Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

TATALAKSANA GANGGUAN BERBAHASA EKSPRESIF

Go down

TATALAKSANA GANGGUAN BERBAHASA EKSPRESIF Empty TATALAKSANA GANGGUAN BERBAHASA EKSPRESIF

Post by Saarah Agustin Tue Apr 28, 2015 6:51 am

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai makhluk sosial, manusia perlu berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya. Agar komunikasi berjalan dengan lancar, diperlukan kemampuan berbahasa dengan memadai, baik secara ekspresif (bersifat menyatakan) maupun secara reseptif (menerima/memahami pesan yang disampaikan).
Kemampuan berkomunikasi seseorang berbeda satu sama lain, bahkan diantaranya ada anak yang sulit berkomunikasi dikarenakan adanya gangguan dalam kemampuan berbicara dan berbahasanya. Gangguan dalam berkomunikasi tidak saja dialami anak tunarungu, namun juga terdapat pada anak berkebutuhan lainnya. Anak yang mengalami gangguan komunikasi atau secara lebih spesifik lagi gangguan dalam bahasa ekspresif dan reseptif, perlu diintervensi sedini mungkin, karena kemampuan berbahasa sangat diperlukan dalam mengembangkan potensi-potensi yang masih dimiliki anak terutama dalam mengembangkan kemampuan akademiknya.
Kemampuan berbahasa merupakan indikator seluruh perkembangan anak. Karena kemampuan berbahasa sensitif terhadap keterlambatan atau kerusakan pada sistem lainnya, sebab melibatkan kemapuan kognitif, sensori motor, psikologis, emosi, dan lingkungan di sekitar anak. Seorang anak tidak akan mampu berbicara tanpa dukungan dari lingkungannya. Mereka harus mendengar pembicaran yang berkaitan dengan kehidupannya sehari-hari maupun pengetahuan tentang dunia. Mereka harus belajar mengekspresikan dirinya, membagi pengalamannya dengan orang lain dan mengemukakan keinginannya
Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa keterlambatan bicara sering dikaitkan dengan gangguan perkembangan, gangguan perilaku, gangguan motorik oral dan gangguan fungsi motorik lainnya. Bila berbagai gangguan yang terjadi hampir bersamaan tersebut tidak disikapi dengan baik, maka akan mengganggu tumbuh dan berkembangnya anak di masa depan.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan bahasa normal1

Bicara dan bahasa merupakan dua istilah yang berbeda, pengertian antara berbicara (speech) dan bahasa (language) sering kali membingungkan, tetapi keduanya memiliki perbedaan. Terdapat perbedaan mendasar antara bicara dan bahasa. Bicara adalah pengucapan yang menunjukkan ketrampilan seseorang mengucapkan suara dalam suatu kata. Bahasa berarti menyatakan dan menerima informasi dalam suatu cara tertentu. Bahasa merupakan salah satu cara berkomunikasi dan dapat dimengerti secara pasif dan aktif melalui komunikasi – verbal, non verbal, dan tertulis. Bahasa terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu bahasa reseptif: kemampuan untuk mengerti apa yang dilihat dan apa yang didengar, dan bahasa ekspresif: kemampuan untuk berkomunikasi secara simbolis baik visual (menulis, memberi tanda) atau auditorik.

2.2 Fisiologi bicara 1

Terdapat dua aspek dalam proses terjadinya bicara, yaitu aspek sensorik(input bahasa) dan motorik(output bahasa). Aspek sensorik meliputi pendengaran, penglihatan, dan rasa raba yang berfungsi untuk memahami apa yang didengar, dilihat, dan dirasa. Aspek motorik melibatkan vokalisasi dan pengaturannya.
Otak memiliki tiga pusat yang mengatur mekanisme berbahasa, dua pusat bersifat reseptif yang mengurus penangkapan bahasa lisan dan tulisan serta, satu pusat lainnya bersifat ekspresif yang mengurus pelaksanaan bahasa lisan dan tulisan. Ketiganya berada di hemisfer dominan dari otak atau system susunan saraf pusat. Kedua pusat bahasa reseptif tersebut adalah area 41 dan 42 disebut area Wernicke, merupakan pusat persepsi auditoro­leksik yaitu mengurus pengenalan dan pengertian segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa lisan (verbal). Area 39 Broadman adalah pusat persepsi visuo­leksik yang mengurus pengenalan dan pengertian segala sesuatu yang bersangkutan dengan bahasa tulis. Sedangkan area Broca adalah pusat bahasa ekspresif. Ketiga pusat tersebut berhubungan satu sama lain melalui serabut asosiasi.
Saat mendengar pembicaraan maka getaran udara yang ditimbulkan akan masuk melalui lubang telinga luar kemudian menimbulkan getaran pada membrane timpani. Dari sini rangsangan diteruskan oleh ketiga tulang kecil dalam telinga tengah ke telinga bagian dalam. Di telinga bagian dalam terdapat reseptor sensoris untuk pendengaran yang disebut koklea. Saat gelombang suara mencapai koklea maka impuls ini diteruskan oleh saraf VIII ke area pendengaran primer di otak diteruskan ke area Wernicke. Kemudian jawaban diformulasikan dan disalurkan dalam bentuk artikulasi, diteruskan ke area motorik di otak yang mengontrol gerakan bicara. Selanjutnya proses bicara dihasilkan oleh vibrasi dari pita suara yang dibantu oleh aliran udara dari paru­paru sedangkan bunyi dibentukoleh gerakan bibir, lidah dan palatum (langit­langit). Jadi untuk proses bicara diperlukan koordinasi system saraf motoris dan sensoris dimana organ pendengaran sangat penting.
Untuk dapat mengucapkan kata­kata sebaik­baiknya, sehingga bahasa yang didengar dapat ditangkap dengan jelas dan setiap suku kata dapat terdengar secara terinci, maka, mulut, lidah, bibir, palatum mole dan pita suara, serta otot­otot pernafasan harus melakukan gerakan sempurna. Bila ada salah satu gerakan tersebut diatas terganggu, timbullah cara berbahasa yang kurang jelas ada kata­kata yang seolah­olah ”ditelan” terutama pada akhir kalimat.


A. Tahapan Perkembangan Bahasa Pada Anak4
Tahap Perkembangan Bicara dan Bahasa pada Anak :
Umur Kemampuan Reseptif Kemampuan Ekspresif
Lahir Melirik ke sumber suara Menangis
2 – 4 bulan Memperlihatkan ketertarik-an terhadap suara-suara Tertawa dan mengoceh tanpa arti
6 bulan Memberi respon jika nama-nya dipanggil Mengeluarkan suara yang merupakan kombinasi huruf hidup (vowel) dan huruf mati (konsonan)
9 bulan Mengerti dengan kata-kata yang rutin (dada) Mengucapkan “mama”, “dada”
12 bulan Memahami dan menuruti
perintah sederhana Bergumam, Mengucapkan satu kata
15 bulan Menunjuk anggota tubuh Mempelajari katakata dengan perlahan
18 – 24 bulan Mengerti kalimat Menggunakan/merangkai dua kata
24 – 36 bulan Menjawab pertanyan
Mengikuti 2 langkah perintah Frase 50% dapat dimengerti Membentuk 3 (atau lebih) kalimat, Menanyakan “apa”
36 – 48 bulan Mengerti banyak apa yang
diucapkan Menanyakan “mengapa”, Kalimat 75% dapat dimengerti, bahasa sudah mulai jelas, menggunakan lebih dari 4 kata dalam satu kalimat
48 – 60 bulan Mengerti banyak apa yang
dikatakan, sepadan dengan fungsi kognitif Menyusun kalimat dengan baik, Bercerita, 100% kalimat dapat dimengerti

Perkembangan kosa kata
Usia Kemampuan yang dicapai
12 Bulan Dua Kata selain “mama” dan “dada”
14 Bulan Tiga kata di tambah “mama” dan “dada”
16 Bulan Lima kata tidak termasuk “mama” dan “dada”
18 Bulan Sepuluh Kata Vocabulary (Kosa Kata)
24 Bulan Sedikitnya 300 kata dalam Kosa Kata Berbicara
30 Bulan Kosa Kata berjumlah 450 kata
36 Bulan Kosa Kata mendekati 1000 kata
42 Bulan Kosa Kata berjumlah 1200 kata
48 Bulan Kosa Kata berjumlah 1500 kata
54 Bulan Kosa Kata berjumlah 1900 kata
60 Bulan Kosa Kata berjumlah 2200 kata

2.3 Prevalensi

Gangguan bicara merupakan salah satu masalah yang sering terdapat pada anak-anak . Menurut NCHS, berdasarkan atas laporan orang tua (di luar gangguan pendengaran serta celah pada palatum), maka angka kejadiannya adalah 0,9 % pada anak di bawah umur 5 tahun dan 1,94 % pada anak yang berumur 5-14 tahun. Dari hasil evaluasi langsung terhadap anak usia sekolah, angka kejadiannya 3,8 kali lebih tinggi dari yang berdasarkan hasil wawancara. Berdasarkan hal ini, diperkirakan gangguan bicara dan bahasa pada anak adalah sekitar 4-5 %.4
Di AS, rasio prevalensi untuk keterlambatan bicara dan bahasa telah dilaporkan dalam batasan yang luas. Penelitian terbaru Cochrane melaporkan prevalensi untuk keterlambatan bicara, keterlambatan bahasa, dan kombinasi keduanya pada umur pra sekolah dan anak umur sekolah. Untuk anak umur pra sekolah, 2 sampai 4,5 tahun, studi yang mengevaluasi kombinasi keterlambatan bicara dan bahasa melaporkan rasio prevalensi antara 5 % sampai 8 %, dan studi tentang keterlambatan bahasa melaporkan rasio prevalensi antara 2,3 % sampai 19 %. Anak dengan keterlambatan bicara dan bahasa usia pra sekolah yang tidak diterapi menunjukkan rasio variabel yang persisten (dari 0 % sampai 100 %), dengan laporan hasil studi tersering menyatakan 40 % sampai 60 %.
Rata-rata keseluruhan untuk gangguan bicara dan bahasa adalah sekitar 5 % pada anak usia sekolah. Meliputi kelainan pada suara (3%) dan gagap (1%). Insiden pada anak-anak sekolah dasar dengan gangguan perkembangan adalah 2 % sampai 3 % , walaupun persentasenya menurun seiring dengan pertambahan usia.
Dari jumlah gangguan pada anak usia sekolah, 10 % sampai 20 % membutuhkan beberapa tipe pendidikan khusus. Sekitar sepertiga murid yang tuli mengukuti sekolah khusus. Dua pertiga mengikuti program di sekolah khusus anak-anak tuna rungu atau mengikuti kelas di sekolah reguler. Sisanya mengikuti sekolah reguler. 4

2.4 Etiologi4

Penyebab kelainan berbahasa ada bermacam-macam yang melibatkan berbagai faktor yang dapat saling mempengaruhi; antara lain kemampuan lingkungan, pendengaran, kognitif, fungsi saraf, emosi psikologis dan lain sebagainya. Seorang anak mungkin kehilangan pendengaran sensoneural dari sedang sampai berat. Sedangkan yang lain mungkin kehilangan pendengaran konduksi berulang, sehingga kemampuan bicara keseluruhannya menurun. Demikian pula suatu gangguan bicara (disfasia) dapat terjadi tanpa adanya cedera otak atau keadaan lainnya. Blagger (1981) membagi penyebab gangguan bicara dan bahasa sebagai berikut
Penyebab Efek pada perkembangan bicara
1. Lingkungan
a. Sosial ekonomi kurang Terlambat
b. Tekanan keluarga Gagap
c. Keluarga bisu Terlambat pemerolehan bahasa
d. Menggunakan bahasa bilingual Terlambat pemerolehan struktur bahasa
2. Emosi
a. Ibu yang tertekan Terlambat pemerolehan bahasa
b. Gangguan serius pada orang tua Terlambat atau gangguan perkembangan bahasa
c. Gangguan serius pada anak Terlambat atau gangguan perkembangan bahasa
3. Masalah pendengaran
a. Kongenital Terlambat/gangguan bicara yang permanen
b. Didapat Terlambat/gangguan bicara yang permanen
4. Perkembangan terlambat
a. Perkembangan lambat Terlambat bicara
b. Perkembangan lambat, tetapi masih Terlambat bicara
dalam batas rata-rata
c. Retardasi mental Pasti terlambat bicara
5. Cacat bawaan
a. Palatoschizis Terlambat dan terganggu kemampuan bicaranya
b. Sindrom down Kemampuan bicaranya lebih rendah
6. Kerusakan otak
a. Kelainan neuromuskular Mempengaruhi kemampuan mengisap, menelan,
mengunyah, dan akhirnya timbul gangguan bicara
dan artikulasi seperti disartria
b. Kelainan sensorimotor Mempengaruhi kemampuan mengisap
dan menelan, akhirnya menimbulkan gangguan
artikulasi, seperti dispraksia
c. Palsi serebral Berpengaruh pada pernafasan, makan dan timbul
juga masalah artikulasi yang dapat
mengakibatkan disartria dan dispraksia
d.Kelainan persepsi Kesulitan membedakan suara, mengerti bahasa,
simbolisasi, mengenal konsep, akhirnya
menimbulkan kesulitan belajar di sekolah

Perkembangan bahasa yang lambat dapat bersifat familial. Oleh karena itu harus dicari dalam keluarga apakah ada yang mengalami keterlambatan bicara juga. Di samping itu kelainan bicara juga lebih banyak pada anak laki-laki daripada perempuan. Hal ini karena pada perempuan, maturasi dan perkembangan fungsi verbal hemisfer kiri lebih baik. Sedangkan pada laki-laki perkembangan hemisfer kanan yang lebih baik, yaitu untuk tugas yang abstrak dan memerlukan keterampilan.
Gangguan bicara pada anak dapat disebabkan oleh kelainan di bawah ini:

1. Lingkungan sosial anak
Interaksi antar personal merupakan dasar dari semua komunikasi dan perkembangan bahasa. Lingkungan yang tidak mendukung akan menyebabkan gangguan bicara dan bahasa pada anak.
2. Sistem masukan/input
Adalah sistem pendengaran, penglihatan dan integritas taktil-kinestetik dari anak. Pendengaran merupakan alat yang penting dalam perkembangan bicara. Anak dengan otitis media kronis dengan penurunan daya pendengaran akan mengalami keterlambatan kemampuan menerima ataupun mengungkapkan bahasa. Gangguan bicara juga terdapat pada tuli oleh karena kelainan genetik dan metabolik (tuli primer), tuli neurosensorial (infeksi intra uterin: sifilis, rubella, toksoplasmosis, sitomegalovirus), tuli konduksi seperti akibat malformasi telinga luar, tuli sentral (sama sekali tidak dapat mendengar), tuli persepsi/afasia sensorik (terjadi kegagalan integrasi arti bicara yang didengar menjadi suatu pengertian yang menyeluruh), dan tuli psikis seperti pada skizofrenia, autisme infantile, keadaan cemas dan reaksi psikologis lainnya.
Pola bahasa juga akan terpengaruh pada anak dengan gangguan penglihatan yang berat, demikian pula dengan anak dengan defisit taktil-kinestetik akan terjadi gangguan artikulasi.
3. Sistem pusat bicara dan bahasa
Kelainan susunan saraf puast akan mempengaruhi pemahaman, interpretasi, formulasi dan perencanaan bahasa, juga pada aktivitas dan kemampuan intelektual dari anak. Gangguan komunikasi biasanya merupakan bagian dari retardasi mental, misalnya pada Sindrom Down.
4. Sistem produksi
Sistem produksi suara seperti laring, faring, hidung, struktur mulut, dan mekanisme neuromuskular yang berpengaruh terhadap pengaturan nafas untuk berbicara, bunyi laring, pembentukan bunyi untuk artikulasi bicara melalui aliran udara lewat laring, faring, dan rongga mulut.

2.5 Patofisiologi4

Terdapat dua aspek untuk dapat berkomunikasi: pertama, aspek sensorik (input bahasa), yang melibatkan telinga dan mata, dan kedua adalah aspek motorik (output bahasa), yang melibatkan vokalisasi dan pengaturannya.

Urutan proses komunikasi-input bahasa dan output bahasa adalah sebagai berikut:
1. sinyal bunyi mula-mula diterima oleh area auditorik primer yang nantinya akan menyandikan sinyal tadi dalam bentuk kata-kata
2. kata-kata lalu diinterpretasikan di area Wernicke
3. penentuan buah pikiran dan kata-kata yang akan diucapkan juga terjadi di dalam area Wernicke
4. penjalaran sinyal-sinyal dari area Wernicke ke area Broca melalui fasikulus arkuatus
5. aktivitas program keterampilan motorik yang terdapat di area Broca untuk mengatur pembentukan kata
6. penjalaran sinyal yang sesuai ke korteks motorik untuk mengatur otot-otot bicara.

Apabila terjadi kelainan pada salah satu jalannya impuls ini, maka akan terjadi kelainan bicara.

Aspek sensorik pada komunikasi
Bila ada kerusakan pada bagian area asosiasi auditorik dan area asosiasi visual pada korteks, maka dapat menimbulkan ketidakmampuan untuk mengerti kata-kata yang diucapkan dan kata-kata yang tertulis. Efek ini secara berturut-berturut disebut sebagai afasia reseptif auditorik dan afasia reseptif visual atau lebih umum, tuli kata-kata dan buta kata-kata (disebut juga disleksia).

Afasia Wernicke dan Afasia Global
Beberapa orang mampu mengerti kata-kata yang diucapkan atau pun kata-kata yang dituliskan namun tak mampu menginterpretasikan pikiran yang diekspresikan. Keadaan ini sering terjadi bila area Wernicke yang terdapat di bagian posterior hemisfer dominan girus temporalis superior mengalami kerusakan atau kehancuran. Oleh karena itu, tipe afasia ini disebut afasia Wernicke.
Bila lesi pada area Wernicke ini meluas dan menyebar (1) ke belakang ke regio girus angular, (2) ke inferior ke area bawah lobus temporalis, dan (3) ke superior ke tepi superior fisura sylvian, maka penderita tampak seperti benar-benar terbelakang secara total (totally demented) untuk mengerti bahasa atau berkomunikasi, dan karena itu dikatakan menderita afasia global.

Aspek motorik komunikasi
Proses bicara melibatkan dua stadium utama aktivitas mental: (1) membentuk buah pikiran untuk diekspresikan dan memilih kata-kata yang akan digunakan, kemudian (2) mengatur motorik vokalisasi dan kerja yang nyata dari vokalisasi itu sendiri. Pembentukan buah pikiran dan bahkan pemilihan kata-kata merupakan fungsi area asosiasi sensorik otak. Sekali lagi, area Wernicke pada bagian posterior girus temporalis superior merupakan hal yang paling penting untuk kemampuan ini. Oleh karena itu, penderita yang mengalamai afasia Wernicke atau afasia global tak mampu memformulasikan pikirannya untuk dikomunikasikan. Atau, bila lesinya tak begitu parah, maka penderita masih mampu memformulasikan pikirannya namun tak mampu menyusun kata-kata yang sesuai secara berurutan dan bersama-sama untuk mengekspresikan pikirannya. Seringkali, penderita fasih berkata-kata namun kata-kata yang dikeluarkan tidak beraturan.



Afasia motorik akibat hilangnya Area Broca
Kadang-kadang, penderita mampu menentukan apa yang ingin dikatakannya, dan mampu bervokalisasi, namun tak dapat mengatur sistem vokalnya untuk menghasilkan kata-kata selain suara ribut. Efek ini disebut afasia motorik, disebabkan oleh kerusakan pada area bicara Broca, yang terletak di regio prefontal dan fasial premotorik korteks kira-kira 95 persen kelainannya di hemisfer kiri. Oleh karena itu, pola keterampilan motorik yang dipakai untuk mengatur laring, bibir, mulut, sistem respirasi, dan otot-otot lainnya yang dipakai untuk bicara dimulai dari daerah ini.

Artikulasi
Kerja artikulasi berarti gerakan otot-otot mulut, lidah, laring, pita suara, dan sebagainya, yang bertanggung jawab untuk intonasi, waktu, dan perubahan intensitas yang cepat dari urutan suara. Regio fasial dan laringela korteks motorik mengaktifkan otot-otot ini, dan serebelum, ganglia basalis, dan korteks sensorik semuanya membantu mengatur urutan dan intensitas dari kontraksi otot, dengan mekanisme umpan balik sereberal dan fungsi ganglia basalis. Kerusakan setiap regio ini dapat menyebabkan ketidakmampuan parsial atau total untuk berbicara dengan jelas.

2.6 Manifestasi Klinik4

Terdapat bermacam-macam klasifikasi disfasia, tergantung dari cara pandang mana. Kebanyakan sistem klasifikasi berdasarkan atas model input-output. Beberapa telah didefinisikan dengan menggunakan tes yang telah distandarisasi. Ada yang menggunakan model didasari pendengaran dan ada pula yang berdasarkan patofisiologi terjadinya disfasia.
Klasifikasi kelainan bahasa pada anak menurut Rutter (dikutip dari Toback C.), berdasarkan atas berat ringannya kelainan bahasa sebagai berikut:

Klasifikasi kelainan bahasa menurut Rutter.
Ringan Keterlambatan akuisisi dari bunyi kata-kata, bahasa normal Dislalia
Sedang Keterlambatan lebih berat dari akuisisi bunyi kata-kata dan perkembangan bahasa terlambat Disfasia ekspresif
Berat Keterlambatan lebih berat dari akuisis dan bahasa, Disfasia reseptif
gangguan pemahaman bahasa dan tuli persepsi
Sangat berat Ganggauan pada seluruh kemampuan bahasa Tuli persepsi dan tuli sentral

Berdasar patofisiologi kelainan bahasa pada anak terjadi mejadi 6 subtipe, yaitu:
1. 2 primer ekspresif:
- disfraksia verbal
- gangguan defisit produksi fonologi
2. defisit represif dan ekspresif
- gangguan campuran ekspresif- represif
- disfasia verbal auditori agnosia
3. 2 defisit bahasa yang lebih berat
- gangguan leksikal-sintaksis
- gangguan semantik-pragmatik

Anak dengan disfraksi verbal (afraksia verbal atau gangguan perkembangan bicara ekspresif) mengerti segala sesuatu yang dikatakan padanya, mereka lebih sering menunjuk dari pada bicara. Banyak yang mempunyai riwayat prematur, beberapa menderita disfraksia oromotor (anak ini mengeluarkan air liur dan mempunyai kesulitan mengikuti gerakan mulut). Jika mereka bicara, lebih banyak menggunakan suara vokal dengan gangguan pengucapan konsonan. Anak-anak ini setelah dewasa menjadi afemia. Anak dengan disfraksia verbal kadang-kadang disertai dengan gangguan tingkah laku (autisme). Rehabilitasi pada anak ini lebih memerlukan terapi wicara yang intensif.
Beberapa anak bicara dengan kata-kata dan frase yang sulit dimengerti, bahkan pada orang-orang yang selalu kontak dengannya. Sehingga mereka sering marah dan frustasi karena merasa bahwa kata-katanya sulit dimengegerti oleh sekitarnya. Mereka ini tidak ada gangguan dalam pengertian, tetap terdapat gangguan defisit fonologi.
Anak yang bicaranya sulit dipahami yang juga menunjukkan adanya gangguan pemahaman terhadap apa yang dikatakan kepadanya, menunjukkan gangguan campuran ekspresif–reseptif. Mereka bicara dalam kalimat yang pendek dan banyak dari mereka yang autistik. Setelah dewasa mereka menjadi afasia (afasia Broca), hanya sedikit yang diketahui bagaimana hal ini bisa terjadi.
Beberapa anak mengerti sedikit pada apa yang dikatakan kepadanya, walaupun kadang-kadang mereka mengikuti suatu pembicaraan dengan cara lain, misalnya dengan memperhatikan apa yang dilihatnya. Mereka sangat miskin dalam artikulasi kata-kata. Mereka ini dinamakan disfasia verbal auditori agnosia. Mereka ini termasuk afasia yang didapat, dimana mereka sebelumnya sering kejang dan kehilangan kemampuan berbicara setelah periode perkembangan bahasa yan normal (sindrom Landau Kleffner). Pada EEG anak dengan sindrom ini, akan tampak bitemporal spike. Anak dengan disfasia jenis ini, memproses suara suara yang didengarkan di pusat dengar berbeda dengan anak normal. Stimulasi bahasa akan meperbaiki keadaan, walaupun hasil akhirnya masih belum pasti.
Anak dengan gangguan leksikal-sintaksis mempunyai kesulitan dalam menemukan kata-kata yang tepat khususnya saat bercakap-cakap. Mereka tidak gagap dan tidak menghindar untuk berbicara. Gejalanya seperti orang dewasa dengan afasia konduksi, dimana mereka akan berhenti bicara sebentar untuk menemukan kata-kata yang tepat. Anak ini biasanya bicara dengan menggunakan kalimat-kalimat yang pendek untuk umurnya. Terapi bicara akan membantu melatih anak mencari kata-kata yang tepat pada saat bicara, tetapi prognosis selanjutnya masih belum banyak diketahui.
Beberapa anak ada yang bicaranya lancar dan dapat menggunakan kata-kata yang tepat, tetapi mereka bicara tanpa henti mengenai satu topik. Mereka tidak mengerti tata bahasa, disebut gangguan semantik pragmatik. Anak ini pada umumnya menderita gangguan hubungan sosial dan didiagnosis sebagai gangguan perkembangan pervasif. Mereka punya sedikit teman sebaya dan tidak pernah mau belajar aturan permainan dan bicara dari teman sebayanya. Ada baiknya anak ini diajar keterampilan berbicara, bahkan diperlukan psokolog dan ahli terapi tingkah laku.
Dicurigai adanya gangguan perkembangan kemampuan bahasa pada anak, jika ditemukan gejala-gejala seperti berikut:
1. Pada usia 6 bulan anak tidak mampu memalingkan mata serta kepalanya terhadap suara yang datang dari belakang atau samping.
2. Pada usia 10 bulan anak tidak memberi reaksi terhadap panggilan namanya sendiri.
3. Pada umur 15 bulan tidak mengerti dan memberi reaksi terhadap kata-kata jangan, da-da, dan sebagainya.
4. Pada usia 18 bulan tidak dapat menyebut 10 kata tunggal.
5. Pada usia 21 bulan tidak memberi reaksi terhadap perintah (misalnya duduk, kemari, berdiri).
6. Pada usia 24 bulan tidak bisa menyebut bagian-bagian tubuh
7. Pada usia 24 bulan belum mampu mengetengahkan ungkapan yang terdiri dari 2 buah kata.
8. Setelah usia 24 bulan hanya mempunyai perbendaharaan kata yang sangat sedikit/tidak mempunyai kata-kata huruf z pada frase.
9. Pada usia 30 bulan ucapannya tidak dapat dimengerti oleh anggota keluarga.
10. Pada usia 36 bulan belum dapat mempergunakan kalimat-kalimat sederhana.
11. Pada usia 36 bulan tidak bisa bertanya dengan kata tanya yang sederhana.
12. Pada usia 36 bulan ucapannya tidak dimengerti oleh orang di luar keluarganya.
13. Pada usia 3,5 tahun selalu gagal untuk menyebutkan kata akhir (ca untuk cat, ba untuk ban, dan lain-lain).
14. Setelah berusia 4 tahun tidak lancar berbicara/gagap.
15. Setelah usia 7 tahun masih ada kesalahan ucapan.
16. Pada usia berapa saja terdapat hipernasalitas atau hiponasaliatas yang nyata atau mempunyai suara yang monoton tanpa berhenti, sangat keras dan tidak dapat didengar serta terus-menerus memperdengarkan suara yang serak.

2.7 Diagnosis3

Diagnosis Gangguan Bicara dan Bahasa pada Anak
American Psychiatric Association’s Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM IV) membagi gangguan bahasa dalam 4 tipe.3
1. Gangguan bahasa ekspresif
2. Gangguan bahasa reseptifekspresif
3. Gangguan phonological
4. Gagap
Pada gangguan bahasa ekspresif, secara klinis kita bisa menemukan gejala seperti perbendaharaan kata yang jelas terbatas, membuat kesalahan dalam kosa kata, mengalami kesulitan dalam mengingat kata-kata atau membentuk kalimat yang panjang dan memiliki kesulitan dalam pencapaian akademik, dan komunikasi sosial, namun pemahaman bahasa anak tetap relatif utuh. Gangguan menjadi jelas pada kira-kira usia 18 bulan, saat anak tidak dapat mengucapkan kata dengan spontan atau meniru kata dan menggunakan gerakan badannya untuk menyatakan keinginannya. Jika anak akhirnya bisa berbicara, defisit bahasa menjadi jelas, terjadi kesalahan artikulasi seperti bunyi th, r, s, z, y. Riwayat keluarga yang memiliki gangguan bahasa ekspresif juga ikut mendukung diagnosis.2
Pada gangguan bahasa campuran ekspresif reseptif,selain ditemukan gejala-gejala gangguan bahasa ekspresif, juga disertai kesulitan dalam mengerti kata dan kalimat. Ciri klinis penting dari gangguan tersebut adalah gangguan yang bermakna pada pemahaman bahasa dan ekspresi bahasa. Gangguan ini biasanya tampak sebelum usia 4 tahun. Bentuk yang parah terlihat pada usia 2 tahun,bentuk ringan tidak terlihat sampai usia 7 tahun atau lebih tua. Anak dengan gangguan bahasa reseptif ekspresif campuran memiliki gangguan auditorik sensorik atau tidak mampu memproses simbol visual seperti arti suatu gambar. Mereka memiliki defisit dalam mengintegrasikan symbol auditorik maupun visual, contohnya mengenali atribut dasar yang umum untuk mainan truk dan mainan mobil penumpang. Anak dengan gangguan bahasa campuran reseptif ekspresif biasanya tampak tuli.4
Anak dengan kesulitan bebicara memiliki masalah dalam pengucapan, yaitu berhubungan dengan gangguan motorik, diantaranya kemampuan untuk memproduksi suara.2
Anak yang gagap dapat diketahui dari cara dia berbicara, dimana terjadi pengulangan atau perpanjangan suara, kata, atau suku kata dan sangat sering disertai mengedipkan mata dan menggoyangkan kepala.2
Secara lebih spesifik lagi gangguan bicara motorik dibagi antara lain berupa: disartria, verbal apraxia, gangguan fonologik, gangguan bicara yang disebabkan oleh gangguan pendengaran, serta gagap. Untuk penegakan diagnosis gangguan bicara didasarkan dari hasil pengumpulan dan analisis data-data yang diperoleh selama anamnesis, pemeriksaan fisik, dan bila diperlukan dari pemeriksaan penunjang.2

1. Anamnesis
Pengambilan anamnesis harus mencakup uraian mengenai perkembangan bahasa anak. Autisme setelah berumur 18 bulan dan bicara yang sulit dimengerti setelah berumur 3 tahun, paling sering ditemukan. Dokter anak harus curiga bila orang tua melaporkan bahwa anaknya tidak dapat menggunakan kata-kata yang berarti pada umur 18 bulan atau belum mengucapkan frase pada umur 2 tahun. Atau anak memakai bahasa yang singkat untuk menyampaikan maksudnya.
Kecurigaan adanya gangguan tingkah laku perlu dipertimbangkan kalau dijumpai gangguan bicara dan tingkah laku yang bersamaan. Kesulitan tidur dan makan sering dikeluhkan orang tua pada awal gangguan autisme. Pertanyaan bagaimana anak bermain dengan temannya dapat membantu mengungkap tabir tingkah laku. Anak dengan autisme lebih senang bermain dengan huruf balok atau magnetik dalam waktu yang lama. Mereka dapat saja bermain dengan anak sebaya, tetapi dalam waktu singkat menarik diri.


2. Instrumen penyaring
Selain anamnesis yang teliti, disarankan digunakan instrumen penyaring untuk menilai gangguan perkembangan bahasa. Misalnya Early Language Milestone Scale (Copelan dan Gleason), atau DDST (pada Denver II penilaian pada sektor bahasa lebih banyak dari pada DDST yang lama) atau Receptive-Expressive Emergent Language Scale. Early Language Milestone Scale cukup sensitif dan spesifik untuk mengidentifikasi gangguan bicara pada anak kurang dari 3 tahun.

3. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dapat digunakan untuk mengungkapkan penyebab lain dari gangguan bahasa. Apakah ada mikrosefali, anomali telinga luar, otitis media yang berulang, sindrom William (fasies Elfin, perawakan pendek, kelainan jantung, langkah yang tidak mantap), celah palatum, dan lain-lain.
Gangguan oromotor dapat diperiksa dengan menyuruh anak menirukan gerakan mengunyah, menjulurkan lidah dan mengulang suku kata PA, TA, PA-TA, PA-TA-KA. Gangguan kemampuan oromotor terdapat pada verbal apraksia.

4. Pengamatan saat bermain
Mengamati anak saat bermain dengan alat permainan yang sesuai dengan umurnya, sangat membantu dalam mengidentifikasi gangguan tingkah laku. Idealnya pemeriksa juga bermain dengan anak tersebut dan kemudian mengamati orang tuanya saat bermain dengan anaknya. Tetapi ini tidak praktis dilakukan pada ruangan yang ramai. Pengamatan anak saat bermain sendiri, selama pengambilan anamnesis dengan orang tuanya, lebih mudah dilaksanakan. Anak yang memperlakukan mainannya sebagai objek saja atau hanya sebagai titik pusat perhatian saja, dapat merupakan petunjuk adanya kelainan tingkah laku.

5. Pemeriksaan laboratorium
Semua anak dengan gangguan bahasa harus dilakukan tes pendengaran. Jika anak tidak kooperatif terhadap audiogram atau hasilnya mencurigakan, maka perlu dilakukan pemeriksaan ”auditory brainstem responses”.
Pemeriksaaan laboratorium lainnya dimaksudkan untuk membuat diagnosis banding. Bila terdapat gangguan pertumbuhan, mikrosefali, makrosefali, terdapat gejala-gejala dari suatu sindrom perlu dilakukan CT-scan atau MRI, untuk mengetahui adanya malformasi. Pada anak laki-laki dengan autisme dan perkembangan yang lambat, skrining kromosom untuk fragil-X mungkin diperlukan. Skrining terhadap penyakit-penyakit metabolik baru dilakukan kalau terdapat kecurigaan ke arah itu, karena pemeriksaan ini sangat mahal.

6. Konsultasi
Pemeriksaan dari psikolog atau/neuropsikiater anak diperlukan jika ada gangguan bahasa dan tingkah laku. Pemeriksaan ini meliputi riwayat dan tes bahasa, keampuan kognitif dan tingkah laku. Tes intelegensia dapat dipakai sebagai perbandingan fungsi kognitif anak tersebut. Masalah tingkah laku dapat diperiksa lebih lanjut dengan menggunakan instrumen seperti Vineland Social Adaptive Scale Revised. Child Behaviour Checklist, atau Childhood Autism Rating Scale. Konsultasi ke psikiater anak dilakukan bila ada gangguan tingkah laku yang berat. Ahli patologi wicara akan mengevaluasi cara pengobatan anak dengan gangguan bicara. Anak akan diperiksa apakah ada masalah anatomi yang mempengaruhi produksi suara.

Pada halaman selanjutnya adalah diagram yang juga dapat digunakan untuk mendiagnosa seorang anak dengan keterlambatan bicara.4










2.8 Penatalaksanaan

Gangguan bicara biasanya pertama kali dikenal pasti oleh orang tua pasien atau pengasuh anak. Jika dicurigai gangguan bicara perlu dilakukan tes pendengaran oleh ahli bicara dan bahasa sebagai langkah pertama. Jika memang gangguan bicara disebabkan oleh gangguan pendengaran, dapat dipasang alat bantu dengar.
Diagnosis yang tepat terhadap gangguan bicara dan bahasa pada anak, sangat berpengaruh terhadap perbaikan dan perkembangan kemampuan berbicara dan bahasa. Terapi sebaiknya dimulai saat diagnosis ditegakkan, namun hal ini menjadi sulit karena diagnosis sering terlambat karena adanya variasi perkembangan normal atau orang tua baru mengeluhkan gangguan ini kepada dokter saat mencurigai adanya kelainan pada anaknya, sehingga para dokter lebih sering dihadapkan pada aspek kuratif dan rehabilitatif dibandingkan preventif. Tatalaksana dini terhadap gangguan ini akan membantu anak-anak dan orang tua untuk menghindari atau memperkecil kelainan dimasa sekolah.4

2.8.1 Terapi bicara
Terapi bicara melibatkan dokter ahli bicara bersama anak secara perorangan dalam sebuah kelompok kecil atau secara langsung didalam sebuah kelas untuk mengatasi gangguan tertentu. Terapi bicara menggunakan berbagai cara termasuk intervensi bahasa dan terapi artikulasi. Seorang terapis mungkin menggunakan objek-objek, gambar, buku atau peristiwa penting untuk merangsang perkembangan bicara. Terapis juga merupakan contoh terhadap pengucapan yang benar dan menggunakan latihan mengulang sebutan untuk membangun keterampilan berbicara dan berbahasa.4

2.8.2 Terapi artikulasi
Terapi artikulasi melibatkan ahli terapis sebagai model yang benar terhadap pengucapan yang benar untuk anak, selama kegiatan bermain. Tingkatan permainan tersebut adalah berdasarkan umur dan sesuai dengan kebutuhan anak. Terapi ini melibatkan fisik anak tentang bagaimana membuat suara tertentu seperti “R”. Seorang terapis bicara seharusnya menunjukkan bagaimana cara menggerakkan lidah untuk menghasilkan suara tertentu.4

2.8.3 Terapi perilaku
Terapi perilaku adalah terapi yang bertujuan untuk merubah atau menghilangkan tingkah laku anak yang dianggap tidak layak. Terapi perilaku ini lebih dikenal dengan nama ABA (Applied Behavior Analysis) yang dilakukan dengan metode Lovas, yang dalam prakteknya menggunakan prinsip stimulus respons. Terapi ini disukai karena terstruktur, terarah dan terukur. Yang ingin dipacu pada terapi ini adalah peningkatan pemahaman dan kepatuhan akan aturan. Terapi ini diberikan pada anak autisme, gangguan perkembangan pervasive, anak dengan ADD, anak dengan gangguan emosional, dan sebagainya.

2.8.4 Terapi sensori integrasi
Terapi sensori integrasi adalah suatu pendekatan untuk menilai dan melakukan terapi pada anak-anak yang menunjukkan masalah perilaku atau kesulitan belajar. Dalam terapi ini, anak dibimbing untuk melakukan berbagai aktivitas yang dapat memberikan masukan berbagai informasi sensorik, yang penting adalah partisipasi aktif dari anak agar timbul perubahan positif yang dapat memperbaiki struktur halus pada otak anak yang masih mempunyai daya plastisitas yang baik. Dalam memberikan terapi, anak didukung untuk memilih kegiatan yang disukainya dan terapis akan mengarahkan agar kegiatan yang dilakukan dapat memberikan tantangan yang tepat. Dengan tantangan ini, maka perlahan-lahan kemampuan anak akan bertambah. Diharapkan dengan ini fungsi otak yang lebih kompleks, seperti berfikir secara emotif, kreatif, dan fleksibel serta pemahaman terhadap konsep-konsep abstrak seperti berbahasa akan berkembang lebih baik. Terapi ini dirancang untuk dapat memberikan rangsangan vestibuler, proprioseptif, taktil auditori, visual, dan sebagainya sesuai dengan kebutuhan individual anak.

2.8.5 Terapi okupasi
Terapi okupasi adalah penggunaan aktivitas yang bertujuan mengintervensi, sebagai upaya untuk meningkatkan kesehatan dan fungsi perkembangan ke tingkat yang lebih tinggi dari seseorang yang mengalami keterbatasan yang disebabkan penyakit fisik, kondisi fungsional, gangguan kognitif, disfungsi psikososial, gangguan mental, disabilitas perkembangan. Terapi okupasi bertujuan membuat individu mandiri dalam aktifitasnya sehari-hari, memiliki produktifitas, dan pengisian waktu luang yang sesuai usia individu tersebut. Terapi ini meliputi pengajaran keterampilan dalam aktivitas sehari-hari (makan, minum, mandi, berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan), pengembangan keterampilan motorik, keterampilan sensori integrasi, keterampilan bermain dan kapasitas kerja, maupun memanfaatkan waktu luang. Selain itu, terapi okupasi berperan dalam menyediakan fasilitas untuk meningkatkan dan memperbaiki fungsi sensorimotor, neuromuskular, emosional, kognitif, dan kinerja psikososial.
2.8.6 Fisioterapi
Fisioterapi digunakan sebagai metode untuk membantu rehabilitasi terhadap anak-anak yang mengalami gangguan tumbuh kembang, seperti keterlambatan dalam gerak motorik kasar (tengkurap, duduk, berdiri, dan berjalan) dan motorik halus (menggunakan fungsi tangan). Metode yang digunakan adalah metode Bobath yaitu terapi yang berdasarkan pada perkembangan normal saraf, sehingga disebut juga neurodevelopmental treatment. Metode ini menggunakan sensori-motor dari indera (taktil perabaan, penglihatan, pengecapan, dan penciuman), juga perkembangan neuropsikososial.

2.8.7 Stimulasi floor time
Floor time merupakan cara berinteraksi antara orang dewasa dengan anak dalam suasana yang dapat membentuk emosi yang sehat, sosial, dan intelektual. Mengerti emosi anak merupakan kunci yang efektif dalam memberikan pengajaran.Para profesional (dokter, terapis, psikolog, pedagogik) membantu orang tua menganalisis, memberi umpan balik, dan ide bagaimana orangtua melakukannya. Prinsip utama floor time adalah memanfaatkan setiap kesempatan yang muncul untuk berinteraksi dengan cara yang disesuaikan dengan tahap perkembangan emosi anak. Interaksi yang terjadi diharapkan bermula dari inisiatif anak, pengasuh atau orang tua mengikuti anak dan memanfaatkan emosi sebagai titik awal interaksi, diperluas dan dikembangkan menjadi lebih bermakna dan timbal balik.

Untuk membantu anak dalam mencapai terapi yang maksimal, selain dibutuhkan berbagai macam terapi, orangtua juga berperan penting untuk terapi di rumah. Beberapa hal yang dapat dilakukan orangtua di rumah adalah
1. Selalu berbicara dengan anak
2. Berikan dorongan pada anak untuk bertanya, memilih dan menjawab pertanyaan dengan kemampuan bahasanya
3. Dengarkan anak
4. Berikan dorongan untuk bermain. Diharapkan anak dapat bermain cukup lama dengan orangtua
5. Ajarkan anak lagu baru yang dia sukai
6. Rencanakan berjalan-jalan dengan anak
7. Bacakan cerita pada anak. Ajarkan mengucapkan kata atau ide
8. Setiap mengajarkan kata, tunjukkan benda objeknya.

2.8.9 Pemilihan terapi yang tepat
Pemilihan terapi yang tepat tergantung dari tiap anak, sesuai etiologi dan kebutuhannya. Anak dengan gangguan pendengaran, bisa menggunakan alat bantu dengar atau implant koklea yang dikombinasikan dengan terapi bicara. Anak yang mempunyai perilaku agresif sebaiknya diberikan lebih dahulu terapi perilaku atau sensori integrasi. Bila anak telah mulai berinteraksi cukup baik barulah diberikan terapi bicara. Pemakaian beberapa bahasa di rumah, sebaiknya diseragamkan lebih dulu. Keadaan ini diharapkan dapat membantu anak untuk menguasai satu bahasa dahulu dengan baik. Karena terapi yang diberikan bukan pengobatan, hasil terapi biasanya baru terlihat setelah anak menjalaninya beberapa waktu. Perlu dilakukan evaluasi setiap 3-6 bulan untuk melihat hasil terapi yang telah diberikan. Apakah perlu ditambah, dikurangi, atau diubah, disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan anak saat itu.

2.9 Prognosis2

Prognosis gangguan bicara pada anak tergantung pada penyebabnya. Dengan perbaikan masalah medis seperti tuli konduksi dapat menghasilkan perkembangan bahasa yang normal pada anak yang tidak retardasi mental. Sedangkan perkembangan bahasa dan kognitif pada anak dengan ganguan pendengaran sensoris bervariasi. Dikatakan bahwa anak dengan gangguan fonologi biasanya prognosisnya lebih baik. Sedangkan gangguan bicara pada anak yang intelegensinya normal perkembangan bahasanya lebih baik dari pada anak yang retardasi mental. Tetapi anak dengan gangguan yang multipel, terutama dengan gangguan pemahaman, gangguan bicara ekspresif, atau kemampuan naratif yang tidak berkembang pada usia 4 tahun, mempunyai gangguan bahasa yang menetap pada umur 5,5 tahun.

2.10 Pencegahan4

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dihindari untuk untuk mencegah adanya masalah keterlambatan bicara pada anak - di luar adanya kelainan organik dan bawaan pada anak. Masalah pembelajaran dan komunikasi dengan orang tua, masalah komunikasi dan interaksi dengan orang tua tanpa disadari memiliki peran yang penting dalam membuat anak mempunyai kemampuan berbicara dan berbahasa yang tinggi. Banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa cara mereka berkomunikasi dengan si anak lah yang juga membuat anak tidak punya banyak perbendaharaan kata-kata, kurang dipacu untuk berpikir logis, analisa atau membuat kesimpulan dari kalimat-kalimat yang sangat sederhana sekali pun. Sering orang tua malas mengajak anaknya bicara panjang lebar dan hanya bicara satu dua patah kata saja yang isinya instruksi atau jawaban sangat singkat. Selain itu, anak yang tidak pernah diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri sejak dini (lebih banyak menjadi pendengar pasif) karena orang tua terlalu memaksakan dan memasukkan segala instruksi, pandangan mereka sendiri atau keinginan mereka sendiri tanpa memberi kesempatan pada anaknya untuk memberi umpan balik, juga menjadi faktor yang mempengaruhi kemampuan bicara, menggunakan kalimat dan berbahasa.

Hal yang perlu dihindari:
• Peran yang terlalu pasif dalam kehidupan sosial
Kebanyakan anak lebih sering ditempatkan dalam posisi “menerima” dan tidak “memberi” dalam hubungannya dengan orang lain. Hal ini mengakibatkan tidak terbiasanya mereka berpartisipasi secara aktif; hal yang dibutuhkan dalam perkembangan bicara mereka.
• Cara komunikasi “kuno” yang sudah terlalu nyaman dipakai
Beberapa anak, khususnya dalam hubungan di dalam keluarganya, terbiasa dengan nyaman berkomunikasi menggunakan gerakan, bahasa tubuh maupun bunyi-bunyian saja. Hal ini boleh jadi merupakan cara komunikasi yang efektif di dalam rumah, namun tidak dalam lingkup masyarakat, di mana anak butuh menggunakan bahasa secara verbal sampai ke tingkat kata-kata yang rumit.
• Tidak menganggap bahwa anak mampu
Banyak orang dewasa tidak melibatkan anak dalam berkomunikasi, karena memiliki pemikiran bahwa anak tersebut belum mampu berpartisipasi aktif ataupun mengerti pembicaraan yang berlangsusng.
• Orang dewasa bicara atas nama mereka
Seringkali orang dewasa berbicara atas nama anak, sehingga mereka kelihatan tidak berbicara.
• Terlalu banyak rangsangan
Sekalipun untuk niat dan tujuan yang baik, seringkali anak “dijejali” dengan terlalu banyak bahasa, sehingga mereka kewalahan. Rasanya seperti anak yang sedang belajar menangkap bola, lalu dilempari beberapa bola sekaligus.
• Terlalu banyak bahasa “sekolah”, kurang bahasa yang “komunikatif “
Kebanyakan anak pada awal usianya diajarkan bahasa yang mencakup “warna”, “angka”, yang sebetulnya tidak terlalu bermanfaat dalam komunikasi sehari-hari. Anak membutuhkan rangsangan bahasa yang sifatnya praktis; mencakup kosa kata yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, karena mereka akan melatih kemampuan berbahasanya melalui kehidupan sehari-hari.
• Kurangnya “obrolan “sosial”
Kebanyakan anak menggunakan bahasa untuk menunjukkan kemampuannya meniru sesuatu kepada orang dewasa; apakah itu sajak pendek, syair lagu, mengulang cerita yang didongengkan kepada mereka, dll. Hanya sedikit yang mendapatkan kesempatan untuk “mengobrol” dan bertanya jawab secara santai, sehingga terbangun hubungan “pertemanan” dengan orang yang berkomunikasi dengan mereka.
• Terlalu banyak bermain sendiri
Tentunya anak belajar banyak melalui permainannya dengan boneka, robot atau mainan lainnya. Namun untuk melatih kemampuannya berkomunikasi, ia akan membutuhkan juga manusia yang melakukan pembicaraan timbal balik sesuai dengan kemampuan anak.

BAB III
PENUTUP
Simpulan
Kemampuan berbahasa merupakan indikator seluruh perkembangan anak. Karena kemampuan berbahasa sensitif terhadap keterlambatan atau kerusakan pada sistem lainnya, sebab melibatkan kemapuan kognitif, sensori motor, psikologis, emosi, dan lingkungan di sekitar anak.4 Diperkirakan gangguan bicara dan bahasa pada anak adalah sekitar 4-5 %.2
Secara umum, gangguan berbahasa dapat dibagi dalam tiga tipe, yaitu: (1) Kegagalan memperoleh kemampuan berbahasa apapun. Keadaan ini misalnya terdapat pada anak yang menderita retardasi mental berat; (2) Kendala kemampuan bahasa yang telat didapat, yang dapat disebabkan oleh trauma fisik damupun psikis, atau oleh gangguan neurologist; (3) Gangguan perkembangan berbahasa. Tipe inilah yang dikategorikan dalam gangguan perkembangan spesifik. Terdapat dua sub tipe, yaitu (a) tipe reseptif, yaitu kesukaranuntuk menrima dan mengerti bahasa yang dibicarakan, dan (b) tipe ekspresif, yaitu kesukaran dalam mengekspresikan bahasa secara verbal.2
Deteksi dan penanganan dini pada gangguan keterlambatan bicara dan bahasa dapat membantu baik anak atau orang tua untuk memperkecil kesulitan di masa sekolah anak.3 Dalam diagnosa dan penanganannya diperlukan ahli yang beragam seperti dokter, ahli terapi: ahli terapi bicara dan ahli fisioterapi, psikolog, perawat, dan pekerja sosial.

Saran
Dengan dibuatnya makalah gangguan bicara dan bahasa pada anak ini, diharapkan nantinya akan memberikan manfaat bagi para pembaca terutama pemahaman yang berhubungan dengan bagaimana melakukan sebuah proses asuhan terutama pada anak yang mengalami gangguan bicara dan bahasa.
Namun penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran maupun kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan penulisan referat ini, dengan demikian penulisan referat ini bisa bermanfaat bagi penulis atau pihak lain yang membutuhkannya.




DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton AC, Hall JE. Dalam : Irawati Setyawan, penyunting. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC
2. Kaplan & Sadock. Buku Ajar Psikiatri Klinis edisi 2. Jakarta: EGC
3. Buku Saku diagnosis gangguan jiwa,PPDGJ III
4. Chamidah, A Nur. Gangguan bicara dan bahasa pada anak

Saarah Agustin

Posts : 3
Reputation : 0
Join date : 28.04.15

Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik