungkinkan laktasi. 5,8
Antipsikotik selain menyebabkan terjadinya blokade reseptor D2 pada keempat jalur dopamine, juga menyebabkan terjadinya blokade reseptor kolinergik muskarinik sehingga timbul efek samping antikolinergik berupa mulut kering, pandangan kabur, konstipasi dan kognitif tumpul. Reseptor histamin (H1) juga terblok sehingga timbul efek samping mengantuk dan meningkatkan berat bdan. Selain itu antipsikotik juga memblok reseptor alfa1 adrenergik sehingga dapat menimbulkan efek samping pada kardiovaskuler berupa hipotensi ortostatic, mengantuk, pusing, dan tekanan darah menurun.2,8
2.4 Efek Samping
A. Efek Samping Non Neurologis
1. Efek pada jantung
Antipsikotik potensi rendah lebih bersifat kardiotoksik dibandingkan dengan antipsikotik potensi tinggi. Chlorpromazine menyebabkan perpanjangan interval QT dan PR, penumpulan gelombang T, dan depresi segmen ST. Thioridazine, khususnya memiliki efek yang nyata pada gelombang T dan disertai dengan aritmia malignan, seperti torsade de pointes yang sangat mematikan. Selain itu kematian mendadak juga disebabkan karena timbulnya takikardia ventrikuler atau fibrilasi ventrikuler. Untuk mengantisipasi hal tersebut sebaiknya pada pasien yang berusia lebih dari 50 tahun dilakukan pemeriksaan EKG serta pemberian serum potassium dan magnesium.1
2. Hipotensi Ortostatik (Postural)
Hipotensi ortostatik (postural) terjadi akibat penghambatan adrenergic yang paling sering disebabkan oleh antipsikotik potensi rendah, khususnya chlorpromazine dan thioridazine. Keadaan ini terjadi selama beberapa hari pertama terapi dan memiliki toleransi yang cepat yaitu sekitar 2-3 bulan. Bahaya utama dari hipotensi ortostatik adalah adanya kemungkinan pasien terjatuh, pingsan, dan mencederai dirinya.
Jika menggunakan antipsikotik potensi rendah intramuscular (IM), tekanan darah pasien harus diperiksa sebelum dan setelah pemberian dosis pertama dalam beberapa hari pertama terapi. Pemberian epinefrin dikontraindikasikan karena dapat memperburuk hipotensi. Metaraminol dan norepinefrin sebagai agen pressor adrenergic α-1 murni adalah obat terpilih. Untuk antipsikosis dosis dapat diturunkan atau diganti dengan obat yang tidak menghambat adrenergic.1,5,8
3. Efek Hematologis
Gangguan hematologis yang membahayakan yang dapat terjadi akibat pemakaian antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine dan pada hampir semua antipsikotik adalah agranulositosis. Agranulositosis adalah suatu kumpulan gejala yang ditandai dengan penurunan bermakna jumlah granulosit yang beredar, neutropeni berat yang menimbulkan lesi-lesi di tenggorokan, selaput lendir lain, saluran cerna dan kulit. Pada kebanyakan kasus, gejala ini disebabkan oleh sensitasi terhadap obat-obatan, zat kimia, radiasi yang mempengaruhi sumsum tulang dan menekan granulopoiesis.
Agranulositosis paling sering terjadi selama tiga bulan pertama terapi dengan insidensi sekitar 5 dari 10.000 pasien yang diobati dengan antipsikotik. Jika pasien melaporkan adanya suatu nyeri tenggorokan atau demam, hitung darah lengkap harus segera dilakukan untuk memeriksa kemungkinan terjadinya agranulositosis. Jika indeks darah rendah, antipsikotik harus segera dihentikan. Angka mortalitas dari komplikasi setinggi 30%. 1
4. Efek Antikolinergik Perifer
Obat antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine, dan trifluoperazine adalah antikolinergik yang poten. Mulut kering merupakan efek yang mengganggu beberapa pasien dan dapat mempengaruhi kepatuhan terapi. Pasien dapat dianjurkan sering membilas mulutnya dengan air dan tidak mengunyah permen karet atau permen yang mengandung gula, karena hal tersebut dapat menyebabkan infeksi jamur pada mulut dan peningkatan insidensi karies gigi. Konstipasi harus diobati dengan perbanyak olahraga, cairan, diet tinggi serat, serta preparat laksatif biasa, tetapi kondisi ini masih dapat berkembang menjadi ileus paralitik. Pada kasus tersebut diperlukan penurunan dosis atau penggantian dengan obat yang kurang antikolinergik. Pilocarpine mungkin berguna pada beberapa pasien dengan retensi urin. 1,5,8
5. Efek Endokrin
Penghambatan reseptor dopamine pada saluran tuberinfundibular menyebabkan peningkatan sekresi prolaktin, yang dapat menyebabkan pembesaran payudara, galaktorea, impotensi pada laki-laki, dan amenore serta penghambatan orgasme pada wanita. Untuk mengatasi efek samping tersebut dapat dilakukan penggantian obat antipsikotik yang diberikan. Pada keadaan impotensi sebagai efek obat dapat diberikan bromokriptin. Untuk gangguan pada orgasme maupun penurunan libido dapat diberikan brompheniramine (bromfed), ephedrine (Primatene), phenylpropanolamin (Comtrex), midrione, dan imipramin (tofranil). Priapisme dan laporan orgasme yang nyeri juga dilaporkan, kemungkinan kedua hal tersebut terjadi akibat aktivitas antagonis adrenergic α1. Peningkatan berat badan juga merupakan efek endokrin yang paling sering terjadi akibat penggunaan antipsikotik tipikal. Peningkatan berat badan nantinya akan menjadi resiko terjadinya DM tipe 2, hipertensi dan dislipidemia. Peningkatan berat badan juga didapatkan karena adanya blok pada reseptor 5 HT2c1,5,8.
6. Efek Dermatologis
Dermatitis alergik dan fotosensitivitas dapat terjadi pada sejumlah kecil pasien, paling sering terjadi pada mereka yang menggunakan antipsikotik tipikal potensi rendah, khusunya chlorpromazine. Berbagai erupsi kulit seperti urtikaria, makulopapular, peteki, dan erupsi edematous telah dilaporkan. Erupsi terjadi pada awal terapi, biasanya dalam minggu pertama dan menghilang dengan spontan. Pasien harus diperingatkan tentang efek tersebut, yaitu agar tidak berada dibawah sinar matahari lebih dari 30-60 menit, dan harus menggunakan tabir surya. Penggunaan chlorpromazine juga disertai beberapa kasus diskolorasi biru-kelabu pada kulit pada daerah yang terpapar dengan sinar matahari. 1
7. Efek pada Mata
Thioridazine disertai dengan pegmentasi ireversibel pada retina bila diberikan dalam dosis lebih besar dari 800 mg sehari. Gejala awal dari efek tersebut kadang-kadang berupa kebingungan nocturnal yang berhubungan dengan kesulitan penglihatan malam. Pigmentasi dapat berkembang menjadi kebutaan walaupun thioridazine dihentikan karena tidak bersifat reversible.
Chlorpromazine berhubungan dengan pigmentasi mata yang relatif ringan, ditandai oleh deposit granular coklat keputihan yang terpusat di lensa anterior dan kornea posterior yang dapat timbul bila pasien mengingesti 1-3 kg chlorpromazine selama hidupnya. Deposit dapat berkembang menjadi granula putih opak dan coklat kekuningan. Keadaan ini hampir tidak mempengaruhi penglihatan pasien. 5,8
8. Ikterus
Ikterus obstruktif atau kolestatik adalah suatu efek samping yang relative jarang terjadi dalam penggunaan antipsikotik tipikal. Biasanya ikterus muncul pada bulan pertama terapi dan ditandai oleh nyeri abdomen bagian atas, mual, muntah, gejala mirip flu, demam, ruam, bilirubin pada urin dan peningkatan bilirubin serum, alkali fosfatase dan transaminase hati. Jika ikterus terjadi, maka terapi harus diberhentikan dan diganti. Ikterus dilaporkan terjadi pada penggunaan promazine, thioridazine, dan sangat jarang terjadi pada fluphenazine dan trifluoperazine. 3
9. Overdosis Antipsikotik
Gejala overdosis antipsikotik berupa gejala ekstrapiramidal, midriasis, penurunan reflex tendon dalam, takikardia, dan hipotensi. Gejala overdosis yang parah adalah delirium, koma, depresi pernapasan, dan kejang. Terapi overdosis antipsikotik harus termasuk pemakaian arang aktif (activated charcoal), jika memungkinkan lavage lambung dapat dipertimbangkan. Terapi kejang dengan diazepam serta hipotensi dengan norepinefrin juga merupakan terapi overdosis antipsikotik atipikal.1
B. Efek Samping Neurologis
Obat antipsikotik tipikal memiliki efek samping neurologis yang mengganggu dan beberapa efek neurologis yang kemungkinan bersifat serius. Efek neurologis tersebut dikenal sebagai efek sindrom ekstrapiramidal. Pentingnya mengetahui efek samping neurologis akibat terapi dibuktikan pada DSM-IV yang memasukkan efek samping tersebut sebagai kelompok tersendiri gangguan pergerakan akibat medikasi. 1,2
1. Parkinsonisme Akibat Neuroleptik
Efek samping berupa parkinsonisme terjadi pada kira-kira 25 % pasien yang diobati dengan antipsikotik tipikal. Biasanya terjadi dalam 5-30 hari setelah awal terapi. Gejala-gejala yang timbul berupa kekakuan otot atau rigiditas pipa besi (lead-pipe rigidity), rigiditas gigi gergaji (cog-wheel rigidity), gaya berjalan menyeret, postur membungkuk dan air liur menetes. Tremor menggulung pil (pill-rolling) pada parkinsonisme idopatik jarang terjadi, tetapi tremor yang teratur dan kasar yang serupa dengan tremor esensial mungkin ditemukan dan dinamakan sebagai tremor ppostural akibat medikasi dalam DSM-IV. Suatu tanda fisik parkinsonisme adalah reflek ketukan glabela yang positif yang ditimbulkan dengan mengetuk dahi antara alis mata. Dikatakan reflek positif bila orbikularis okuli tidak dapat membiasakan diri dengan ketukan yang berulang. Wajah yang mirip topeng, bradikinesia, akinesia (tidak ada inisitatif), dan ataraksia (kebingungan terhadap lingkungan) merupakan gejala parkinsonisme yang sering didiagnosis keliru sebagai gambaran gejala negative atau deficit pada skizofrenia. 1,3,8
Perbandingan wanita dengan laki-laki yang terkena parkinsonisme akibat neuroleptik adalah 2:1 dan dapat terjadi pada setiap usia walaupun jarang terjadi pada usia lebih dari 40 tahun. Semua antipsikotik tipikal dapat menyebabkan gejala parkinsonisme, khususnya obat potensi tinggi dengan aktivitas antikolinergik yang rendah. Penghambatan transmisi dopaminergik dalam traktus nigrostriatal adalah penyebab dari parkinsonisme akibat neuroleptik. 1
Gangguan berupa parkinsonisme ini dapat diobati dengan pemberian obat antikolinergik, amantadine atau diphenhydramine. Antikolinergik harus dihentikan setelah 4-6 minggu untuk menilai apakah pasien telah mengembangkan suatu toleransi terhadap efek parkinsonisme sebab kira-kira 50% pasien dengan parkinsonisme akibat neuroleptik dapat meneruskan terapi. Pemberian anti Parkinson seperti levodopa lebih baik jangan diberikan karena akan memperbuuk gejala psikotiknya.1,3,8
2. Distonia Akut Akibat Neuroleptik
Kira-kira terdapat 10% dari semua pasien yang diberikan terapi antipsikotik tipikal mengalami distonia sebagai efek samping. Biasanya terjadi dalam beberapa jam atau 90% pada tiga hari pertama terapi. Gerakan distonia disebabkan oleh kontraksi atau spasme otot yang perlahan dan terus-menerus yang dapat menyebabkan gerakan involunter. Distonia dapat mengenai leher (tortikolis atau retrokolis spasmodik), rahang (pembukaan paksa yang menyebabkan dislokasi rahang atau trismus), lidah (prostrusi, memuntir), dan keseluruhan tubuh (opistotonus). 1,2
Distonia dapat terjadi pada semua umur dan pada kedua jenis kelamin tetapi paling sering terjadi pada laki-laki muda (<40 tahun), dapat terjadi pada semua antipsikotik dan paling sering disebabkan oleh antipsikotik potensi tinggi. Mekanisme kerja diperkirakan merupakan suatu hiperaktivitas dopaminergik di ganglia basalis yang terjadi jika kadar antipsikotik dalam SSP mulai menurun diantara pemberian dosis. 1,3,8
Profilaksis dengan antikolinergik atau obat yang berhubungan biasanya mencegah berkembangnya distonia, walaupun risiko terapi profilaksis melebihi manfaatnya. Terapi dengan antikolinergik IM atau diphenhydramine IV atau IM (50 mg) hampir selalu menghilangkan gejala. Diazepam (10 mg IV), amobarbital (Amytal), caffeine sodium benzoate dan hipnosis dilaporkan juga efektif. 1,3
3. Sindrom Neuroleptik Maligna
Sindrom neuroleptik maligna adalah komplikasi yang membahayakan yang dapat terjadi setiap waktu selama pemberian terapi antipsikotik. Hal ini dapat terjadi karena reaksi idiosinkrasi terhadap obat psikotik khususnya pada long acting.1
Gejala motorik dan perilaku adalah rigiditas otot dan distonia, akinesia, mutisme, obtundasi, dan agitasi. Gejala otonomik adalah hiperpireksia, berkeringat dan peningkatan kecepatan denyut nadi dan tekanan darah. Temuan laboratorium adalah peningkatan hitung sel darah putih, kreatinin fosfokinase, enzim hati, mioglobin plasma, dan mioglobinuria, kadang-kadang disertai dengan gagal ginjal. 1,3
Untuk pengobatan segera hentikan anti psikotik dan berikan perawatan suportif dan berikan obat dopamine agonist (bromokriptin 7,5-60 mg/h 3x sehari, l-dopa2x 100 mg/h atau amantadine 200 mg/h). Menurut kepustakaan lain, pengobatan dengan datrolene juga efektif dengan dosis 0,8-2,5 mg/kgbb, setiap 6 jam iv, apabila gejala berkurang diberikan oral dengan dosis 100-200 mg/hari dapat ditambahkan bromocriptin dengan dosis 20-30 mg/hari dalam 4x pemberian, terapi berlangsung selama 5-20 hari, bila pada penanganan SNM membaik maka pengobatan anti psikotik dapat dilanjutkan kembali.1,3
4. Efek Epileptogenik
Pemberian antipsikotik ternyata menyebabkan perlambatan dan peningkatan sinkronisasi EEG. Efek tersebut merupakan mekanisme dimana antipsikotik menurunkan ambang kejang. Chlorpromazine dan antipsikotik potensi rendah lain diperkirakan lebih epileptogenik dibandingkan obat potensi tinggi. 1,3,5
5. Sedasi
Sedasi terutama merupakan akibat dari penghambatan reseptor dopamine tipe-1. Chlorpromazine adalah antipsikotik yang paling menimbulkan sedasi. Memberikan dosis antipsikotik harian sebelum tidur biasanya menghilangkan masalah dari sedasi, dan toleransi untuk efek merugikan tersebut dapat terjadi. 1,2
6. Efek Antikolinergik Sentral
Gejala aktivasi antikolinergik sentral adalah agitasi parah; disorientasi terhadap waktu, orang dan tempat; halusinasi; kejang; demam tinggi; dilatasi pupil. Stupor dan koma dapat timbul. Terapi toksisitas antikolinergik adalah pertama menghentikan obat penyebab dan pemberian anticholinergic agents seperti injeksi sulfas atropine 0,25 mg(im), tablet trihexyphenidyl 3x2mg/hari. Hal ini juga dapat terjadi bila pengehntian mendadak dari antipsikotik. 1,3
2.4 ANTIPSIKOTIK GENERASI KEDUA (APG II)
APG II sering disebut juga sebagai Serotonin Dopamin Antagosis (SDA) atau antipsikotik atipikal. APG II mempunyai mekanisme kerja melalui interaksi antara serotonin dan dopamin pada ke 4 jalur dopamin di otak. Hal ini yang menyebabkan efek samping EPS lebih rendah dan sanagat efektif untuk mengatasi gejala negatif. Perbedaan antara APG I dan APG II adalah APG I hanya dapat memblok reseptor D2 sedangkan APG II memblok secara bersamaan reseptor serotonin (5HT2A) dan reseptor dopamin (D2). APG yang dikenal saat ini adalah clozapine, risperidone, olanzapine, quetiapine, zotepine, ziprasidone, aripiprazole. Saat ini antipsikotik ziprasidone belum tersedia di Indonesia. 1,3,6
Kerja obat antipsikotik generasi kedua pada dopamin pathways:
1. Mesokortikal Pathways
Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyebabkan berkurangnya blokade terhadap antagonis D2 tetapi juga menyebabkan terjadinya aktivitas dopamin pathways sehingga terjadi keseimbangan antara keseimbangan antara serotonin dan dopamin. APG II lebih berpengaruh banyak dalam memblok reseptor 5HT2A dengan demikian meningkatkan pelepasan dopamin dan dopamin yang dilepas menang dari pada yang dihambat di jalur mesokortikal. Hal ini menyebabkan berkurangnya gejala negatif maka tidak terjadi lagi penurunan dopamin di jalur mesokortikal dan gejala negatif yang ada dapat diperbaiki.
APG II dapat memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan APG I karena di jalur mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih banyak dari reseptor D2, dan APG II lebih banyak berkaitan dan memblok reseptor 5HT2A dan sedikti memblok reseptor D2 akibatnya dopamin yang di lepas jumlahnya lebih banyak, karena itu defisit dopamin di jalur mesokrtikal berkurang sehingga menyebabkan perbaikan gejala negatif skizofrenia.1,6,8
2. Mesolimbik Pathways
APG II di jalur mesolimbik, antagonis 5HT2A gagal untuk mengalahkan antagonis D2 di jalur tersebut. jadi antagonsis 5HT2A tidak dapat mempengaruhi blokade reseptor D2 di mesolimbik, sehingga blokade reseptor D2 menang. Hal ini yang menyababkan APG II dapat memperbaiki gejala positif skizofrenia. Pada keadaan normal serotonin akan menghambat pelepasan dari dopamin.1,6
3. Tuberoinfundibular Pathways
APG II di jalur tuberoinfundibular, antagonis reseptor 5HT2A dapat mengalahkan antagonis reseptor D2. Hubungan antara neurotransmiter serotonin dan dopamin sifatnya antagonis dan resiprokal dalam kontrol sekresi prolaktin dari hipofise. Dopamin akan menghambat pengelepasan prolaktin, sedangkan serotonin menigkatkan pelepasan prolaktin. Pemberian APG II dalam dosis terapi akan menghambat reseptor 5HT2A sehingga menyebabkan pelepasan dopamin menigkat. Ini mengakibatkan pelepasan prolaktin menurun sehingga tidak terjadi hiperprolaktinemia.1,6
4. Nigrostriatal Pathways
Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra menuju ganglia basalis. Fungsi jalur nigrostriatal adalah untuk mengontrol pergerakan. Bila jalur ini diblok, akan terjadi kelainan pergerakan seperti pada Parkinson yang disebut extrapyramidal reaction (EPR). Gejala yang terjadi antara lain akhatisia, dystonia (terutama pada wajah dan leher), rigiditas, dan akinesia atau bradikinesia.
APG II dalam klinis praktis, memiliki empat keuntungan, yaitu:
1. APG II menyebabkan EPS jauh lebih kecil dibandingkan APG I, umunya pada dosis terapi sangat jarang terjadi EPS.
2. APG II dapat mengurangi gejala negatif dari skzofrenia dan tidak memperburuk gejala negatif seperti yang terjadi pada pemberian APG II.
3. APG II menurunkan gejalan afektif dari skizofrenia dan sering digunakan untuk pengobatan depresi dan gangguan bipolar yang resisten.
4. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan penyakit Alzheimer.1,6
Antipsikotik generasi kedua yang digunakan sebagai:
First line: Risperidone, Olanzapine, Quetiapine, Ziprasidone, Aripiprazole
Second line: Clozapine.
Keuntungan yang didapatkan dari pemakaian APG II selain efek samping yang minimal juga dapat memperbaiki gejala negatif, kognitif dan mood sehingga mengurangi ketidaknyamanan dan ketidakpatuhan pasien akibat pemakian obat antipsikotik. Pemakaian APG II dapat meningkatkan angka remisi dan menigkatkan kualitas hidup penderita skizofrenia karena dapat mengembalikan fungsinya dalam masyarakat.3
2.4.1 RISPERIDONE
Risperidone merupakan obat APG II yang kedua diterima oleh FDA (Food and Drug Administration) sebagai antipsikotik setelah clozapine. Absorpsi risperidone di usus tidak di pengaruhi oleh makanan dan efek terapeutik nya terjadi dalam dosis rendah, pada dosis tinggi dapat terjadi EPS. Pemakaian risperidone yang teratur dapat mencegah terjadinya kekambuhan dan menurunkan jumlah dan lama perawatan sehingga baik digunakan dalam dosis pemeliharaan.1
Risperidone dapat memperbaiki skizofrenia yang gagal di terapi dengan APG I tetapi hasil pengobatannya tidak sebaik clozapine. Obat ini juga dapat memperbaiki fungsi kognitif tidak hanya pada skizofrenia tetapi juga pada penderita demensia misalnya demensia Alzheimer.
Metabolisme risperidone sebagian besar terjadi di hati oleh enzim CYP 2D6 menjadi 9-hydroxyrisperidone dan sebagian kecil oleh enzim CYP 3A4. Hydroxyrisperiodne mempunyai potensi afinitas terhadap reseptor dopamin yang setara dengan risperidone. Eksresi terutama melalui urin. Metabolisme risperidone dihambat oleh antidepresan fluoxetine dan paroxetine, karena antidepresan ini menghambat kerja dari enzim CYP 2D6 dan CYP 3A4 sehingga pada pemberian bersama antidepresan ini, maka dosis risperidone harus dikurangi untuk meminimalkan timbulnya efek samping dan toksik. Metabolisme obat ini dipercepat bila diberikan bersamaan carbamazepin, karena menginduksi CYP 3A4 sehingga perlu peningkatan dosis risperidone pada pemberiaan bersama carbamazepin disebabkan konsentrasi risperidone di dalam plasma rendah. 1,3,7
Indikasi :
- Skizofrenia akut dan kronik dengan gejala positif dan negatif.
- Gejala afektif pada skizofrenia (skizoafektif).1,8
Dosis :
- Hari 1 : 1 mg, hari 2 : 2mg, hari 3 : 3 mg.
- Dosis optimal 2- 6 mg / hari dengan 2 x pemberian.
- Dosis anjuran 25-50mg (im) setiap 2 minggu.
- Sediannya tab 1-2-3 mg. vial 25 mg, 50 mg/cc
- Umunya perbaikan mulai terlihat dalam 8 minggu dari pengobatan awal, jika belum terlihat respon perlu penilaian ulang.
- Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral.1,3
Efek samping: 1,3
- EPS
- Peningkatan prolaktin (ditandai dengan gangguan menstruasi, galaktorea, disfungsi seksual)
- Sindroma neuroleptik malignan
- Peningkatan berat badan
- Sedasi
- Pusing
- Konstipasi
- Takikardi
2.4.2 CLOZAPINE
Merupakan APG II yang pertama dikenal, kurang menyebabkan timbulnya EPS, tidak menyebabkan terjadinya tardice dyskinesia dan tidak terjadi peningkatan dari prolaktin. Clozapine merupakan gold standard pada pasien yang telah resisten dengan obat antipsikotik lainnya. Profil farmakoligiknya atipikal bila dibandingkan dengan antipsikotik lain. Dibandingkan terhadap psikotropik yang lain, clozapine menunjukkan efek dopaminergik rendah, tetapi dapat mempengaruhi fungsi saraf dopamin pada sistem mesolimbik-mesokortikal otak, yang berhubungan dengan fungsi emosional dan mental yang lebih tinggi, yang berbeda dari dopamin neuron di daerah nigrostriatal (darah gerak) dan tuberoinfundibular (daerah neruendokrin). 1
Clozapine efektif untuk menggontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik yang positif (iritabilitias) maupun yang negatif (social disinterest dan incompetence, personal neatness). Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu 2 minggu, diikuti perbaikan secara bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Obat ini berguna untuk pasien yang refrakter dan terganggu berat selam pengobatan.1,3
Secara farmakokinetik, clozapine di absorpsi secara cepat dan sempurna pada pemberian per oral. Kadar puncak plasma tercapai pada kira-kira 2 jam setelah pemberian obat, dengan waktu paruh rata-rata 12 jam (antara 10-16 jam) sehingga pemberiannya dianjurkan 2 kali dalam sehari. Distribusi dari clozapine dibandingkan obat antipsikotik lainnya lebih rendah. Umunya afinitas dari clozapine rendah pada reseptor D2 dan tinggi pada reseptor 5HT2A sehingga cenderung rendah untuk menyebabkan terjadinya efek samping EPS. 1,3,8
Dosis :1,3
- Hari 1 : 1 – 2 x 12,5 mg.
- Berikutnya ditingkatkan 25 – 50 mg / hari sp 300 – 450 mg / hari dengan pemberian terbagi.
- Dosis maksimal 150-600 mg / hari.
- Sediaan tablet 25 mg dan 100 mg
Efek samping : 1,3
- Granulositopeni, agranulositosis, trombositopeni, eosinofilia, leukositosis, leukemia.
- Ngantuk, lesu, lemah, tidur, sakit kepala, bingung, gelisah, agitasi, delirium.
- Mulut kering atau hipersalivasi, penglihatan kabur, takikardi, postural hipotensi, hipertensi.
Kontra indikasi :
- Ada riwayat toksik/hipersensitif.
- Gangguan fungsi Sumsum tulang.
- Psikosis alkoholik dan psikosis toksik lainnya.
- Koma.
- Depresi SSP.
- Ganguan jantung dan ginjal berat.
- Gangguan liver.
2.4.3 OLANZAPINE
Merupakan derivat dari clozapine dan dikelompokkan dalam golongan Thienobenzodiazepine. Absorpsi tidak dipengaruhi oleh makanan. Plasma puncak olanzapine dicapai dalam waktu 5 jam setalah pemberian oral, sedangkan pada pemberian intramuskular dapat dicapai setelah 15-45 menit dengn waktu paruh 31 jam (antara 21-54 jam) sehingga pemberian cukup 1 kali sehari. 1,3
Olanzapine merupaka antagonis monoaminergik selektif yang mempunyai afinitas yang kuat terhadap reseptor dopamin (D1-D4), serotonin (5HT2A/2c), Histamin (H1) dan α1 adrenergik. Afinitas sedang dengan reseptor kolinergik muskarinik (M1-5) dan serotonin (5HT3). Berikatan lemah dengan reseptor GABAA, benzodiazepin dan β-adrenergik. Metabolisme olanzapine di sitokrom P450 CYP 1A2 dan 2D6. Metabolisme akan meningkat pada penderita yang merokok dan menurun bila diberikan bersama dengan antidepresan fluvoxamine atau antibiotik ciprofloxacin. 1
Bila dibandingkan dengan clozapine, olanzapine memblok D2 lebih besar sehingga dosis tinggi dapat menyebabkan peningkatan kadar prolactin dan efek pada EPS Olanzapine
Indikasi :1,3
- Sizofrenia atau psikosis lain dengan gejala positive dan negatif.
- Episode manik moderat dan severe.
- Pencegahan kekambuhan gangguan bipolar.
Dosis :1,3
- Dosis anjuran 10-20mg/ hari.
- Sedian tablet 5-10mg
- Untuk skizofrenia mulai dengan dosis 10 mg 1 x sehari.
- Untuk episode manik mulai dengan dosis 15 mg 1 x sehari.
- Untuk pecegahan kekambuhan gangguan bipolar 10 mg / hari.
Efek samping:
- Penigkatan berat badan
- Somnolen
- Hipotensi ortostatik berkaitan dengan blokade reseptor α1
- EPS dan kejang rendah
- Insiden tardive dyskinesia rendah
2.4.4 QUETIAPINE
Quetiapine merupakan antagonis reseptor serotonin (5HT1A dan 5HT2A), reseptor dopamin (D1 dan D2), reseptor histamin (H1), reseptor adrenergik α1 dan α2. Afinitasnya lemah pada reseptor muskarinik (M1) dan reseptor benzodiazepin. Cleareance quetiapine menurun 40% pada penderita usia lanjut, sehinga perlu penyesuaian dosis yang lebih rendah dan menurun 30%-50% pada penderita yang mengalami gangguan fungsi hati. Cleareance quetiapine meningkat apabila pemberiannya dilakukan bersamaan dengan antiepileptik fenitoin, barbiturat, carbamazepin dan antijamur ketokonazole.1,2,3
Quetiapine dapat memperbaiki gejala positif, negatif, kognitif dan mood. Dapat juga memperbaiki pasien yang resisten dengan antipsikotik generasi pertama tetapi hasilnya tidak sebaik apabila di terapi dengan clozapine. Pemberian pada pasien pertama kali mendapat quetiapine perlu dilakukan titrasi dosis untuk mencegah terjadinya sinkope dan hipotensi postural.Waktu untuk konsentrasi penuh setelah pemberian oral adalah 2 jam dengan waktu paruh berkisar 3-5 jam, setelah 8-12 jam reseptor masih diduduki. 1
Dosis anjuran 50-400mg/hari dan sediaannya 25-100mg dan 200mg dan 300mg tablet XR (50mg, 300mg dan 400mg). Efek samping obat ini yang sering adalah somnolen, hipotensi postural, pusing, peningkatan berat badan, takikardi, dan hipertensi. 1,3
2.4.5 ARIPIPRAZOLE
Merupakan antipsikotik generasi baru, yang bersifat partial agonis pada reseptor D2 dan reseptor serptonin 5HT1A serta antagonis pada reseptor serotonin 5HT2A. Aripiprazole bekerja sebagai dopamin sistem stabilizer artinya menghasilkan signal transmisi dopamin yang sama pada keadaan hiper atau hipo-dopaminergik karena pada keadaan hiperdopaminergik aripiprazole afinitasnya lebih kuat dari dopamin akan mengeser secara kompetitif neurotransmiter dopamin dan berikatan dengan reseptor dopamin. Pada keadaan hipodopaminergik maka aripiprazole dapat menggantikan peran neurotransmiter dopamin dan akan berikatan dengan reseptro dopamin. 3,7,8
Aripiprazole di metabolisme di hati melaui isoenzim P450 pada CYP 2D6 dan CYP 3A4, menjadi dehydro-aripiprazole. Afinitas dari hasil metabolisme ini mirip dengan aripiprazole pada reseptor D2 dan berada di plasma sebesar 40% dari keseluruhan aripiprazole. Waktu paruh berkisar antara 75-94 jam sehingga pemberian cukup 1 kali sehari. Absorpsi aripiprazole mencapai konsentrasi plasma ouncak dalam waktu 3-5 jam setelah pemberian oral. Aripiprazole sebaiknya diberikan sesudah makan, terutama pada pasien yang mempunyai keluhan dispepsia, mual dan muntah.3,7
Indikasi : Skizofrenia.
Dosis : dosis anjuran 10—15mg/hari dan sedian tablet (5mg, 10mg dan 15mg). Pemberuannya dapat 10 atau 15 mg 1 x sehari.
Efek samping :
- Sakit kepala.
- Mual, muntah.
- Konstipasi.
- Ansietas, insomnia, somnolens.
- Akhatisia.
2.5 Cara Pemilihan Obat
Pada dasarnya semua obat anti-psikosis mempunyai efek primer (efek klinis) yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek sekunder (efek samping ; sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). 3
Anti-psikosis Mg. Eq Dosis (Mg/h) Sedasi Otonomik Eks.Pir.
Chlopromazine 100 150 - 1600 +++ +++ ++
Thioridazine 100 100 - 900 +++ +++ +
Perphenazine 8 8 - 48 + + +++
Trifluoperazine 5 5 - 60 + + +++
Fluphenazine 5 5 - 60 ++ + +++
Haloperidol 2 2 - 100 + + ++++
Pimozide 2 2 - 6 + + ++
Clozapine 25 25 - 200 ++++ + -
Zotepine 50 75 - 100 + + +
Sulpiride 200 200 - 1600 + + +
Risperidone 2 2 - 9 + + +
Quetiapine 100 50 - 400 + + +
Olanzapine 10 10 - 20 + + +
Aripiprazole 10 10 - 20 + + +
• Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalen.3
• Apabila obat anti-psikosis tidak memberikan respons klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan obat anti-psikosis lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekivalen-nya, dimana profil efek samping belum tentu sama.
• Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti-psikosis sebelumnya, jenis obat anti-psikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek samping-nya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
• Apabila gejala negatif (afek tumpul, penarikan diri, hipobulia, isi pikiran miskin) lebih menonjol dari gejala positif (waham, halusinasi, bicara kacau, perilaku tak terkendali) pada pasien Skizofrenia, pilihan obat antipsikosis – atipikal perlu dipertimbangkan. Khususnya pada penderita Skizofrenia yang tidak dapat mentolerir efek samping ekstrapiramidal atau mempunyai risiko medik dengan adanya gejala ekstrapiramidal (neuroleptic induced medical complication).3
BAB III
KESIMPULAN
Antipsikotik adalah sekelompok bermacam-macam obat yang menghambat reseptor dopamine tipe 2 (D2). Anpsikotik berguna untuk mengurangi gejala positif dan negatif dari gejala psikotik dan agitatif, terutama pada pasien dengan skizofrenia.
Efek samping yang sering ditimbulkan pada pemakaian antipsikotik tipikal seperti : gangguan pergerakan seperti distonia, tremor, bradikinesia, akatisia, koreoatetosis, anhedonia, sedasi, peningkatan berat badan yang sedang, disregulasi tempertur, hiperprolaktinemia, dengan galaktorea dan amenorea pada wanita dan ginekomastia pada pria, serta disfungsi seksual pada pria dan wanita, hipotensi postural (ortostatik), interval QT memanjang, risiko terjadi fatal aritmia.
Efek samping yang ditimbulkan oleh pemakaian antipsikotik atipikal seperti: gangguan pergerakan yang sedang, sedasi, hiperkolesterolemia, peningkatan berat badan sedang sampai berat, hipotensi postural, hiperprolaktinemia, kejang.
Penggunaan secara klinis obat – obatan antipsikotik haruslah mempertimbangkan risk and benefit dari obat tersebut, sehingga terapi yang diberikan mampu meningkatkan kualitas hidup pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Amir N.Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universias Indonesia. Edisi kedua. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. 2013.Bab 12. Skizofrenia; p. 173-95.
2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s synopsis of psychiatry : Behavioral sciences/clinical psychiatry.10 th edition. Philadelphia : Lippincott Williams and WOLTERS Kluwer business.2007.Bab 13.Schizophrenia.;p.467-97.
3. Muslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.Edisi ketiga. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.Bab 3. Penggolongan obat psikotropik; p.10-11.
4. Muslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.Edisi ketiga. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.Bab 3. Obat antipsikosis; p.14-22.
5. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin Dunitz Ltd.1999.Bab 4.Conventional Antipsychotic: the classical neuroleptics;p.35-47.
6. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin Dunitz Ltd.1999.Bab 5.Atypical Antipsychotic and Seotonine-Dopamine Antagonism;p.50-62.
7. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin Dunitz Ltd.1999.Bab 6. Beyond the serotonine-dopamine antagonism concept : how individual atypical antipsychotic differ;p.63-96.
8. Ebert MH, Loosen PT, Nurcombe B. Current Diagnosis & Treatment in PSYCHIATRY.Singapore : McGraw-Hill Book.2000.Bab III.Syndrome and their treatments in adult psychiatric : schizophrenia and other psychotic disorders; p.260-89.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Psikiatri adalah salah satu cabang ilmu kedokteran, yang mempelajari manusia secara utuh, tidak hanya masalah fisik, fisiologi atau patologi yang terjadi saja, tetapi juga melihat hubungan individu dengan lingkungannya. Terapi yang digunakan terhadap penderita gangguan jiwa berupa elektrik - holistik, yaitu komprehensif meliputi bidang organo-biologik, psiko-edukatif dan sosio-kultural, serta selalu mengikuti kaedah-kaedah ilmu kedokteran yang mutakhir. Dalam setiap kondisi tidak mudah untuk menentukan aspek mana yang harus lebih diprioritaskan. Istilah ‘biological priority’ dan ‘psychological supremacy’ sebenarnya bukan dimaksudkan untuk menempatkan satu diatas yang lain, tapi memperlakukannya sebagai proses berkesinambungan yang tidak terpisahkan.
Istilah antipsikotik dan neuroleptik secara bergantian, digunakan untuk menyebut kelompok obat yang digunakan untuk terapi skizofrenia, tetapi juga efektik untuk keadaan psikosis atau agitatif yang disebabkan karena hal lain. Obat-obat antipsikotik dahulu sering disebut dengan neuroleptik karena memiliki beberapa efek samping yang memberi gambaran seperti gangguan neurologis yang disebut pseudoneurologis, atau dikenal juga istilah major transquilizer karena adanya efek sedasi atau mengantuk yang berat.
Antipsikotik telah digunakan di kedokteran barat selama lebih 50 tahun. Reserpin dan klorpromazin merupakan obat – obat pertama yang ditemukan untuk mengobati skizofrenia. Sampai saat ini terus berkembang bahwa obat antipsikotik sering menimbulkan gejala saraf berupa gejala ekstrapiramidal. Dengan dikembangkannya golongan baru yang hampir tidak menimbulkan gejala ektrapiramidal istilah neuroleptik tidak lagi dapat dianggap sinonim dari istilah antipsikotik. Selanjutnya ditemukan generasi kedua antipsikotik yaitu haloperidol, yang penggunaannya cukup luas hingga selama 4 dekade. 1
Pada tahun 1990, ditemukan klozapin yang dikenal sebagai generasi pertama antipsikotik golongan atipikal. Disebut atipikal karena golongan obat ini sedikit menyebabkan reaksi ekstrapiramidal (EPS = extrapyramidal symptom) yang umum terjadi pada obat antipsikotik tipikal yang ditemukan lebih dahulu. Sejak ditemukan klozapin, pengembangan obat baru golongan atipikal ini terus dilakukan. Hal ini terlihat dengan ditemukannya obat baru yaitu risperidon, olanzapine, zotepin, ziprasidon dan lainnya. 1
Kebanyakan antipsikotik golongan tipikal mempunyai afinitas tinggi dalam menghambat reseptor dopamin 2, hal inilah yang diperkirakan menyebabkan reaksi ekstrapiramidal yang kuat. Obat golongan atipikal pada umumnya mempunyai afinitas yang lemah terhadap dopamine 2, selain itu juga memiliki afinitas terhadap reseptor dopamine 4, serotonin, histamine, reseptor muskarinik dan reseptor alfa adrenergic. Golongan antipsikotik atipikal diduga efektif untuk gejala positif ( seperti bicara kacau, halusinasi, delusi) maupun gejala negatif (miskin kata kata, afek yang datar, menarik diri dari lingkungan, inisiatif menurun) pasien skizofrenia. Golongan antipsikotik tipikal umumnya hanya berespon untuk gejala positif.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Antipsikotik
Obat antipsikotik adalah obat-obatan yang menghambat reseptor dopamine tipe 2 (D2). Indikasi utama untuk pemakaian obat adalah terapi skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya. 2
Obat yang digunakan untuk psikosis memiliki banyak sebutan yaitu anti psikotik, neuroleptik dan mayor transquilizer. Anti psikotik digunakan untuk mengatasi gejala akibat gangguan mental yang berat seperti skizofrenia, gangguan delusional, gangguan afektif berat, dan gangguan psikosis organik. Neuroleptika konvensional umumnya dapat mengurangi gejala positif, seperti : halusinasi, waham, tidak kooperatif, dan gangguan alam berpikir seperti loncat pikir/ flight of ideas maupun inkoherensi. Gejala positif skizofrenia tersebut bereaksi secara lebih responsif terhadap obat anti psikotik, sedang gejala negatifnya, seperti : pendataran afek, apatis, anhedonia dan blokade diri ternyata lebih sulit diatasi. Namun sekarang sudah ditemukan derivat baru untuk mengatasi gejala negatif tersebut. Obat-obatan jenis ini dikelompokkan dalam “Neuroleptika-aspesifik”.
2.2 Jenis - Jenis Antipsikotik
Berdasarkan rumus kimianya, obat-obat antipsikotik dibagi menjadi golongan fenotiazin misalnya chlorpromazine, dan golongan nonfenotiazine contohnya haloperidol. Sedangkan menurut cara kerjanya terhadap reseptor Dopamin dibagi menjadi Dopamine receptor Antagonist (DA) dan Serotonine Dopamine Antagonist (SDA). Obat-obat DA juga sering disebut dengan antipsikotik tipikal, dan obat-obat SDA disebut juga dengan antipsikotik atipikal. Golongan fenotiazine disebut juga obat berpotensi rendah (low potency), sedangkan golongan non fenotiazine disebut obat-obat potensi tinggi (high potency) karena hanya memerlukan dosis kecil untuk memperoleh efek yang setara dengan Chlorpromazine 100 mg. Obat-obat SDA makin berkembang dan makin menjadi pilihan karena efek klinis yang diperoleh setara dengan obat-obat konvensional disertai dengan efek samping yang jauh lebih ringan. Obat-obat jenis ini antara lain, Risperidon, Clozapine, Olanzapin, Quetiapin, Ziprazidon, dan aripripazol. Klasifikasi kemudian dibuat lebih sederhana dengan membaginya menjadi antipsikotik generasi I (APG-I) untuk obat-obat golongan antagonis Dopamin (DA) dan antipsikotik generasi II (APG-II) untuk obat-obat golongan serotonin dopamin antagonis (SDA).
Obat-obat anti psikotik ini terbagi atas dua golongan besar, yaitu :
I. Obat anti psikotik tipikal
1. Phenothiazine
• Rantai aliphatic : CHLORPROMAZINE
LEVOMEPROMAZINE
• Rantai piperazine : PERPHENAZINE
TRIFLUOPERAZINE
FLUPHENAZINE
• Rantai piperidine : THIORIDAZINE
2. Butyrophenone : HALOPERIDOL
3. diphenyl-butyl-piperidine : PIMOZIDE
II. obat anti psikotik atipikal
1. Benzamide : SULPIRIDE
2. Dibenzodiazepine CLOZAPINE
OLANZAPINE
QUETIAPINE
3. Benzisoxazole : RISPERIDON
Sediaan Obat Antipsikotik 2
No Nama obat Sediaan Dosis anjuran
1 Chlorpromazine Tab 25-100 mg
Amp 50mg/2cc 150-600mg/h
50-100 mg(im) setiap 4-6 jam
Anak anak >5 tahun ½ dosis orang dewasa, anak anak < 5 tahun 1 mg/kgBB . bila perlu diberikan 2x sehari.
2 Haloperidol Tab 0,5-1,5 mg- 5 mg
Amp 5mg/cc
Amp 50mg/cc 5-15 mg/h
5-10mg(im) setiap 4-6 jam
50 mg (im) setiap 2-4 minggu
3 Perphenazine Tab 2-4-8 mg 12-24 mg/h
4 Fluphenazine Tab 2,5-5 mg
Vial 25 mg/cc 10-15 mg/h
25 mg(im) setiap 2-4 minggu
5 Trifluoperazine Tab 1-5 mg 10-15 mg/h
6 Thioridazine Tab 50-100 mg 150-300 mg/h
7 Sulpiride Amp 100mg/2cc
Tab 200 mg 3-6 amp/h
300-600mg/h
8 Pimozide Tab 4 mg 2-4 mg/h
9 Risperidone Tab 1-2-3 mg
Vial 25 mg/cc
Vial 50 mg/cc 2-6 mg/h
25-50 mg(im) setiap 2 minggu
10 Clozapine Tab 25-100 mg 25-100mg/h
11 Quetiapine Tab 25-100 mg
200 mg 50-400 mg
12 Olanzapine Tab 5-10mg 10-20 mg/h
13 Zotepine Tab 25-50 mg 75-100 mg/h
14 Aripiprazole Tab 10-15 mg 10-15 mg/h
2.3 ANTIPSIKOTIK GENERASI PERTAMA (APG I)
Antipsikotik generasi pertama mempunyai cara kerja dengan memblok reseptor D2 khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh karena itu sering disebut juga dengan Antagonist Reseptor Dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional atau tipikal. Dapat menurunkan gejala positif hingga 60-70% dan hanya sedikit berpengaruh pada gejala negatif.1,5
Mekanisme kerja : Mekanisme kerja obat antipsikotik tipikal adalah memblokade dopamin pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak khusunya di sistem limbik dan sistem ekstrapirimidal (dopamin D2 receptor antagonists), sehingga efektif untuk gejala positif.
Dopamin merupakan neurotransmitter yang disekresikan oleh neuron-neuron yang berasal dari substansia nigra di batang otak. Neuron-neuron ini terutama berakhir pada region striata ganglia basalis. Pengaruh dopamin biasanya bersifat inhibisi. Pada skizofrenia diduga terjadi produksi dopamin yang berlebihan akibat sekresi dari sekelompok neuron proyeksi dopamine. Neuron - neuron ini menghasilkan system dopaminergik mesolimbik yang menjulurkan serabut-serabut saraf dan sekresi dopamine ke bagian medial dan anterior dari sistem limbik, khususnya ke dalam hipokampus, amigdala, nukleus kaudatus anterior dan sebagian lobus prefrontalis. Semua ini merupakan pusat-pusat pengatur tingkah laku yang sangat berpengaruh. Dengan menggunakan antipsikotik tipikal dianggap mampu mengurangi efek produksi dopamin yang berlebihan. Potensi antipsikotik untuk menurunkan gejala psikotik sangat berhubungan dengan afinitas obat tersebut dengan reseptor D2. Antipsikotik tipikal bekerja mengurangi produksi dopamine yang berlebihan dengan cara menghambat atau mencegah dopamine endogen untuk mengaktivasi reseptor.5,8
Antipsikotik tipikal mempunyai cara kerja dengan memblok reseptor D2 khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh karena itu sering disebut juga dengan antagonis reseptor dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional. Kerja dari antipsikotik ini menurunkan hiperaktivitas dopamine dijalur mesolimbik sehingga menyebabkan gejala positif menurun tetapi ternyata tidak hanya memblok reseptor D2 di mesolimbik tetapi juga di tempat lain seperti dijalur mesokortikal, nigrostriatal, dan tuberoinfundibular.1,5,8
Apabila antipsikotik tipikal memblok reseptor D2 dijalur mesokortikal, dapat memperberat gejala negatif dan gejala kognitif disebabkan penurunan dopamin di jalur tersebut. Jika hal ini terjadi, maka merupakan sebuah tantangan terapi, karena blokade reseptor dopamin di jalur ini secara teoritis akan menyebabkan memburuknya gejala negatif dan kognitif. Blokade reseptor D2 di tuberoinfundibular oleh antipsikotik tipikal menyebabkan peningkatan kadar prolaktin sehingga dapat terjadi disfungsi seksual dan peningkat berat badan. Fungsi normal jalur dopamin tuberoinfundibular menghambat pelepasan prolaktin. Pada wanita postpartum, aktivitas di jalur ini menurun, sehingga memungkinkan laktasi. 5,8
Antipsikotik selain menyebabkan terjadinya blokade reseptor D2 pada keempat jalur dopamine, juga menyebabkan terjadinya blokade reseptor kolinergik muskarinik sehingga timbul efek samping antikolinergik berupa mulut kering, pandangan kabur, konstipasi dan kognitif tumpul. Reseptor histamin (H1) juga terblok sehingga timbul efek samping mengantuk dan meningkatkan berat bdan. Selain itu antipsikotik juga memblok reseptor alfa1 adrenergik sehingga dapat menimbulkan efek samping pada kardiovaskuler berupa hipotensi ortostatic, mengantuk, pusing, dan tekanan darah menurun.2,8
2.4 Efek Samping
A. Efek Samping Non Neurologis
1. Efek pada jantung
Antipsikotik potensi rendah lebih bersifat kardiotoksik dibandingkan dengan antipsikotik potensi tinggi. Chlorpromazine menyebabkan perpanjangan interval QT dan PR, penumpulan gelombang T, dan depresi segmen ST. Thioridazine, khususnya memiliki efek yang nyata pada gelombang T dan disertai dengan aritmia malignan, seperti torsade de pointes yang sangat mematikan. Selain itu kematian mendadak juga disebabkan karena timbulnya takikardia ventrikuler atau fibrilasi ventrikuler. Untuk mengantisipasi hal tersebut sebaiknya pada pasien yang berusia lebih dari 50 tahun dilakukan pemeriksaan EKG serta pemberian serum potassium dan magnesium.1
2. Hipotensi Ortostatik (Postural)
Hipotensi ortostatik (postural) terjadi akibat penghambatan adrenergic yang paling sering disebabkan oleh antipsikotik potensi rendah, khususnya chlorpromazine dan thioridazine. Keadaan ini terjadi selama beberapa hari pertama terapi dan memiliki toleransi yang cepat yaitu sekitar 2-3 bulan. Bahaya utama dari hipotensi ortostatik adalah adanya kemungkinan pasien terjatuh, pingsan, dan mencederai dirinya.
Jika menggunakan antipsikotik potensi rendah intramuscular (IM), tekanan darah pasien harus diperiksa sebelum dan setelah pemberian dosis pertama dalam beberapa hari pertama terapi. Pemberian epinefrin dikontraindikasikan karena dapat memperburuk hipotensi. Metaraminol dan norepinefrin sebagai agen pressor adrenergic α-1 murni adalah obat terpilih. Untuk antipsikosis dosis dapat diturunkan atau diganti dengan obat yang tidak menghambat adrenergic.1,5,8
3. Efek Hematologis
Gangguan hematologis yang membahayakan yang dapat terjadi akibat pemakaian antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine dan pada hampir semua antipsikotik adalah agranulositosis. Agranulositosis adalah suatu kumpulan gejala yang ditandai dengan penurunan bermakna jumlah granulosit yang beredar, neutropeni berat yang menimbulkan lesi-lesi di tenggorokan, selaput lendir lain, saluran cerna dan kulit. Pada kebanyakan kasus, gejala ini disebabkan oleh sensitasi terhadap obat-obatan, zat kimia, radiasi yang mempengaruhi sumsum tulang dan menekan granulopoiesis.
Agranulositosis paling sering terjadi selama tiga bulan pertama terapi dengan insidensi sekitar 5 dari 10.000 pasien yang diobati dengan antipsikotik. Jika pasien melaporkan adanya suatu nyeri tenggorokan atau demam, hitung darah lengkap harus segera dilakukan untuk memeriksa kemungkinan terjadinya agranulositosis. Jika indeks darah rendah, antipsikotik harus segera dihentikan. Angka mortalitas dari komplikasi setinggi 30%. 1
4. Efek Antikolinergik Perifer
Obat antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine, dan trifluoperazine adalah antikolinergik yang poten. Mulut kering merupakan efek yang mengganggu beberapa pasien dan dapat mempengaruhi kepatuhan terapi. Pasien dapat dianjurkan sering membilas mulutnya dengan air dan tidak mengunyah permen karet atau permen yang mengandung gula, karena hal tersebut dapat menyebabkan infeksi jamur pada mulut dan peningkatan insidensi karies gigi. Konstipasi harus diobati dengan perbanyak olahraga, cairan, diet tinggi serat, serta preparat laksatif biasa, tetapi kondisi ini masih dapat berkembang menjadi ileus paralitik. Pada kasus tersebut diperlukan penurunan dosis atau penggantian dengan obat yang kurang antikolinergik. Pilocarpine mungkin berguna pada beberapa pasien dengan retensi urin. 1,5,8
5. Efek Endokrin
Penghambatan reseptor dopamine pada saluran tuberinfundibular menyebabkan peningkatan sekresi prolaktin, yang dapat menyebabkan pembesaran payudara, galaktorea, impotensi pada laki-laki, dan amenore serta penghambatan orgasme pada wanita. Untuk mengatasi efek samping tersebut dapat dilakukan penggantian obat antipsikotik yang diberikan. Pada keadaan impotensi sebagai efek obat dapat diberikan bromokriptin. Untuk gangguan pada orgasme maupun penurunan libido dapat diberikan brompheniramine (bromfed), ephedrine (Primatene), phenylpropanolamin (Comtrex), midrione, dan imipramin (tofranil). Priapisme dan laporan orgasme yang nyeri juga dilaporkan, kemungkinan kedua hal tersebut terjadi akibat aktivitas antagonis adrenergic α1. Peningkatan berat badan juga merupakan efek endokrin yang paling sering terjadi akibat penggunaan antipsikotik tipikal. Peningkatan berat badan nantinya akan menjadi resiko terjadinya DM tipe 2, hipertensi dan dislipidemia. Peningkatan berat badan juga didapatkan karena adanya blok pada reseptor 5 HT2c1,5,8.
6. Efek Dermatologis
Dermatitis alergik dan fotosensitivitas dapat terjadi pada sejumlah kecil pasien, paling sering terjadi pada mereka yang menggunakan antipsikotik tipikal potensi rendah, khusunya chlorpromazine. Berbagai erupsi kulit seperti urtikaria, makulopapular, peteki, dan erupsi edematous telah dilaporkan. Erupsi terjadi pada awal terapi, biasanya dalam minggu pertama dan menghilang dengan spontan. Pasien harus diperingatkan tentang efek tersebut, yaitu agar tidak berada dibawah sinar matahari lebih dari 30-60 menit, dan harus menggunakan tabir surya. Penggunaan chlorpromazine juga disertai beberapa kasus diskolorasi biru-kelabu pada kulit pada daerah yang terpapar dengan sinar matahari. 1
7. Efek pada Mata
Thioridazine disertai dengan pegmentasi ireversibel pada retina bila diberikan dalam dosis lebih besar dari 800 mg sehari. Gejala awal dari efek tersebut kadang-kadang berupa kebingungan nocturnal yang berhubungan dengan kesulitan penglihatan malam. Pigmentasi dapat berkembang menjadi kebutaan walaupun thioridazine dihentikan karena tidak bersifat reversible.
Chlorpromazine berhubungan dengan pigmentasi mata yang relatif ringan, ditandai oleh deposit granular coklat keputihan yang terpusat di lensa anterior dan kornea posterior yang dapat timbul bila pasien mengingesti 1-3 kg chlorpromazine selama hidupnya. Deposit dapat berkembang menjadi granula putih opak dan coklat kekuningan. Keadaan ini hampir tidak mempengaruhi penglihatan pasien. 5,8
8. Ikterus
Ikterus obstruktif atau kolestatik adalah suatu efek samping yang relative jarang terjadi dalam penggunaan antipsikotik tipikal. Biasanya ikterus muncul pada bulan pertama terapi dan ditandai oleh nyeri abdomen bagian atas, mual, muntah, gejala mirip flu, demam, ruam, bilirubin pada urin dan peningkatan bilirubin serum, alkali fosfatase dan transaminase hati. Jika ikterus terjadi, maka terapi harus diberhentikan dan diganti. Ikterus dilaporkan terjadi pada penggunaan promazine, thioridazine, dan sangat jarang terjadi pada fluphenazine dan trifluoperazine. 3
9. Overdosis Antipsikotik
Gejala overdosis antipsikotik berupa gejala ekstrapiramidal, midriasis, penurunan reflex tendon dalam, takikardia, dan hipotensi. Gejala overdosis yang parah adalah delirium, koma, depresi pernapasan, dan kejang. Terapi overdosis antipsikotik harus termasuk pemakaian arang aktif (activated charcoal), jika memungkinkan lavage lambung dapat dipertimbangkan. Terapi kejang dengan diazepam serta hipotensi dengan norepinefrin juga merupakan terapi overdosis antipsikotik atipikal.1
B. Efek Samping Neurologis
Obat antipsikotik tipikal memiliki efek samping neurologis yang mengganggu dan beberapa efek neurologis yang kemungkinan bersifat serius. Efek neurologis tersebut dikenal sebagai efek sindrom ekstrapiramidal. Pentingnya mengetahui efek samping neurologis akibat terapi dibuktikan pada DSM-IV yang memasukkan efek samping tersebut sebagai kelompok tersendiri gangguan pergerakan akibat medikasi. 1,2
1. Parkinsonisme Akibat Neuroleptik
Efek samping berupa parkinsonisme terjadi pada kira-kira 25 % pasien yang diobati dengan antipsikotik tipikal. Biasanya terjadi dalam 5-30 hari setelah awal terapi. Gejala-gejala yang timbul berupa kekakuan otot atau rigiditas pipa besi (lead-pipe rigidity), rigiditas gigi gergaji (cog-wheel rigidity), gaya berjalan menyeret, postur membungkuk dan air liur menetes. Tremor menggulung pil (pill-rolling) pada parkinsonisme idopatik jarang terjadi, tetapi tremor yang teratur dan kasar yang serupa dengan tremor esensial mungkin ditemukan dan dinamakan sebagai tremor ppostural akibat medikasi dalam DSM-IV. Suatu tanda fisik parkinsonisme adalah reflek ketukan glabela yang positif yang ditimbulkan dengan mengetuk dahi antara alis mata. Dikatakan reflek positif bila orbikularis okuli tidak dapat membiasakan diri dengan ketukan yang berulang. Wajah yang mirip topeng, bradikinesia, akinesia (tidak ada inisitatif), dan ataraksia (kebingungan terhadap lingkungan) merupakan gejala parkinsonisme yang sering didiagnosis keliru sebagai gambaran gejala negative atau deficit pada skizofrenia. 1,3,8
Perbandingan wanita dengan laki-laki yang terkena parkinsonisme akibat neuroleptik adalah 2:1 dan dapat terjadi pada setiap usia walaupun jarang terjadi pada usia lebih dari 40 tahun. Semua antipsikotik tipikal dapat menyebabkan gejala parkinsonisme, khususnya obat potensi tinggi dengan aktivitas antikolinergik yang rendah. Penghambatan transmisi dopaminergik dalam traktus nigrostriatal adalah penyebab dari parkinsonisme akibat neuroleptik. 1
Gangguan berupa parkinsonisme ini dapat diobati dengan pemberian obat antikolinergik, amantadine atau diphenhydramine. Antikolinergik harus dihentikan setelah 4-6 minggu untuk menilai apakah pasien telah mengembangkan suatu toleransi terhadap efek parkinsonisme sebab kira-kira 50% pasien dengan parkinsonisme akibat neuroleptik dapat meneruskan terapi. Pemberian anti Parkinson seperti levodopa lebih baik jangan diberikan karena akan memperbuuk gejala psikotiknya.1,3,8
2. Distonia Akut Akibat Neuroleptik
Kira-kira terdapat 10% dari semua pasien yang diberikan terapi antipsikotik tipikal mengalami distonia sebagai efek samping. Biasanya terjadi dalam beberapa jam atau 90% pada tiga hari pertama terapi. Gerakan distonia disebabkan oleh kontraksi atau spasme otot yang perlahan dan terus-menerus yang dapat menyebabkan gerakan involunter. Distonia dapat mengenai leher (tortikolis atau retrokolis spasmodik), rahang (pembukaan paksa yang menyebabkan dislokasi rahang atau trismus), lidah (prostrusi, memuntir), dan keseluruhan tubuh (opistotonus). 1,2
Distonia dapat terjadi pada semua umur dan pada kedua jenis kelamin tetapi paling sering terjadi pada laki-laki muda (<40 tahun), dapat terjadi pada semua antipsikotik dan paling sering disebabkan oleh antipsikotik potensi tinggi. Mekanisme kerja diperkirakan merupakan suatu hiperaktivitas dopaminergik di ganglia basalis yang terjadi jika kadar antipsikotik dalam SSP mulai menurun diantara pemberian dosis. 1,3,8
Profilaksis dengan antikolinergik atau obat yang berhubungan biasanya mencegah berkembangnya distonia, walaupun risiko terapi profilaksis melebihi manfaatnya. Terapi dengan antikolinergik IM atau diphenhydramine IV atau IM (50 mg) hampir selalu menghilangkan gejala. Diazepam (10 mg IV), amobarbital (Amytal), caffeine sodium benzoate dan hipnosis dilaporkan juga efektif. 1,3
3. Sindrom Neuroleptik Maligna
Sindrom neuroleptik maligna adalah komplikasi yang membahayakan yang dapat terjadi setiap waktu selama pemberian terapi antipsikotik. Hal ini dapat terjadi karena reaksi idiosinkrasi terhadap obat psikotik khususnya pada long acting.1
Gejala motorik dan perilaku adalah rigiditas otot dan distonia, akinesia, mutisme, obtundasi, dan agitasi. Gejala otonomik adalah hiperpireksia, berkeringat dan peningkatan kecepatan denyut nadi dan tekanan darah. Temuan laboratorium adalah peningkatan hitung sel darah putih, kreatinin fosfokinase, enzim hati, mioglobin plasma, dan mioglobinuria, kadang-kadang disertai dengan gagal ginjal. 1,3
Untuk pengobatan segera hentikan anti psikotik dan berikan perawatan suportif dan berikan obat dopamine agonist (bromokriptin 7,5-60 mg/h 3x sehari, l-dopa2x 100 mg/h atau amantadine 200 mg/h). Menurut kepustakaan lain, pengobatan dengan datrolene juga efektif dengan dosis 0,8-2,5 mg/kgbb, setiap 6 jam iv, apabila gejala berkurang diberikan oral dengan dosis 100-200 mg/hari dapat ditambahkan bromocriptin dengan dosis 20-30 mg/hari dalam 4x pemberian, terapi berlangsung selama 5-20 hari, bila pada penanganan SNM membaik maka pengobatan anti psikotik dapat dilanjutkan kembali.1,3
4. Efek Epileptogenik
Pemberian antipsikotik ternyata menyebabkan perlambatan dan peningkatan sinkronisasi EEG. Efek tersebut merupakan mekanisme dimana antipsikotik menurunkan ambang kejang. Chlorpromazine dan antipsikotik potensi rendah lain diperkirakan lebih epileptogenik dibandingkan obat potensi tinggi. 1,3,5
5. Sedasi
Sedasi terutama merupakan akibat dari penghambatan reseptor dopamine tipe-1. Chlorpromazine adalah antipsikotik yang paling menimbulkan sedasi. Memberikan dosis antipsikotik harian sebelum tidur biasanya menghilangkan masalah dari sedasi, dan toleransi untuk efek merugikan tersebut dapat terjadi. 1,2
6. Efek Antikolinergik Sentral
Gejala aktivasi antikolinergik sentral adalah agitasi parah; disorientasi terhadap waktu, orang dan tempat; halusinasi; kejang; demam tinggi; dilatasi pupil. Stupor dan koma dapat timbul. Terapi toksisitas antikolinergik adalah pertama menghentikan obat penyebab dan pemberian anticholinergic agents seperti injeksi sulfas atropine 0,25 mg(im), tablet trihexyphenidyl 3x2mg/hari. Hal ini juga dapat terjadi bila pengehntian mendadak dari antipsikotik. 1,3
2.4 ANTIPSIKOTIK GENERASI KEDUA (APG II)
APG II sering disebut juga sebagai Serotonin Dopamin Antagosis (SDA) atau antipsikotik atipikal. APG II mempunyai mekanisme kerja melalui interaksi antara serotonin dan dopamin pada ke 4 jalur dopamin di otak. Hal ini yang menyebabkan efek samping EPS lebih rendah dan sanagat efektif untuk mengatasi gejala negatif. Perbedaan antara APG I dan APG II adalah APG I hanya dapat memblok reseptor D2 sedangkan APG II memblok secara bersamaan reseptor serotonin (5HT2A) dan reseptor dopamin (D2). APG yang dikenal saat ini adalah clozapine, risperidone, olanzapine, quetiapine, zotepine, ziprasidone, aripiprazole. Saat ini antipsikotik ziprasidone belum tersedia di Indonesia. 1,3,6
Kerja obat antipsikotik generasi kedua pada dopamin pathways:
1. Mesokortikal Pathways
Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyebabkan berkurangnya blokade terhadap antagonis D2 tetapi juga menyebabkan terjadinya aktivitas dopamin pathways sehingga terjadi keseimbangan antara keseimbangan antara serotonin dan dopamin. APG II lebih berpengaruh banyak dalam memblok reseptor 5HT2A dengan demikian meningkatkan pelepasan dopamin dan dopamin yang dilepas menang dari pada yang dihambat di jalur mesokortikal. Hal ini menyebabkan berkurangnya gejala negatif maka tidak terjadi lagi penurunan dopamin di jalur mesokortikal dan gejala negatif yang ada dapat diperbaiki.
APG II dapat memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan APG I karena di jalur mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih banyak dari reseptor D2, dan APG II lebih banyak berkaitan dan memblok reseptor 5HT2A dan sedikti memblok reseptor D2 akibatnya dopamin yang di lepas jumlahnya lebih banyak, karena itu defisit dopamin di jalur mesokrtikal berkurang sehingga menyebabkan perbaikan gejala negatif skizofrenia.1,6,8
2. Mesolimbik Pathways
APG II di jalur mesolimbik, antagonis 5HT2A gagal untuk mengalahkan antagonis D2 di jalur tersebut. jadi antagonsis 5HT2A tidak dapat mempengaruhi blokade reseptor D2 di mesolimbik, sehingga blokade reseptor D2 menang. Hal ini yang menyababkan APG II dapat memperbaiki gejala positif skizofrenia. Pada keadaan normal serotonin akan menghambat pelepasan dari dopamin.1,6
3. Tuberoinfundibular Pathways
APG II di jalur tuberoinfundibular, antagonis reseptor 5HT2A dapat mengalahkan antagonis reseptor D2. Hubungan antara neurotransmiter serotonin dan dopamin sifatnya antagonis dan resiprokal dalam kontrol sekresi prolaktin dari hipofise. Dopamin akan menghambat pengelepasan prolaktin, sedangkan serotonin menigkatkan pelepasan prolaktin. Pemberian APG II dalam dosis terapi akan menghambat reseptor 5HT2A sehingga menyebabkan pelepasan dopamin menigkat. Ini mengakibatkan pelepasan prolaktin menurun sehingga tidak terjadi hiperprolaktinemia.1,6
4. Nigrostriatal Pathways
Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra menuju ganglia basalis. Fungsi jalur nigrostriatal adalah untuk mengontrol pergerakan. Bila jalur ini diblok, akan terjadi kelainan pergerakan seperti pada Parkinson yang disebut extrapyramidal reaction (EPR). Gejala yang terjadi antara lain akhatisia, dystonia (terutama pada wajah dan leher), rigiditas, dan akinesia atau bradikinesia.
APG II dalam klinis praktis, memiliki empat keuntungan, yaitu:
1. APG II menyebabkan EPS jauh lebih kecil dibandingkan APG I, umunya pada dosis terapi sangat jarang terjadi EPS.
2. APG II dapat mengurangi gejala negatif dari skzofrenia dan tidak memperburuk gejala negatif seperti yang terjadi pada pemberian APG II.
3. APG II menurunkan gejalan afektif dari skizofrenia dan sering digunakan untuk pengobatan depresi dan gangguan bipolar yang resisten.
4. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan penyakit Alzheimer.1,6
Antipsikotik generasi kedua yang digunakan sebagai:
First line: Risperidone, Olanzapine, Quetiapine, Ziprasidone, Aripiprazole
Second line: Clozapine.
Keuntungan yang didapatkan dari pemakaian APG II selain efek samping yang minimal juga dapat memperbaiki gejala negatif, kognitif dan mood sehingga mengurangi ketidaknyamanan dan ketidakpatuhan pasien akibat pemakian obat antipsikotik. Pemakaian APG II dapat meningkatkan angka remisi dan menigkatkan kualitas hidup penderita skizofrenia karena dapat mengembalikan fungsinya dalam masyarakat.3
2.4.1 RISPERIDONE
Risperidone merupakan obat APG II yang kedua diterima oleh FDA (Food and Drug Administration) sebagai antipsikotik setelah clozapine. Absorpsi risperidone di usus tidak di pengaruhi oleh makanan dan efek terapeutik nya terjadi dalam dosis rendah, pada dosis tinggi dapat terjadi EPS. Pemakaian risperidone yang teratur dapat mencegah terjadinya kekambuhan dan menurunkan jumlah dan lama perawatan sehingga baik digunakan dalam dosis pemeliharaan.1
Risperidone dapat memperbaiki skizofrenia yang gagal di terapi dengan APG I tetapi hasil pengobatannya tidak sebaik clozapine. Obat ini juga dapat memperbaiki fungsi kognitif tidak hanya pada skizofrenia tetapi juga pada penderita demensia misalnya demensia Alzheimer.
Metabolisme risperidone sebagian besar terjadi di hati oleh enzim CYP 2D6 menjadi 9-hydroxyrisperidone dan sebagian kecil oleh enzim CYP 3A4. Hydroxyrisperiodne mempunyai potensi afinitas terhadap reseptor dopamin yang setara dengan risperidone. Eksresi terutama melalui urin. Metabolisme risperidone dihambat oleh antidepresan fluoxetine dan paroxetine, karena antidepresan ini menghambat kerja dari enzim CYP 2D6 dan CYP 3A4 sehingga pada pemberian bersama antidepresan ini, maka dosis risperidone harus dikurangi untuk meminimalkan timbulnya efek samping dan toksik. Metabolisme obat ini dipercepat bila diberikan bersamaan carbamazepin, karena menginduksi CYP 3A4 sehingga perlu peningkatan dosis risperidone pada pemberiaan bersama carbamazepin disebabkan konsentrasi risperidone di dalam plasma rendah. 1,3,7
Indikasi :
- Skizofrenia akut dan kronik dengan gejala positif dan negatif.
- Gejala afektif pada skizofrenia (skizoafektif).1,8
Dosis :
- Hari 1 : 1 mg, hari 2 : 2mg, hari 3 : 3 mg.
- Dosis optimal 2- 6 mg / hari dengan 2 x pemberian.
- Dosis anjuran 25-50mg (im) setiap 2 minggu.
- Sediannya tab 1-2-3 mg. vial 25 mg, 50 mg/cc
- Umunya perbaikan mulai terlihat dalam 8 minggu dari pengobatan awal, jika belum terlihat respon perlu penilaian ulang.
- Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral.1,3
Efek samping: 1,3
- EPS
- Peningkatan prolaktin (ditandai dengan gangguan menstruasi, galaktorea, disfungsi seksual)
- Sindroma neuroleptik malignan
- Peningkatan berat badan
- Sedasi
- Pusing
- Konstipasi
- Takikardi
2.4.2 CLOZAPINE
Merupakan APG II yang pertama dikenal, kurang menyebabkan timbulnya EPS, tidak menyebabkan terjadinya tardice dyskinesia dan tidak terjadi peningkatan dari prolaktin. Clozapine merupakan gold standard pada pasien yang telah resisten dengan obat antipsikotik lainnya. Profil farmakoligiknya atipikal bila dibandingkan dengan antipsikotik lain. Dibandingkan terhadap psikotropik yang lain, clozapine menunjukkan efek dopaminergik rendah, tetapi dapat mempengaruhi fungsi saraf dopamin pada sistem mesolimbik-mesokortikal otak, yang berhubungan dengan fungsi emosional dan mental yang lebih tinggi, yang berbeda dari dopamin neuron di daerah nigrostriatal (darah gerak) dan tuberoinfundibular (daerah neruendokrin). 1
Clozapine efektif untuk menggontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik yang positif (iritabilitias) maupun yang negatif (social disinterest dan incompetence, personal neatness). Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu 2 minggu, diikuti perbaikan secara bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Obat ini berguna untuk pasien yang refrakter dan terganggu berat selam pengobatan.1,3
Secara farmakokinetik, clozapine di absorpsi secara cepat dan sempurna pada pemberian per oral. Kadar puncak plasma tercapai pada kira-kira 2 jam setelah pemberian obat, dengan waktu paruh rata-rata 12 jam (antara 10-16 jam) sehingga pemberiannya dianjurkan 2 kali dalam sehari. Distribusi dari clozapine dibandingkan obat antipsikotik lainnya lebih rendah. Umunya afinitas dari clozapine rendah pada reseptor D2 dan tinggi pada reseptor 5HT2A sehingga cenderung rendah untuk menyebabkan terjadinya efek samping EPS. 1,3,8
Dosis :1,3
- Hari 1 : 1 – 2 x 12,5 mg.
- Berikutnya ditingkatkan 25 – 50 mg / hari sp 300 – 450 mg / hari dengan pemberian terbagi.
- Dosis maksimal 150-600 mg / hari.
- Sediaan tablet 25 mg dan 100 mg
Efek samping : 1,3
- Granulositopeni, agranulositosis, trombositopeni, eosinofilia, leukositosis, leukemia.
- Ngantuk, lesu, lemah, tidur, sakit kepala, bingung, gelisah, agitasi, delirium.
- Mulut kering atau hipersalivasi, penglihatan kabur, takikardi, postural hipotensi, hipertensi.
Kontra indikasi :
- Ada riwayat toksik/hipersensitif.
- Gangguan fungsi Sumsum tulang.
- Psikosis alkoholik dan psikosis toksik lainnya.
- Koma.
- Depresi SSP.
- Ganguan jantung dan ginjal berat.
- Gangguan liver.
2.4.3 OLANZAPINE
Merupakan derivat dari clozapine dan dikelompokkan dalam golongan Thienobenzodiazepine. Absorpsi tidak dipengaruhi oleh makanan. Plasma puncak olanzapine dicapai dalam waktu 5 jam setalah pemberian oral, sedangkan pada pemberian intramuskular dapat dicapai setelah 15-45 menit dengn waktu paruh 31 jam (antara 21-54 jam) sehingga pemberian cukup 1 kali sehari. 1,3
Olanzapine merupaka antagonis monoaminergik selektif yang mempunyai afinitas yang kuat terhadap reseptor dopamin (D1-D4), serotonin (5HT2A/2c), Histamin (H1) dan α1 adrenergik. Afinitas sedang dengan reseptor kolinergik muskarinik (M1-5) dan serotonin (5HT3). Berikatan lemah dengan reseptor GABAA, benzodiazepin dan β-adrenergik. Metabolisme olanzapine di sitokrom P450 CYP 1A2 dan 2D6. Metabolisme akan meningkat pada penderita yang merokok dan menurun bila diberikan bersama dengan antidepresan fluvoxamine atau antibiotik ciprofloxacin. 1
Bila dibandingkan dengan clozapine, olanzapine memblok D2 lebih besar sehingga dosis tinggi dapat menyebabkan peningkatan kadar prolactin dan efek pada EPS Olanzapine
Indikasi :1,3
- Sizofrenia atau psikosis lain dengan gejala positive dan negatif.
- Episode manik moderat dan severe.
- Pencegahan kekambuhan gangguan bipolar.
Dosis :1,3
- Dosis anjuran 10-20mg/ hari.
- Sedian tablet 5-10mg
- Untuk skizofrenia mulai dengan dosis 10 mg 1 x sehari.
- Untuk episode manik mulai dengan dosis 15 mg 1 x sehari.
- Untuk pecegahan kekambuhan gangguan bipolar 10 mg / hari.
Efek samping:
- Penigkatan berat badan
- Somnolen
- Hipotensi ortostatik berkaitan dengan blokade reseptor α1
- EPS dan kejang rendah
- Insiden tardive dyskinesia rendah
2.4.4 QUETIAPINE
Quetiapine merupakan antagonis reseptor serotonin (5HT1A dan 5HT2A), reseptor dopamin (D1 dan D2), reseptor histamin (H1), reseptor adrenergik α1 dan α2. Afinitasnya lemah pada reseptor muskarinik (M1) dan reseptor benzodiazepin. Cleareance quetiapine menurun 40% pada penderita usia lanjut, sehinga perlu penyesuaian dosis yang lebih rendah dan menurun 30%-50% pada penderita yang mengalami gangguan fungsi hati. Cleareance quetiapine meningkat apabila pemberiannya dilakukan bersamaan dengan antiepileptik fenitoin, barbiturat, carbamazepin dan antijamur ketokonazole.1,2,3
Quetiapine dapat memperbaiki gejala positif, negatif, kognitif dan mood. Dapat juga memperbaiki pasien yang resisten dengan antipsikotik generasi pertama tetapi hasilnya tidak sebaik apabila di terapi dengan clozapine. Pemberian pada pasien pertama kali mendapat quetiapine perlu dilakukan titrasi dosis untuk mencegah terjadinya sinkope dan hipotensi postural.Waktu untuk konsentrasi penuh setelah pemberian oral adalah 2 jam dengan waktu paruh berkisar 3-5 jam, setelah 8-12 jam reseptor masih diduduki. 1
Dosis anjuran 50-400mg/hari dan sediaannya 25-100mg dan 200mg dan 300mg tablet XR (50mg, 300mg dan 400mg). Efek samping obat ini yang sering adalah somnolen, hipotensi postural, pusing, peningkatan berat badan, takikardi, dan hipertensi. 1,3
2.4.5 ARIPIPRAZOLE
Merupakan antipsikotik generasi baru, yang bersifat partial agonis pada reseptor D2 dan reseptor serptonin 5HT1A serta antagonis pada reseptor serotonin 5HT2A. Aripiprazole bekerja sebagai dopamin sistem stabilizer artinya menghasilkan signal transmisi dopamin yang sama pada keadaan hiper atau hipo-dopaminergik karena pada keadaan hiperdopaminergik aripiprazole afinitasnya lebih kuat dari dopamin akan mengeser secara kompetitif neurotransmiter dopamin dan berikatan dengan reseptor dopamin. Pada keadaan hipodopaminergik maka aripiprazole dapat menggantikan peran neurotransmiter dopamin dan akan berikatan dengan reseptro dopamin. 3,7,8
Aripiprazole di metabolisme di hati melaui isoenzim P450 pada CYP 2D6 dan CYP 3A4, menjadi dehydro-aripiprazole. Afinitas dari hasil metabolisme ini mirip dengan aripiprazole pada reseptor D2 dan berada di plasma sebesar 40% dari keseluruhan aripiprazole. Waktu paruh berkisar antara 75-94 jam sehingga pemberian cukup 1 kali sehari. Absorpsi aripiprazole mencapai konsentrasi plasma ouncak dalam waktu 3-5 jam setelah pemberian oral. Aripiprazole sebaiknya diberikan sesudah makan, terutama pada pasien yang mempunyai keluhan dispepsia, mual dan muntah.3,7
Indikasi : Skizofrenia.
Dosis : dosis anjuran 10—15mg/hari dan sedian tablet (5mg, 10mg dan 15mg). Pemberuannya dapat 10 atau 15 mg 1 x sehari.
Efek samping :
- Sakit kepala.
- Mual, muntah.
- Konstipasi.
- Ansietas, insomnia, somnolens.
- Akhatisia.
2.5 Cara Pemilihan Obat
Pada dasarnya semua obat anti-psikosis mempunyai efek primer (efek klinis) yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek sekunder (efek samping ; sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). 3
Anti-psikosis Mg. Eq Dosis (Mg/h) Sedasi Otonomik Eks.Pir.
Chlopromazine 100 150 - 1600 +++ +++ ++
Thioridazine 100 100 - 900 +++ +++ +
Perphenazine 8 8 - 48 + + +++
Trifluoperazine 5 5 - 60 + + +++
Fluphenazine 5 5 - 60 ++ + +++
Haloperidol 2 2 - 100 + + ++++
Pimozide 2 2 - 6 + + ++
Clozapine 25 25 - 200 ++++ + -
Zotepine 50 75 - 100 + + +
Sulpiride 200 200 - 1600 + + +
Risperidone 2 2 - 9 + + +
Quetiapine 100 50 - 400 + + +
Olanzapine 10 10 - 20 + + +
Aripiprazole 10 10 - 20 + + +
• Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalen.3
• Apabila obat anti-psikosis tidak memberikan respons klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan obat anti-psikosis lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekivalen-nya, dimana profil efek samping belum tentu sama.
• Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti-psikosis sebelumnya, jenis obat anti-psikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek samping-nya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
• Apabila gejala negatif (afek tumpul, penarikan diri, hipobulia, isi pikiran miskin) lebih menonjol dari gejala positif (waham, halusinasi, bicara kacau, perilaku tak terkendali) pada pasien Skizofrenia, pilihan obat antipsikosis – atipikal perlu dipertimbangkan. Khususnya pada penderita Skizofrenia yang tidak dapat mentolerir efek samping ekstrapiramidal atau mempunyai risiko medik dengan adanya gejala ekstrapiramidal (neuroleptic induced medical complication).3
BAB III
KESIMPULAN
Antipsikotik adalah sekelompok bermacam-macam obat yang menghambat reseptor dopamine tipe 2 (D2). Anpsikotik berguna untuk mengurangi gejala positif dan negatif dari gejala psikotik dan agitatif, terutama pada pasien dengan skizofrenia.
Efek samping yang sering ditimbulkan pada pemakaian antipsikotik tipikal seperti : gangguan pergerakan seperti distonia, tremor, bradikinesia, akatisia, koreoatetosis, anhedonia, sedasi, peningkatan berat badan yang sedang, disregulasi tempertur, hiperprolaktinemia, dengan galaktorea dan amenorea pada wanita dan ginekomastia pada pria, serta disfungsi seksual pada pria dan wanita, hipotensi postural (ortostatik), interval QT memanjang, risiko terjadi fatal aritmia.
Efek samping yang ditimbulkan oleh pemakaian antipsikotik atipikal seperti: gangguan pergerakan yang sedang, sedasi, hiperkolesterolemia, peningkatan berat badan sedang sampai berat, hipotensi postural, hiperprolaktinemia, kejang.
Penggunaan secara klinis obat – obatan antipsikotik haruslah mempertimbangkan risk and benefit dari obat tersebut, sehingga terapi yang diberikan mampu meningkatkan kualitas hidup pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Amir N.Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universias Indonesia. Edisi kedua. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. 2013.Bab 12. Skizofrenia; p. 173-95.
2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s synopsis of psychiatry : Behavioral sciences/clinical psychiatry.10 th edition. Philadelphia : Lippincott Williams and WOLTERS Kluwer business.2007.Bab 13.Schizophrenia.;p.467-97.
3. Muslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.Edisi ketiga. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.Bab 3. Penggolongan obat psikotropik; p.10-11.
4. Muslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.Edisi ketiga. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.Bab 3. Obat antipsikosis; p.14-22.
5. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin Dunitz Ltd.1999.Bab 4.Conventional Antipsychotic: the classical neuroleptics;p.35-47.
6. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin Dunitz Ltd.1999.Bab 5.Atypical Antipsychotic and Seotonine-Dopamine Antagonism;p.50-62.
7. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin Dunitz Ltd.1999.Bab 6. Beyond the serotonine-dopamine antagonism concept : how individual atypical antipsychotic differ;p.63-96.
8. Ebert MH, Loosen PT, Nurcombe B. Current Diagnosis & Treatment in PSYCHIATRY.Singapore : McGraw-Hill Book.2000.Bab III.Syndrome and their treatments in adult psychiatric : schizophrenia and other psychotic disorders; p.260-89.
denny christian lukas- Posts : 15
Reputation : 0
Join date : 20.02.16
Similar topics
» Antipsikotik Atipikal
» Pembagian dan Penggolongan Antipsikotik
» Referat Insomnia
» referat autism
» Referat Alzheimer
» Pembagian dan Penggolongan Antipsikotik
» Referat Insomnia
» referat autism
» Referat Alzheimer
:: Tugas dan Presentasi :: Referat
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik