Tilikan Diri Pasien Skizofrenia
:: Tugas dan Presentasi :: Referat
Halaman 1 dari 1
Tilikan Diri Pasien Skizofrenia
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu gangguan jiwa yang merupakan permasalahan kesehatan di seluruh dunia adalah skizofrenia. Para pakar kesehatan jiwa menyatakan bahwa semakin modern dan industrial suatu masyarakat, semakin besar pula stressor psikososialnya, yang pada gilirannya menyebabkan orang jatuh sakit karena tidak mampu mengatasinya. Salah satu penyakit itu adalah gangguan jiwa skizofrenia.1
Gangguan jiwa merupakan gangguan pada pikiran, perasaan, atau perilaku yang mengakibatkan penderitaan dan terganggunya fungsi sehari-hari. Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan distorsi khas proses pikir, kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, waham yang kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, afek abnormal yang terpadu dengan situasi nyata atau sebenarnya, dan autisme. Meskipun demikian, kesadaran yang jernih dan kapasitas intelektual biasanya tidak terganggu.2
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering. Hampir 1% penduduk di dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka. Gejala skizofrenia biasanya muncul pada usia remaja akhir atau dewasa muda. Onset pada laki-laki biasanya antara 15-25 tahun dan pada perempuan antara 25-35 tahun. Prognosis biasanya lebih buruk pada laki-laki bila dibandingkan dengan perempuan. Onset setelah umur 40 tahun jarang terjadi.3
Lima tahun terakhir telah membawa kemajuan besar dalam mengerti skizofrenia di dalam tiga bidang. Pertama, kemajuan teknik pencitraan otak, khusunya pencitraan resonansi magnetik (MRI: Magnetic Resonance Imaging), daerah otak tertentu yang diperhatikan adalah amigdala, hipokampus, dan girus parahipokampus. Kedua, setelah perkenalan clozapine (clozaril), risperidone dan juga remoxipride, suatu antipsikotik atipikal dengan efek samping neurologis yang minimal. Obat tersebut dan obat atipikal lainnya akan lebih efektif dalam menurunkan gejala negatif skizofrenia dan dapat dihubungkan dengan rendahnya insidensi efek samping neurologis. Ketiga, saat terapi obat mengalami kemajuan dan saat dasar biologis yang kuat untuk skizofrenia semakin dikenal luas, terdapat peningkatan minat pada faktor psikososial yang mempengaruhi skizofrenia, termasuk yang mempengaruhi onset, relaps, dan hasil terapi.4
B. Batasan Masalah
Referat ini membahas tentang hubungan tilikan diri dengan penyakit skizofrenia.
C. Tujuan
Sebagai referensi untuk menambah sumber bacaan mengenai hubungan tilikan diri dengan penyakit skizofrenia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SKIZOFRENIA
2.1 Definisi
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizein” yang berarti “terpisah” atau “pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku. Secara umum, gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu gejala positif, gejala negatif, dan gangguan dalam hubungan interpersonal.5
Skizofrenia adalah diagnosis kejiwaan yang menggambarkan gangguan mental dengan karakter abnormalitas dalam persepsi atau gangguan mengenai realitas. Abnormalitas persepsi dapat berupa gangguan di kelima panca indera, tapi biasanya berupa halusinasi auditorik, paranoid, waham bizarre, dan dapat juga berupa disorganisasi berbicara dan gangguan komunikasi sosial yang nyata. Sering terjadi pada dewasa muda, ditegakkan melalui pengalaman pasien dan dilakukan observasi tingkah laku, serta tidak dibutuhkan adanya pemeriksaan laboratorium.6
2.2 Epidemiologi
Sekitar 1% penduduk dunia akan mengidap skizofrenia pada suatu waktu dalam hidupnya. Di Indonesia diperkirakan 1-2% penduduk atau sekitar 2-4 juta jiwa akan terkena penyakit ini. Bahkan sekitar sepertiga dari 1-2 juta jiwa yang terjangkit penyakit skizofrenia ini atau sekitar 700 ribu hingga 1,4 juta jiwa kini sedang mengidap skizofrenia. Perkiraan angka ini disampaikan Dr. LS Chandra, Sp.KJ dari Sanatorium Dharmawangsa Jakarta Selatan. Tiga perempat dari jumlah pasien skizofrenia umumnya dimulai pada usia 15 sampai 25 tahun pada jenis kelamin laki-laki. Pada perempuan, skizofrenia biasanya mulai pada usia 25 hingga 35 tahun. Penyakit yang satu ini cenderung menyebar di antara anggota keluarga sedarah.6
Walaupun skizofrenia tergolong sebagai suatu penyakit yang banyak menyerang anggota masyarakat, cukup mengherankan bahwa tidak banyak diketahui mengenai epidemiologi penyakit ini, khususnya di Indonesia. Di Amerika Serikat, prevalensi skizofrenia seumur hidup dilaporkan secara bervariasi terentang dari 1 sampai 1,5%; konsisten dengan rentang tersebut, penelitian Epidemiological Catchment Area (ECA) yang disponsori oleh National Institute of Mental Health (NIMH) melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar 1,3%. Kira-kira 0,025 sampai 0,05% populasi total diobati untuk skizofrenia dalam satu tahun. Walaupun dua pertiga dari pasien yang diobati tersebut membutuhkan perawatan di rumah sakit, hanya kira-kira setengah dari semua pasien skizofrenik mendapat pengobatan, tidak tergantung pada keparahan penyakit.4
Di seluruh dunia, diperkirakan terdapat 2 juta kasus skizofrenia baru tiap tahun dan seluruh penderita skizofrenia diperkirakan berjumlah 10 juta orang, hampir sama dengan jumlah penduduk kota New York.4
2.3 Fase atau Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap individu. Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi beberapa fase yang dimulai dari prodromal, fase aktif dan keadaan residual.4
1. Fase Prodomal
- Berlangsung antara 6 bulan sampai 1 tahun
- Gangguan dapat berupa Self care, gangguan dalam akademik, gangguan dalam pekerjaan, gangguan fungsi sosial, gangguan pikiran dan persepsi.
2. Fase Aktif
- Berlangsung kurang lebih 1 bulan.
- Gangguan dapat berupa gejala psikotik ; Halusinasi, delusi, disorganisasi proses berfikir, gangguan bicara, gangguan perilaku, disertai kelainan neurokimiawi.
3. Fase Residual
- Mengalami minimal 2 gejala
- Gangguan afek dan gangguan peran, serangan biasanya berulang.
2.4 Etiologi
Skizofrenia merupakan suatu bentuk psikosis yang sering dijumpai sejak dulu. Meskipun demikian pengetahuan tentang faktor penyebab dan patogenesisnya masih minim diketahui. Adapun beberapa faktor etiologi yang mendasari terjadinya skizofrenia, antara lain:5
1) Genetik
Dapat dipastikan bahwa ada faktor genetik yang juga menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri penderita skizofrenia ialah 0,9-1,8%; bagi saudara kandung 7-15%; bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita skizofrenia 7-16%; bila kedua orang tua menderita skizofrenia 40-68%; bagi kembar dua telur (heterozigot) 2-15%; dan bagi kembar satu telur (homozigot) 61-86%.
Tetapi pengaruh genetik tidak sesederhana seperti hukum-hukum Mendel. Diduga bahwa potensi untuk mendapatkan skizofrenia diturunkan (bukan penyakit itu sendiri) melalui gen yang resesif. Potensi ini mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan individu itu apakah akan terjadi skizofrenia atau tidak (mirip hal genetik pada diabetes melitus).
2) Endokrin
Dahulu diduga bahwa skizofrenia mungkin disebabkan oleh suatu gangguan endokrin. Teori ini dikemukakan berhubung dengan sering timbulnya skizofrenia pada waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium dan waktu klimakterium. Tetapi hal ini tidak dapat dibuktikan.
3) Metabolisme
Beberapa peneliti menduga bahwa skizofrenia disebabkan oleh suatu gangguan metabolisme, karena penderita dengan skizofrenia tampak pucat dan tidak sehat. Ujung ekstremitas agak sianosis, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun. Pada penderita dengan stupor katatonik konsumsi zat asam menurun. Namun, hipotesis ini tidak dibenarkan oleh banyak sarjana. Belakangan ini teori metabolisme mendapat perhatian lagi berhubung dengan penelitian dengan memakai obat halusinogenik, seperti meskalin dan asam lisergik diethilamide (LSD-25). Obat-obat ini dapat menimbulkan gejala-gejala yang mirip dengan gejala-gejala skizofrenia, tetapi sifatnya reversibel. Mungkin skizofrenia disebabkan oleh suatu “inborn error of metabolism”, tetapi hubungan terakhir belum ditemukan.
4) Susunan Saraf Pusat
Ada yang mencari penyebab skizofrenia ke arah kelainan susunan saraf pusat, yaitu pada diensefalon atau korteks otak. Tetapi kelainan patologis yang ditemukan itu mungkin disebabkan oleh perubahan-perubahan postmortem atau merupakan artefakt pada waktu membuat sediaan.
Sistem limbik, yang terlibat dalam mengatur perilaku emosional, memori, dan pembelajaran.7
a. Ganglia basal : mengkoordinasi gerakan.
b. Hipotalamus : meregulasi hormon di tubuh sepeti kebutuhan makan, minum dan seks.
c. Locus ceruleus : membuat sel saraf dapat meregulasi tidur dan terlibat dalam perilaku dan mood.
d. Substantia nigra : sel yang memproduksi dopamin dan terlibat dalam mengontrol pergerakkan yang kompleks, berfikir dan respon emosi.
Gambar 1. Area otak yang terlibat pada skizofrenia
2.5 Psikopatologi
Penelitian mutakhir menyebutkan bahwa perubahan-perubahan pada neurotransmiter dan resptor di sel-sel saraf otak (neuron) dan interaksi zat neurokimia dopamin dan serotonin, ternyata mempengaruhi alam pikir, perasaan, dan perilaku yang menjelma dalam bentuk gejala-gejala positif dan negatif skizofrenia.7
Gejala negatif Gejala positive
Alogia Halusinasi
Afek datar Delusi
avolition – apatis Tingkah laku aneh
anhedonia – asociality Gangguan berfikir positif formal
Gangguan attensi
Selain perubahan-perubahan yang sifatnya neurokimiawi di atas, dalam penelitian dengan menggunakan CT Scan otak, ternyata ditemukan pula perubahan pada anatomi otak pasien, terutama pada penderita kronis. Perubahannya ada pada pelebaran lateral ventrikel, atrofi korteks bagian depan, dan atrofi otak kecil (cerebellum).7
2.6 Klasifikasi
Subtipe skizofrenia menurut DSM-IV :
1. Tipe paranoid (F 20.0)
DSM IV menyebutkan bahwa tipe paranoid ditandai oleh keasikan (preokupasi) pada satu atau lebih waham atau halusinasi dengar yang sering dan tidak ada perilaku spesifik lain yang mengarahkan pada tipe terdisorganisasi atau katatonik. Secara klasik, skizofrenia tipe paranoid ditandai terutama oleh adanya waham kejar atau waham kebesaran. Pasien skizofrenik paranoid biasanya berumur lebih tua dari pada pasien skizofrenik terdisorganisasi atau katatonik jika mereka mengalami episode pertama penyakitnya. Pasien yang sehat sampai akhir usia 20 atau 30 tahunan biasanya mencapai kehidupan sosial yang dapat membantu mereka melewati penyakitnya. Selain itu, kekuatan ego pasien paranoid cenderung lebih besar dari pasien katatonik dan terdisorganisasi. Pasien skizofrenik paranoid menunjukkan regresi yang lambat dari kemampuan mentalnya, respon emosional dan perilakunya dibandingkan tipe lain pada pasien skizofrenik.4
Pasien skizofrenik paranoid tipikalnya adalah tegang, pencuriga, berhati-hati dan tak ramah. Mereka juga dapat bersikap bermusuhan atau agresif. Pasien skizofrenik paranoid kadang-kadang dapat menempatkan diri mereka sendiri secara adekuat di dalam situasi sosial. Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh kecenderungan psikosis mereka dan tetap berfungsi secara baik.4
2. Tipe Hebefrenik atau Disirganisasi (F 20.1)
Tipe disorganisasi sebelumnya dinamakan hebrefenik ditandai oleh regresi yang nyata ke perilaku primitif, perilaku yang tidak dapat dihambat dan tidak teratur, serta tidak adanya gejala yang memenuhi kriteria untuk tipe katatonik. Onset biasanya terjadi awal, sebelum usia 25 tahun. Pasien terdisorganisasi biasanya aktif tetapi dengan cara yang tidak bertujuan dan tidak konstruktif. Gangguan pikiran mereka adalah hal yang paling menonjol dan kontaknya buruk terhadap kenyataan. Penampilan pribadinya dan perilaku sosialnya rusak. Respon emosionalnya sesuai dan mereka sering kali meledak tertawanya tanpa alasan. Wajah yang meringis dan menyeringai paling sering ditemukan pada tipe pasien ini, perilaku tersebut paling baik digambarkan sebagai kekanak-kanakan atau bodoh.4
3. Tipe Katatonik (F 20.3)
Ciri klasik dari tipe katatonik adalah gangguan nyata pada fungsi motorik yang mungkin berupa stupor, negativisme, rigiditas, kegembiraan atau posturing. Kadang-kadang pasien menunjukkan perubahan yang cepat antara kegembiraan dan stupor. Ciri penyerta adalah stereotipik, manerisme, dan fleksibilitas lilin. Mutisme adalah yang paling sering ditemukan. Selama stupor atau kegembiraan katatonik, pasien skizofrenik memerlukan pengawasan yang ketat untuk menghindari pasien melukai dirinya sendiri atau orang lain. Perawatan medis mungkin diperlukan karena adanya malnutrisi, kelelahan, hiperpireksia atau cidera yang disebabkan oleh diri sendiri.4
4. Depresi Pasca-skizofrenia (F 20.4)8
Pedoman Diagnostik
a. Diagnosis harus ditegakkan hanya jika :
1) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria umum skizofrenia) selama 12 bulan terakhir ini
2) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya), dan
3) Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling sedikit kriteria untuk episode depresif dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu
b. Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia, diagnosis menjadi Episode Depresif. Bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai (F 20.0 – F 20.3).8
5. Tipe Residual (F 20.5)
Menurut DSM IV, tipe residual ditandai oleh bukti-bukti yang terus-menerus adanya gangguan skizofrenik, tanpa adanya kumpulan lengkap gejala aktif atau gejala yang cukup untuk memenuhi tipe lain skizofrenia. Penumpulan emosional, penarikan sosial, perilaku eksentrik, pikiran yang tidak logis dan asosiasi longgar ringan adalah gejala yang sering ditemukan pada tipe residual. Jika waham atau halusinasi ditemukan, maka hal tersebut tidak menonjol dan tidak disertai oleh afek yang kuat.4
6. Skizofrenia Simpleks (F. 20.6)8
a. Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari:
1. Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik.
2. Disertai dengan perubahan perilaku pribadi yang bermakna bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial
b. Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia lainnya.8
7. Tipe tidak tergolongkan (undifferentiated type)
Sering kali pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah dimasukkan kedalam salah satu tipe. DSM-IV mengklasifikasikan pasien tersebut sebagai tipe tidak tergolongkan. Kriteria diagnosis DSM-IV untuk skizofrenia memerlukan onset gangguan, satu atau lebih bidang fungsi utama seperti pekerjaan, hubungan interpersonal atau perawatan diri sendiri.4
8. Tipe I dan tipe II
Ditahun 1980 T.J.Crown mengajukan suatu klasifikasi pasien skizofrenik ke dalam tipe I dan tipe II. Perbedaan klinis dari kedua tipe tersebut telah secara bermakna mempengaruhi penelitian psikiatrik. Gejala negatif yang timbul yaitu afek datar atau tumpul, kemiskinan pembicaraan atau isi pembicaraan, penghambatan (blocking), penampilan yang buruk, tidak adanya motivasi, anhedonia, penarikan sosial, defek kognitif dan defisit perhatian. Gejala positif adalah asosiasi longgar, halusinasi, perilaku aneh dan bertambah banyaknya pembicaraan. Pasien tipe I cenderung memiliki sebagian besar gejala positif, struktur otak yang normal pada CT, dan respons yang relatif baik terhadap pengobatan. Pada pasien tipe II cenderung memiliki sebagian besar gejala negatif, kelainan struktural otak pada pemeriksaan CT dan respon yang buruk terhadap pengobatan.4
9. Sub tipe Lain
Nama dari beberapa sub tipe lain tersebut adalah menjelaskan katanya sendiri (self-explanatory) sebagai contoh: onset akhir (late-onset), masa anak-anak dan proses. Skizofrenia onset akhir bisanya didefinisikan sebagai skizofrenia yang mempunyai onset setelah usia 45 tahun. Skizofrenia dengan onset yang terjadi pada masa anak-anak (childhood schizophrenia). Skizofrenia proses yang berarti skizofrenia dengan perjalanan yang menimbulkan kecacatan dan keruntuhan.4
2.7 Diagnosis
DSM IV mempunyai kriteria diagnosis resmi dari American Psychiatric Association untuk skizofrenia. Kriteria Diagnostik Skizofrenia, yaitu :4
A. Gejala karakteristik: Dua atau lebih berikut,masing-masing ditemukan untuk bagian waktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau kurang jika pengobatan berhasil):
(1) Waham
(2) Halusinasi
(3) Bicara disorganisasi (misalnya, sering menyimpang atau inkoheren)
(4) Perilaku disorganisasi atau katatonik yang jelas
(5) Gejala negatif, yaitu afk datar, alogia atau tidak ada kemauan (avolition)
Catatan : hanya satu gejala kriteria A yang diperlukan jika waham adalah bizzare (kacau) atau halusinasi terdiri dari suara yang terus menerus mengomentari perilaku atau pikiran pasien atau dua atau lebih suara yang saling bercakap-cakap satu sama lainnya.
B. Disfungsi sosial/pekerjaan: Untuk bagian waktu yang bermakna sejak onset gangguan, satu atau lebih fungsi utama, seperti pekerjaan, hubungan interpersonal atau perawatan diri adalah jelas di bawah tingkat yang dicapai sebelum onset (atau jika onset pada masa anak-anak atau remaja, kegagalan untuk mencapai tingkat pencapaian interpersonal, akademik atau pekerjaan yang diharapkan)
C. Durasi: tanda gangguan terus-menerus menetap selama sekurangnya 6 bulan. Periode 6 bulan ini harus termasuk sekurangnya 1 bulan gejala (atau kurang jika pengobatan berhasil) yang memenuhi kriteria A (yaitu gejala fase aktif) dan mungkin termasuk periode gejala prodomal atau residual. Selama periode prodomal atau residual tanda gangguan mungkin hanya gejala negatif saja atau dua atau lebih gejala yang dituliskan dalam kriteria A dalam bentuk yang lebih lemah (misalnya, keyakinan yang aneh, pengalaman atau persepsi yang tidak lazim)
D. Penyingkiran gangguan skizoafektif dan gangguan mood. Gangguan skizoafektif dan gangguan mood dengan ciri psikotik telah disingkirkan karena: (1) tidak ada episode depresif berat, manik atau campuran yang telah terjadi bersama-sama dengan gejala fase aktif atau (2) jika episode mood telah terjadi selama gejala fase aktif, durasi totalnya adalah relatif singkat dibandingkan durasi periode aktif dan residual.
E. Penyingkiran zat/kondisi medis umum: gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalah gunakan) atau suatu kondisi medis umum
F. Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasif. Jika terdapat adanya riwayat gangguan autistik atau gangguan perkembangan pervasif lainnya, diagnosis tambahan skizofrenia dibuat hanya jika waham atau halusinasi yang menonjol juga ditemukan untuk sekurangnya satu bulan (atau kurang jika diobati secara berhasil).
Klasifikasi perjalanan penyakit longitudinal (dapat diterapkan hanya setelah sekurangnya 1 tahun sejak onset awal gejala fase aktif);
• Episodik dengan gejala residual antar episode (episode didefinisikan oleh timbulnya kembali gejala psikotik yang menonjol), juga sebutkan jika dengan gejala negatif yang menonjol
• Episode tanpa gejala residual antar episodik
• Episode tunggal dalam remisi parsial, juga dengan gejala negatif yang menonjol
• Episode tunggal dalam remisi penuh
• Pola lain atau tidak ditentukan
2.8 Penatalaksanaan
Pengobatan harus secepat mungkin, karena keadaan psikotik yang lama menimbulkan kemungkinan lebih besar penderita menuju ke kemunduran mental.9
1. Farmakoterapi
Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah untuk mengendalikan gejala aktif dan mencegah kekambuhan. Obat antipsikotik mencakup dua kelas utama: antagonis reseptor dopamin, dan antagonis serotonin-dopamin.
a. Antagonis Reseptor Dopamin
Antagonis reseptor dopamin efektif dalam penanganan skizofrenia, terutama terhadap gejala positif. Obat-obatan ini memiliki dua kekurangan utama. Pertama, hanya presentase kecil pasien yang cukup terbantu untuk dapat memulihkan fungsi mental normal secara bermakna. Kedua, antagonis reseptor dopamin dikaitkan dengan efek samping yang mengganggu dan serius. Efek yang paling sering mengganggu adalah akatisia adan gejala lir-parkinsonism berupa rigiditas dan tremor. Efek potensial serius mencakup diskinesia tarda dan sindrom neuroleptik maligna.
b. Antagonis Serotonin-Dopamin (SDA)
SDA menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang minimal atau tidak ada, berinteraksi dengan subtipe reseptor dopamin yang berbeda di banding antipsikotik standar, dan mempengaruhi baik reseptor serotonin maupun glutamat. Obat ini juga menghasilkan efek samping neurologis dan endokrinologis yang lebih sedikit serta lebih efektif dalam menangani gejala negatif skizofrenia. Obat yang juga disebut sebagai obat antipsikotik atipikal ini tampaknya efektif untuk pasien skizofrenia dalam kisaran yang lebih luas dibanding agen antipsikotik antagonis reseptor dopamin yang tipikal. Golongan ini setidaknya sama efektifnya dengan haloperidol untuk gejala positif skizofrenia, secara unik efektif untuk gejala negatif, dan lebih sedikit, bila ada, menyebabkan gejala ekstrapiramidal. Beberapa SDA yang telah disetujui di antaranya adalah klozapin, risperidon, olanzapin, sertindol, kuetiapin, dan ziprasidon. Obat-obat ini tampaknya akan menggantikan antagonis reseptor dopamin, sebagai obat lini pertama untuk penanganan skizofrenia.
Pada kasus sukar disembuhkan, klozapin digunakan sebagai agen antipsikotik, pada subtipe manik, kombinasi untuk menstabilkan mood ditambah penggunaan antipsikotik. Pada banyak pengobatan, kombinasi ini digunakan mengobati keadaan skizofrenia.
Kategori obat: Antipsikotik – memperbaiki psikosis dan kelakuan agresif.12
Nama Obat Keterangan
Haloperidol (Haldol) Digunakan untuk manajemen psikosis, saraf motorik dan suara pada anak dan orang dewasa. Mekanisme tidak secara jelas ditentukan, tetapi merupakan competively blocking postsynaptic dopamine (D2) reseptor dalam sistem mesolimbik dopaminergik, dengan meningkatnya pergantian dopamin untuk efek penenang. Dengan terapi subkronik, depolarisasi dan D2 postsinaptik dapat memblokir aksi antipsikotik.
Risperidone (Risperdal) Monoaminergik selektif mengikat reseptor D2 dopamin selama 20 menit, afinitasnya lebih rendah dibandingkan reseptor 5-HT2. Juga mengikat reseptor alfa1-adrenergik dengan afinitas lebih rendah dari H1-histaminergik dan reseptor alpha2-adrenergik. Memperbaiki gejala negatif pada psikosis dan menurunkan kejadian pada efek ekstrpiramidal.
Olanzapine (Zyprexa) Antipsikotik atipikal dengan profil farmakologis yang melintasi sistem reseptor (seperti serotonin, dopamin, kolinergik, muskarinik, alpha adrenergik, histamin). Efek antipsikotik berupa perlawanan terhadap dopamin dan reseptor serotonin tipe-2. Diindikasikan untuk pengobatan psikosis dan gangguan bipolar.
Clozapine (Clozaril) Memblokir aktifitas reseptor D2 dan D1, tetapi memiliki efek dalam menghambat nonadrenolitik, antikolinergik, antihistamin secara signifikan, tepatnya antiserotonin. Resiko terbatasnya penggunaan agranulositosis pada pasien nonresponsif atau agen neuroleptik klasik tidak ditoleransi.
Quetiapine (Seroquel) Antipsikotik terbaru untuk penyembuhan jangka panjang. Mampu melawan efek dopamine dan serotonin. Perbaikan lebih awal antipsikotik termasuk efek antikolinergik dan kurangnya distonia, parkinsonism, dan tardif diskinesia.
Aripiprazole (Abilify) Memperbaiki gejala positif dan negatif skizofrenia. Mekanisme kerjanya belum diketahui, tetapi hipotesisnya berbeda dari antipsikotik lainnya. Aripiprazole menimbulkan parsial dopamin (D2) dan serotonin (5HT1A) agonis, dan antagonis serotonin (5HT2A).
Nama Obat Sediaan Dosis Anjuran
Haloperidol (Haldol) Tab. 2 – 5 mg 5 – 15 mg/hari
Risperidone (Risperdal) Tab. 1 – 2 – 3 mg 2 – 6 mg/hari
Olanzapine (Zyprexa) Tab. 5 – 10 mg 10 – 20 mg/hari
Clozapine (Clozaril) Tab. 25 – 100 mg 25 – 100 mg/hari
Quetiapine (Seroquel) Tab. 25 – 100 mg
200 mg 50 – 400 mg/hari
Aripiprazole (Abilify) Tab. 10 – 15 mg 10– 15 mg/hari
2. Terapi Psikososial
a. Terapi perilaku
Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan keterampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal yang diharapkan, seperti hak istimewa dan pas jalan di rumah sakit.4
b. Terapi berorientasi keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia sering kali dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, keluarga dimana pasien skizofrenia kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang dibahas didalam terapi keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya. Seringkali, anggota keluarga, didalam cara yang jelas mendorong sanak saudaranya yang terkena skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur terlalu cepat. Rencana yang terlalu optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan tentang sifat skizofrenia dan dari penyangkalan tentang keparahan penyakitnya. Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien mengerti skizofrenia tanpa menjadi terlalu mengecilkan hati.4
c. Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi secara psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara suportif, bukannya dalam cara interpretatif, tampaknya paling membantu bagi pasien skizofrenia.4
d. Psikoterapi individual
Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda dari yang ditemukan di dalam pengobatan pasien non-psikotik. Pengamatan yang cermat dari jauh dan rahasia, perintah sederhana, kesabaran, ketulusan hati, dan kepekaan terhadap kaidah sosial adalah lebih disukai daripada informalitas yang prematur dan penggunaan nama pertama yang merendahkan diri. Kehangatan atau profesi persahabatan yang berlebihan adalah tidak tepat dan kemungkinan dirasakan sebagai usaha untuk suapan, manipulasi, atau eksploitasi.4
e. Perawatan di Rumah Sakit
Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik, menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh, prilaku yang sangat kacau termasuk ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar.
Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan rumah sakit tergantung dari keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan. Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah masalah kehidupan, perawatan diri, kualitas hidup, pekerjaan, dan hubungan sosial. Perawatan di rumah sakit harus diarahkan untuk mengikat pasien dengan fasilitas perawatan termasuk keluarga pasien. Pusat perawatan dan kunjungan keluarga pasien kadang membantu pasien dalam memperbaiki kualitas hidup.4
2.9 Prognosis 4,5
Pada umumnya prognosis untuk gangguan jiwa adalah dubia dikarenakan banyaknya faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap penyembuhan pasien. Untuk menetapkan prognosisnya, kita harus mempertimbangkan semua faktor di bawah ini:
1. Kepribadian prepsikotik: Bila skizoid dan hubungan antar-manusia memang kurang memuaskan, maka prognosa lebih jelek.
2. Bila skizofrenia timbul secara akut, maka prognosa akan lebih baik daripada bila penyakit itu mulai secara pelan-pelan.
3. Jenis: Prognosa jenis katatonik yang paling baik dari semua jenis. Sering penderita-penderita dengan katatonia sembuh dan kembali ke kepribadian prepsikotik. Kemudian menyusul jenis paranoid. Banyak dari penderita ini dapat dikembalikan ke masyarakat. Hebefrenia dan skizofrenia simplex mempunyai prognosa yang sama jelek. Biasanya penderita dengan jenis skizofrenia ini menuju ke arah kemunduran mental.
4. Umur: Makin muda umur permulaannya, makin jelek prognosanya.
5. Pengobatan: Makin cepat diberi pengobatan, makin baik prognosanya.
6. Dikatakan bahwa bila terdapat faktor pencetus, seperti penyakit badaniah atau stres psikologik, maka prognosa lebih baik.
7. Faktor keturunan: Prognosa lebih berat bila di dalam keluarga terdapat seorang atau lebih yang juga menderita skizofrenia.
Menurut Robin & Guze :
Baik
- Personalitas premorbid baik
- Faktor pencetus jelas
- Tidak ada riwayat keluarga
- Kesaradan berawan
- Terjadi akut
- Affect atau mood tidak datar
- Gejala-gejala paranoid
Menurut Kaplan & Sadock’s:
Mengevaluasi prognosis dengan melihat riwayat longitudinal dari penyakit, dimulai dengan riwayat keluarga sampai pada sistem penanganan
Menentukan baik atau buruknya prognosis pada skizofrenia :
- Prognosis baik :
• Riwayat keluarga ttg gangguan mood / affect
• Perilaku dan personalitas premorbid yang baik
• Sudah menikah
• Onset akut
• Gejala kelainan mood terutama kelainan depresif
• Gejala positif (Positive symptoms)
• Sistem pembantu (support systems) yang baik
- Prognosis buruk :
• Riwayat keluarga skizofrenia
• Riwayat trauma perinatal
• Onset pada usia muda
• Perilaku dan personalitas premorbid yang buruk
• Lajang, bercerai, atau menjanda
• Insidious onset
• Tanpa sebab yang jelas
• Tanda dan gejala gangguan neurologis
• Cenderung menarik diri autistic behavior
• Gejala negatif (Negative symptoms)
• Tidak ada remisi dalam 3 tahun
• Sering kambuh
• Riwayat kekerasan
2.9 Tilikan
Tilikan (insight) adalah tingkat kesadaran dan pemahaman pasien akan penyakitnya. Apabila tilikan pasien rendah, maka tingkat kesadaran dan pemahaman pasien akan sakitnya akan rendah juga. Apabila tilikan pasien baik, maka tingkat kesadaran dan pemahaman pasien akan penyakitnya akan lebih baik juga. Akan tetapi pemahaman dan kesadaran akan penyakitnya itu akan rusak bilah dipengaruhi stigma terinternalisasi, perasaan putus asa, dan rasa depresi yang sering terjadi pada pasien dengan tilikan yang baik. Stigma terinternalisasi adalah suatu pemikiran negatif terhadap sebuah penyakit yang membuat pasien yang mendengarnya merasa rasa malu, menarik diri dari lingkungan sosial , tindakan diskriminasi, penurunan kepuasan hidup, penurunan harga diri, depresi hingga sampai ide bunuh diri. Tetapi dengan tilikan rendah, kualitas hidup pasien bisa lebih baik dikarenakan dengan pasien yang mengalami kesadaran dan pemahaman yang kurang membuat mereka merasa acuh terhadap stigma terinternalisasi, sedangan pasien dengan kesadaran dan pemahaman yang baik menganggap stigma itu sebagai ancaman hidupnya. Sehingga pasien dengan tilikan yang rendah bisa menghasilkan kualitas hidup yang baik. Maka diperlukan peran keluarga untuk memotivasi pasien dalam hal apapun, terkhususnya masalah kepatuhan minum obat.10 Ringkasan tingkat tilikan sebagai berikut :4
Derajat 1 : penyangkalan total akan penyakitnya
Derajat 2 : sedikit menyadari bahwa dirinya sakit dan memerlukan bantuan namun pada saat yang sama menyangkalnya.
Derajat 3 : kesadaran bahwa dirinya sakit namun menyalahkan orang lain, faktor eksterna, atau faktor organik
Derajat 4 : kesadaran bahwa penyakit disebabkan oleh sesuatu yang tidaki diketahui didalam diri pasien
Derajat 5 : pengakuan bahwa pasien sakit dan bahwa gejala atau kegagalan penyesuaian sosial disebabkan oleh perasaan atau gangguan dari pasien sendiri yang tidak rasional tanpa menerapkan pengetahuan ini pada pengalaman dimasa depan.
Derajat 6 : kesadaran emosional akan motif dan perasaan dalam diri pasien dan orang orang penting dalam hidupnya, yang dapat menyebabkan perubahan perilakumen dasar
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizein” yang berarti “terpisah” atau “pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku. Secara umum, gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu gejala positif, gejala negatif, dan gangguan dalam hubungan interpersonal.
Skizofrenia adalah diagnosis kejiwaan yang menggambarkan gangguan mental dengan karakter abnormalitas dalam persepsi atau gangguan mengenai realitas. Abnormalitas persepsi dapat berupa gangguan di kelima panca indera, tapi biasanya berupa halusinasi auditorik, paranoid, waham bizarre, dan dapat juga berupa disorganisasi berbicara dan gangguan komunikasi sosial yang nyata. Sering terjadi pada dewasa muda, ditegakkan melalui pengalaman pasien dan dilakukan observasi tingkah laku, serta tidak dibutuhkan adanya pemeriksaan laboratorium.
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering. Hampir 1% penduduk di dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka. Gejala skizofrenia biasanya muncul pada usia remaja akhir atau dewasa muda. Onset pada laki-laki biasanya antara 15-25 tahun dan pada perempuan antara 25-35 tahun. Prognosis biasanya lebih buruk pada laki-laki bila dibandingkan dengan perempuan. Onset setelah umur 40 tahun jarang terjadi.
Penatalaksanaan skizofrenia dengan penggunaan obat antipsikotik golongan tipikal (dopamin reseptor antagonis) ataupun atipikal (serotonin dopamin antagonis). Untuk skizofrenia dengan gejala negatif yang lebih menonjol dari gejala positif pilihannya adalah obat anti psikosis atipikal. Sebaliknya bila gejala positif lebih menonjol dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal. Begitu juga pasien-pasien dengan efek samping ekstrapiramidal pilihan kita adalah jenis atipikal. Pilihan terapi lain dengan dengan terapi elektro konvulsi, psikoterapi dan rehabilitasi.
Pada umumnya prognosis untuk gangguan jiwa adalah dubia dikarenakan banyaknya faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap penyembuhan pasien. Apabila tilikan pasien rendah, maka tingkat kesadaran dan pemahaman pasien akan sakitnya akan rendah juga. Apabila tilikan pasien baik, maka tingkat kesadaran dan pemahaman pasien akan penyakitnya akan lebih baik juga. Akan tetapi pemahaman dan kesadaran akan penyakitnya itu akan rusak bilah dipengaruhi stigma terinternalisasi, perasaan putus asa, dan rasa depresi yang sering terjadi pada pasien dengan tilikan yang baik. Stigma terinternalisasi adalah suatu pemikiran negatif terhadap sebuah penyakit yang membuat pasien yang mendengarnya merasa rasa malu, menarik diri dari lingkungan sosial , tindakan diskriminasi, penurunan kepuasan hidup, penurunan harga diri, depresi hingga sampai ide bunuh diri. Tetapi dengan tilikan rendah, kualitas hidup pasien bisa lebih baik dikarenakan dengan pasien yang mengalami kesadaran dan pemahaman yang kurang membuat mereka merasa acuh terhadap stigma terinternalisasi, sedangan pasien dengan kesadaran dan pemahaman yang baik menganggap stigma itu sebagai ancaman hidupnya. Sehingga pasien dengan tilikan yang rendah bisa menghasilkan kualitas hidup yang baik. Maka diperlukan peran keluarga untuk memotivasi pasien dalam hal apapun, terkhususnya masalah kepatuhan minum obat.
3.2 Saran
Dari kesimpulan di atas perlu kiranya dipertimbangkan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman pasien mengenai penyakin skizofrenia. Peran keluarga sangat dominan diperlukan untuk kesehatan pasien dalan hal memberi motifasi pasien dan memonitoring pasien untuk patuh minum obat. Program-program penyuluhan berupa edukasi keluarga yang ditekankan pada dukungan dari keluarga (primary support group) dan pengurangan expressed emotion dalam lingkungan keluarga terhadap pasien-pasien skizofrenia dalam bentuk psikoedukasi. Psikoedukasi ini sebaiknya dilakukan dengan kunjungan ke rumah masyarakat (community home visit) dimana program psikoedukasi ini akan lebih efektif dan berdampak positif bagi keluarga dan pasien. Selain itu peningkatan pelayanan kesehatan dengan cara membina hubungan terapetik antara pasien dan care provider yang dapat membantu kesembuhan pasien. Maka dari itu dukungan pemerintah baik dalam hal kebijakan kesehatan dan finansial merupakan hal yang sangat penting untuk mengurangi angka relaps pada pasien skizofrenia
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonymous. 2004. Konsep Psikoterapi Islam dalam Penyembujan Penderita Skizofrenia Aksis.
2. Anonymous. 2007. Skizofrenia dapatkah disembuhkan. Diunduh pada tanggal 1 April 2015.
3. Elvira SD, Hadisukanto G. 2013. Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta
4. Buchanan RW, Carpenter WT. Concept of Schizophrenia. In: Sadock BJ, Sadock VA, eds. Kaplan & Sadock`s Comprehensive Textbook of Psychiatry. 8th ed. Philadhelpia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005.
5. Maramis, W.E. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Erlangga University Press. Surabaya 2005.
6. Paul, Jhon. Skizofrenia. Diunduh tanggal 26 Januari 2011.
7. Iyus Yosep. Faktor Penyebab dan Proses Terjadinya Gangguan Jiwa.
8. Maslim R. (editor). 2002. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya
9. APA. 2004. Clinical Guidlines.American Psychiatric association. Practice Guidlines for the treatment of patients with schizophrenia
10. Ramadan ES, El Dod WA. Relation Insight And Quality Of Life In Patients With Schizophrenia : Role Of Internalized Sigma And Depression. Current Psychiatry ;Vol. 17, No.3, 2010 : 43-48
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu gangguan jiwa yang merupakan permasalahan kesehatan di seluruh dunia adalah skizofrenia. Para pakar kesehatan jiwa menyatakan bahwa semakin modern dan industrial suatu masyarakat, semakin besar pula stressor psikososialnya, yang pada gilirannya menyebabkan orang jatuh sakit karena tidak mampu mengatasinya. Salah satu penyakit itu adalah gangguan jiwa skizofrenia.1
Gangguan jiwa merupakan gangguan pada pikiran, perasaan, atau perilaku yang mengakibatkan penderitaan dan terganggunya fungsi sehari-hari. Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan distorsi khas proses pikir, kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, waham yang kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, afek abnormal yang terpadu dengan situasi nyata atau sebenarnya, dan autisme. Meskipun demikian, kesadaran yang jernih dan kapasitas intelektual biasanya tidak terganggu.2
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering. Hampir 1% penduduk di dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka. Gejala skizofrenia biasanya muncul pada usia remaja akhir atau dewasa muda. Onset pada laki-laki biasanya antara 15-25 tahun dan pada perempuan antara 25-35 tahun. Prognosis biasanya lebih buruk pada laki-laki bila dibandingkan dengan perempuan. Onset setelah umur 40 tahun jarang terjadi.3
Lima tahun terakhir telah membawa kemajuan besar dalam mengerti skizofrenia di dalam tiga bidang. Pertama, kemajuan teknik pencitraan otak, khusunya pencitraan resonansi magnetik (MRI: Magnetic Resonance Imaging), daerah otak tertentu yang diperhatikan adalah amigdala, hipokampus, dan girus parahipokampus. Kedua, setelah perkenalan clozapine (clozaril), risperidone dan juga remoxipride, suatu antipsikotik atipikal dengan efek samping neurologis yang minimal. Obat tersebut dan obat atipikal lainnya akan lebih efektif dalam menurunkan gejala negatif skizofrenia dan dapat dihubungkan dengan rendahnya insidensi efek samping neurologis. Ketiga, saat terapi obat mengalami kemajuan dan saat dasar biologis yang kuat untuk skizofrenia semakin dikenal luas, terdapat peningkatan minat pada faktor psikososial yang mempengaruhi skizofrenia, termasuk yang mempengaruhi onset, relaps, dan hasil terapi.4
B. Batasan Masalah
Referat ini membahas tentang hubungan tilikan diri dengan penyakit skizofrenia.
C. Tujuan
Sebagai referensi untuk menambah sumber bacaan mengenai hubungan tilikan diri dengan penyakit skizofrenia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SKIZOFRENIA
2.1 Definisi
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizein” yang berarti “terpisah” atau “pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku. Secara umum, gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu gejala positif, gejala negatif, dan gangguan dalam hubungan interpersonal.5
Skizofrenia adalah diagnosis kejiwaan yang menggambarkan gangguan mental dengan karakter abnormalitas dalam persepsi atau gangguan mengenai realitas. Abnormalitas persepsi dapat berupa gangguan di kelima panca indera, tapi biasanya berupa halusinasi auditorik, paranoid, waham bizarre, dan dapat juga berupa disorganisasi berbicara dan gangguan komunikasi sosial yang nyata. Sering terjadi pada dewasa muda, ditegakkan melalui pengalaman pasien dan dilakukan observasi tingkah laku, serta tidak dibutuhkan adanya pemeriksaan laboratorium.6
2.2 Epidemiologi
Sekitar 1% penduduk dunia akan mengidap skizofrenia pada suatu waktu dalam hidupnya. Di Indonesia diperkirakan 1-2% penduduk atau sekitar 2-4 juta jiwa akan terkena penyakit ini. Bahkan sekitar sepertiga dari 1-2 juta jiwa yang terjangkit penyakit skizofrenia ini atau sekitar 700 ribu hingga 1,4 juta jiwa kini sedang mengidap skizofrenia. Perkiraan angka ini disampaikan Dr. LS Chandra, Sp.KJ dari Sanatorium Dharmawangsa Jakarta Selatan. Tiga perempat dari jumlah pasien skizofrenia umumnya dimulai pada usia 15 sampai 25 tahun pada jenis kelamin laki-laki. Pada perempuan, skizofrenia biasanya mulai pada usia 25 hingga 35 tahun. Penyakit yang satu ini cenderung menyebar di antara anggota keluarga sedarah.6
Walaupun skizofrenia tergolong sebagai suatu penyakit yang banyak menyerang anggota masyarakat, cukup mengherankan bahwa tidak banyak diketahui mengenai epidemiologi penyakit ini, khususnya di Indonesia. Di Amerika Serikat, prevalensi skizofrenia seumur hidup dilaporkan secara bervariasi terentang dari 1 sampai 1,5%; konsisten dengan rentang tersebut, penelitian Epidemiological Catchment Area (ECA) yang disponsori oleh National Institute of Mental Health (NIMH) melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar 1,3%. Kira-kira 0,025 sampai 0,05% populasi total diobati untuk skizofrenia dalam satu tahun. Walaupun dua pertiga dari pasien yang diobati tersebut membutuhkan perawatan di rumah sakit, hanya kira-kira setengah dari semua pasien skizofrenik mendapat pengobatan, tidak tergantung pada keparahan penyakit.4
Di seluruh dunia, diperkirakan terdapat 2 juta kasus skizofrenia baru tiap tahun dan seluruh penderita skizofrenia diperkirakan berjumlah 10 juta orang, hampir sama dengan jumlah penduduk kota New York.4
2.3 Fase atau Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap individu. Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi beberapa fase yang dimulai dari prodromal, fase aktif dan keadaan residual.4
1. Fase Prodomal
- Berlangsung antara 6 bulan sampai 1 tahun
- Gangguan dapat berupa Self care, gangguan dalam akademik, gangguan dalam pekerjaan, gangguan fungsi sosial, gangguan pikiran dan persepsi.
2. Fase Aktif
- Berlangsung kurang lebih 1 bulan.
- Gangguan dapat berupa gejala psikotik ; Halusinasi, delusi, disorganisasi proses berfikir, gangguan bicara, gangguan perilaku, disertai kelainan neurokimiawi.
3. Fase Residual
- Mengalami minimal 2 gejala
- Gangguan afek dan gangguan peran, serangan biasanya berulang.
2.4 Etiologi
Skizofrenia merupakan suatu bentuk psikosis yang sering dijumpai sejak dulu. Meskipun demikian pengetahuan tentang faktor penyebab dan patogenesisnya masih minim diketahui. Adapun beberapa faktor etiologi yang mendasari terjadinya skizofrenia, antara lain:5
1) Genetik
Dapat dipastikan bahwa ada faktor genetik yang juga menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri penderita skizofrenia ialah 0,9-1,8%; bagi saudara kandung 7-15%; bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita skizofrenia 7-16%; bila kedua orang tua menderita skizofrenia 40-68%; bagi kembar dua telur (heterozigot) 2-15%; dan bagi kembar satu telur (homozigot) 61-86%.
Tetapi pengaruh genetik tidak sesederhana seperti hukum-hukum Mendel. Diduga bahwa potensi untuk mendapatkan skizofrenia diturunkan (bukan penyakit itu sendiri) melalui gen yang resesif. Potensi ini mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan individu itu apakah akan terjadi skizofrenia atau tidak (mirip hal genetik pada diabetes melitus).
2) Endokrin
Dahulu diduga bahwa skizofrenia mungkin disebabkan oleh suatu gangguan endokrin. Teori ini dikemukakan berhubung dengan sering timbulnya skizofrenia pada waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium dan waktu klimakterium. Tetapi hal ini tidak dapat dibuktikan.
3) Metabolisme
Beberapa peneliti menduga bahwa skizofrenia disebabkan oleh suatu gangguan metabolisme, karena penderita dengan skizofrenia tampak pucat dan tidak sehat. Ujung ekstremitas agak sianosis, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun. Pada penderita dengan stupor katatonik konsumsi zat asam menurun. Namun, hipotesis ini tidak dibenarkan oleh banyak sarjana. Belakangan ini teori metabolisme mendapat perhatian lagi berhubung dengan penelitian dengan memakai obat halusinogenik, seperti meskalin dan asam lisergik diethilamide (LSD-25). Obat-obat ini dapat menimbulkan gejala-gejala yang mirip dengan gejala-gejala skizofrenia, tetapi sifatnya reversibel. Mungkin skizofrenia disebabkan oleh suatu “inborn error of metabolism”, tetapi hubungan terakhir belum ditemukan.
4) Susunan Saraf Pusat
Ada yang mencari penyebab skizofrenia ke arah kelainan susunan saraf pusat, yaitu pada diensefalon atau korteks otak. Tetapi kelainan patologis yang ditemukan itu mungkin disebabkan oleh perubahan-perubahan postmortem atau merupakan artefakt pada waktu membuat sediaan.
Sistem limbik, yang terlibat dalam mengatur perilaku emosional, memori, dan pembelajaran.7
a. Ganglia basal : mengkoordinasi gerakan.
b. Hipotalamus : meregulasi hormon di tubuh sepeti kebutuhan makan, minum dan seks.
c. Locus ceruleus : membuat sel saraf dapat meregulasi tidur dan terlibat dalam perilaku dan mood.
d. Substantia nigra : sel yang memproduksi dopamin dan terlibat dalam mengontrol pergerakkan yang kompleks, berfikir dan respon emosi.
Gambar 1. Area otak yang terlibat pada skizofrenia
2.5 Psikopatologi
Penelitian mutakhir menyebutkan bahwa perubahan-perubahan pada neurotransmiter dan resptor di sel-sel saraf otak (neuron) dan interaksi zat neurokimia dopamin dan serotonin, ternyata mempengaruhi alam pikir, perasaan, dan perilaku yang menjelma dalam bentuk gejala-gejala positif dan negatif skizofrenia.7
Gejala negatif Gejala positive
Alogia Halusinasi
Afek datar Delusi
avolition – apatis Tingkah laku aneh
anhedonia – asociality Gangguan berfikir positif formal
Gangguan attensi
Selain perubahan-perubahan yang sifatnya neurokimiawi di atas, dalam penelitian dengan menggunakan CT Scan otak, ternyata ditemukan pula perubahan pada anatomi otak pasien, terutama pada penderita kronis. Perubahannya ada pada pelebaran lateral ventrikel, atrofi korteks bagian depan, dan atrofi otak kecil (cerebellum).7
2.6 Klasifikasi
Subtipe skizofrenia menurut DSM-IV :
1. Tipe paranoid (F 20.0)
DSM IV menyebutkan bahwa tipe paranoid ditandai oleh keasikan (preokupasi) pada satu atau lebih waham atau halusinasi dengar yang sering dan tidak ada perilaku spesifik lain yang mengarahkan pada tipe terdisorganisasi atau katatonik. Secara klasik, skizofrenia tipe paranoid ditandai terutama oleh adanya waham kejar atau waham kebesaran. Pasien skizofrenik paranoid biasanya berumur lebih tua dari pada pasien skizofrenik terdisorganisasi atau katatonik jika mereka mengalami episode pertama penyakitnya. Pasien yang sehat sampai akhir usia 20 atau 30 tahunan biasanya mencapai kehidupan sosial yang dapat membantu mereka melewati penyakitnya. Selain itu, kekuatan ego pasien paranoid cenderung lebih besar dari pasien katatonik dan terdisorganisasi. Pasien skizofrenik paranoid menunjukkan regresi yang lambat dari kemampuan mentalnya, respon emosional dan perilakunya dibandingkan tipe lain pada pasien skizofrenik.4
Pasien skizofrenik paranoid tipikalnya adalah tegang, pencuriga, berhati-hati dan tak ramah. Mereka juga dapat bersikap bermusuhan atau agresif. Pasien skizofrenik paranoid kadang-kadang dapat menempatkan diri mereka sendiri secara adekuat di dalam situasi sosial. Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh kecenderungan psikosis mereka dan tetap berfungsi secara baik.4
2. Tipe Hebefrenik atau Disirganisasi (F 20.1)
Tipe disorganisasi sebelumnya dinamakan hebrefenik ditandai oleh regresi yang nyata ke perilaku primitif, perilaku yang tidak dapat dihambat dan tidak teratur, serta tidak adanya gejala yang memenuhi kriteria untuk tipe katatonik. Onset biasanya terjadi awal, sebelum usia 25 tahun. Pasien terdisorganisasi biasanya aktif tetapi dengan cara yang tidak bertujuan dan tidak konstruktif. Gangguan pikiran mereka adalah hal yang paling menonjol dan kontaknya buruk terhadap kenyataan. Penampilan pribadinya dan perilaku sosialnya rusak. Respon emosionalnya sesuai dan mereka sering kali meledak tertawanya tanpa alasan. Wajah yang meringis dan menyeringai paling sering ditemukan pada tipe pasien ini, perilaku tersebut paling baik digambarkan sebagai kekanak-kanakan atau bodoh.4
3. Tipe Katatonik (F 20.3)
Ciri klasik dari tipe katatonik adalah gangguan nyata pada fungsi motorik yang mungkin berupa stupor, negativisme, rigiditas, kegembiraan atau posturing. Kadang-kadang pasien menunjukkan perubahan yang cepat antara kegembiraan dan stupor. Ciri penyerta adalah stereotipik, manerisme, dan fleksibilitas lilin. Mutisme adalah yang paling sering ditemukan. Selama stupor atau kegembiraan katatonik, pasien skizofrenik memerlukan pengawasan yang ketat untuk menghindari pasien melukai dirinya sendiri atau orang lain. Perawatan medis mungkin diperlukan karena adanya malnutrisi, kelelahan, hiperpireksia atau cidera yang disebabkan oleh diri sendiri.4
4. Depresi Pasca-skizofrenia (F 20.4)8
Pedoman Diagnostik
a. Diagnosis harus ditegakkan hanya jika :
1) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria umum skizofrenia) selama 12 bulan terakhir ini
2) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya), dan
3) Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling sedikit kriteria untuk episode depresif dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu
b. Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia, diagnosis menjadi Episode Depresif. Bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai (F 20.0 – F 20.3).8
5. Tipe Residual (F 20.5)
Menurut DSM IV, tipe residual ditandai oleh bukti-bukti yang terus-menerus adanya gangguan skizofrenik, tanpa adanya kumpulan lengkap gejala aktif atau gejala yang cukup untuk memenuhi tipe lain skizofrenia. Penumpulan emosional, penarikan sosial, perilaku eksentrik, pikiran yang tidak logis dan asosiasi longgar ringan adalah gejala yang sering ditemukan pada tipe residual. Jika waham atau halusinasi ditemukan, maka hal tersebut tidak menonjol dan tidak disertai oleh afek yang kuat.4
6. Skizofrenia Simpleks (F. 20.6)8
a. Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari:
1. Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik.
2. Disertai dengan perubahan perilaku pribadi yang bermakna bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial
b. Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia lainnya.8
7. Tipe tidak tergolongkan (undifferentiated type)
Sering kali pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah dimasukkan kedalam salah satu tipe. DSM-IV mengklasifikasikan pasien tersebut sebagai tipe tidak tergolongkan. Kriteria diagnosis DSM-IV untuk skizofrenia memerlukan onset gangguan, satu atau lebih bidang fungsi utama seperti pekerjaan, hubungan interpersonal atau perawatan diri sendiri.4
8. Tipe I dan tipe II
Ditahun 1980 T.J.Crown mengajukan suatu klasifikasi pasien skizofrenik ke dalam tipe I dan tipe II. Perbedaan klinis dari kedua tipe tersebut telah secara bermakna mempengaruhi penelitian psikiatrik. Gejala negatif yang timbul yaitu afek datar atau tumpul, kemiskinan pembicaraan atau isi pembicaraan, penghambatan (blocking), penampilan yang buruk, tidak adanya motivasi, anhedonia, penarikan sosial, defek kognitif dan defisit perhatian. Gejala positif adalah asosiasi longgar, halusinasi, perilaku aneh dan bertambah banyaknya pembicaraan. Pasien tipe I cenderung memiliki sebagian besar gejala positif, struktur otak yang normal pada CT, dan respons yang relatif baik terhadap pengobatan. Pada pasien tipe II cenderung memiliki sebagian besar gejala negatif, kelainan struktural otak pada pemeriksaan CT dan respon yang buruk terhadap pengobatan.4
9. Sub tipe Lain
Nama dari beberapa sub tipe lain tersebut adalah menjelaskan katanya sendiri (self-explanatory) sebagai contoh: onset akhir (late-onset), masa anak-anak dan proses. Skizofrenia onset akhir bisanya didefinisikan sebagai skizofrenia yang mempunyai onset setelah usia 45 tahun. Skizofrenia dengan onset yang terjadi pada masa anak-anak (childhood schizophrenia). Skizofrenia proses yang berarti skizofrenia dengan perjalanan yang menimbulkan kecacatan dan keruntuhan.4
2.7 Diagnosis
DSM IV mempunyai kriteria diagnosis resmi dari American Psychiatric Association untuk skizofrenia. Kriteria Diagnostik Skizofrenia, yaitu :4
A. Gejala karakteristik: Dua atau lebih berikut,masing-masing ditemukan untuk bagian waktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau kurang jika pengobatan berhasil):
(1) Waham
(2) Halusinasi
(3) Bicara disorganisasi (misalnya, sering menyimpang atau inkoheren)
(4) Perilaku disorganisasi atau katatonik yang jelas
(5) Gejala negatif, yaitu afk datar, alogia atau tidak ada kemauan (avolition)
Catatan : hanya satu gejala kriteria A yang diperlukan jika waham adalah bizzare (kacau) atau halusinasi terdiri dari suara yang terus menerus mengomentari perilaku atau pikiran pasien atau dua atau lebih suara yang saling bercakap-cakap satu sama lainnya.
B. Disfungsi sosial/pekerjaan: Untuk bagian waktu yang bermakna sejak onset gangguan, satu atau lebih fungsi utama, seperti pekerjaan, hubungan interpersonal atau perawatan diri adalah jelas di bawah tingkat yang dicapai sebelum onset (atau jika onset pada masa anak-anak atau remaja, kegagalan untuk mencapai tingkat pencapaian interpersonal, akademik atau pekerjaan yang diharapkan)
C. Durasi: tanda gangguan terus-menerus menetap selama sekurangnya 6 bulan. Periode 6 bulan ini harus termasuk sekurangnya 1 bulan gejala (atau kurang jika pengobatan berhasil) yang memenuhi kriteria A (yaitu gejala fase aktif) dan mungkin termasuk periode gejala prodomal atau residual. Selama periode prodomal atau residual tanda gangguan mungkin hanya gejala negatif saja atau dua atau lebih gejala yang dituliskan dalam kriteria A dalam bentuk yang lebih lemah (misalnya, keyakinan yang aneh, pengalaman atau persepsi yang tidak lazim)
D. Penyingkiran gangguan skizoafektif dan gangguan mood. Gangguan skizoafektif dan gangguan mood dengan ciri psikotik telah disingkirkan karena: (1) tidak ada episode depresif berat, manik atau campuran yang telah terjadi bersama-sama dengan gejala fase aktif atau (2) jika episode mood telah terjadi selama gejala fase aktif, durasi totalnya adalah relatif singkat dibandingkan durasi periode aktif dan residual.
E. Penyingkiran zat/kondisi medis umum: gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalah gunakan) atau suatu kondisi medis umum
F. Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasif. Jika terdapat adanya riwayat gangguan autistik atau gangguan perkembangan pervasif lainnya, diagnosis tambahan skizofrenia dibuat hanya jika waham atau halusinasi yang menonjol juga ditemukan untuk sekurangnya satu bulan (atau kurang jika diobati secara berhasil).
Klasifikasi perjalanan penyakit longitudinal (dapat diterapkan hanya setelah sekurangnya 1 tahun sejak onset awal gejala fase aktif);
• Episodik dengan gejala residual antar episode (episode didefinisikan oleh timbulnya kembali gejala psikotik yang menonjol), juga sebutkan jika dengan gejala negatif yang menonjol
• Episode tanpa gejala residual antar episodik
• Episode tunggal dalam remisi parsial, juga dengan gejala negatif yang menonjol
• Episode tunggal dalam remisi penuh
• Pola lain atau tidak ditentukan
2.8 Penatalaksanaan
Pengobatan harus secepat mungkin, karena keadaan psikotik yang lama menimbulkan kemungkinan lebih besar penderita menuju ke kemunduran mental.9
1. Farmakoterapi
Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah untuk mengendalikan gejala aktif dan mencegah kekambuhan. Obat antipsikotik mencakup dua kelas utama: antagonis reseptor dopamin, dan antagonis serotonin-dopamin.
a. Antagonis Reseptor Dopamin
Antagonis reseptor dopamin efektif dalam penanganan skizofrenia, terutama terhadap gejala positif. Obat-obatan ini memiliki dua kekurangan utama. Pertama, hanya presentase kecil pasien yang cukup terbantu untuk dapat memulihkan fungsi mental normal secara bermakna. Kedua, antagonis reseptor dopamin dikaitkan dengan efek samping yang mengganggu dan serius. Efek yang paling sering mengganggu adalah akatisia adan gejala lir-parkinsonism berupa rigiditas dan tremor. Efek potensial serius mencakup diskinesia tarda dan sindrom neuroleptik maligna.
b. Antagonis Serotonin-Dopamin (SDA)
SDA menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang minimal atau tidak ada, berinteraksi dengan subtipe reseptor dopamin yang berbeda di banding antipsikotik standar, dan mempengaruhi baik reseptor serotonin maupun glutamat. Obat ini juga menghasilkan efek samping neurologis dan endokrinologis yang lebih sedikit serta lebih efektif dalam menangani gejala negatif skizofrenia. Obat yang juga disebut sebagai obat antipsikotik atipikal ini tampaknya efektif untuk pasien skizofrenia dalam kisaran yang lebih luas dibanding agen antipsikotik antagonis reseptor dopamin yang tipikal. Golongan ini setidaknya sama efektifnya dengan haloperidol untuk gejala positif skizofrenia, secara unik efektif untuk gejala negatif, dan lebih sedikit, bila ada, menyebabkan gejala ekstrapiramidal. Beberapa SDA yang telah disetujui di antaranya adalah klozapin, risperidon, olanzapin, sertindol, kuetiapin, dan ziprasidon. Obat-obat ini tampaknya akan menggantikan antagonis reseptor dopamin, sebagai obat lini pertama untuk penanganan skizofrenia.
Pada kasus sukar disembuhkan, klozapin digunakan sebagai agen antipsikotik, pada subtipe manik, kombinasi untuk menstabilkan mood ditambah penggunaan antipsikotik. Pada banyak pengobatan, kombinasi ini digunakan mengobati keadaan skizofrenia.
Kategori obat: Antipsikotik – memperbaiki psikosis dan kelakuan agresif.12
Nama Obat Keterangan
Haloperidol (Haldol) Digunakan untuk manajemen psikosis, saraf motorik dan suara pada anak dan orang dewasa. Mekanisme tidak secara jelas ditentukan, tetapi merupakan competively blocking postsynaptic dopamine (D2) reseptor dalam sistem mesolimbik dopaminergik, dengan meningkatnya pergantian dopamin untuk efek penenang. Dengan terapi subkronik, depolarisasi dan D2 postsinaptik dapat memblokir aksi antipsikotik.
Risperidone (Risperdal) Monoaminergik selektif mengikat reseptor D2 dopamin selama 20 menit, afinitasnya lebih rendah dibandingkan reseptor 5-HT2. Juga mengikat reseptor alfa1-adrenergik dengan afinitas lebih rendah dari H1-histaminergik dan reseptor alpha2-adrenergik. Memperbaiki gejala negatif pada psikosis dan menurunkan kejadian pada efek ekstrpiramidal.
Olanzapine (Zyprexa) Antipsikotik atipikal dengan profil farmakologis yang melintasi sistem reseptor (seperti serotonin, dopamin, kolinergik, muskarinik, alpha adrenergik, histamin). Efek antipsikotik berupa perlawanan terhadap dopamin dan reseptor serotonin tipe-2. Diindikasikan untuk pengobatan psikosis dan gangguan bipolar.
Clozapine (Clozaril) Memblokir aktifitas reseptor D2 dan D1, tetapi memiliki efek dalam menghambat nonadrenolitik, antikolinergik, antihistamin secara signifikan, tepatnya antiserotonin. Resiko terbatasnya penggunaan agranulositosis pada pasien nonresponsif atau agen neuroleptik klasik tidak ditoleransi.
Quetiapine (Seroquel) Antipsikotik terbaru untuk penyembuhan jangka panjang. Mampu melawan efek dopamine dan serotonin. Perbaikan lebih awal antipsikotik termasuk efek antikolinergik dan kurangnya distonia, parkinsonism, dan tardif diskinesia.
Aripiprazole (Abilify) Memperbaiki gejala positif dan negatif skizofrenia. Mekanisme kerjanya belum diketahui, tetapi hipotesisnya berbeda dari antipsikotik lainnya. Aripiprazole menimbulkan parsial dopamin (D2) dan serotonin (5HT1A) agonis, dan antagonis serotonin (5HT2A).
Nama Obat Sediaan Dosis Anjuran
Haloperidol (Haldol) Tab. 2 – 5 mg 5 – 15 mg/hari
Risperidone (Risperdal) Tab. 1 – 2 – 3 mg 2 – 6 mg/hari
Olanzapine (Zyprexa) Tab. 5 – 10 mg 10 – 20 mg/hari
Clozapine (Clozaril) Tab. 25 – 100 mg 25 – 100 mg/hari
Quetiapine (Seroquel) Tab. 25 – 100 mg
200 mg 50 – 400 mg/hari
Aripiprazole (Abilify) Tab. 10 – 15 mg 10– 15 mg/hari
2. Terapi Psikososial
a. Terapi perilaku
Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan keterampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal yang diharapkan, seperti hak istimewa dan pas jalan di rumah sakit.4
b. Terapi berorientasi keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia sering kali dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, keluarga dimana pasien skizofrenia kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang dibahas didalam terapi keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya. Seringkali, anggota keluarga, didalam cara yang jelas mendorong sanak saudaranya yang terkena skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur terlalu cepat. Rencana yang terlalu optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan tentang sifat skizofrenia dan dari penyangkalan tentang keparahan penyakitnya. Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien mengerti skizofrenia tanpa menjadi terlalu mengecilkan hati.4
c. Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi secara psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara suportif, bukannya dalam cara interpretatif, tampaknya paling membantu bagi pasien skizofrenia.4
d. Psikoterapi individual
Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda dari yang ditemukan di dalam pengobatan pasien non-psikotik. Pengamatan yang cermat dari jauh dan rahasia, perintah sederhana, kesabaran, ketulusan hati, dan kepekaan terhadap kaidah sosial adalah lebih disukai daripada informalitas yang prematur dan penggunaan nama pertama yang merendahkan diri. Kehangatan atau profesi persahabatan yang berlebihan adalah tidak tepat dan kemungkinan dirasakan sebagai usaha untuk suapan, manipulasi, atau eksploitasi.4
e. Perawatan di Rumah Sakit
Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik, menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh, prilaku yang sangat kacau termasuk ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar.
Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan rumah sakit tergantung dari keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan. Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah masalah kehidupan, perawatan diri, kualitas hidup, pekerjaan, dan hubungan sosial. Perawatan di rumah sakit harus diarahkan untuk mengikat pasien dengan fasilitas perawatan termasuk keluarga pasien. Pusat perawatan dan kunjungan keluarga pasien kadang membantu pasien dalam memperbaiki kualitas hidup.4
2.9 Prognosis 4,5
Pada umumnya prognosis untuk gangguan jiwa adalah dubia dikarenakan banyaknya faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap penyembuhan pasien. Untuk menetapkan prognosisnya, kita harus mempertimbangkan semua faktor di bawah ini:
1. Kepribadian prepsikotik: Bila skizoid dan hubungan antar-manusia memang kurang memuaskan, maka prognosa lebih jelek.
2. Bila skizofrenia timbul secara akut, maka prognosa akan lebih baik daripada bila penyakit itu mulai secara pelan-pelan.
3. Jenis: Prognosa jenis katatonik yang paling baik dari semua jenis. Sering penderita-penderita dengan katatonia sembuh dan kembali ke kepribadian prepsikotik. Kemudian menyusul jenis paranoid. Banyak dari penderita ini dapat dikembalikan ke masyarakat. Hebefrenia dan skizofrenia simplex mempunyai prognosa yang sama jelek. Biasanya penderita dengan jenis skizofrenia ini menuju ke arah kemunduran mental.
4. Umur: Makin muda umur permulaannya, makin jelek prognosanya.
5. Pengobatan: Makin cepat diberi pengobatan, makin baik prognosanya.
6. Dikatakan bahwa bila terdapat faktor pencetus, seperti penyakit badaniah atau stres psikologik, maka prognosa lebih baik.
7. Faktor keturunan: Prognosa lebih berat bila di dalam keluarga terdapat seorang atau lebih yang juga menderita skizofrenia.
Menurut Robin & Guze :
Baik
- Personalitas premorbid baik
- Faktor pencetus jelas
- Tidak ada riwayat keluarga
- Kesaradan berawan
- Terjadi akut
- Affect atau mood tidak datar
- Gejala-gejala paranoid
Menurut Kaplan & Sadock’s:
Mengevaluasi prognosis dengan melihat riwayat longitudinal dari penyakit, dimulai dengan riwayat keluarga sampai pada sistem penanganan
Menentukan baik atau buruknya prognosis pada skizofrenia :
- Prognosis baik :
• Riwayat keluarga ttg gangguan mood / affect
• Perilaku dan personalitas premorbid yang baik
• Sudah menikah
• Onset akut
• Gejala kelainan mood terutama kelainan depresif
• Gejala positif (Positive symptoms)
• Sistem pembantu (support systems) yang baik
- Prognosis buruk :
• Riwayat keluarga skizofrenia
• Riwayat trauma perinatal
• Onset pada usia muda
• Perilaku dan personalitas premorbid yang buruk
• Lajang, bercerai, atau menjanda
• Insidious onset
• Tanpa sebab yang jelas
• Tanda dan gejala gangguan neurologis
• Cenderung menarik diri autistic behavior
• Gejala negatif (Negative symptoms)
• Tidak ada remisi dalam 3 tahun
• Sering kambuh
• Riwayat kekerasan
2.9 Tilikan
Tilikan (insight) adalah tingkat kesadaran dan pemahaman pasien akan penyakitnya. Apabila tilikan pasien rendah, maka tingkat kesadaran dan pemahaman pasien akan sakitnya akan rendah juga. Apabila tilikan pasien baik, maka tingkat kesadaran dan pemahaman pasien akan penyakitnya akan lebih baik juga. Akan tetapi pemahaman dan kesadaran akan penyakitnya itu akan rusak bilah dipengaruhi stigma terinternalisasi, perasaan putus asa, dan rasa depresi yang sering terjadi pada pasien dengan tilikan yang baik. Stigma terinternalisasi adalah suatu pemikiran negatif terhadap sebuah penyakit yang membuat pasien yang mendengarnya merasa rasa malu, menarik diri dari lingkungan sosial , tindakan diskriminasi, penurunan kepuasan hidup, penurunan harga diri, depresi hingga sampai ide bunuh diri. Tetapi dengan tilikan rendah, kualitas hidup pasien bisa lebih baik dikarenakan dengan pasien yang mengalami kesadaran dan pemahaman yang kurang membuat mereka merasa acuh terhadap stigma terinternalisasi, sedangan pasien dengan kesadaran dan pemahaman yang baik menganggap stigma itu sebagai ancaman hidupnya. Sehingga pasien dengan tilikan yang rendah bisa menghasilkan kualitas hidup yang baik. Maka diperlukan peran keluarga untuk memotivasi pasien dalam hal apapun, terkhususnya masalah kepatuhan minum obat.10 Ringkasan tingkat tilikan sebagai berikut :4
Derajat 1 : penyangkalan total akan penyakitnya
Derajat 2 : sedikit menyadari bahwa dirinya sakit dan memerlukan bantuan namun pada saat yang sama menyangkalnya.
Derajat 3 : kesadaran bahwa dirinya sakit namun menyalahkan orang lain, faktor eksterna, atau faktor organik
Derajat 4 : kesadaran bahwa penyakit disebabkan oleh sesuatu yang tidaki diketahui didalam diri pasien
Derajat 5 : pengakuan bahwa pasien sakit dan bahwa gejala atau kegagalan penyesuaian sosial disebabkan oleh perasaan atau gangguan dari pasien sendiri yang tidak rasional tanpa menerapkan pengetahuan ini pada pengalaman dimasa depan.
Derajat 6 : kesadaran emosional akan motif dan perasaan dalam diri pasien dan orang orang penting dalam hidupnya, yang dapat menyebabkan perubahan perilakumen dasar
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizein” yang berarti “terpisah” atau “pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku. Secara umum, gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu gejala positif, gejala negatif, dan gangguan dalam hubungan interpersonal.
Skizofrenia adalah diagnosis kejiwaan yang menggambarkan gangguan mental dengan karakter abnormalitas dalam persepsi atau gangguan mengenai realitas. Abnormalitas persepsi dapat berupa gangguan di kelima panca indera, tapi biasanya berupa halusinasi auditorik, paranoid, waham bizarre, dan dapat juga berupa disorganisasi berbicara dan gangguan komunikasi sosial yang nyata. Sering terjadi pada dewasa muda, ditegakkan melalui pengalaman pasien dan dilakukan observasi tingkah laku, serta tidak dibutuhkan adanya pemeriksaan laboratorium.
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering. Hampir 1% penduduk di dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka. Gejala skizofrenia biasanya muncul pada usia remaja akhir atau dewasa muda. Onset pada laki-laki biasanya antara 15-25 tahun dan pada perempuan antara 25-35 tahun. Prognosis biasanya lebih buruk pada laki-laki bila dibandingkan dengan perempuan. Onset setelah umur 40 tahun jarang terjadi.
Penatalaksanaan skizofrenia dengan penggunaan obat antipsikotik golongan tipikal (dopamin reseptor antagonis) ataupun atipikal (serotonin dopamin antagonis). Untuk skizofrenia dengan gejala negatif yang lebih menonjol dari gejala positif pilihannya adalah obat anti psikosis atipikal. Sebaliknya bila gejala positif lebih menonjol dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal. Begitu juga pasien-pasien dengan efek samping ekstrapiramidal pilihan kita adalah jenis atipikal. Pilihan terapi lain dengan dengan terapi elektro konvulsi, psikoterapi dan rehabilitasi.
Pada umumnya prognosis untuk gangguan jiwa adalah dubia dikarenakan banyaknya faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap penyembuhan pasien. Apabila tilikan pasien rendah, maka tingkat kesadaran dan pemahaman pasien akan sakitnya akan rendah juga. Apabila tilikan pasien baik, maka tingkat kesadaran dan pemahaman pasien akan penyakitnya akan lebih baik juga. Akan tetapi pemahaman dan kesadaran akan penyakitnya itu akan rusak bilah dipengaruhi stigma terinternalisasi, perasaan putus asa, dan rasa depresi yang sering terjadi pada pasien dengan tilikan yang baik. Stigma terinternalisasi adalah suatu pemikiran negatif terhadap sebuah penyakit yang membuat pasien yang mendengarnya merasa rasa malu, menarik diri dari lingkungan sosial , tindakan diskriminasi, penurunan kepuasan hidup, penurunan harga diri, depresi hingga sampai ide bunuh diri. Tetapi dengan tilikan rendah, kualitas hidup pasien bisa lebih baik dikarenakan dengan pasien yang mengalami kesadaran dan pemahaman yang kurang membuat mereka merasa acuh terhadap stigma terinternalisasi, sedangan pasien dengan kesadaran dan pemahaman yang baik menganggap stigma itu sebagai ancaman hidupnya. Sehingga pasien dengan tilikan yang rendah bisa menghasilkan kualitas hidup yang baik. Maka diperlukan peran keluarga untuk memotivasi pasien dalam hal apapun, terkhususnya masalah kepatuhan minum obat.
3.2 Saran
Dari kesimpulan di atas perlu kiranya dipertimbangkan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman pasien mengenai penyakin skizofrenia. Peran keluarga sangat dominan diperlukan untuk kesehatan pasien dalan hal memberi motifasi pasien dan memonitoring pasien untuk patuh minum obat. Program-program penyuluhan berupa edukasi keluarga yang ditekankan pada dukungan dari keluarga (primary support group) dan pengurangan expressed emotion dalam lingkungan keluarga terhadap pasien-pasien skizofrenia dalam bentuk psikoedukasi. Psikoedukasi ini sebaiknya dilakukan dengan kunjungan ke rumah masyarakat (community home visit) dimana program psikoedukasi ini akan lebih efektif dan berdampak positif bagi keluarga dan pasien. Selain itu peningkatan pelayanan kesehatan dengan cara membina hubungan terapetik antara pasien dan care provider yang dapat membantu kesembuhan pasien. Maka dari itu dukungan pemerintah baik dalam hal kebijakan kesehatan dan finansial merupakan hal yang sangat penting untuk mengurangi angka relaps pada pasien skizofrenia
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonymous. 2004. Konsep Psikoterapi Islam dalam Penyembujan Penderita Skizofrenia Aksis.
2. Anonymous. 2007. Skizofrenia dapatkah disembuhkan. Diunduh pada tanggal 1 April 2015.
3. Elvira SD, Hadisukanto G. 2013. Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta
4. Buchanan RW, Carpenter WT. Concept of Schizophrenia. In: Sadock BJ, Sadock VA, eds. Kaplan & Sadock`s Comprehensive Textbook of Psychiatry. 8th ed. Philadhelpia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005.
5. Maramis, W.E. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Erlangga University Press. Surabaya 2005.
6. Paul, Jhon. Skizofrenia. Diunduh tanggal 26 Januari 2011.
7. Iyus Yosep. Faktor Penyebab dan Proses Terjadinya Gangguan Jiwa.
8. Maslim R. (editor). 2002. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya
9. APA. 2004. Clinical Guidlines.American Psychiatric association. Practice Guidlines for the treatment of patients with schizophrenia
10. Ramadan ES, El Dod WA. Relation Insight And Quality Of Life In Patients With Schizophrenia : Role Of Internalized Sigma And Depression. Current Psychiatry ;Vol. 17, No.3, 2010 : 43-48
Atika Amelia- Posts : 8
Reputation : 0
Join date : 19.04.15
Similar topics
» Faktor Resiko Relaps dan Tilikan Pasien Skizofrenia
» REFERAT TERAPI OKUPASI PADA PASIEN SKIZOFRENIA
» Gangguan Persepsi dan Tilikan
» Identitas diri Wiwit rahayu
» Laporan Kasus PTSD dan Percobaan Bunuh Diri
» REFERAT TERAPI OKUPASI PADA PASIEN SKIZOFRENIA
» Gangguan Persepsi dan Tilikan
» Identitas diri Wiwit rahayu
» Laporan Kasus PTSD dan Percobaan Bunuh Diri
:: Tugas dan Presentasi :: Referat
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik
|
|