Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Faktor resiko dan Protektif Skizofrenia Relaps

Go down

Faktor resiko dan Protektif Skizofrenia Relaps Empty Faktor resiko dan Protektif Skizofrenia Relaps

Post by fannykinasih Thu Aug 20, 2015 4:02 pm

BAB I
PENDAHULUAN

Skizofrenia merupakan suatu sindroma klinis dari berbagai keadaan psikopatologis yang sangat mengganggu yang melibatkan proses pikir, emosi, persepsi dan tingkah laku.1 Perjalanan gangguan skizofrenik dapat berlanjut atau bersifat episodik dengan defisit yang bersifat progresif atau bisa menetap atau mengalami satu atau lebih episode dengan remisi sempurna atau tidak sempurna.1 Kebanyakan pasien-pasien skizofrenik mengalami perjalanan penyakit yang kronik dengan berbagai bentuk karakteristik relaps dengan eksaserbasi psikosis dan peningkatan angka rehospitalisasi. Successive relapse dapat menurunkan tingkat dan durasi remisi, memperburuk disabilitas dan meningkatkan refrakteritas bagi pengobatan selanjutnya.2
Sebanyak 90% penderita successive relapse dan pada akhirnya tidak pernah sembuh secara sempurna (full recovery). Banyak studi-studi menunjukkan bahwa angka relaps (relapse rate) penderita skizofrenik dapat diturunkan dari 75% menjadi 20% dengan obat-obat neuroleptik.3
Menurut Campbell dalam Psychiatric Dictionary relaps didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana apabila seorang pasien yang sudah pulih atau mengalami perbaikan kembali menunjukkan gejala sebelumnya. Setiap relaps berpotensi membahayakan bagi pasien dan keluarganya. Dalam keadaan seperti ini pasien mungkin akan dirawat inap kembali dan membutuhkan biaya yang tinggi.4
Penderita skizofrenik episode pertama umumnya berespons baik terhadap pengobatan, tetapi angka relaps masih tinggi dalam setahun perjalanan penyakit. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan merupakan salah satu penyebab relaps dan pasien perlu dirawat inap kembali.4
Walaupun antipsikotik konvensional dapat menurunkan gejala-gejala positif pada kebanyakan pasien setelah beberapa minggu, penghentian obat antipsikotik dapat menyebabkan relaps sekitar 10% setiap bulan, jadi kira-kira 50% atau lebih akan mengalami relaps dalam waktu 6 bulan setelah penghentian pengobatan.2
Sehingga secara internasional direkomendasikan pengobatan episode pertama dimulai secepatnya dan dilanjutkan sekurang-kurangnya selama 2 tahun. Apabila terjadi relaps, sebaiknya pengobatan dilanjutkan selama 5 tahun atau lebih. Terapi dengan menggunakan obat merupakan pertahanan paling penting dalam mencegah relaps. Perbedaan angka relaps antara pasien-pasien yang menggunakan plasebo dan obat neuroleptik telah diteliti (kira-kira 69% pada kelompok yang menggunakan plasebo dan 26% pada kelompok yang menggunakan neuroleptik setelah 1 tahun). Angka relaps tahun pertama dapat diturunkan dari 75% menjadi 15% dengan menggunakan neuroleptik dalam pengobatan profilaksis.5
Berdasarkan tingginya angka relaps yang terjadi pada pasien skizofrenia, maka penulis menjadi tertarik untuk membuat referat mengenai “Faktor Resiko dan Protektir Skizofrenia Relaps”. Referat ini diharapkan dapat menjadi referensi yang digunakan sebagai pedoman dalam menangani pasien skizofrenia yang mengalami relaps secara komprehensif.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SKIZOFRENIA
2.1.1 Definisi
Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.1
2.1.2 Fase atau Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap individu. Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi beberapa fase yang dimulai dari prodromal, fase aktif dan keadaan residual.1
1. Fase Prodomal
- Berlangsung antara 6 bulan sampai 1 tahun
- Gangguan dapat berupa Self care, gangguan dalam akademik, gangguan dalam pekerjaan, gangguan fungsi sosial, gangguan pikiran dan persepsi.
2. Fase Aktif
- Berlangsung kurang lebih 1 bulan.
- Gangguan dapat berupa gejala psikotik ; Halusinasi, delusi, disorganisasi proses berfikir, gangguan bicara, gangguan perilaku, disertai kelainan neurokimiawi.
3. Fase Residual
- Mengalami minimal 2 gejala
- Gangguan afek dan gangguan peran, serangan biasanya berulang.


2.1.3 Etiologi
Sampai saat ini penyebab dari gangguan skizofrenia masih belum diketahui secara pasti. Namun, terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab skizofrenia, antara lain :
a. Faktor Genetik
Faktor keturunan juga menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur.1
Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di seluruh kromosom. Hal ini juga menjelaskan mengapa terdapat gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan skizofrenia (dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini.10
b. Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang disebut neurotransmiter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmiter dopamin yang berlebihan di bagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamin. Neuron dopaminergik di dalam jalur tersebut berjalan dari badan selnya di otak tengah ke neuron dopaminoseptif di sistem limbik dan korteks serebral. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamin yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmiter lain seperti serotonin dan norepinefrin juga memainkan peranan penting dalam terjadinya skizofrenia.10
c. Model Diatesis-Stress/Psikososial
Satu model untuk intergrasi faktor biologis, faktor psikososial dan lingkungan adalah model diathesis-stress. Model ini menggambarkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diathesis) yang bila dikenai pengaruh lingkungan yang menimbulkan stres sehingga muncul gejala skizofrenia. Pada kerentanan terhadap stress yang paling umum dapat didapatkan secara biologis atau lingkungan atau keduanya. Komponen lingkungan dapat berupa biologis (contohnya: infeksi) maupun psikologis (contoh situasi keluarga yang penuh ketegangan atau kematian teman dekat). Dasar biologis untuk suatu kerentanan dibentuk lebih lanjut oleh pengaruh genetik, penyalahgunaan zat, stress psikologis, dan trauma.1
d. Neurologikal
Menurut konsep neurobiologikal gangguan jiwa sangat berkaitan dengan abnormalitas sruktur dari otak atau aktivitas berlebihan di lokasi spesifik yang dapat menyebabkan atau berkontribusi dalam gangguan jiwa. Sebagai contoh masalah komunikasi adalah salah satu bagian dari disfungsi secara luas. Hal ini juga diketahui bahwa hubungan antara nukleus yang mengontrol kognitif, perilaku, dan emosi terutama terlibat dalam gangguan psikiatri. Serebral korteks, merupakan daerah di otak yang sangat penting dalam membuat keputusan dan berfikir tingkat tinggi, seperti pemikiran abstrak.1
Sistem limbik, yang terlibat dalam mengatur perilaku emosional, memori, dan pembelajaran.11
a. Ganglia basal : mengkoordinasi gerakan.
b. Hipotalamus : meregulasi hormon di tubuh sepeti kebutuhan makan, minum dan seks.
c. Locus ceruleus : membuat sel saraf dapat meregulasi tidur dan terlibat dalam perilaku dan mood.
d. Substantia nigra : sel yang memproduksi dopamin dan terlibat dalam mengontrol pergerakkan yang kompleks, berfikir dan respon emosi.


















Gambar 1. Area otak yang terlibat pada skizofrenia
2.1.4 Psikopatologi
Penelitian mutakhir menyebutkan bahwa perubahan-perubahan pada neurotransmiter dan resptor di sel-sel saraf otak (neuron) dan interaksi zat neurokimia dopamin dan serotonin, ternyata mempengaruhi alam pikir, perasaan, dan perilaku yang menjelma dalam bentuk gejala-gejala positif dan negatif skizofrenia.11
Gejala negatif Gejala positive
Alogia Halusinasi
Afek datar Delusi
avolition – apatis Tingkah laku aneh
anhedonia – asociality Gangguan berfikir positif formal
Gangguan attensi
Selain perubahan-perubahan yang sifatnya neurokimiawi di atas, dalam penelitian dengan menggunakan CT Scan otak, ternyata ditemukan pula perubahan pada anatomi otak pasien, terutama pada penderita kronis. Perubahannya ada pada pelebaran lateral ventrikel, atrofi korteks bagian depan, dan atrofi otak kecil (cerebellum).11

2.1.5 Klasifikasi
Subtipe skizofrenia menurut DSM-IV :
1. Tipe paranoid (F 20.0)
DSM IV menyebutkan bahwa tipe paranoid ditandai oleh keasikan (preokupasi) pada satu atau lebih waham atau halusinasi dengar yang sering dan tidak ada perilaku spesifik lain yang mengarahkan pada tipe terdisorganisasi atau katatonik. Secara klasik, skizofrenia tipe paranoid ditandai terutama oleh adanya waham kejar atau waham kebesaran. Pasien skizofrenik paranoid biasanya berumur lebih tua dari pada pasien skizofrenik terdisorganisasi atau katatonik jika mereka mengalami episode pertama penyakitnya. Pasien yang sehat sampai akhir usia 20 atau 30 tahunan biasanya mencapai kehidupan sosial yang dapat membantu mereka melewati penyakitnya. Selain itu, kekuatan ego pasien paranoid cenderung lebih besar dari pasien katatonik dan terdisorganisasi. Pasien skizofrenik paranoid menunjukkan regresi yang lambat dari kemampuan mentalnya, respon emosional dan perilakunya dibandingkan tipe lain pada pasien skizofrenik.1
Pasien skizofrenik paranoid tipikalnya adalah tegang, pencuriga, berhati-hati dan tak ramah. Mereka juga dapat bersikap bermusuhan atau agresif. Pasien skizofrenik paranoid kadang-kadang dapat menempatkan diri mereka sendiri secara adekuat di dalam situasi sosial. Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh kecenderungan psikosis mereka dan tetap berfungsi secara baik.1
2. Tipe Hebefrenik atau Disirganisasi (F 20.1)
Tipe disorganisasi sebelumnya dinamakan hebrefenik ditandai oleh regresi yang nyata ke perilaku primitif, perilaku yang tidak dapat dihambat dan tidak teratur, serta tidak adanya gejala yang memenuhi kriteria untuk tipe katatonik. Onset biasanya terjadi awal, sebelum usia 25 tahun. Pasien terdisorganisasi biasanya aktif tetapi dengan cara yang tidak bertujuan dan tidak konstruktif. Gangguan pikiran mereka adalah hal yang paling menonjol dan kontaknya buruk terhadap kenyataan. Penampilan pribadinya dan perilaku sosialnya rusak. Respon emosionalnya sesuai dan mereka sering kali meledak tertawanya tanpa alasan. Wajah yang meringis dan menyeringai paling sering ditemukan pada tipe pasien ini, perilaku tersebut paling baik digambarkan sebagai kekanak-kanakan atau bodoh.1
3. Tipe Katatonik (F 20.3)
Ciri klasik dari tipe katatonik adalah gangguan nyata pada fungsi motorik yang mungkin berupa stupor, negativisme, rigiditas, kegembiraan atau posturing. Kadang-kadang pasien menunjukkan perubahan yang cepat antara kegembiraan dan stupor. Ciri penyerta adalah stereotipik, manerisme, dan fleksibilitas lilin. Mutisme adalah yang paling sering ditemukan. Selama stupor atau kegembiraan katatonik, pasien skizofrenik memerlukan pengawasan yang ketat untuk menghindari pasien melukai dirinya sendiri atau orang lain. Perawatan medis mungkin diperlukan karena adanya malnutrisi, kelelahan, hiperpireksia atau cidera yang disebabkan oleh diri sendiri.1
4. Depresi Pasca-skizofrenia (F 20.4)14
Pedoman Diagnostik
a. Diagnosis harus ditegakkan hanya jika :
1) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria umum skizofrenia) selama 12 bulan terakhir ini
2) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya), dan
3) Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling sedikit kriteria untuk episode depresif dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu
b. Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia, diagnosis menjadi Episode Depresif. Bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai (F 20.0 – F 20.3).14
5. Tipe Residual (F 20.5)
Menurut DSM IV, tipe residual ditandai oleh bukti-bukti yang terus-menerus adanya gangguan skizofrenik, tanpa adanya kumpulan lengkap gejala aktif atau gejala yang cukup untuk memenuhi tipe lain skizofrenia. Penumpulan emosional, penarikan sosial, perilaku eksentrik, pikiran yang tidak logis dan asosiasi longgar ringan adalah gejala yang sering ditemukan pada tipe residual. Jika waham atau halusinasi ditemukan, maka hal tersebut tidak menonjol dan tidak disertai oleh afek yang kuat.1
6. Skizofrenia Simpleks (F. 20.6)14
a. Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari:
1. Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik.
2. Disertai dengan perubahan perilaku pribadi yang bermakna bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial
b. Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia lainnya.14
7. Tipe tidak tergolongkan (undifferentiated type)
Sering kali pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah dimasukkan kedalam salah satu tipe. DSM-IV mengklasifikasikan pasien tersebut sebagai tipe tidak tergolongkan. Kriteria diagnosis DSM-IV untuk skizofrenia memerlukan onset gangguan, satu atau lebih bidang fungsi utama seperti pekerjaan, hubungan interpersonal atau perawatan diri sendiri.1
8. Tipe I dan tipe II
Ditahun 1980 T.J.Crown mengajukan suatu klasifikasi pasien skizofrenik ke dalam tipe I dan tipe II. Perbedaan klinis dari kedua tipe tersebut telah secara bermakna mempengaruhi penelitian psikiatrik. Gejala negatif yang timbul yaitu afek datar atau tumpul, kemiskinan pembicaraan atau isi pembicaraan, penghambatan (blocking), penampilan yang buruk, tidak adanya motivasi, anhedonia, penarikan sosial, defek kognitif dan defisit perhatian. Gejala positif adalah asosiasi longgar, halusinasi, perilaku aneh dan bertambah banyaknya pembicaraan. Pasien tipe I cenderung memiliki sebagian besar gejala positif, struktur otak yang normal pada CT, dan respons yang relatif baik terhadap pengobatan. Pada pasien tipe II cenderung memiliki sebagian besar gejala negatif, kelainan struktural otak pada pemeriksaan CT dan respon yang buruk terhadap pengobatan.1
9. Sub tipe Lain
Nama dari beberapa sub tipe lain tersebut adalah menjelaskan katanya sendiri (self-explanatory) sebagai contoh: onset akhir (late-onset), masa anak-anak dan proses. Skizofrenia onset akhir bisanya didefinisikan sebagai skizofrenia yang mempunyai onset setelah usia 45 tahun. Skizofrenia dengan onset yang terjadi pada masa anak-anak (childhood schizophrenia). Skizofrenia proses yang berarti skizofrenia dengan perjalanan yang menimbulkan kecacatan dan keruntuhan.1
2.1.6 Diagnosis
DSM IV mempunyai kriteria diagnosis resmi dari American Psychiatric Association untuk skizofrenia: 1
Kriteria Diagnostik Skizofrenia
A. Gejala karakteristik: Dua atau lebih berikut,masing-masing ditemukan untuk bagian waktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau kurang jika pengobatan berhasil):
(1) Waham
(2) Halusinasi
(3) Bicara disorganisasi (misalnya, sering menyimpang atau inkoheren)
(4) Perilaku disorganisasi atau katatonik yang jelas
(5) Gejala negatif, yaitu afk datar, alogia atau tidak ada kemauan (avolition)
Catatan : hanya satu gejala kriteria A yang diperlukan jika waham adalah bizzare (kacau) atau halusinasi terdiri dari suara yang terus menerus mengomentari perilaku atau pikiran pasien atau dua atau lebih suara yang saling bercakap-cakap satu sama lainnya.
B. Disfungsi sosial/pekerjaan: Untuk bagian waktu yang bermakna sejak onset gangguan, satu atau lebih fungsi utama, seperti pekerjaan, hubungan interpersonal atau perawatan diri adalah jelas di bawah tingkat yang dicapai sebelum onset (atau jika onset pada masa anak-anak atau remaja, kegagalan untuk mencapai tingkat pencapaian interpersonal, akademik atau pekerjaan yang diharapkan)
C. Durasi: tanda gangguan terus-menerus menetap selama sekurangnya 6 bulan. Periode 6 bulan ini harus termasuk sekurangnya 1 bulan gejala (atau kurang jika pengobatan berhasil) yang memenuhi kriteria A (yaitu gejala fase aktif) dan mungkin termasuk periode gejala prodomal atau residual. Selama periode prodomal atau residual tanda gangguan mungkin hanya gejala negatif saja atau dua atau lebih gejala yang dituliskan dalam kriteria A dalam bentuk yang lebih lemah (misalnya, keyakinan yang aneh, pengalaman atau persepsi yang tidak lazim)
D. Penyingkiran gangguan skizoafektif dan gangguan mood. Gangguan skizoafektif dan gangguan mood dengan ciri psikotik telah disingkirkan karena: (1) tidak ada episode depresif berat, manik atau campuran yang telah terjadi bersama-sama dengan gejala fase aktif atau (2) jika episode mood telah terjadi selama gejala fase aktif, durasi totalnya adalah relatif singkat dibandingkan durasi periode aktif dan residual.
E. Penyingkiran zat/kondisi medis umum: gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalah gunakan) atau suatu kondisi medis umum
F. Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasif. Jika terdapat adanya riwayat gangguan autistik atau gangguan perkembangan pervasif lainnya, diagnosis tambahan skizofrenia dibuat hanya jika waham atau halusinasi yang menonjol juga ditemukan untuk sekurangnya satu bulan (atau kurang jika diobati secara berhasil).
Klasifikasi perjalanan penyakit longitudinal (dapat diterapkan hanya setelah sekurangnya 1 tahun sejak onset awal gejala fase aktif);
• Episodik dengan gejala residual antar episode (episode didefinisikan oleh timbulnya kembali gejala psikotik yang menonjol), juga sebutkan jika dengan gejala negatif yang menonjol
• Episode tanpa gejala residual antar episodik
• Episode tunggal dalam remisi parsial, juga dengan gejala negatif yang menonjol
• Episode tunggal dalam remisi penuh
• Pola lain atau tidak ditentukan
2.1.7 Penatalaksanaan
Pengobatan harus secepat mungkin, karena keadaan psikotik yang lama menimbulkan kemungkinan lebih besar penderita menuju ke kemunduran mental.

2.2.7.1 Farmakoterapi12
Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah untuk mengendalikan gejala aktif dan mencegah kekambuhan. Obat antipsikotik mencakup dua kelas utama: antagonis reseptor dopamin, dan antagonis serotonin-dopamin.
a. Antagonis Reseptor Dopamin
Antagonis reseptor dopamin efektif dalam penanganan skizofrenia, terutama terhadap gejala positif. Obat-obatan ini memiliki dua kekurangan utama. Pertama, hanya presentase kecil pasien yang cukup terbantu untuk dapat memulihkan fungsi mental normal secara bermakna. Kedua, antagonis reseptor dopamin dikaitkan dengan efek samping yang mengganggu dan serius. Efek yang paling sering mengganggu adalah akatisia adan gejala lir-parkinsonism berupa rigiditas dan tremor. Efek potensial serius mencakup diskinesia tarda dan sindrom neuroleptik maligna.12
b. Antagonis Serotonin-Dopamin (SDA)
SDA menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang minimal atau tidak ada, berinteraksi dengan subtipe reseptor dopamin yang berbeda di banding antipsikotik standar, dan mempengaruhi baik reseptor serotonin maupun glutamat. Obat ini juga menghasilkan efek samping neurologis dan endokrinologis yang lebih sedikit serta lebih efektif dalam menangani gejala negatif skizofrenia. Obat yang juga disebut sebagai obat antipsikotik atipikal ini tampaknya efektif untuk pasien skizofrenia dalam kisaran yang lebih luas dibanding agen antipsikotik antagonis reseptor dopamin yang tipikal. Golongan ini setidaknya sama efektifnya dengan haloperidol untuk gejala positif skizofrenia, secara unik efektif untuk gejala negatif, dan lebih sedikit, bila ada, menyebabkan gejala ekstrapiramidal. Beberapa SDA yang telah disetujui di antaranya adalah klozapin, risperidon, olanzapin, sertindol, kuetiapin, dan ziprasidon. Obat-obat ini tampaknya akan menggantikan antagonis reseptor dopamin, sebagai obat lini pertama untuk penanganan skizofrenia.12
Pada kasus sukar disembuhkan, klozapin digunakan sebagai agen antipsikotik, pada subtipe manik, kombinasi untuk menstabilkan mood ditambah penggunaan antipsikotik. Pada banyak pengobatan, kombinasi ini digunakan mengobati keadaan skizofrenia.
Kategori obat: Antipsikotik – memperbaiki psikosis dan kelakuan agresif.12
Nama Obat
Haloperidol (Haldol) Digunakan untuk manajemen psikosis, saraf motorik dan suara pada anak dan orang dewasa. Mekanisme tidak secara jelas ditentukan, tetapi merupakan competively blocking postsynaptic dopamine (D2) reseptor dalam sistem mesolimbik dopaminergik, dengan meningkatnya pergantian dopamin untuk efek penenang. Dengan terapi subkronik, depolarisasi dan D2 postsinaptik dapat memblokir aksi antipsikotik.
Risperidone (Risperdal) Monoaminergik selektif mengikat reseptor D2 dopamin selama 20 menit, afinitasnya lebih rendah dibandingkan reseptor 5-HT2. Juga mengikat reseptor alfa1-adrenergik dengan afinitas lebih rendah dari H1-histaminergik dan reseptor alpha2-adrenergik. Memperbaiki gejala negatif pada psikosis dan menurunkan kejadian pada efek ekstrpiramidal.
Olanzapine (Zyprexa) Antipsikotik atipikal dengan profil farmakologis yang melintasi sistem reseptor (seperti serotonin, dopamin, kolinergik, muskarinik, alpha adrenergik, histamin). Efek antipsikotik berupa perlawanan terhadap dopamin dan reseptor serotonin tipe-2. Diindikasikan untuk pengobatan psikosis dan gangguan bipolar.
Clozapine (Clozaril) Memblokir aktifitas reseptor D2 dan D1, tetapi memiliki efek dalam menghambat nonadrenolitik, antikolinergik, antihistamin secara signifikan, tepatnya antiserotonin. Resiko terbatasnya penggunaan agranulositosis pada pasien nonresponsif atau agen neuroleptik klasik tidak ditoleransi.
Quetiapine (Seroquel) Antipsikotik terbaru untuk penyembuhan jangka panjang. Mampu melawan efek dopamine dan serotonin. Perbaikan lebih awal antipsikotik termasuk efek antikolinergik dan kurangnya distonia, parkinsonism, dan tardif diskinesia.
Aripiprazole (Abilify) Memperbaiki gejala positif dan negatif skizofrenia. Mekanisme kerjanya belum diketahui, tetapi hipotesisnya berbeda dari antipsikotik lainnya. Aripiprazole menimbulkan parsial dopamin (D2) dan serotonin (5HT1A) agonis, dan antagonis serotonin (5HT2A).

Nama Obat Sediaan Dosis Anjuran
Haloperidol (Haldol) Tab. 2 – 5 mg 5 – 15 mg/hari
Risperidone (Risperdal) Tab. 1 – 2 – 3 mg 2 – 6 mg/hari
Olanzapine (Zyprexa) Tab. 5 – 10 mg 10 – 20 mg/hari
Clozapine (Clozaril) Tab. 25 – 100 mg 25 – 100 mg/hari
Quetiapine (Seroquel) Tab. 25 – 100 mg
200 mg 50 – 400 mg/hari
Aripiprazole (Abilify) Tab. 10 – 15 mg 10– 15 mg/hari
2.2.7.2 Terapi Psikososial
c. Terapi perilaku
Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan keterampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal yang diharapkan, seperti hak istimewa dan pas jalan di rumah sakit.1
d. Terapi berorientasi keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia sering kali dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, keluarga dimana pasien skizofrenia kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang dibahas didalam terapi keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya. Seringkali, anggota keluarga, didalam cara yang jelas mendorong sanak saudaranya yang terkena skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur terlalu cepat.
Rencana yang terlalu optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan tentang sifat skizofrenia dan dari penyangkalan tentang keparahan penyakitnya. Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien mengerti skizofrenia tanpa menjadi terlalu mengecilkan hati.1
e. Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi secara psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara suportif, bukannya dalam cara interpretatif, tampaknya paling membantu bagi pasien skizofrenia.1
f. Psikoterapi individual
Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda dari yang ditemukan di dalam pengobatan pasien non-psikotik. Pengamatan yang cermat dari jauh dan rahasia, perintah sederhana, kesabaran, ketulusan hati, dan kepekaan terhadap kaidah sosial adalah lebih disukai daripada informalitas yang prematur dan penggunaan nama pertama yang merendahkan diri. Kehangatan atau profesi persahabatan yang berlebihan adalah tidak tepat dan kemungkinan dirasakan sebagai usaha untuk suapan, manipulasi, atau eksploitasi.1
g. Perawatan di Rumah Sakit
Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik, menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh, prilaku yang sangat kacau termasuk ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar.
Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan rumah sakit tergantung dari keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan. Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah masalah kehidupan, perawatan diri, kualitas hidup, pekerjaan, dan hubungan sosial. Perawatan di rumah sakit harus diarahkan untuk mengikat pasien dengan fasilitas perawatan termasuk keluarga pasien. Pusat perawatan dan kunjungan keluarga pasien kadang membantu pasien dalam memperbaiki kualitas hidup.1
2.2 SKIZOFRENIA RELAPS
Istilah relaps biasanya ditujukan untuk gejala perburukan atau rekurensi gejala positif daripada gejala negatif, dan relaps mengganggu perjalanan penyakit. Relaps yang satu akan mengakibatkan kemungkinan terjadinya relaps berikutnya dan simptom residual pada penderita skizofrenik. 5
Sebagai gangguan kronik, skizofrenia biasanya dikarakteristikkan dengan kemungkinan relaps dengan periode sembuh total atau sebagian. Meskipun medikasi antipsikotik efektif dalam menurunkan angka relaps, 30-40% pasien mengalami relaps dalam 1 tahun setelah keluar dari rumah sakit meskipun mendapatkan medikasi maintenance.2
Dalam pengamatan selama setahun, ditemukan bahwa 33% penderita skizofrenik relaps dan 12,1% akan dilakukan rawat inap kembali. Tidak ada perbedaan kemungkinan relaps pada penderita yang langsung diobati dibandingkan dengan yang terlambat diobati; meskipun demikian, penderita yang sering relaps biasanya memiliki riwayat durasi yang lebih panjang dari psikosis yang tidak diobati dibandingkan penderita tanpa relaps.6
Pasien-pasien skizofrenik tetap akan mengalami relaps meskipun mereka harus menghabiskan 15-20% waktunya dalam institusi psikiatrik dan menempati sepertiga ranjang rumah sakit jiwa.5
2.2.1 Prinsip Dasar Dari Relaps
Tidak ada kriteria umum yang dapat dianggap sebagai kriteria relaps. Secara umum, istilah relaps ditujukan untuk gejala perburukan atau rekurensi gejala positif daripada gejala negatif. Meskipun demikian, batasan istilah skizofrenia relaps belum begitu jelas. Pada kenyataannya, relaps merupakan suatu istilah relatif dan harus meliputi beberapa faktor berikut: kondisi pasien sebelum onset penyakit terakhir (sebelumnya), tingkat fungsi sebelum episode terbaru, keparahan dari relaps dalam terminologi keparahan simptom, durasi dan pengaruhnya terhadap fungsi personal, dan gambaran bentuk simptom atau perilaku yang baru.5
Menurut Johnstone, relaps dapat didefinisikan sebagai pemunculan kembali simptom-simptom skizofrenik pada pasien yang sudah mengalami bebas gejala selama episode sebelumnya (tipe I) dan eksaserbasi simtom positif secara persisten (tipe II). Tipe-tipe tersebut tidak selalu mudah untuk dibedakan.5
2.2.2 Hubungan Relaps Dengan Prognosis
Beberapa bukti menyatakan bahwa kerusakan yang terjadi membutuhkan waktu yang lama dari yang diperkirakan bagi pasien-pasien yang menghentikan medikasi antipsikotik untuk kemudian mengalami relaps ke fungsi klinis sebelum mereka menghentikan obat.5
Johnson et al. mengamati bahwa pasien-pasien yang akan mengalami relaps, saat menghentikan medikasi antipsikotik secara perlahan akan kembali ke kondisi sebelumnya, dan belum begitu jelas apakah semua pasien akan mengalami hal yang sama, pada kenyataannya, akan kembali ke fungsi sebelum mereka menghentikan obat. Hanya 53% pasien yang menghentikan medikasi yang memiliki pekerjaan yang sesuai 18 bulan setelah mereka mendaftarkan diri dalam penelitian, dibanding dengan 84% pasien yang melanjutkan medikasi secara reguler. Curson et al., menemukan korelasi negatif yang tinggi antara penyesuaian diri secara sosial dan jumlah relaps yang terjadi setelah follow-up selama 7 tahun.5
Baru-baru ini, dalam suatu penelitian prospektif yang dilakukan terhadap pasien-pasien skizofrenik episode pertama, Lieberman menemukan bahwa pasien-pasien menunjukkan respons yang buruk dan waktu yang lebih lama untuk remisi pada episode berikutnya (kedua dan ketiga), meskipun pasien-pasien tersebut mendapatkan pengobatan yang sama seperti saat episode pertama.5
Temuan ini memberi kesan bahwa strategi intervensi penatalaksanaan dibutuhkan sehingga diharapkan dapat meningkatkan identifikasi dan penatalaksanaan skizofrenia secara dini, demikian juga dengan ketaatan dan kepatuhan seiring dengan perbaikan dari kondisi sebelumnya. Temuan ini juga menimbulkan pertanyaan yang menarik sehubungan dengan mekanisme bagaimana hal ini bisa terjadi.5
Keseluruhan hasil pengamatan ini konsisten dengan pendapat Kraeplin. Pada dasarnya, Kraeplin beranggapan bahwa defek yang berkembang merupakan karakteristik dari gangguan ini, dan meskipun beberapa penyakit mengalami perburukan yang progresif, pada kebanyakan kasus dikarakteristikkan oleh episode selanjutnya yang secara kolektif memperburuk gambaran klinisnya.5
2.2.3 Faktor Resiko Relaps
2.2.3.1 Ketidakpatuhan Terhadap Pengobatan
Faktor yang paling penting sehubungan dengan relaps pada skizofrenia adalah ketidakpatuhan terhadap pengobatan. Bahkan dalam penelitian terkontrol, persentase pasien-pasien yang tidak memakan obat (36.5%) secara nyata lebih tinggi daripada pasien-pasien yang menjalani pengobatan secara rutin.Menurut data Ayuso-Gutierrez et al., banyak sekali penderita skizofrenik yang mengalami eksaserbasi klinis dan membutuhkan perawatan akibat tidak menuruti penatalaksanaan yang diberikan.5
Menurut Kinon et al., kriteria ketidakpatuhan terhadap pengobatan adalah jika ditemukan salah satu keadaan dibawah ini:8
a. Pada pasien rawat jalan atau rawat inap dalam 72 jam menunjukkan ≥ dua episode dari:
1) Menolak obat yang diresepkan baik secara aktif atau pasif.
2) Adanya bukti atau kecurigaan menyimpan atau meludahkan obat yang diberikan.
3) Menunjukkan keragu-raguan terhadap obat yang diberikan.
b. Pasien rawat inap dengan riwayat tidak patuh pada pengobatan sewaktu rawat jalan minimal tidak patuh selama 7 hari dalam sebulan.
c. Pasien rawat jalan dengan riwayat ketidakpatuhan yang sangat jelas seperti sudah pernah dilakukan keputusan untuk mengawasi dengan ketat oleh orang lain dalam waktu sebulan.
d. Pasien rawat inap yang mengatakan dirinya tidak dapat menelan obat-obatan walaupun tidak ditemukan kondisi medis yang dapat mengakibatkan hal tersebut.
Faktor-faktor yang mempunyai hubungan dengan ketidakpatuhan antara lain:7
a. Faktor-faktor sehubungan dengan pasien (keparahan penyakit, insight yang buruk, komorbid dengan penggunaan zat).
b. Faktor-faktor sehubungan dengan pengobatan (efek samping obat yang mengganggu, dosis yang tidak efektif).
c. Faktor lingkungan (kurangnya dukungan).
d. Faktor-faktor sehubungan dengan dokter (ikatan terapetik yang buruk).
2.2.3.2 Faktor-Faktor Sehubungan Dengan Pasien
Beberapa karakteristik demografi telah dihubungkan dengan perilaku patuh. Usia masih merupakan masalah yang kontroversial dalam hubungannya dengan ketidakpatuhan. Tampaknya pasien-pasien yang berusia lanjut mempunyai permasalahan tentang kepatuhan terhadap rekomendasi yang diberikan. Di kalangan usia muda, terutama pria, cenderung mempunyai tingkat kepatuhan yang buruk terhadap pengobatan. Alasan untuk hal ini kemungkinan bahwa pada dewasa muda sehubungan dengan segala bentuk terapi atau dalam mengatur perjanjian, mereka menganggap dirinya istimewa dan berbeda dengan yang lain. Sedangkan pada orangtua, kemungkinan memiliki defisit memori sehingga dapat mempengaruhi kepatuhan. Selain itu, pada orangtua sering mendapat berbagai macam obat-obatan sehubungan dengan komorbiditas fisik. Wanita cenderung lebih patuh terhadap pengobatan dibandingkan pria, begitu juga wanita muda menunjukkan kepatuhan yang lebih baik dibandingkan yang tua.7
Keadaan penyakit pasien sendiri juga mempunyai pengaruh yang kuat dalam penerimaan terhadap pengobatan. Pasien yang merasa tersiksa atau khawatir akan diracuni, akan merasa enggan untuk menerima pengobatan. Permasalahan yang lain adalah model kepercayaan pasien tentang kesehatannya, dimana menggambarkan pikiran pasien tentang penyebab dan keparahan penyakit mereka. Banyak orang menilai bahwa skizofrenia adalah penyakit yang kurang penting dan tidak begitu serius dibandingkan penyakit-penyakit lain seperti diabetes, epilepsi dan kanker. Jadi jelas bahwa jika mereka mempercayai penyakitnya tidak begitu serius dan tidak penting untuk diterapi maka ketidakpatuhan dapat terjadi. Begitu juga persepsi sosial juga berpengaruh, jika persepsi sosial buruk maka pasien akan berusaha menghindari setiap hal tentang penyakitnya termasuk pengobatan.7
Sikap pasien terhadap pengobatan juga perlu diperhitungkan dalam pengaruhnya terhadap kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Sangatlah penting untuk mengamati, berdiskusi dan jika memungkinkan mencoba untuk merubah sikap pasien terhadap pengobatan. Pada pasien dengan skizofrenia sikap pasien terhadap pengobatan dengan antipsikotik bervariasi dari yang sangat negatif sampai sangat positif. Sikap negatif terhadap pengobatan berhubungan dengan simptom positif dan efek samping. Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa semakin lama pasien akan berubah sikapnya terhadap pengobatan.7
Terakhir adalah masalah keuangan. Masalah keuangan dapat juga mengganggu kepatuhan pasien. Beberapa pasien mungkin tidak mampu untuk membeli obat atau walaupun mampu jarak tempuh dan transportasi dapat menjadi penghalang.7
2.2.3.3 Faktor-Faktor Sehubungan Dengan Pengobatan
Pasien yang tidak mengalami efek samping terhadap pengobatan kemungkinan lebih mau melanjutkan pengobatan. Efek samping obat neuroleptik yang tidak menyenangkan sebaiknya diperhitungkan sebab dapat berperan dalam menurunkan kepatuhan. Efek samping yang umum dan penting adalah efek pada ekstrapiramidal, gangguan seksual dan penambahan berat badan. Namun, pada data ternyata tidak ada hubungan antara regimen terapi dan profil efek samping dengan kepatuhan terhadap pengobatan. Kenyataannya, pasien yang tidak patuh tidak berbeda dari pasien yang patuh dalam melaporkan efek samping obat neuroleptik. Penemuan ini adalah sama dengan penelitian lain yang menemukan bahwa efek samping obat bukanlah alasan yang sering dikatakan pasien dalam menolak pengobatan. Penderita skizofrenia yang menggunakan antipsikotik atipikal lebih mau meneruskan pengobatan dibandingkan penderita yang menggunakan antipsikotik konvensional.8
Masalah tambahan dalam pengobatan skizofrenia adalah kebanyakan obat-obat antipsikotik kerja obatnya (onset of action) lambat, sehingga pasien tidak merasakan dengan segera efek positif dari antipsikotik. Malahan kadang-kadang pasien lebih dahulu merasakan efek samping sebelum efek obat terhadap penyakitnya tersebut. Begitu juga dengan pasien skizofrenia yang sudah dalam remisi biasanya relaps tidak langsung segera terjadi bila pengobatan dihentikan. Relaps dapat terjadi beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan setelah obat anti psikotik dihentikan, jadi penghentian pengobatan tidak terlalu berhubungan dengan memburuknya keadaan pasien. Sebagai akibatnya pasien yang sudah dalam remisi sempurna mempunyai permasalahan apakah remisi tersebut berhubungan dengan pengobatan yang dilakukannya.7
Pasien mungkin juga merasakan obat-obatan tersebut tidaklah seefektif seperti yang mereka harapkan atau bahkan berbahaya. Hal ini menjadi tanggung jawab dokter dalam melakukan pengobatan untuk melengkapi pasien dengan pandangan yang seimbang dan realistik mengenai profil keuntungan dan kerugian antipsikotik yang akan diberikan.7
Beragamnya obat yang diresepkan juga memiliki peran penting dalam kepatuhan. Pasien yang menerima regimen pengobatan yang kompleks, misalnya mengkonsumsi beberapa obat dengan waktu yang berbeda dalam satu hari atau mengkonsumsi 2 macam atau lebih obat-obatan, mempunyai permasalahan dalam ketaatan terhadap obat yang diberikan dibanding pasien yang hanya mengkonsumsi 1 macam obat dengan dosis tunggal.7
Cara pemberian obat dapat juga mempengaruhi kepatuhan. Namun hasil ketidakpatuhan yang sama diperoleh pada pasien yang tidak patuh terhadap pemberian obat oral yang diganti dengan depot neuroleptik. Hal ini yang sering terjadi kesalahpahaman bahwa pemberian obat depot akan meningkatkan kepatuhan. Namun penggunaan antipsikotik kerja lama dapat mengatasi kepatuhan yang parsial sehingga dapat memperbaiki outcome penyakit.9
Dosis obat neuroleptik yang adekuat merupakan hal yang penting. Sayangnya, penelitian tentang obat seringkali berhenti sampai ditentukan apakah suatu antipsikotik bermanfaat dalam menurunkan simtom positif yang akut. Beberapa data telah tersedia tentang urutan tahapan pengobatan. Beberapa studi telah dilakukan apakah obat neuroleptik dosis rendah sama efektifnya dengan terapi jangka panjang. Hasil yang ditunjukkan adalah perbedaan dalam angka relaps dengan menggunakan dosis standar, berlawanan dengan fungsi sosial yang baik dengan obat dosis rendah, kemungkinan terhadap efek samping yang ringan. Studi ini membandingkan regimen yang konvensional dengan dosis rendah dan tidak menentukan dosis minimum yang efektif.5
2.2.3.4 Faktor Lingkungan
Dukungan dan bantuan merupakan variabel penting dalam kepatuhan terhadap pengobatan. Pasien yang tinggal sendirian secara umum mempunyai angka kepatuhan yang rendah dibandingkan mereka yang tinggal dalam lingkungan yang mendukung. Sebagai kemungkinan lain, sikap negatif dalam lingkungan sosial pasien terhadap pengobatan psikiatri atau terhadap pasien sendiri dapat mempengaruhi kepatuhan. Interaksi sosial yang penuh dengan stres dapat mengurangi kepatuhan yang biasanya terjadi bila pasien tinggal dengan orang lain. Sebagai contohnya adalah situasi emosional yang tinggi dan keluarga atau pihak lain yang tidak mau memperhatikan sikap positif pasien terhadap pengobatan.7
Tidak kalah penting faktor yang mempengaruhi perilaku pasien terhadap kepatuhan adalah pengaruh obat terhadap penyakitnya. Sangat penting untuk memberi dukungan untuk menambah sikap yang positif terhadap pengobatan pada pasien. Sebagai dokter kadang-kadang melupakan hal tersebut bahwa sikap positif tersebut perlu dibantu terus menerus. Lingkungan terapetik juga harus diperhitungkan. Dalam pasien rawat inap dimana teman sekamar pasien pernah mengalami pengalaman yang buruk terhadap satu jenis obat dan menceritakannya maka akan merubah sikap pasien terhadap obat yang sama.7
2.2.3.5 Faktor-Faktor Sehubungan Dengan Dokter
Hubungan terapetik yang dibangun dokter dengan pasien merupakan suatu landasan atau dasar dari kepatuhan terhadap pengobatan. Bagaimana menunjukkan bahwa dokter memiliki perhatian kepada pasien dan dokter mau meluangkan waktu untuk mendengar keluhan-keluhan pasien adalah penting. Terciptanya suatu hubungan yang baik merupakan prasyarat untuk masuk ke dalam ikatan terapetik dan memberikan informasi adalah hal yang penting dalam hubungan ini. Informasi dapat diberikan pada pasien ataupun keluarga baik dalam jadwal konsultasi ataupun dalam kelompok psikoedukasi. Pasien dan keluarga diberi informasi tentang penyakitnya dan rencana pengobatan yang akan dilakukan. Psikoedukasi telah menunjukkan dalam meningkatkan kepatuhan dan secara signifikan mengurangi angka relaps. Melengkapi informasi juga termasuk mendiskusikan perencanaan pengobatan baik kepada pasien atau kepada keluarga dimana pasien dan keluarga dilibatkan dalam proses perencanaan pengobatan penyakitnya. Adanya efek samping dapat memunculkan ketidakpatuhan dan sering menimbulkan kesalahpahaman.9
Penting juga bagi dokter agar dapat menepati jadwal pertemuan selanjutnya. Pasien yang sudah menerima jadwal pertemuan berikutnya dan dokter akan menepati dan untuk tidak menjadwal ulang walaupun sangat sibuk. Dokter juga dapat melakukan perubahan dalam berkomunikasi dengan pasien baik itu dengan gaya atau bahasa yang dapat dimengerti pasien sehingga dapat tercipta hubungan terapetik yang baik yang nantinya dapat meningkatkan kepatuhan. Klinisi juga harus mengikuti pedoman terapi yang direkomendasikan. Dengan mengikuti pedoman yang telah ditentukan maka pengobatan akan menjadi berguna, rasional dan gampang dimengerti oleh pasien dan mereka tidak menjadi bingung bila mereka mencoba mencari pendapat dokter lain.7
2.2.3.6 Faktor Psikososial
Berbagai macam stresor lingkungan kemungkinan berhubungan dengan relapsnya skizofrenia. Yang dimaksud dengan stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang yang memaksa orang tersebut untuk beradaptasi atau menanggulangi. Biasanya stresor psikososial terjadi dalam kurun waktu satu tahun sebelum gangguan jiwa saat ini. Yang termasuk stresor psikososial adalah sebagai berikut:7
- Problem dengan kelompok pendukung utama (primary support group).
- Problem yang berkaitan dengan lingkungan sosial.
- Problem pendidikan.
- Problem pekerjaan.
- Problem perumahan.
- Problem ekonomi.
- Problem dengan akses pelayanan kesehatan.
- Problem yang berkaitan dengan interaksi sistem hukum/kriminal.
- Problem psikososial dan masalah lingkungan lainnya.
Brown dan Birley menyatakan bahwa banyaknya peristiwa dalam kehidupan dalam beberapa minggu sebelum relaps secara signifikan lebih besar pada kasus relaps akut daripada kontrol normal. Begitupun juga, tinjauan-tinjauan tersebut menimbulkan keraguan tentang validitas dari apa yang disebut dengan hipotesis triggering ini. Penelitian retrospektif terbaru tidak mampu mendukung temuan tersebut.5
Perhatian utama ditujukan bagi emosi yang diekspresikan (expressed emotion) dan risiko terjadinya relaps pada skizofrenia.Sebagai salah satu faktor, apa yang dimaksud dengan expressed emotion dalam hal ini, berupa kebiasaan mempertontonkan kritikan atau emosi yang berlebihan oleh orangtua terhadap anak-anaknya. Selain faktor transaksional keluarga lainnya, studi-studi terbaru menunjukkan ketertarikannya terhadap gaya afektif negatif (negative affective style), yang terdiri dari: kritisisme, sikap menyalahkan, gangguan-gangguan, dan dukungan yang tidak adekuat. Pasien-pasien skizofrenia yang tinggal dalam lingkungan keluarga dengan expressed emotion yang kuat (highly expressed emotion) atau gaya afektif negatif secara signifikan lebih sering mengalami relaps dibandingkan dengan yang tinggal dalam lingkungan keluarga dengan expressed emotion yang rendah (low expressed emotion), atau gaya afektif yang normal. Studi-studi keluarga (family studies) menunjukkan bahwa pasien skizofrenik yang kembali ke lingkungan rumah dimana sering terjadi keadaan kritis, kekerasan atau emosi yang diekspresikan cenderung akan meningkatkan relaps. Studi WHO menunjukkan outcome yang lebih baik pada pasien skizofrenik secara tradisional, di negara-negara non-Barat, dimana keluarga lebih toleran. Intervensi keluarga terhadap terapi mungkin dapat menurunkan atau paling tidak akan memperlambat relaps pada pasien. Intervensi yang dapat dilakukan keluarga adalah lebih dapat menerima bentuk manajemen, yang pada kebanyakan pasien tidak dapat menerimanya. Selain itu, percobaan intervensi sosial pada keluarga penderita skizofrenik dengan pengobatan ternyata menghasilkan angka relaps yang rendah dibandingkan dengan hanya menggunakan pengobatan.5
Sehubungan dengan skizofrenia, Leff dan Vaughn melaporkan bahwa bentuk empati merupakan bagian dari sekumpulan sikap dengan pengekspresian emosi yang rendah. Sikap dari keluarga merupakan salah satu prediktor yang kuat terhadap relaps pada skizofrenia.9
2.2.4 Faktor Protektif dari Relaps
2.2.4.1 Dukungan Keluarga dan Teman
Keluarga merupakan faktor penting yang mempengaruhi kesehatan jiwa pasien. Jenis dukungan yang berikan kepada pasien adalah mengenai pengambilan obat-obatan, pengawasan, memantau asupan obat dan menemani pasien untuk pergi ke pelayanan kesehatan jiwa secara teratur, serta kebutuhan dasar kehidupan lainnya seperti pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan secara umum. Membantu keluarga untuk mempertahankan dan meningkatkan mendukung jaringan sosial merupakan hal yang berguna untuk mengurangi beban keluarga skizofrenia.
Dukungan anggota keluarga merupakan elemen utama yang penting berkaitan dengan kesembuhan pasien. Dukungan keluarga cenderung mengurangi beban yang mengasuh pasien dalam merawat pasien dengan skizofrenia.13
2.2.4.2 Kepatuhan Minum Obat
Kepatuhan obat antipsikotik menjadi pelindung yang kuat dari kekambuhan. Ditemukan bahwa risiko kambuh secara substansial lebih rendah ketika pasien sedang mengikuti dengan terapi antipsikotik yang benar. Perbaikan gejala yang diakui oleh sebagian besar pasien sizofrenia telah menyebabkan peningkatan dalam sikap mereka terhadap obat-obatan. Selain itu, sikap subjektif pasien terhadap obat dikaitkan dengan kepatuhan pengobatan yang dipengaruhi oleh pemilihan jenis obat antipsikotik. Beberapa pasien melaporkan efek samping obat antipsikotik yang lebih sedikit efek dari yang lain, seperti obat antipsikotik yang atipikal lebih membuat pasien banyak yang patuh serta melanjutkan pengobatannya dibandingkan pemberian antipsikotik tipikal yang banyak memiliki efek samping yang menganggu aktivitas pasien.13
2.2.4.3 Agama
Agama menciptakan rasa memiliki dan memungkinkan pasien untuk menghadapi situasi sulit dan memberi mereka kekuatan untuk melanjutkan kehidupan dengan baik meskipun kondisi ada masalah pada kondisi kejiwaan mereka. Ada beberapa literatur menunjukkan bahwa agama dan spiritualitas dapat memberikan efek positif pasien dengan skizofrenia. Agama mendorong perbaikan bahkan bila gejala terus berlangsung, pasien dengan gangguan jiwa ini dapat dibantu untuk mencapai memuaskan, bermakna dan kehidupan tujuan. Dampak positif dari spiritualitas terhadap tingkat kepatuhan pengobatan dijelaskan oleh peningkatan kualitas hidup, dukungan sosial yang lebih baik, dan representasi yang lebih positif mengenai penyakitnya. Agama mempengaruhi diri dan dapat meningkatkan pemulihan dengan menanamkan harapan, tujuan, dan hal yang berarti dalam hidup yang dapat mempengaruhi kepatuhan terhadap pengobatan.13
2.2.4.4 Pekerjaan
Pada beberapa penelitian menemukan bahwa ketika pasien memiliki pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan, mereka menjadi mandiri. Hal ini akan meningkatkan mereka harga diri dan membantu mereka merasa bahwa mereka dapat berkontribusi untuk keluarga atau masyarakat. Pentingnya memiliki pekerjaan telah dicerminkan dalam kebutuhan pasien untuk mencapai tujuan pribadi, harapan, dan aspirasi, dan sebagai komponen penting dari kesejahteraan. Hal ini diyakini dapat meningkatkan harga diri dan manajemen yang lebih baik serta pengurangan gejala termasuk gejala negatif, positif, dan depresi.13
Selain itu, memiliki pekerjaan cenderung untuk membuat pasien sibuk, sehingga pasien mencenderung tidak memikirkan penyakit jiwa mereka. Pekerjaan telah berulang kali terbukti memiliki peran penting dalam pemulihan pasien dari penyakit mental yang berat, khususnya skizofrenia. Pekerjaan tidak hanya menyediakan pendapatan, tetapi juga meningkatkan kegiatan dan interaksi sosial bagi penderita skizofrenia. Hal ini akan membuat keuntungan secara finansial, memberikan strategi mengatasi untuk gejala kejiwaan, dan akhirnya memfasilitasi proses pemulihan dari penyakit jiwa.13
2.2.4.5 Layanan Kesehatan Jiwa
Sebagian besar pasien dan keluarga banyak mengatakan bahawa pelayanan kesehatan jiwa telah banyak membantu, baik dari edukasi mengenai kesehatan jiwa dan pemberian obat- obatan. Mereka mengakui bahwa, jika layanan tersebut tidak tersedia kondisi pasien tidak akan mengalami perbaikan.13
2.2.4.6 Hubungan Terapetik Antara Pasien dan Care provider
Hubungan terapeutik yang dimaksud adalah bagaimana pasien bereaksi terhadap intervensi yang ditawarkan oleh psikater atau perawat. Hubungan ini mengacu pada kedekatan emosional antara dua individu dalam terapi. Hubungan telah terbukti memainkan penting peran dalam pengembangan kepercayaan. Ketika pasien menerima pelayanan yang baik, maka akan tumbuh rasa kepercayaan, rasa memiliki dan hubungan yang baik yang menjadi motivasi positif untuk pengobatan terutama dalam hal kepatuhan minum obat. Individu dengan penyakit jiwa sering mengalami periode keputusasaan yang berkaitan dengan gejala kejiwaan atau psikososial. Kehadiran seseorang care provider yang dapat memberikan harapan dan empati sehingga dapat membantu melalui masa-masa sulit. Beberapa penelitian menyarankan bahwa psikiater atau perawat kesehatan jiwa harus mendedikasikan waktu mereka untuk mendengarkan masalah mereka sehingga dapat meningkatkan kondisi pasien.13
2.2.4.7 Community Home Visit
Kunjungan rutin ke masyarakat dilakukan untuk memberikan psikoedukasi untuk manajemen pasien, kepatuhan dan efek samping obat. Program psikoedukasi dilakukan untuk mendidik keluarga tentang mengenai penyakit keluarga mereka dan kebutuhan untuk perawatan medis berkelanjutan. Kunjungan ke masyarakat telah terbukti membantu pasien mengatasi gejala dengan relaksasi, membantu pasien minum obat teratur, meningkatkan kemampuan perawatan diri pasien dan meningkatkan interaksi antara pasien dan keluarga. Psikoedukasi adalah edukasi yang dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan pasien dan pemahaman mengenai penyakit dan pengobatan mereka. Peningkatan pengetahuan ini memungkinkan pasien dengan skizofrenia dapat lebih efektif untuk mengatasi penyakit mereka. Pasien yang memahami penyakit mereka, obat-obatan, dan harapan pengobatan secara konsisten menunjukkan kepatuhan yang lebih baik. Selain itu pentingnya edukasi kepada keluaga dengan individu yang memiliki gangguan jiwa mengenai pada faktor-faktor risiko penyakit jiwa sehingga dapat melindungi mereka yang belum menimbulkan gejala. Program psikoedukasi bagi pasien dan keluarga yang bertujuan mengatasi skizofrenia ini telah terbukti meningkatkan kepatuhan, mengurangi kejadian pelecehan, mengurangi kekambuhan, dan memperpendek perawatan di rumah sakit.13



BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Skizofrenia relaps merupakan munculnya kembali simptom-simptom skizofrenik pada pasien yang sudah mengalami bebas gejala selama episode sebelumnya dan eksaserbasi simptom positif secara persisten yang menunjukkan respons yang buruk dan waktu yang lebih lama untuk remisi pada episode berikutnya. Identifikasi factor resiko dan protektif terjadinya relaps pada skizofrenia sangatlah penting.
Adapaun beberapa faktor resiko terjadinya relaps pada pasien skizofrenia antara lain; ketidakpatuhan terhadap pengobatan, model kepercayan pasien terhadap penyakitnya, sikap pasien terhadap pengobatan, efek samping obat, onset kerja obat psikotik yang lambat, regimen obat yang diberikan dan cara pemberian obat, masalah ekonomi, psikososial dan lingkungan. Sedangkan faktor protektif terjadinya relaps pada pasien skizofrenia antara lain; dukungan keluarga dan teman, Kepatuhan minum obat, Agama, Pekerjaan, Layanan kesehatan jiwa, Hubungan terapetik antara pasien dan care provider, dan Community home visit.
3.2 Saran
Dari kesimpulan di atas perlu kiranya dipertimbangkan untuk meningkatkan program-program penyuluhan berupa edukasi keluarga yang ditekankan pada dukungan dari keluarga (primary support group) dan pengurangan expressed emotion dalam lingkungan keluarga terhadap pasien-pasien skizofrenia dalam bentuk psikoedukasi. Psikoedukasi ini sebaiknya dilakukan dengan kunjungan ke rumah masyarakat (community home visit) dimana program psikoedukasi ini akan lebih efektif dan berdampak positif bagi keluarga dan pasien. Selain itu peningkatan pelayanan kesehatan dengan cara membina hubungan terapetik antara pasien dan care provider yang dapat membantu kesembuhan pasien. Maka dari itu dukungan pemerintah baik dalam hal kebijakan kesehatan dan finansial merupakan hal yang sangat penting untuk mengurangi angka relaps pada pasien skizofrenia 
DAFTAR PUSTAKA

1. Buchanan RW, Carpenter WT. Concept of Schizophrenia. In: Sadock BJ, Sadock VA, eds. Kaplan & Sadock`s Comprehensive Textbook of Psychiatry. 8th ed. Philadhelpia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005.p.1329.
2. Sena EP de et al. Relapse in Patients With Schizophrenia: a comparison between risperidone and haloperidol. Rev Bras Psiquiatr 2003; 25(4):220-23.
3. Linden M, Godemann F, Gaebel W, et al., A Prospective Study of Factors Influencing Adherence to a Continuous Neuroleptic Treatment Program in Schizopfrenia Patients During 2 Years. Schizoprenia Bulletin; 2001; 27,4. p.585-96.
4. Campbell RJ. Psychiatric Dictionary. 5th ed.New York: Oxford University Press, 1981, p.544.
5. Ayuso-Guiterrez JL, Rio Vega JM. Factors Influencing Relapse in The Long-Term Course of Schizophrenia. Schizophrenia Research 28; 1997. p.199-206.
6. Ucok A, Polat A, Cakir S, Genc A. One Year Outcome in First Episode Schizophrenia. Eur Arch Psychiatri Clin Neurosci 2006; 256. p.37-43.
7. Fleischacker WW, Oehl MA, Hummer M. Factor Influencing Compliance in Schizophrenia Patients. J Clin Psychiatry 2003; 64 (suppl 16).p.10-3.
8. Kinon BJ, Hill AL, Liu H, Walker SK. Olanzapine Orally Disintegrating Tablets in the Treatment of Acutely Ill Non-Compliant Patients with Schizophrenia. International Journal of Neuropsychopharmacology. 2003; 6. p. 97-102. \
9. Giron M, Beneyto MG. Relationship Between Emphatic Family Attitude and Relapse in Scizophrenia: A 2-Year Followup Prospective Study. Schizophrenia Bulletin, Vol. 24. No. 4, 1998.p.619-27.
10. Durland VM, and Barlow DH. 2007. Essentials of Abnormal Psychology. 3rd edition Pacific Grove, CA: Wadsworth
11. Iyus Yosep. Faktor Penyebab dan Proses Terjadinya Gangguan Jiwa. Available at : http://resources.unpad.ac.id/unpad
12. APA. 2004. Clinical Guidlines.American Psychiatric association. Practice Guidlines for the treatment of patients with schizophrenia.
13. Adellah E Sariah, Anne H Outwater, and Khadja Malima. 2014. Risk and Protective Factors for Relpas Among Individuals with Schizophrenia : A qualitative study in Dar es Salaam, Tanzania. Journal Of BioMedCentral Psychiatry. http://www.biomedcentral.com/1471-244X/14/240
14. Maslim R. (editor). 2002. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya






fannykinasih

Posts : 7
Reputation : 0
Join date : 08.03.15

Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik