Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Referat Insomnia

Go down

Referat Insomnia Empty Referat Insomnia

Post by Selvi SulistiaNingsih Sat Nov 28, 2015 8:18 pm

REFERAT

INSOMNIA








DISUSUN OLEH:
Selvi Sulistia Ningsih, S.Ked
H1AP10041



PEMBIMBING:
dr. Andri Sudjatmoko, Sp. KJ





KEPANITERAAN  KLINIK KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI BENGKULU – RSJ SOEPRAPTO BENGKULU
2015
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa , karena atas berkat dan rahmat-Nya lah sehingga saya dapat menyelesaikan referat ini tepat pada waktunya. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Negeri Bengkulu. Dengan bekal pengetahuan dan pengarahan serta bimbingan yang diperoleh sebelumnya dan selama menjalani kepaniteraan, saya menyusun referat berjudul “Insomnia“. Pada kesempatan ini, saya mengucapkan banyak terimakasih kepada dr. Andri Sudjatmoko, Sp.KJ yang telah membimbing dan membantu saya dalam melaksanakan kepaniteraan dan dalam menyusun referat ini.
Saya menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format referat ini. Oleh karena itu, segala kritik dan saran saya terima dengan tangan terbuka.
Akhir kata , saya berharap referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan serta semua pihak yang ingin mengetahui sedikit banyak mengenai “Insomnia”.



Bengkulu, 13 November 2015

                                                                                         
 Penyusun                                        









BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu1 . Gejala tersebut biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun dan beraktivitas di siang hari. Sekitar sepertiga orang dewasa mengalami kesulitan memulai tidur dan atau mempertahankan tidur dalam setahun, dengan 17% di antaranya mengakibatkan gangguan kualitas hidup2. Sebanyak 95% orang Amerika telah melaporkan sebuah episode dari insomnia pada beberapa waktu selama hidup mereka1. Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk mengalami insomnia.
Insomnia umumnya merupakan kondisi sementara atau jangka pendek. Dalam beberapa kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini sering disebut sebagai gangguan penyesuaian tidur karena paling sering terjadi dalam konteks situasional stres akut, seperti pekerjaan baru atau menjelang ujian. Insomnia ini biasanya hilang ketika stressor hilang atau individu telah beradaptasi dengan stressor. Namun, insomnia sementara sering berulang ketika tegangan baru atau serupa muncul dalam kehidupan pasien3.
Insomnia jangka pendek berlangsung selama 1-6 bulan. Hal ini biasanya berhubungan dengan faktor-faktor stres yang persisten, dapat situasional (seperti kematian atau penyakit) atau lingkungan (seperti kebisingan). Insomnia kronis adalah setiap insomnia yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Hal ini dapat dikaitkan dengan berbagai kondisi medis dan psikiatri biasanya pada pasien dengan predisposisi yang mendasari untuk insomnia3.
Meskipun kurang tidur, banyak pasien dengan insomnia tidak mengeluh mengantuk di siang hari. Namun, mereka mengeluhkan rasa lelah dan letih, dengan konsentrasi yang buruk. Hal ini mungkin berkaitan dengan keadaan fisiologis hyperarousal.  Bahkan, meskipun tidak mendapatkan tidur cukup, pasien dengan insomnia seringkali mengalami kesulitan tidur bahkan untuk tidur siang.
Insomnia kronis juga memiliki banyak konsekuensi kesehatan seperti berkurangnya  kualitas hidup, sebanding dengan yang dialami oleh pasien dengan kondisi seperti diabetes, arthritis, dan penyakit jantung. Kualitas hidup meningkat dengan pengobatan tetapi masih tidak mencapai tingkat yang terlihat pada populasi umum. Selain itu, insomnia kronis dikaitkan dengan terganggunya kinerja pekerjaan dan sosial.
Insomnia merupakan salah satu faktor risiko depresi dan gejala dari sejumlah gangguan medis, psikiatris, dan tidur. Bahkan, insomnia tampaknya menjadi prediksi sejumlah gangguan, termasuk depresi, kecemasan, ketergantungan alkohol, ketergantungan obat, dan bunuh diri.
Insomnia sering menetap meskipun telah dilakukan pengobatan kondisi medis atau kejiwaan yang mendasari, bahkan insomnia dapat meningkatkan resiko kekambuhan penyakit primernya. Dalam hal ini, dokter perlu memahami bahwa insomnia adalah suatu kondisi tersendiri yang membutuhkan pengakuan dan pengobatan untuk mencegah morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup bagi pasien mereka3,4.

1.2 Tujuan dan Manfaat
1) Tujuan
Untuk mengetahui lebih banyak tentang insomnia.
2) Manfaat
Manfaat dari pembuatan referat ini adalah untuk membantu memahami pola gangguan tidur insomnia dan sebagai proses belajar bagi penulis.















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fisiologi Tidur
Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan beredarnya waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia disebut sebagai irama sirkadian1,4.
Tidur tidak dapat diartikan sebagai menifestasi proses deaktivasi Sistem Saraf Pusat. Saat tidur, susunan saraf pusat masih bekerja dimana neuron-neuron di substansia retikularis ventral batang otak melakukan sinkronisasi.
Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi terletak pada substansia ventrikulo retikularis batang otak yang disebut sebagai pusat tidur (sleep center). Bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral batang otak disebut sebagai pusat penggugah (arousal center).
Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu:
1. Tipe Rapid Eye Movement (REM)
2. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4-6 kali siklus semalam.
Tidur NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, dibagi dalam empat stadium, antara lain:
1. Stadium 1, berlangsung selama 5% dari keseluruhan waktu tidur. Stadium ini dianggap stadium tidur paling ringan. EEG menggambarkan gambaran kumparan tidur yang khas, bervoltase rendah, dengan frekuensi 3 sampai 7 siklus perdetik, yang disebut gelombang teta.
2. Stadium 2, berlangsung paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan waktu tidur. EEG menggambarkan gelombang yang berbentuk pilin (spindle shaped) yang sering dengan frekuensi 12 sampai 14 siklus perdetik, lambat, dan trifasik yang dikenal sebagai kompleks K. Pada stadium ini, orang dapat dibangunkan dengan mudah.
3. Stadium 3, berlangsung 12% dari keseluruhan waktu tidur. EEG menggambarkan gelombang bervoltase tinggi dengan frekuensi 0,5 hingga 2,5 siklus perdetik, yaitu gelombang delta. Orang tidur dengan sangat nyenyak, sehingga sukar dibangunkan.
4. Stadium 4, berlangsung 13% dari keseluruhan waktu tidur. Gambaran EEG hampir sama dengan stadium 3 dengan perbedaan kuantitatif pada jumlah gelombang delta. Stadium 3 dan 4 juga dikenal dengan nama tidur dalam, atau delta sleep, atau Slow Wave Sleep (SWS).

Sedangkan tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur. Tidak dibagi-bagi dalam stadium seperti dalm tidur NREM1,4.

Pola siklus tidur dan bangun adalah bangun sepanjang hari saat cahaya terang dan tidur sepanjang malam saat gelap. Jadi faktor kunci adalah adanya perubahan gelap dan terang. Stimulasi cahaya terang akan masuk melalui mata dan mempengaruhi suatu bagian di hipotalamus yang disebut nucleus supra chiasmatic (NSC). NSC akan mengeluarkan neurotransmiter yang mempengaruhi pengeluaran berbagai hormon pengatur temperatur badan, kortisol, growth hormone, dan lain-lain yang memegang peranan untuk bangun tidur. NSC bekerja seperti jam, meregulasi segala kegiatan bangun tidur. Jika pagi hari cahaya terang masuk, NSC segera mengeluarkan hormon yang menstimulasi peningkatan temperatur badan, kortisol dan GH sehingga orang terbangun. Jila malam tiba, NSC merangsang pengeluaran hormon melatonin sehingga orang mengantuk dan tidur. Melatonin adalah hormon yang diproduksi oleh glandula pineal. Saat hari mulai gelap, melatonin dikeluarkan dalam darah dan  akan mempengaruhi terjadinya relaksasi serta penurunan temperatur badan dan kortisol. Kadar melatonin dalam darah mulai meningkat pada jam 9 malam, terus meningkat sepanjang malam dan menghilang pada jam 9 pagi.5


Hypnograms memerlihatkan perbedaan karakter tidur pada orang muda dan orang tua. Dibandingkan dengan orang muda, Orang tua cenderung memiliki onset tidur yang lama, tidur yang terfragmentasi, bangun terlalu dini di pagi hari dan menurunnya tidur tahap 3 dan 4.5

Perubahan tidur akibat proses menua
Orang usia lanjut membutuhkan waktu lebih lama untuk masuk tidur ( berbaring lama di tempat tidur sebelum tidur) dan mempunyai lebih sedikit/lebih pendek waktu tidur nyenyaknya.
Pada penelitian di laboratorium tidur, orang usia lanjut mengalami waktu tidur yang dalam lebih pendek, sedangkan tidur stadium 1 dan 2 lebih  lama. Hasil uji dengan alat polysomnographic didapatkan penurunan yang bermakna dalam slow wave sleep dan rapid eye movement (REM). Orang usia lanjut juga lebih sering terbangun di tengah malam akibat perubahan fisik karena usia dan penyakit yang dideritanya sehingga kualitas tidur secara nyata menurun.
Pada usia lanjut juga terjadi perubahan pada irama sirkadian tidur normal yaitu menjadi kurang sensitif dengan perubahan gelap dan terang. Dalam irama sirkadian yang normal terdapat peranan pengeluaran hormon dan perubahan temperatur badan selama siklus 24 jam. Ekskresi kortisol dan GH meningkat pada siang hari dan temperatur badan menurun di waktu malam. Pada usia lanjut, ekskresi kortisol dan GH serta perubahan temperatur tubuh berfluktuasi dan kurang menonjol. Melatonin menurun dengan meningkatnya umur.
Penelitian lain menunjukkan kualitas tidur usia lanjut yang sehat, juga tergantung pada bagaimana aktivitasnya pada siang hari. Bila siang hari sibuk dan aktif sepanjang hari, pada malam hari tidak ada gangguan dalam tidurnya, sebaliknya bila siang hari tidak ada kegiatan dan cenderung tidak aktif, malamnya akan sulit tidur.5

2.2 Definisi Insomnia
Menurut DSM –IV, gangguan tidur dibagi menjadi dyssomnias dan parasomnias. Dyssomnias adalah gangguan dari kuantitas atau waktu tidur, dibagi menjadi insomnia dan hypersomnia. Insomnia lebih diartikan pada gangguan kualitas atau kuantitas tidur, yang bergantung pada keadaan  tertentu. Bentuk dari insomnia termasuk primary insomnia dan gangguan irama sirkardian tidur. Hypersomnia menunjukan kondisi klinis sebagai rasa ngantuk yang berlebihan. Parasomnia adalah tingkah laku yang tidak normal saat tidur atau transisi antara tidur dan terbangun. 9
Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif yang berlangsung setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau gangguan dalam fungsi individu. The International Classification of Diseases mendefinisikan Insomnia sebagai kesulitan memulai atau mempertahankan tidur yang terjadi minimal 3 malam/minggu selama minimal satu bulan. Menurut The International Classification of Sleep Disorders, insomnia adalah kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap malam, disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur tersebut. Jadi, Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk melakukannya. Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu gejala yang memiliki berbagai penyebab, seperti kelainan emosional, kelainan fisik dan pemakaian obat-obatan. Insomnia dapat mempengaruhi tidak hanya tingkat energi dan suasana hati tetapi juga kesehatan, kinerja dan kualitas hidup.

2.3 Klasifikasi Insomnia
a. Insomnia Primer
Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas. insomnia atau susah tidur ini dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita insomnia. Pola tidur, kebiasaan sebelum tidur dan lingkungan tempat tidur seringkali menjadi penyebab dari jenis insomnia primer ini.
b. Insomnia Sekunder
Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya kondisi medis. Masalah psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan dementia dapat menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini pada 5 dari 10 orang. Selain itu masalah fisik seperti penyakit arthritis, diabetes dan rasa nyeri juga dapat menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini dan biasanya mempengaruhi 1 dari 10 orang yang menderita insomnia atau susah tidur. Insomnia sekunder juga dapat disebabkan oleh efek samping dari obat-obatan yang diminum untuk suatu penyakit tertentu, penggunaan obat-obatan yang terlarang ataupun penyalahgunaan alkohol. Faktor ini dapat mempengaruhi 1-2 dari 10 orang yang menderita insomnia.

Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostik yaitu International code of diagnosis (ICD) 10, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) IV dan International Classification of Sleep Disorders (ISD).
Dalam ICD 10, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu:
• Organik
• Non organik
- Dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan waktu tidur)
- Parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti mimpu buruk, berjalan sambil tidur, dll)
Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder. Insomnia disini adalah insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah menyebabkan gangguan fungsi dan sosial.

Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu:
1. Gangguan tidur yang berkorelasi dengan gangguan mental lain
2. Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medis umum
3. Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan atau keadaan tertentu
4. Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali dengan kondisi mental, penyakit, ataupun obat-obatan.) Gangguan ini menetap dan diderita minimal 1 bulan.
Berdasarkan International Classification of Sleep Disordes yang direvisi, insomnia diklasifikasikan menjadi:
a. Acute insomnia  

b. Psychophysiologic insomnia  

c. Paradoxical insomnia (sleep-state misperception)  

d. Idiopathic insomnia  

e. Insomnia due to mental disorder  

f. Inadequate sleep hygiene  

g. Behavioral insomnia of childhood  

h. Insomnia due to drug or substance  

i. Insomnia due to medical condition  

j. Insomnia not due to substance or known physiologic condition, unspecified (nonorganic)  

k. Physiologic insomnia, unspecified (organic)  8


2.4  Tanda dan Gejala Insomnia
• Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari
• Sering terbangun pada malam hari
• Bangun tidur terlalu awal
• Kelelahan atau mengantuk pada siang hari
• Iritabilitas, depresi atau kecemasan
• Konsentrasi dan perhatian berkurang
• Peningkatan kesalahan dan kecelakaan
• Ketegangan dan sakit kepala
• Gejala gastrointestinal 1,3,6

2.5 Etiologi Insomnia
Insomnia diklasifikasikan sebagai gangguan tidur sementara (tidak lebih dari beberapa malam), akut (kurang dari 3-4 minggu), dan kronis (lebih dari 3-4 minggu). Insomnia sementara atau akut biasanya terjadi pada orang yang tidak memiliki riwayat gangguan tidur dan sering berhubungan dengan penyebab yang dapat diidentifikasi. Pencetus insomnia akut termasuk penyakit medis akut, perubahan pada lingkungan tidur, obat- obatan, jet lag, dan stresor psikososial akut atau berulang. Insomnia kronis atau jangka- panjang dapat dikaitkan dengan berbagai dasar kondisi medis, perilaku, dan lingkungan dan berbagai obat-obatan.
Penyebab Insomnia
1)  Gangguan tidur spesifik primer: Gangguan irama sirkadian:
1) Sindrom fase tidur lanjut
2) Sindrom fase tidur terlambat
- Sleep apnea  (obstruktif, pusat, atau campuran)
- Restless legs syndrome, Gangguan gerak ekstremitas periodik
2) Penyakit Fisik:
- Nyeri: artritis, nyeri muskuloskeletal, kondisi menyakitkan lainnya
- Penyakit jantung : gagal jantung, sesak napas malam hari, angina malam hari
- Paru: penyakit paru obstruktif kronik, rinitis alergi (sumbatan hidung)
- Gastrointestinal: penyakit refluks gastroesofageal, penyakit tukak lambung, sembelit, diare.
- Inkontinensia urin.
- Gangguan Sistem saraf pusat: stroke, penyakit Parkinson, penyakit Alzheimer, gangguan kejang
- Psikiatri: kecemasan, depresi, psikosis, demensia, delirium
- Pruritus
- Menopause
3)  Perilaku: tidur siang, menggunakan tempat tidur untuk aktivitas lain (misalnya, membaca dan menonton televisi), makan berat, kurang olahraga, dan gaya hidup bermalas-malasan.
4) Lingkungan: suara, cahaya dan gangguan lainnya, suhu ekstrim, tempat tidur tidak nyaman, dan kurangnya pajanan sinar matahari
5) Pengobatan: Stimulan sistem saraf pusat: sympathomimetics, kafein, nikotin, antidepresan, amfetamin, efedrin, fenilpropanolamin, fenitoin.
- Antidepresan: bupropion, penghambat selektif ambilan-kembali serotonin, venlafaksin
- Obat anti-Parkinsonian agen: levodopa
- Dekongestan: pseudoefedrin
- Bronkodilator: teofilin
- Jantung: penghambat-β, diuretik
- Antihipertensi: klonidin, metildopa, kortikosteroid
- Antihistamin,
- Penghambat H 2: simetidin
- Antikolinergik
- Alkohol
- Obat herbal
- Pencahar

2.6 Faktor  Resiko Insomnia
Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi resiko insomnia meningkat jika terjadi pada :
1. Wanita
Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan hormon selama siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan peran. Selama menopause, sering berkeringat pada malam hari dan hot flashes sering mengganggu tidur.
2. Usia lebih dari 60 tahun
Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia meningkat sejalan dengan usia.
3. Memiliki gangguan kesehatan mental
Banyak gangguan, termasuk depresi, kecemasan, gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder, mengganggu tidur.
4. Stres
Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang seperti kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan insomnia kronis. Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan risiko terjadinya insomnia.
5. Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja
Bekerja di malam hari sering meningkatkan resiko insomnia.1,4

2.7  Diagnosis
Untuk mendiagnosis insomnia, dilakukan penilaian terhadap:
a. Pola tidur penderita.
b. Pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang.
c. Tingkatan stres psikis.
d. Riwayat medis.
e. Aktivitas fisik
f. Diagnosis berdasarkan kebutuhan tidur secara individual.

Sebagai tambahannya, dokter akan melengkapi kuisioner untuk menentukan pola tidur dan tingkat kebutuhan tidur selama 1 hari. Jika tidak dilakukan pengisian kuisioner, untuk mencapai tujuan yang sama Anda bisa mencatat waktu tidur Anda selama 2 minggu.
Pemeriksaan fisik akan dilakukan untuk menemukan adanya suatu permasalahan yang bisa menyebabkan insomnia. Ada kalanya pemeriksaan darah juga dilakukan untuk menemukan masalah pada tyroid atau pada hal lain yang bisa menyebabkan insomnia.
Jika penyebab dari insomnia tidak ditemukan, akan dilakukan pemantauan dan pencatatan selama tidur yang mencangkup gelombang otak, pernapasan, nadi, gerakan mata, dan gerakan tubuh5.

Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ6
Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:
a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas tidur yang buruk.
b. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1 bulan.
c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari.
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan.
e. Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan diagnosis insomnia diabaikan.
f. Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan adanya gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak memenuhi kriteria di atas (seperti pada “transient insomnia”) tidak didiagnosis di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0) atau gangguan penyesuaian (F43.2)

2.8  Tatalaksana
1. Non Farmakoterapi
Penanganan terapi non farmakologi terdiri dari cognitive and behavioral therapy.
a. Sleep Hygiene
Sleep hygiene adalah salah satu komponen terapi perilaku untuk insomnia. Beberapa langkah sederhana dapat diambil untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur pasien. Langkah – langkah ini meliputi mencuci muka, sikat gigi, buang air kecil sebelum tidur, berolahraga secara rutin minimal 20 menit sehari, idealnya 4-5 jam sebelum waktu tidur, hindari memaksa diri untuk tidur, hindari caffeine, alcohol, dan nikotin 6 jam sebelum tidur, hindari kegiatan lain yang tidak ada kaitannya dengan tidur, Mempertahankan suhu yang nyaman di kamar tidur, meminimalisir kebisingan semaksimal mungkin, batasi asupan cairan pada malam hari.

b.  Terapi Tingkah Laku
Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan mengajarkan cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku ini umumnya direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk penderita insomnia.
Terapi tingkah laku meliputi :
1. Edukasi tentang kebiasaan tidur yang baik.
2. Teknik Relaksasi.
Meliputi merelaksasikan otot secara progresif, membuat biofeedback, dan latihan pernapasan. Cara ini dapat membantu mengurangi kecemasan saat tidur. Strategi ini dapat membantu Anda mengontrol pernapasan, nadi, tonus otot, dan mood.
3. Terapi kognitif.
Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur dengan pemikiran yang positif. Terapi kognitif dapat dilakukan pada konseling tatap muka atau dalam grup.
Walaupun CBT-I dapat dipakai sebagai terapi tunggal, namun multi component CBT-I merupakan pendekatan terapi terbaik. Program yang dapat diberikan adalah terapi kognitif, terapi relaksasi, dan fototerapi jika ada indikasi.
Terapi kontrol stimulus: merupakan terapi perilaku lini pertama pada insomnia primer kronis sehingga sebaiknya diprioritaskan. Pada terapi ini waktu bangun pasien di tempat tidur dipersingkat untuk merekondisi keinginan untuk tidur. Yang termasuk dalam terapi ini yaitu: (i) Pertahankan waktu bangun 7 hari/minggu, berapa banyak tidur pada malam hari tidak berpengaruh; (ii) Hindari aktivitas lain selain tidur dan aktivitas seksual di tempat tidur; (iii) Tidurlah hanya di tempat tidur; (iv) Tinggalkan tempat tidur ketika sudah bangun 10-15 menit; dan (v) Kembali ke tempat tidur hanya jika mengantuk. Kombinasi dari langkah-langkah tersebut akan membuat tempat tidur sebagai isyarat untuk tidur dan mengembalikan irama sirkadian.
Pembatasan tidur: Terapi pembatasan tidur membuat pasien membatasi waktu tidur mereka agar sebanding dengan waktu tidur total rata-rata. Terapi ini merupakan kontraindikasi bagi pasien-pasien dengan gangguan bipolar, kejang, atau hipersomnolen karena dapat memperburuk kondisi pasien.
Sleep hygiene: merupakan serangkaian instruksi yang akan membantu pasien mempertahankan kualitas tidur dengan menjaga lingkungan yang kondusif untuk tidur, mempertahankan waktu tidur dan bangun, menghindari tembakau, alkohol, serta menghindari makan atau olah raga terlalu banyak beberapa jam sebelum tidur. Sleep hygiene tidak terlalu bermanfaat jika digunakan sebagai terapi tunggal.95 Pemberitahuan pasien dengan selebaran saja cenderung mengakibatkan ketidakpatuhan, hilangnya kepercayaan, dan pemikiran bahwa mungkin ada cara lain untuk membantu penyembuhan insomnia.
Terapi kognitif: Beberapa bentuk terapi kognitif untuk insomnia sering dilakukan bahkan sering tumpang tindih. Beberapa terapi berfokus pada pendidikan,  tujuan paradoks, perubahan pemahaman, perilaku mencari aman  dan bias attensional. Walaupun pendekatan-pendekatan ini berbeda secara prosedural, semua terapi ini berdasarkan observasi bahwa pasien dengan insomnia memiliki pikiran negatif mengenai kondisinya sekaligus dampaknya. Pada dasarnya terapi kognitif membantu pasien untuk mengurangi kecemasan dan hal-hal yang dapat memicu timbulnya insomnia.
Langkah terapi pembatasan tidur
1. Tetapkan waktu tidur total I (Total Sleep time – TST) rata-rata dalam 1-2 minggu.
2. Tetapkan waktu terjaga secara pasti.
3. Tetapkan jeda tidur dengan mengatur waktu tidur agar seimbang dengan TST (jangan mengatur jeda tidur <4,5 jam).
4. Jaga waktu tidur per minggu.
5. Atur jeda tidur berdasarkan efisiensi waktu tidur per minggu.
a. Jika efisiensi ≥90%, naikkan jeda tidur 15 menit
b. Jika efisiensi 85% - 90%, pertahankan jeda tidur
c. Jika efisiensi <85%, turunkan jeda tidur 15 menit
6. Pertahankan waktu tidur harian dan sesuaikan setiap minggu sampai pengobatan selesai.
7. Pasien dapat melanjutkan terapi ini sendiri.

Latihan relaksasi: Variasi teknik relaksasi otot dapat dilakukan dan beberapa di antaranya dapat digunakan sabagai bagian dari rangkaian terapi CBT-I. Terapi ini termasuk relaksasi otot, bernapas dengan diafragma, biofeedback, dan lain sebagainya. Latihan relaksasi yang optimal merupakan cara yang termudah bagi pasien. Namun terdapat beberapa kontra indikasi medis, misalnya relaksasi otot progresif tidak cocok bagi pasien dengan gangguan neuromuskular atau gangguan psikiatris. Terapi ini juga sulit ditoleransi oleh pasien dengan PTSD dan dapat memicu kembali munculnya gejala.
Fototerapi: Sinar terang memiliki efek antidepresan dan merangsang tidur bagi pasien yang mengalami gangguan irama sirkadian. Jika pasien memiliki kecenderungan untuk tidur lebih malam dan bangun lebih siang (delay component), maka penggunaan alarm dan tirai agar cahaya pagi masuk dapat membantu. Jika pasien memiliki kecenderungan untuk tidur lebih awal dan bangun terlalu awal (advanced component), sebaiknya biarkan cahaya sore masuk. Terdapat beberapa efek samping pada fototerapi ini, di antaranya insomnia, hipomania, agitasi, gangguan penglihatan, dan sakit kepala. Pasien-pasien yang beresiko tinggi mengalami gangguan penglihatan seperti pasien dengan diabetes mellitus sebaiknya berkonsultasi kepada dokter mata sebelum memulai terapi ini. Sinar terang juga dapat memicu mania pada pasien yang sebelumnya belum terdiagnosis dengan gangguan bipolar. Dengan demikian, fototerapi merupakan kontraindikasi pada pasien dengan gangguan bipolar.
Penggunaan CBT-I standard dan alternatif-alternatif terbaru: CBT-I biasanya dilakukan selama 6-8 minggu. Langkah-langkah terapi secara terinci dilakukan selama durasi terapi100,101 dan efikasi data dinilai berdasarkan penelitian. Dalam jangka waktu ini dokter dan pasien dapat memonitor perkembangan, mempertahankan keberhasilan terapi, dan mencapai tujuan terapi yaitu mencapai waktu total tidur yang sesuai.
Dalam prakteknya, jumlah sesi terapi disesuaikan dengan progresivitas terapi, serta kemampuan pasien untuk mengendalikan diri terhadap intervensi. Bukti-bukti menunjukkan 3-4x sesi terapi  memiliki efikasi hasil yang baik.
CBT-I dianjurkan untuk insomnia kronis dan insomnia akut yang tidak sembuh dengan farmakoterapi. CBT-I dapat diberikan pada insomnia primer dan insomnia yang disebabkan oleh beberapa kondisi medis / psikiatris.

4. Stimulus Control Therapy
Terapi ini dimaksudkan untuk membatasi waktu yang dihabiskan untuk beraktivitas.
Instruksi dalam terapi stimulus-kontrol:8
a. Gunakan tempat tidur hanya untuk tidur, tidak untuk membaca, menonton televisi, makan atau bekerja.
b. Pergi ke tempat tidur hanya bila sudah mengantuk. Bila dalam waktu 20 menit di tempat tidur seseorang tidak juga bisa tidur, tinggalkan tempat tidur dan pergi ke ruangan lain dan melakukan hal-hal yang membuat santai. Hindari menonton televisi. Bila sudah merasa mengantuk kembali ke tempat tidur, namun bila alam 20 menit di tempat tidur tidak juga dapat tidur, kembali lakukan hal yang membuat santai, dapat berulang dilakukan sampat seseorang dapat tidur.
c. Bangun di pagi hari pada jam yang sama tanpa mengindahkan berapa lama tidur pada malam sebelumnya. Hal ini dapat memperbaiki jadwal tidur-bangun (kontrol  waktu).
d. Tidur siang harus dihindari.
5. Restriksi Tidur.
Membatasi waktu di tempat tidur hanya untuk tidur sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur. Terapi ini disebut pembatasan tidur. Hal ini dicapai dengan rata-rata waktu di tempat tidur dihabiskan hanya untuk tidur. Pasien dipaksa untuk bangun pada waktu yang ditentukan walaupun pasien masih merasa mengantuk. Ini mungkin membantu tidur pasien yang lebih baik pada malam berikutnya karena kurang tidur dari malam sebelumnya. Sleep restriction ini didasarkan atas pemikiran bahwa waktu yang terjaga di tempat tidur adalah kontra produktif sehingga mendorong siklus insomnia. Metode ini memiliki tujuan untuk menigkatkan efisiensi tidur sampai setidaknya 85%.
Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan di tempat tidur yang dapat membuat lelah pada malam berikutnya3,5.

c. Gaya hidup dan pengobatan di rumah
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia :
- Mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada hari libur
- Tidak berada di tempat tidur ketika tidak tidur.
- Tidak memaksakan diri untuk tidur jika tidak bisa.
- Hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.
- Relaksasi sebelum tidur, seperti mandi air hangat, membaca, latihan pernapasan atau beribadah
- Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan menyulitkan tidur pada malam hari.
- Menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur, seperti menghindari kebisingan
- Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30 menit setiap hari sekitar lima hingga enam jam sebelum tidur.
- Menghindari kafein, alkohol, dan nikotin.
- Menghindari makan besar sebelum tidur.
- Cek kesehatan secara rutin.
- Jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesik1,2,3,5

2. Farmakologi
Prinsip dasar terapi pengobatan insomnia yaitu, jangan menggunakan obat hipnotik sebagai satu-satunya terapi, pengobatan harus dikombinasikan dengan terapi non farmakologi, pemberian obat golongan hipnotik dimulai dengan dosis yang rendah, selanjutnya dinaikan perlahan –lahan sesuai kebutuhan, khususnya pada orang tua, hindari penggunaan benzodiazepin jangka panjang, hati –hati penggunaan obat golongan hipnotik khususnya benzodiazepin pada pasien dengan riwayat penyalahgunaan atau ketergantungan obat, monitor pasien untuk melihat apakah ada toleransi obat.
Pemberian edukasi kepada pasien mengenai efek penggunaan obat hipnotik penting meliputi gejala-gejala efek samping yaitu mual dan sedatif yang dapat mengakibatkan mengantuk saat mengendarai kendaraan yang mengakibatkan  kecelakaan saat mengemudi atau bekerja, khususnya golongan obat jangka panjang. Edukasi lain yaitu mengenai penghentian obat secara perlahan untuk menghindari terjadi rebound insomnia (Liya, 2013).
Terapi pengobatan insomnia diklasifikasikan menjadi tiga yaitu : Benzodiazepin, Nonbenzodiazepin -hipnotik, dan obat –obat yang lain yang dapat memberikan efek tertidur.
a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)

Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :
- Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep inducing anti-insomnia” yaitu golongan benzodiazepine (Short Acting). Misalnya pada gangguan anxietas.
- Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk kembali ke proses tidur selanjutnya). Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Prolong latent phase Anti-Insomnia”, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan Tetrasiklik). Misalnya pada gangguan depresi.
- Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening).
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep Maintining Anti-Insomnia”, yaitu golongan phenobarbital atau golongan benzodiazepine (Long acting). Misalnya pada gangguan stres psikososial.

a. Benzodiazepin
Dalam penggunaanya, efek benzodiazepin yang diinginkan adalah efek hipnotik-sedatif. Sifat yang diinginkan dari penggunaan hipnotik-sedatif antara lain adalah perbaikan anxietas, euporia dan kemudahan tidur sehingga obat ini sebagai pilihan utama untuk insomnia.
Benzodiazepin (BZD) memperbaiki insomnia dengan mengurangi fase  REM, menurunkan latensi tidur, dan menurunkan terbangun malam hari. Penyerapan BZD tidak terpengaruh oleh penuaan, namun penurunan massa otot, penurunan protein plasma, dan peningkatan lemak tubuh yang terlihat pada usia lanjut mengakibatkan peningkatan konsentrasi obat tak-terikat dan peningkatan waktu paruh eliminasi.
Jika keadaan ini terjadi terus menerus, maka pola penggunaanya akan menjadi kompulsif sehingga terjadi ketergantungan fisik. Hampir semua golongan obat-obatan hipnotik-sedatif dapat menyebabkan ketergantungan. Efek ketergantungan ini tergantung pada besar dosis yang digunakan tepat sebelum penghentian penggunaan dan waktu paruh serta golongan obat yang digunakan. Obat-obatan hipnotik-sedatif dengan waktu paruh lama akan dieliminasi lama untuk mencapai penghentian obat bertahap sedikit demi sedikit. Sedangkan pada obat dengan waktu paruh singkat akan dieliminasi dengan cepat sehingga sisa metabolitnya tidak cukup adekuat untuk memberikan efek hipnotik yang lama. Oleh karena itu, penggunaan obat dengan waktu paruh singkat sangat bergantung dari dosis obat yang digunakan tepat sebelum penghentian penggunaan. Gejala gejala abstinensi dapat terjadi pada penggunaan berbagai golongan obat hipnotik-sedatif. Gejala –gejala ini dapat berupa lebih sukar tidur dibanding sebelum penggunaan obat-obatan hipnotik-sedatif (Liya, 2013).

b. Nonbenzodiazepin Hipnotik
Nonbenzodiazepin hipnotik adalah sebuah alternatif yang baik dari penggunaan benzodiazepin tradisional, selain itu obat ini menawarkan efikasi yang sebanding serta rendahnya insiden amnesia, tidur sepanjang hari, depresi respirasi , ortostatik hipotensi dan terjatuh pada lansia. Obat golongan non-benzodiazepin juga efektif untuk terapi jangka pendek insomnia. Obat-obatan ini relative memiliki waktu paruh yang singkat sehingga lebih kecil potensinya untuk menimbulkan rasa mengantuk pada siang hari; selain itu penampilan psikomotor dan daya ingat nampaknya lebih tidak terganggu dan umumnya lebih sedikit mengganggu arsitektur tidur normal dibandingkan obat golongan benzodiazepine (Liya, 2013).
c. Sleep-promoting Agents (Melatonin)
Melatonin adalah hormon yang dibentuk di glandula pineal, yaitu sebuah kelenjar yang hanya sebesar kacang tanah yang terletak di antara kedua sisi otak. Hormon ini mempunyai fungsi yang sangat khas karena produksinya dipicu oleh gelap dan hening tetapi dapat dihambat oleh sinar yang terang. Hormon ini sedang menjadi fokus para peneliti saat ini. Sebenarnya belum ada penelitian yang menunjukkan adanya hubungan langsung antara peningkatan melatonin dengan lelapnya tidur seseorang. Berdasarkan teori yang ada, hormon melatonin ini meningkat pada saat seseorang tertidur, terutama pada saat suasana sekitarnya gelap, sesuai dengan sebutan hormon ini, “hormone of the darkness.” Adanya hormon ini dikatakan dapat membantu meningkatkan kualitas tidur seseorang. Dari beberapa penelitian klinik menunjukkan bahwa penggunaan melatonin untuk insomnia ternyata sangat signifikan dalam menurunkan waktu yang dibutuhkan seseorang untuk jatuh tertidur, memperpanjang durasi tidur termasuk kualitas tidurnya, sehingga seseorang tidak mengantuk lagi saat beraktifitas di pagihari. Dosis melatonin yang direkomendasikan ialah 3 mg dan dapat ditingkatkan hingga 12 –15 mg. Efek samping yang dilaporkan ialah sakit kepala, pusing,lemah, iritabel. Megadosis (300mg perhari) dapat menghampat fungsi ovarium. Kontraindikasi pada Wanita hamil dan menyusui (Liya, 2013).

d. Antihistamin
Three–diphenhydramine hydrochloride, dypenhydramine citrate dan doxylamine yang sering digunakan untuk membantu tidur. Efek samping penggunaanya adalah pusing, lemah, mual (Liya, 2013).

e. Antidepresan
Dosis rendah pada antidepresan yg memiliki efek sedasi seperti trazodone (desyrel), amitriptyline (elavil), doxepine (sinequen, adapin) dan mirtazapin ( remeron) sering diresepkan pada pasien bukan depresi untuk pengobatan insomnia, antidepresan sering diberikan untuk insomnia karena pemberiannya tidak terjadwal, relatif tidak mahal, dan memiliki sedikit potensi untuk disalahgunakan. Namun demikian harus digunakan secara konservatif untuk insomnia karena keberhasilannya terbatas dan berpotensi menghasilkan efek samping yang bermakna (Liya, 2013).

Terapi untuk gangguan pola tidur pada usia lanjut sebaiknya dengan menggunakan dosis obat seminimal mungkin. Setiap intervensi obat dapat menimbulkan potensi bahaya pada orang tua dengan lanjut usia. Pemeliharaan terhadap kondisi fungsional pasien merupakan tujuan dari terapi. Manipulasi lingkungan dan penyebab eksternal yang potensial merupakan pendekatan yang terbaik. Berbagai tindakan non-spesifik yang disebut higiene tidur dapat memperbaiki pola tidur (Kapplan et al., 2007).

Pengaturan Dosis
- Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi tidur.
- Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off (untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat).
- Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi.
- Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif  dosis kecil 2-3 kali seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia lanjut.
Lama Pemberian
- Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih dari 2 minggu dapat menimbulkan perubahan “Sleep EEG” yang menetap sekitar 6 bulan lamanya.
- Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena “Psychological Dependence” (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur dapat ditanggulangi.

Efek Samping
Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-insomnia (waktu paruh) :
- Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam). Gejala rebound lebih berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik.
- Waktu paruh sedang, seperti Estazolam gejala rebound lebih ringan.
- Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam menimbulkan gejala “hang over” pada pagi harinya dan juga “intensifying daytime sleepiness”.
Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat terjadi “disinhibiting effect” yang menyebabkan “rage reaction”.

Interaksi obat
- Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan potensiasi efek supresi SSP yang dapat menyebabkan “oversedation and respiratory failure”.
- Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal enzyme atau “produce protein binding displacement” sehingga jarang menimbulkan interaksi obat atau dengan kondisi medik tertentu.
- Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol atau “CNS Depressant” lain, resiko kematian akan meningkat.

Perhatian Khusus
- Kontraindikasi :
o Sleep apneu syndrome
o Congestive Heart Failure
o Chronic Respiratory Disease
- Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko menimbulkan “teratogenic effect” (e.g.cleft-palate abnormalities) khususnya pada trimester pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan melalui ASI, berefek pada bayi (penekanan fungsi SSP)1,3,7.

2.9 Komplikasi
Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang teratur. Insomnia dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.













Komplikasi insomnia meliputi :
• Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.
• Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan reaksi kecelakaan.
• Kelebihan berat badan atau kegemukan
• Daya tahan tubuh yang rendah
• Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang, contohnya tekanan darah yang tinggi, sakit jantung, dan diabetes.

2.10  Prognosis
Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada gangguan lain seperti depresi. Lebih buruk jika gangguan ini disertai skizophrenia.





BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Insomnia merupakan kesulitan untuk masuk tidur, kesulitan dalam mempertahankan tidur, atau tidak cukup tidur. Insomnia merupakan gangguan fisiologis yang cukup serius, dimana apabila tidak ditangani dengan baik dapat mempengaruhi kinerja dan kehidupan sehari-hari. Insomnia dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti stres, kecemasan berlebihan, pengaruh makanan dan obat-obatan, perubahan lingkungan, dan kondisi medis. Insomnia didiagnosis dengan melakukan penilaian terhadap pola tidur penderita, pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang, tingkatan stres psikis, riwayat medis, aktivitas fisik, dan kebutuhan tidur secara individual.
Mengingat prevalensi insomnia pada populasi usia lanjut dan ketersediaan pengobatan yang tepat, maka sangat penting untuk menapis individu usia lanjut yang memiliki gangguan tidur. Pasien harus diberi pengetahuan  tentang perubahan normal terkait siklus tidur, dan memberikan pengertian masalah tidur bukan merupakan bagian dari penuaan normal.
Insomnia merupakan bentuk gangguan tidur yang paling sering terjadi dan banyak menimbulkan dampak negatif. Hal ini berhubungan langsung dengan efek residu dari insomnia yang dapat menyebabkan rasa lelah, iritabilitas, dan menurunkan performa aktivitas. kronis. Karena penyebab insomnia banyak dan multifaktorial, maka multi-component CBT-I dapat merupakan pilihan bagi pasien dengan insomnia kronis. Obat-obat hipnotik-sedatif baru berperan secara agresif terhadap insomnia akut. Beberapa farmakoterapi lain memiliki efek yang baik terhadap insomnia kronis. Namun CBT-I tampaknya merupakan pilihan terbaik setelah pengobatan dihentikan. Kombinasi CBT-I dan hipnotik dapat diberikan dan membutuhkan lebih banyak data empiris. Pada akhirnya, jika insomnia merupakan akibat dari kondisi medis atau psikiatris, sebaiknya tetap dilakukan penatalaksanaan pada insomnia sembari mengobati penyakit utama.
3.2. Saran
Karena kurangnya data mengenai epidemiologi insomnia di Indonesia, maka diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran insomnia di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA


1. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed: Wiguna, I Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher
2. American Academy of Sleep Medicine. ICSD2 - International Classification of Sleep Disorders. American Academy of Sleep Medicine Diagnostic and Coding Manual . Diagnostik dan Coding Manual. 2nd. 2. Westchester, Ill: American Academy of Sleep Medicine; 2005:1-32.
3. Zeidler, M.R. 2011. Insomnia. Editor: Selim R Benbadis.
4. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC
5. Insomnia.(mayoclinic.com/health/insomnia/DS00187/DSECTION=alternative-medicine Diakses tanggal 28 April 2013)
6. Maslim, Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
7. Maslim, Rusdi. 2001. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
8. Gelder, Michael G, etc. 2003. New Oxford Textbook of Psychiatry. London: Oxford University Press
9. Hazzard, William R, et. Al. Principle of geriatric medicine and gerontology. Second edition. McGrow Hill Inc. USA, 1990.
10. Daniel J. 2008. Chronic insomnia. Am J Psychiatry June 2008  165: 678 - 685
11. Liya S. 2013. Penanganan Insomnia. E-journal Medika Udayana Vol 2 No. 5
12.

Selvi SulistiaNingsih

Posts : 6
Reputation : 0
Join date : 26.11.15

Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik