Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Laporan Kasus : Retardasi Mental

Go down

Laporan Kasus : Retardasi Mental Empty Laporan Kasus : Retardasi Mental

Post by Bella Sagita Pratiwi Fri Feb 19, 2016 10:56 pm

BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. R
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 15 tahun
Anak ke : 2 dari 3 bersaudara
Status Perkawinan : Belum Menikah
Agama : Islam
Pendidikan : Sekolah Dasar Luar Biasa
Warga Negara : Indonesia
Suku Bangsa : Serawai
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Jl. xxxxxxxxxxxxxxx Kota Bengkulu
No. RM : xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Tanggal Pemeriksaan : 2 Februari 2016

IDENTITAS IBU
Nama : Ny.xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Umur : 38 Tahun
Alamat : Jl. xxxxxxxxxxxxxxxxxxKota Bengkulu
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
Suku : Serawai
Pendidikan : SMA

IDENTITAS AYAH
Nama : Tn.xxxxxxxxxxxxxxxx
Umur : 43 Tahun
Alamat : Jl. xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx Kota Bengkulu
Pekerjaan : Supir angkot
Agama : Islam
Suku : Serawai
Pendidikan : SMA

II. RIWAYAT PSIKIATRI
     A. Keluhan Utama
           Tidak bisa fokus dan sulit untuk konsentrasi sejak ?????

B. Riwayat gangguan sekarang
Alloanamnesis (Ibu kandung dan ayah kandung pasien)
Pasien dibawa oleh ibunya ke RSKJ dengan keluhan tidak dapat konsentrasi sejak ????. Menurut ibunya pada saat usia 15 tahun ini pasien tidak bisa berkonsentrasi dalam belajar, saat ini pasien masih duduk di bangku kelas 6 SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa). Pasien sudah beberapa kali tidak naik kelas, menurut ibu pasien hal itu karena pasien tidak bisa konsentrasi dan sangat susah bila disuruh untuk belajar. Ketika orang tua pasien sudah mempersiapkan anak untuk belajar mengerjakan Pekerjaan Rumah yang diberikan oleh guru, pasien hanya bertahan paling lama 2 menit untuk menghadap buku tersebut, dan setelah itu pasien berlari keluar rumah untuk main bersama teman-temannya.
Ibu pasien khawatir karena teman-teman pasien bermain adalah anak-anak yang nakal, suka merokok dan bolos sekolah. Menurut keterangan ibu pasien, pasien sudah merokok sejak 2 tahun yang lalu, dan pasien selalu bersembunyi ketika merokok, karena pasien takut dimarahi olah kedua orang tuanya. Pasien pertama kali merokok karena diajak oleh teman-teman sepermainannya. Teman-teman pasien yang biasa bermain dengan pasien di sekitar rumah bukan merupakan teman pasien ketika di sekolah. Pasien memiliki banyak teman. Pasien suka lomba balap sepeda motor dengan teman-temannya. Menurut ayah pasien, pasien belajar mengendarai sepeda motor sendiri. Karena suka ngebut-ngebut di jalan, pasien dilarang membawa sepeda motor oleh ayahnya, tetapi pasien suka secara diam-diam mengendarai sepeda motor milik temannya.
Menurut ibu pasien, pasien bisa masak mie instan dan masak air untuk dimakan sendiri. Pasien dapat mengerjakan pekerjaan rumah seperti membereskan tempat tidurnya dan melipat selimutnya sendiri. Pasien dapat melakukan makan, minum dan mandi secara mandiri. Tetapi ketika ibu pasien meminta tolong untuk melakukan sesuatu, maka pasien selalu pergi untuk bermain dan tidak mau mengerjakan perintah yang diberikan ibu pasien.

C. Riwayat Gangguan Sebelumnya
1. Riwayat Gangguan Psikiatri
Pasien sudah pernah melakukan terapi bicara saat usia 4-5 tahun
2. Riwayat Gangguan Medik
Pasien tidak memiliki riwayat trauma kepala, malaria, kejang demam, maupun epilepsi.
3. Riwayat Penggunaan Zat Psikoaktif / Alkohol
Riwayat mengkonsumsi alkohol, lem, dan narkoba disangkal. Pasien merupakan perokok aktif sejak 2 tahun SMRS.
           
D. Riwayat Kehidupan Pribadi
1. Riwayat Pranatal dan Perinatal
i. Pasien merupakan anak yang diharapkan, buah pernikahan dari ayah dan ibunya. Tidak ada niat ingin digugurkan.
ii. Riwayat Kehamilan Ibu: Ibu rajin memeriksakan kandungan ke Dokter Spesialis Kandungan. Saat kehamilan ibu pernah mengalami keputihan dan ibu berobat ke dokter Spesialis Kandungan. Oleh dokter, pasien disedot keputihannya dengan menggunakan alat. Keluhan ini pasien alami selama 3 kali selama masa kehamilan. Ibu tidak pernah mengonsumsi obat-obatan selain vitamin yang diberikan oleh dokter. Ibu tidak pernah mengonsumsi alcohol dan merokok selama kehamilan.
iii. Riwayat Persalinan: Usia gestasi 38 minggu, lahir spontan, langsung menangis, BBL:2800g, PBL: 40cm
2. Riwayat Masa Kanak Awal ( Usia 0-3 tahun)
Pasien tumbuh seperti anak normal, mendapat imunisasi sesuai jadwal posyandu. Perkembangan bicara pasien mulai terganggu, tidak sesuai dengan anak usianya. Mulai usia 3 tahun, ibu pasien mengobati anaknya ke pengobatan tradisional.
3. Riwayat masa kanak pertengahan (usia 4-11 tahun)
Pada usia 4 tahun, pasien dibawa olah kedua orang tuanya untuk berobat ke RSKJ karena belum bisa bicara. Dan akhirnya pasien di terapi bicara selama 1 tahun, kemudian pasien tidak mau lagi melanjutkan terapinya. Pasien mulai sekolah usia 6 tahun, pasien disekolahkan di SDLB. Selama menempuh pendidikan, pasien sudah 3 kali tidak naik kelas. Menurut ibu pasien, guru di sekolahnya tidak tega untuk menahan pasien di kelas 4 SDLB terus, oleh karena itu pasien di izinkan untuk naik kelas oleh gurunya.
4. Riwayat Masa Remaja
Saat ini pasien masih bersekolah di SDLB. Pasien memiliki banyak teman. Teman-teman pasien bukan teman satu sekolahnya, melainkan teman yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. Pasien mengaku sangat senang bermain dengan teman-temannya. Pasien biasanya melakukan balap motor dengan teman-temannya. Pasien sering merokok jika berkumpul dengan teman-temannya, dan pasien sering membolos sekolah untuk bermain keluar bersama teman-temannya.
5. Riwayat Pendidikan
Pasien sudah bersekolah sejak usia 6 tahun di SDLB dan sekarang masih duduk di kelas 6 SDLB. Pasien sudah 3 kali tidak naik kelas. Di sekolah pasien sering membolos dari pelajaran dan bermain ke luar sekolah..
6. Riwayat Kehidupan Beragama
Pasien beragama Islam dan tidak pernah beribadah.
7. Riwayat Psikoseksual
Pasien mengaku tidak pernah berhubungan seksual dan belum memiliki pacar.
8. Riwayat Pelanggaran Hukum
Pasien tidak pernah melakukan pelanggaran hukum dan terlibat dalam masalah hukum.
E. Riwayat Kehidupan Keluarga
Di keluarga pasien tidak terdapat keluarga yang memiliki keluhan serupa dengan pasien. Hubungan antar anggota keluarga baik.
Genogram








Keterangan :

 Pasien

 Laki- laki

 Perempuan

 Menikah

 Tinggal dirumah

F. Riwayat Kehidupan Sekarang
Pasien merupakan anak kedua dari 3 bersaudara. Pasien tinggal dengan ayah, ibu, kakak dan adiknya. Saat ini pasien merupakan pelajar di SDLB dan masih duduk di bangku kelas 6. Pasien sering membolos dari pelajaran di sekolah dan bermain keluar sekolah. Pasien lebih sering bermain diluar rumah dari pada di rumah. Lingkungan tempat tinggal terkesan cukup baik. Pasien tinggal di daerah yang cukup padat penduduk dan berdekatan dengan tetangga. Hubungan pasien dengan keluarga dan tetangga dikenal cukup baik

G. Persepsi Pasien tentang Diri dan Kehidupannya
Pasien mengaku senang tinggal bersama keluarganya. Menurut pasien teman-teman pasien enak diajak bergaul. Pasien merasa malas di rumah hanya jika ayah pasien selalu melarang pasien untuk bermain bersama teman-teman pasien, seperti merokok dan balap motor .Pasien merasa bahagia bila bermain dan berkumpul bersama teman-teman sepermainannya. Pasien mengaku tidak cocok berteman dan berada di lingkungan sekolahnya.

III. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 2 Februari 2016, hasil pemeriksaan ini menggambarkan situasi keadaan pasien saat dilakukan pemeriksaan di ruang Poli RSKJ.
A. Deskripsi Umum :
1. Penampilan umum :
Pasien datang dibawa oleh ibu dan ayah pasien, memakai baju kaos berkerah berwarna hitam merah, celana jeans hitam, tampak tenang, cukup kooperatif, kontak mata inadekuat.
2. Kesadaran : Komposmentis kualitas tidak berubah
3. Perilaku dan aktivitas psikomotor : Baik, aktivitas psikomotor pasien cenderung melihat ibu pasien ketika pasien diberi pertanyaan, solah-olah pasien minta untuk diterjemahkan oleh ibu pasien tentang pertanyaan yang diberikan kepadanya.
4. Pembicaraan :  pasien tidak dapat menjawab pertanyaan dengan segera jika ditanya, selalu melihat ke ibu pasien ketika diberi pertanyaan dan menjawab pertanyaan dengan sangat lambat, intonasi berbicara pasien cukup jelas dengan nada suara yang rendah.
5. Sikap terhadap pemeriksa : Cukup kooperatif, kontak mata inadekuat

B. Keadaan Afektif (mood), Perasaan, dan Empati
1. Mood : Hipotimia
2. Afek : Menyempit

C. Gangguan Persepsi
1. Halusinasi : Tidak ditemukan
2. Ilusi : Tidak ditemukan
3. Depersonaisasi : Tidak ditemukan
4. Derealisasi : TIdak ditemukan
5. Gangguan somatosensorik pada reaksi konversi : Tidak ditemukan
6. Gangguan psikofisiologik : Tidak ditemukan

D. Proses Berfikir
1. Bentuk pikir : Realistik
2. Arus pikir : Inkoheren
3. Isi pikiran         : Kemiskinan isi pikir, pikiran yang hanya menghasilkan sedkit informasi dikarenakan ketidakjelasan berbicara.

E. Fungsi Intelektual
1. Taraf pendidikan, pengetahuan umum, dan kecerdasan : kurang
2. Orientasi (waktu, tempat, dan orang) :
a. Waktu : Baik, pasien mengetahui waktu wawancara dilakukan yaitu pagi hari.
b. Tempat : Baik, pasien mengetahui dia sedang berada dipoli RSKJ Bengkulu.
c. Orang : Baik, pasien mengetahui nama ayah, ibu pasien. Selain itu pasien juga mengetahui dirinya diwawancarai oleh siapa.
d. Situasi : Baik, pasien mengetahui bahwa dia sedang konsultasi dan  wawancara.
3. Daya ingat
a. Panjang : sulit dievalusi, pasien tidak menjawab pertanyaan yang diberikan
b. Sedang : Baik, pasien dapat mengingat kejadian 1 bulan yang lalu
c. Pendek : Baik, pasien dapat mengingat apa aktivitas yang dilakukannya kemarin malam.
d. Segera : Baik, pasien dapat mengingat nama pemeriksa dengan baik.
4. Daya konsentrasi dan perhatian :
Konsentrasi pasien kurang baik, pasien tidak dapat menghitung dengan benar angka-angka yang diberikan pemeriksa seperti 315+120, pasien dapat menjawab dengan benar pertanyaan berikut 45+12 dan 56-13.
5. Pikiran abstrak : sulit dievalusi, pasien tidak menjawab pertanyaan yang diberikan
6. Bakat kreatif : pasien suka balap motor
7. Kemampuan menolong diri sendiri : Pasien dapat menolong diri sendiri, pasien dapat masak mie instan dan masak air ketika pasien membutuhkannya. Pasien dapat membereskan tempat tidur pasien ketika bangun tidur.

F. Pengendalian impuls
Pengendalian impuls pasien kurang baik, selama wawancara pasien emosi stabil  kurang  kooperatif selama pemeriksaan dilakukan.

G. Daya nilai dan Uji Daya Nilai
Daya nilai dan uji daya nilai pasien baik.

H. Tilikan
Tilikan derajat IV, pasien mengetahui bahwa dirinya sakit namun tidak mengetahui penyebab sakitnya pasien.

H. Taraf Dapat Dipercaya
Kemampuan pasien untuk dapat dipercaya cukup akurat, pasien berkata dengan jujur mengenai peristiwa yang terjadi, dan di cross check juga dengan keterangan dari ibu pasien yang menceritakan kejadian yang serupa.
IV. PEMERIKSAAN FISIK
A. STATUS GENERALIS
KU : Baik
Sensorium : Compos mentis

Vital Sign
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 82 x/menit
RR : 21 x/menit
Suhu : 36,5 oC

B. STATUS INTERNUS
Kepala Normosefali, deformitas tidak ada.
Mata Edema palpebra tidak ada, sklera ikterik -/-, konjungtiva palpebra anemis -/-, exoftalmus -/-
Hidung Simetris, deformitas (-), deviasi (-), tidak ada sekret.
Telinga Simetris, bentuk dalam batas normal, menggantung, deformitas (-), sekret (-), nyeri tekan tragus  mastoid tidak ada
Mulut Bibir tidak sianosis, lidah kotor (-), papil lidah tersebar merata, mukosa lidah merah
Leher Dalam batas normal, tiroid tidak membesar, KGB tidak teraba
Thorax Tidak terdapat skar, spider naevi (-), simetris kiri dan kanan
Paru I: Pernapasan statis-dinamis kiri = kanan.
P: Stemfremitus simetris kiri dan kanan
P: Sonor disemua lapang paru
A: Suara napas vesikuler normal (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
Jantung I: Iktus kordis tidak  terlihat
P: Iktus kordis tidak teraba
P: Tidak dilakukan
A: Bunyi jantung I dan II normal, gallop (-), murmur (-)
Abdomen I: Datar, tampak benjolan (-)
A: Bising usus (+)
P: Timpani (+) di seluruh regio abdomen
P: Nyeri tekan (-)
Ektremitas Superior, inferior, dekstra, sinistra dalam batas normal

C. STATUS NEUROLOGI
N I – XII : Tidak ada kelainan
Gejala rangsang meningeal : Tidak ada
Gejala TIK meningkat : Tidak ada
Refleks Fisiologis : Normal
Refleks patologis : Tidak ada

V. PEMERIKSAAN DIAGNOSIS LANJUT
Diperlukan pemeriksaan penunjang pada pasien ini, yaitu Tes IQ.

VI. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA
1. Laki-laki berusia 15 tahun, belum menikah.
2. Penampilan bersih dan cukup rapi, perawatan diri baik
3. Pasien mempunyai keluhan susah berkonsentrasi
4. Pasien merupakan murid di SDLB yang sudah 3 kali tidak naik kelas. Di sekolah pasien suka bolos dari mata peajaran yang ada di kelasnya.
5. Pasien tidak pernah betah ketika diberikan buku untuk mengerjakan Pekerjaan Rumah yang diberikan oleh guru di sekolah
6. Pasien suka bermain dengan teman-temannya yang mengajaknya bolos, merokok dan balap motor
7. Saat hamil ibu mengalami keputihan sebanyak 3 kali dan ibu sudah mengobati keluhannya ke Dokter Spesialis Kandungan
8. Pasien kooperatif, kontak mata inadekuat, pembicaraan pasien koheren. Mood pasien hipotimia dengan afek menyempit.
9. Terdapat bentuk pikir realistik, arus pikir koheren, & isi pikir : Kemiskinan isi pikir, pikiran yang hanya menghasilkan sedikit informasi dikarenakan ketidakjelasan berbicara

VII. FORMULASI DIAGNOSIS
• Aksis I
 Pasien ini tidak terdapat gangguan atau kelainan fisik yang menyebabkan disfungsi otak sehingga pada pasien ini disingkirkan Gangguan Mental Organik
 Pada anamnesis didapatkan bahwa pasien tidak pernah menggunakan zat psikoaktif (NAPZA), tidak terdapat riwayat mengonsumsi alcohol sehingga pasien ini bukan menderita gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif.
 Berdasarkan anamnesis, pada pasien ini terdapat problem dalam hubungan yang berkaitan dengan gangguan mental atau kondisi medis umum.
• Aksis II
Berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa pasien mengalami retardasi mental ringan (F70)
• Aksis III
Pada pemerikasaan fisik tidak ditemukan adanya kelainan. Pada pssien ini aksis III tidak ada diagnostik.
• Aksis IV
 Masalah berkaitan dengan lingkungan social
 Masalah pendidikan
 Masalah psikososial dan lingkungan lain

• Aksis V
GAF Scale 60-51: gejala sedang (moderate), disabilitas sedang.

VIII. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
1. Aksis I
Z63.7 Problem dalam hubungan yang berkaitan dengan gangguan mental atau kondisi medis umum
2. Aksis II
Retardasi mental ringan (F70)
3. Aksis III
Tidak ada diagnosis
4. Aksis IV
a. Masalah berkaitan dengan lingkungan sosial
b. Masalah pendidikan
c. Masalah psikososial dan lingkungan lain
5. Aksis V
GAF scale 60 – 51

IX. PROGNOSIS
Pada sebagian besar kasus retardasi mental, hendaya intelektual yang mendasari tidak membaik, tetapi tingkat adaptasi orang yang mengalaminya, secara positif dapat dipengaruhi oleh lingkungan yang mendukung dan berkualitas baik. Pada umumnya orang dengan retardasi mental ringan dan sedang memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam beradaptasi terhadap berbagai keadaan lingkungan.
• Quo Ad Vitam : dubia ad bonam
• Quo Ad Functionam : dubia ad bonam
• Quo Ad Sanactionam : dubia ad bonam

X. Terapi
1. Psikofarmaka
- Methylphenidate
Penelitian terapi methylphenidate pada pasien retardasi mental ringan dengan gangguan defisit atensi/hiperaktivitas telah menunjukkan perbaikan bermakna dalam kemampuan mempertahankan perhatian dan menyelesaikan tugas.
2. Psikoterapi & Edukasi
a. Terapi perilaku
Telah digunakan selama bertahun-tahun untuk membentuk dan meningkatkan perilaku sosial dan untuk mengendalikan dan menekan perilaku agresif dan destruksi pasien. Dorongan positif untuk perilaku yang diharapkan dan memulai hukuman (seperti mencabut hak istimewa) untuk perilaku yang tidak diinginkan telah banyak menolong.
b. Terapi kognitif
Seperti menghilangkan keyakinan palsu dan latihan relaksasi  dengan instruksi dari diri sendiri, juga telah dianjurkan untuk pasien retardasi mental yang mampu mengikuti instruksi pasien.
c. Terapi psikodinamika
Telah digunakan pada pasien retardasi mental dan keluarganya untuk menurunkan konflik tentang harapan yang menyebabkan kecemasan, kekerasan, dan depresi yang menetap.
d. Pendidikan Keluarga
Tentang cara meningkatkan kompetensi dan harga diri sambil mempertahankan harapan yang realistik untuk pasien.






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI
Keterbelakangan mental atau lazim disebut retardasi mental (RM) adalah suatu keadaan dengan intelegensia yang kurang (subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak-anak). Biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala utama ialah intelegensi yang terbelakang. Retardasi mental disebut juga oligofrenia (oligo = kurang atau sedikit danfren = jiwa) atau tuna mental. Keadaan tersebut ditandai dengan fungsi kecerdasan umum yang berada dibawah rata-rata dan disertai dengan berkurangnya kemampuan untuk menyesuaikan diri atau berperilaku adaptif (Salmiah, 2010).
Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi ke-III (PPDGJ III)  adalah suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh hendaya keterampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada semua tingkat intelegensia yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial (Maslim, 2003).
Menurut American Association Mental Retardation (AAMR) 2002 adalah suatu disabilitas yang ditandai dengan suatu limitasi/keterbatasan yang bermakna baik dalam fungsi intelektual maupun prilaku adaptif yang diekspresikan dalam keterampilan konseptual, sosial dan praktis.
Menurut Diagnostic and Scientific Manual IV-TR (DSM IV-TR) adalah sama dengan definisi AAMR tetapi ditambahkan batas derajat IQ 70 (Elvira, 2010).

2. ETIOLOGI
A. Kelainan Kromosom
i. Sindrom Down
Menurut Kaplan dan Sadock, sindrom down adalah kondisi yang disebabkan oleh adanya kelebihan kromosom pada pasangan ke-21 dan ditandai dengan retardasi mental serta anomali fisik yang beragam. Untuk seorang ibu usia pertengahan (> 32 tahun), resiko memiliki anak dengan sindroma Down adalah kira-kira 1 dalam 100 kelahiran. Retardasi mental adalah cirri yang menumpang pada sindrom Down. Sebagian besar pasien berada dlam kelompok retardasi sedang sampai berat., hanya sebagian kecil yang memiliki IQ di atas 50. Diagnosis sindrom Down relative mudah pada anak yang lebih besar tetapi seringkali sukar pada neonates. Tanda yang paling penting pada neonates adalah hipotonia umum, fisura palpebra yang oblik, kulit leher yang berlebihan, tengkorak yang kecil dan datar, tulang pipi yang tinggi, dan lidah yang menonjol. Dapat dilihat juga tangan tebal dan lebar, dengan garis transversal tunggal pada telapak tangan, dan jari kelingking pendek dan melengkung ke dalam.  











Gambar 1. Karakteristik Sindroma Down

ii. Sindrom Fragile X
Sindrom fragile X merupakan bentuk retardasi mental yang diwariskan dan disebabkan oleh mutasi gen pada kromosom X.1 Diyakini terjadi pada kira-kira 1 tiap 1000 kelahiran laki-laki dan 2000 kelahiran perempuan. Derajat retardasi mental terentang dari ringan sampai berat. Ciri perilakunya adalah tingginya angka gangguan defisit atensi/hiperaktivitas, ganguan belajar, dan gangguan perkembangan pervasive seperti gangguan akuisitik. Defisit dalam fungsi bahasa adalah pembicaraan yang cepat dan perseveratif dengan kelainan dalam mengkombinasikan kata-kata membentuk frasa dan kalimat (Kaplan, 2010).

iii. Sindrom Prader-Willi
Kelianan ini akibat dari penghilangan kecil pada kromosom 15, biasanya terjadi secara sporadic. Prevalensinya kurang dari 1 dalam 10000. Orang dengan sindrom ini menunjukkan perilaku makan yang kompulsif dan sering kali obesitas, retardasi mental, hipogonadisme, perawakan pendek, hipotonia, dan tangan dan kaki yang kecil. Anak –anak dengan sindrom ini seringkali memiliki perilaku oposisional yang menyimpang (Kaplan, 2010).










                  Gambar 2. Karakteristik Sindrom Prader-Willi

iv. Sindrom tangisan kucing (cat-cry [cri-du-chat] syndrome)
Anak-anak dengan sindrom tangisa kucing kehilangan bagian dari kromosom 5. Mereka mengalami retardasi mental berat dan menunjukkan banyak stigmata yang seringkali disertai dengan penyimpangan kromosom, seperti mikrosefali, telinga yang letaknya rendah, fisura palpebra oblik, hipertelorisme, dan mikrognatia. Tangisan seperti kucing yang khas (disebabkan oleh kelainan laring) yang memberikan nama sindrom secara bertahap berubah dan menghilang dengan bertambahnya usia (Kaplan, 2010).
v. Kelainan kromosom lain
Sindrom penyimpangan autosomal lain yang disertai dengan retardasi mental adalah jauh lebih jarang terjadi dibandingkan Sindrom Down (Kaplan, 2010).

B. Faktor Genetik Lain
Phenylketonuria (PKU) merupakan gangguan yang menghambat metabolisme asam phenylpyruvic, menyebabkan retardasi mental kecuali bila pola makan amat dikontrol (Salmiah, 2010). PKU ditransmisikan dengan trait Mendel autosomal resesif yang sederhana dan terjadi pada kira-kira yang di institusi adalah kira-kira 1 persen dalam setiap 10.000 sampai 15.000 kelahiran hidup. Bagi orang tua yang telah memiliki anak dengan PKU, kemungkinan memiliki anak lain dengan PKU adalah satu dalam setiap empat sampai lima kehamilan selanjutnya. Defek metabolisme dasar pada PKU adalah ketidakmampuan untuk mengubah fenilalanin, suatu asam amino esensial, menjadi paratirosin karena tidak adanya atau tidak aktifnya enzim fenilalanin hidroksilase, yang mengkatalisis perubahan tersebut (Kaplan, 2010).    
Sebagian besar pasien dengan PKU mengalami retardasi yang berat, tetapi beberapa dilaporkan memiliki kecerdasan yang ambang atau normal. Walaupun gambaran klinis bervariasi, anak PKU tipikal adalah hiperaktif dan menunjukkan perilaku yang aneh dan tidak dapat diramalkan, yang menyebabkan sulit ditangani. Mereka seringkali memiliki temper tantrum dan seringkali menunjukkan gerakan aneh pada tubuhnya dan anggota gerak atas dan manerisme memutir tangan, dan perilaku mereka kadang-kadang meyerupai anak autistic atau skizofrenik. Komunikasi verbal dan nonverbal biasanya sangat terganggu atau tidak ditemukan. Koordiansi anak adalah buruk, dan mereka memiliki banyak kesulitan perceptual (Kaplan, 2010).    



C. Faktor Prenatal
Beberapa kasus retardasi mental disebabkan oleh infeksi dan penyalahgunaan obat selama ibu mengandung. Infeksi yang biasanya terjadi adalah Rubella, yang dapat menyebabkan kerusakan otak. Penyakit ibu juga dapat menyebabkan retardasi mental, seperti sifilis, cytomegalovirus, dan herpes genital. Obat-obatan yang digunakan ibu selama kehamilan dapat mempengaruhi bayi melalui plasenta. Sebagian dapat menyebabkan cacat fisik dan retardasi mental yang parah. Anak-anak yang ibunya minum alkohol selama kehamilan sering lahir dengan sindrom fetal dan merupakan kasus paling nyata sebagai penyebab retardasi mental. Komplikasi kelahiran, seperti kekurangan oksigen atau cedera kepala, infeksi otak, seperti encephalitis dan meningitis, terkena racun, seperti cat yang mengandung timah sangat berpotensi menyebabkan retardasi mental (Salmiah, 2010).

D. Faktor Perinatal
Beberapa bukti menunjukkan bahwa bayi premature dan bayi dengan berat badan lahir rendah berada dalam resiko tinggi mengalami gangguan neurologis dan intelektual yang bermanifestasi selama tahun-tahun sekolahnya. Bayi yang menderita pendarahan intrakranial atau tanda-tanda iskemia serebral terutama rentan terhadap kelainan kognitif. Derajat gangguan perkembangan saraf biasanya berhubungan dengan beratnya perdarahan intracranial (Kaplan, 2010).    

E. Gangguan Didapat Pada Masa Anak-anak
Menurut Kaplan dan Sadock, kadang-kadang status perkembangan seorang anak dapat berubah secara dramatik akibat penyakit atau trauma fisik tertentu. Secara retrospektif, kadang-kadang sulit untuk memastikan gambaran kemajuan perkembangan anak secara lengkap sebelum terjadinya gangguan, tetapi efek merugikan pada perkembangan atau keterampilan anak tampak setelah gangguan. Beberapa penyebab yang didapat pada masa anak-anak antara lain :
 Infeksi.
Infeksi yang paling serius mempengaruhi interitas serebral adalah ensefalitis dan meningitis.
 Trauma kepala
Penyebab cedera kepala yang terkenal pada anak-anak yag menyebabkan kecacatan mental, termasuk kejang, adalah kecelakaan kendaraan bermotor. Tetapi, lebih banyak cedera kepala yang disebabkan  oleh kecelakaan di rumah tangga, seperti terjatuh dari tangga. Penyiksaan anak juga suatu penyebab cedera kepala.
 Masalah lain
Cedera otak dari henti jantung selama anesthesia jarang terjadi. Satu penyebab cedera otak lengkap atau parsial adalah afiksia yang berhubugan dengan nyaris tenggelam. Pemaparan jangka panjang dengan timbal adalah penyebab gangguan kecerdasan dan keterampilan belajar. Tumor intracranial dengan berbagai jenis dan asal, pembedahan, dan kemoterapi juga dapat merugikan fungsi otak

F. Faktor Lingkungan dan Sosiokultural
Suatu bentuk retardasi mental dipengaruhi oleh lingkungan dengan sosioekonomi rendah. Faktor-faktor psikososial, seperti lingkungan rumah atau sosial yang miskin, yaitu yang memberi stimulasi intelektual, penelantaran atau kekerasan dari orang tua, dapat menjadi penyebab atau memberi kontribusi dalam perkembangan retardasi mental pada anak-anak. TIdak ada penyebab biologis yang telah dikenali pada kasus tersebut (Salmiah, 2010).
Anak-anak dalam keluarga yang miskin dan kekurangan secara sosiokultural adalah sasaran dari kondisi merugikan perkembangan dan secara potensial patogenik. Lingkungan prenatal diganggu oleh perawatan medis yang buruk dan gizi maternal yang buruk. Kehamilan remaja sering disertai dengan penyulit obstetric, prematuritas, dan berat badan lahir rendah. Perawatan medis setelah kelahiran buruk, malnutrisi, pemaparan dengan zat toksin tertentu seperti timbale dan trauma fisik adalah serig terjadi. Ketidakstabilan keluarga, sering pindah, dan pengasuh yang berganti-ganti tetapi tidak adekuat sering terjadi. Selain itu, ibu dalam keluarga tersebut sering berpendidikan rendah dan tidak siap memberikan stimulasi yang sesuai bagi anak-anaknya.
Masalah lain yang tidak terpecahkan adalah pengaruh ganguan mental parental yang parah. Gangguan tersebut dapat menganggu pengasuhan dan stimulasi anak dan aspek lain dari lingkungan mereka, dengan demikian menempatkan anak pada resiko perkembangan. Anak-anak dari orang tua dengan gangguan mood dan skizofrenia diketahui berada dalam resiko mengalami gangguan tersebut dan gangguan yang berhubungan. Penelitian terakhrir menunjukkan tingginya prevalensi gangguan keterampialan motorik dan gangguan perkembangan lainnya tetapi tidak selalu disertai retardasi mental (Kaplan, 2010).

3. DIAGNOSIS
Menurut pedoman diagnostik PPDGJ III intelegensia bukan merupakan karakteristik yang berdiri sendiri, melainkan harus dinilai berdasarkan sejumlah besar ketrampilan khusus yang berbeda. Meskipun ada kecenderungan umum bahwa semua ketrampilan ini akan berkembang ke tingkat yang serupa pada setiap individu, tetapi ada ketimpangan (discrepancy) yang luas, terutama pada penyandang RM. Orang yang demikian mungkin memperlihatkan hendaya berat dalam satu bidang tertentu (misalnya bahasa) atau mungkin mempunyai suatu area ketrampilan tertentu yang lebih tinggi (misalnya tugas visuospasial sederhana) pada RM berat. Keadaan ini akan menimbulkan kesulitan dalam menentukan kriteria diagnostik dimana seorang penyandang RM harus diklasifikasikan.
Penilaian tingkat kecerdasan harus berdasarkan semua informasi yang tersedia, termasuk temuan klinis, perilaku adaptif (yang dinilai dalam kaitan dengan latar belakang budayanya), dan hasil tes psikometrik.
Untuk diagnosis pasti, harus ada penurunan tingkat kecerdasan yang meningkatkan berkurangnya kemampuan adaptasi terhadap tuntutan dari lingkungan sosial biasa sehari – hari. Gangguan jiwa dan fisik yang menyertai retardasi mental mempunyai pengaruh besar pada gambaran klinis dan penggunaan dari semua keterampilannya. Oleh karena itu kategori diagnostik yang dipilih harus berdasarkan penilaian kemampuan global dan bukan atas suatu hendaya atau ketrampilan khusus. Tingkat IQ yang ditetapkan hanya merupakan petunjuk dan seharusnya tidak ditetapkan secara kaku dalam memandang keabsahan permasalahan lintas budaya (Elvira, 2010).
Kriteria diagnostik untuk RM menurut DSM IV – TR adalah sebagai berikut :
1. Fungsi intelektual dibawah rata – rata (IQ 70 atau kurang) yang telah diperiksa secara individual.
2. Kekurangan atau gangguan dalam perilaku adaptif (sama dengan kekurangan individu untuk memenuhi tuntutan standar perilaku sesuai dengan usianya dari lingkungan budayanya) dalam sedikitnya 2 hal, yaitu komunikasi, self-care, kehidupan rumah-tangga, ketrampilan sosial/interpersonal, menggunakan sarana komunitas, mengarahkan diri sendiri, ketrampilan akademis fungsional, pekerjaan, waktu senggang, kesehatan dan keamanan
3. Awitan terjadi sebelum usia 18 tahun

Menurut Maslim (2003), kode diagnostik dan derajat RM menurut DSM IV – TR adalah sebagai berikut :
317 Retardasi mental ringan, IQ 50 – 55 sampai 70
318 Retardasi mental sedang, IQ 35 – 40 sampai 50 – 55
318.1 Retardasi mental berat, IQ 20 – 25 sampai 35 – 40
318.2 Retardasi mental sangat berat, IQ dibawah 20 atau 25

Fungsi intelektual dapat diketahui dengan tes fungsi kecerdasan dan hasilnya dinyatakan sebagai suatu taraf kecerdasan atau IQ. Dapat dihitung dengan :

IQ = MA/CA x 100%
MA = Mental Age, umur mental yang didapat dari hasil tes
CA = Chronological Age, umur yang didapat berdasarkan perhitungan tanggal  lahir

Diagnosis retardasi mental dapat dibuat setelah riwayat penyakit, pemeriksaan intelektual yang baku, dan pengukuran fungsi adaptif menyatakan bahwa perilaku anak sekarang adalah secara bermakna di bawah tingkat yang diharapakan. Diagnosis sendiri tidak menyebutkan penyebab ataupun prognosisnya. Suatu riwayat psikiatrik adalah berguna untuk mendapatkan gambaran longitudinal perkembangan fungsi anak, dan pemeriksaan stigma fisik, kelainan neurologis, dan tes laboratorium dapat digunakan untuk memastikan penyebab dan prognosis (Kaplan, 2010).    
A. Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit paling sering didapatkan dari orang tua atau pengasuh, dengan perhatian khusus pada kehamilan ibu, persalinan, dan kelahiran. Terdapat riwayat keluarga retardasi mental, hubungan darah pada orangtua, dan gangguan herediter. Juga dapat menilai latar belakang sosiokultural pasien, iklim emosional di rumah, dan fungsi intelektual pasien (Kaplan, 2010).

B. Wawancara Psikiatrik
Dua faktor yang sangat penting saat jika mewawancarai pasien adalah sikap pewawancara dan cara berkomunikasi dengan pasien. Kemampuan verbal pasien, termasuk bahasa reseptif dan ekspresif, harus dinilai sesegera mungkin dengan mengobservasi komunikasi verbal dan nonverbal antara pengasuh dan pasien dan dari riwayat penyakit. Sangat membantu jika memeriksa pasien dan pengasuhnya bersama-sama. Jika pasien menggunakan bahasa isyarat, pengasuh dapat sebagai penerjemah.
Orang terertardasi mengalami kegagalan seumur hidup dalam berbagai bidang, dan mereka mungkin mengalami kecemasan sebelum menjumpai pewawancara. Pewawancara dan pengasuh harus berusaha untuk memberikan pasien suatu penjelasan yang jelas, suportif, dan konkret tentang proses diagnostik, terutama pasein dengan bahasa reseptif yang memadai. Dukungan dan pujian  harus diberikan dalam bahasa yang sesuai dengan usia dan pengertian pasien.
Pengendalian pasien terhadap pola motilitas harus dipastikan, dan bukti klinis adanya distraktibilitas dan distorsi dalam persepsi dan daya ingat harus diperiksa. Pemakaian bahasa, tes realitas, dan kemampuan menggali dan pengalaman penting untuk dicatat. Sifat dan maturitas pertahanan pasien (menundukkan diri sendiri menggunakan penghindaran, represi, penyangkalan, introyeksi, da isolasi) harus diamati. Potensi sublimasi, toleransi frustasi, dan pengendalian impuls (terutama terhadap dorongan motorik, agresif, dan seksual) harus dinilai. Juga penting adalah citra diri dan peranannya dalam perkembangan keyakinan diri, dan juga penilaian keuletan, ketetapan hati, keingintahuan, dan kemauan menggali hal yang tidak diketahui.
Pada umumnya pemeriksaan psikiatrik pasien yang teretardasi harus mengungkapkan bagaimana pasien mengalami stadium perkembangan. Dalam hal kegagalan atau regresi, juga dapat mengembangkan sifat kepribadian yang memungkinkan perencanaan logis dari penatalaksanaan dan pendekatan pengobatan (Kaplan, 2010).    

C. Pemeriksaan Fisik
Berbagai bagian tubuh memiliki karakteristik tertentu yang sering ditemukan pada orang retardasi mental dan memiliki penyebab prenatal. Sebagai contoh, konfigurasi dan ukuran kepala memberikan petunjuk terhadap berbagai kondisi seperti mikrosefali, hidrosefalus, dan sindroma Down. Wajah pasien mungkin memiliki beberapa stigmata retardasi mental yang sangat mempermudah diagnosis. Tanda fasial tersebut adalah hipertelorisme, tulang hidung yang datar, alis mata yang menonjol, lipatan epikantus, opasitas kornea, perubahan retina yag letaknya rendah atau bentuknya aneh, lidah yang menonjol, dan gangguan gigi geligi. Lingkaran kepala harus diukur sebagai bagian dari pemeriksaan klinis. Warna dan tekstur kulit dan rambut, palatum dengan lengkung yang tinggi, ukuran kelenjar tiroid, dan ukuran anak dan batang tubuh dan ekstremitasnya adalah bidang lain yang digali (Kaplan, 2010).      



D. Pemeriksaan Neurologis
Gangguan sensorik sering terjadi pada orang retardasi mental, sebagai contoh sampai 10 persen orang retardasi mental mengalami gangguan pendengaran empat kali lebih tinggi dibandingkan orang normal. Gangguan sensorik dapat berupa gangguan pendengaran dan gangguan visual. Gangguan pendengaran terentang dari ketulian kortikal sampai deficit pendengaran yang ringan. Gangguan visual dapat terentang dari kebutaan sampai gangguan konsep ruang, pengenalan rancangan, dan konsep citra tubuh.
Gangguan dalam bidang motorik dimanifestasikan oleh kelainan pada tonus otot (spastisitas atau hipotonia), refleks (hiperefleksia), dan gerakan involunter (koreoatetosis). Derajat kecacatan lebih kecil ditemukan dalam kelambanan dan koordinasi yang buruk (Kaplan, 2010).    

E. Tes Laboratorium
Tes laboratorium yang digunakan pada kasus retardasi mental adalah pemeriksaan urin dan darah untuk mencari gangguan metabolik. Penentuan kariotipe dalam laboratorium genetic diindikasikan bila dicurigai adanya gangguan kromosom.
Amniosintesis, di mana sejumlah kecil cairan amniotic diambil dari ruang amnion secara transabdominal antara usia kehamilan 14 dan 16 minggu, telah berguna dalam diagnosis berbagai kelainan kromosom bayi, terutama Sindroma Down. Amniosintesis dianjukan untuk semua wanita hamil berusia di atas 35 tahun.
Pengambilan sampel vili korionik (CVS; chorionic villi sampling) adalah teknik skrining yang baru untuk menentukan kelainan janin. Cara ini dilakukan pada usia kehamilan 8 dan 10 minggu. Hasilnya tersedia dalam waktu singkat (beberapa jam atau hari), dan jika kehamilan adalah abnormal, keputusan untuk mengakhiri kehamilan dapat dilakukan dalam trimester pertama. Prosedur memiliki resiko keguguran antara 2 dan 5 persen (Kaplan, 2010).    



F. Pemeriksaan Psikologis
Tes psikologis, dilakukan oleh ahli psikologis yang berpengalaman, adalah bagian standar dari pemeriksaan untuk retardasi mental. Pemeriksaan psikologis dilakukan untuk menilai kemampuan perceptual, motorik, linguistik, dan kognititf. Informasi tentang factor motivasional, emosional, dan interpersonal juga penting (Kaplan, 2010).      

4. KLASIFIKASI
Menurut PPDGJ-III retardasi mental dibagi menjadi :
a. F70 Retardasi Mental Ringan
Bila menggunakan tes IQ baku yang tepat, maka IQ berkisar antara 50 – 69 menunjukkan retardasi mental ringan. Pemahaman dan penggunaan bahasa cenderung terlambat pada berbagai tingkat, dan masalah kemampuan berbicara yang mempengaruhi perkembangan kemandirian dapat menetap sampai dewasa. Walaupun mengalami keterlambatan dalam kemampuan bahasa, tapi sebagian besar dapat mencapai kemampuan bicara untuk keperluan sehari – hari. Kebanyakan juga dapat mandiri penuh dalam merawat diri sendiri dan mencapai ketrampilan praktis dan ketrampilan rumah tangga, walaupun tingkat perkembangannya agak lambat daripada normal. Kesulitan utama biassanya tampak dalam pekerjaan sekolah yang bersifat akademis dan banyak masalah khusus dalam membaca dan menulis.
Etiologi organik hanya dapat diidentifikasikan pada sebagian kecil penderita. Keadaan lain yang menyertai, seperti autisme, gangguan perkembangan lain, epilepsi, gangguan tingkah laku, atau disabilitas fisik dapat ditemukan dalam berbagai proporsi. Bila terdapat gangguan demikian, maka harus diberi kode diagnosis tersendiri.

b. F71 Retardasi Mental Sedang
IQ biasanya berada dalam rentang 35 – 49. Umumnya ada profil kesenjangan dari kemampuan, beberapa dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi dalam ketrampilan visuo-spasial daripada tugas – tugas yang tergantung pada bahasa, sedangkan yang lainnya sangat canggung namun dapat mengadakan interaksi sosial dan percakapan sederhana. Tingkat perkembangan bahasa bervariasi, ada yang dapat mengikuti percakapan sederhana, sedangkan yang lain hanya dapat berkomunikasi seadanya untuk kebutuhan dasar mereka.
Suatu etiologi organik dapat diidentifikasikan pada kebanyakan penyandang retardasi mental sedang. Autisme masa kanak atau gangguan perkembangan pervasif lainnya terdapat pada sebagian kecil kasus, dan mempunyai pengaruh besar pada gambaran klinis dan tipe penatalaksanaan yang dibutuhkan. Epilepsi, disabilitas neurologik dan fisik juga lazim ditemukan meskipun kebanyakan penyandang retardasi mental sedang mampu berjalan tanpa bantuan.
Kadang – kadang didapatkan gangguan jiwa lain, tetapi karena tingkat perkembangan bahasanya yang terbatas sehingga sulit menegakkan diagnosis dan harus tergantung dari informasi yang diperoleh dari orang lain yang mengenalnya. Setiap gangguan penyerta harus diberi kode diagnosis tersendiri.

c. F72 Retardasi Mental Berat
IQ biasanya berada dalam rentang 20 – 34. Pada umumnya mirip dengan retardasi mental sedang dalam hal :
- Gambaran klinis
- Terdapatnya etiologi organik
- Kondisi yang menyertainya
- Tingkat prestasi yang rendah
- Kebanyakan penyandang retardasi mental berat menderita gangguan motorik yang mencolok atau defisit lain yang menyertainya, menunjukkan adanya kerusakan atau penyimpangan perkembangan yang bermakna secara klinis dari susunan saraf pusat.

d. F73 Retardasi Mental Sangat Berat
IQ biasanya dibawah 20. Pemahaman dan penggunaan bahasa terbatas, hanya mengerti perintah dasar dan mengajukan permohonan sederhana. Keterampilan visuospasial yang paling dasar dan sederhana tentang memilih dan mencocokkan mungkin dapat dicapainya dan dengan pengawasan dan petunjuk yang tepat, penderita mungkin dapat sedikit ikut melakukan tugas praktis dan rumah tangga.
Suatu etiologi organik dapat diidentifikasi pada sebagian besar kasus. Biasanya ada disabilitas neurologik dan fisik lain yang berat yang mempengaruhi mobilitas, seperti epilepsi dan hendaya daya lihat dan daya dengar. Sering ada gangguan perkembangan pervasif dalam bentuk sangat berat khususnya autisme yang tidak khas (atypical autism) terutam pada penderita yang dapat bergerak.

e. F78 Retardasi Mental Lainnya
Kategori ini hanya digunakan bila penilaian dari tingkat retardasi mental dengan memakai prosedur biasa sangat sulit atau tidak mungkin dilakukan karena adanya gangguan sensorik atau fisik, misalnya buta, bisu, tuli dan penderita yang perilakunya terganggu berat atau fisiknya tidak mampu.

f. F79 Retardasi Mental YTT
Jelas terdapat retardasi mental, tetapi tidak ada informasi yang cukup untuk menggolongkannya dalam salah satu kategori tersebut diatas.

5. PENATALAKSANAAN
Retardasi mental berhubungan dengan beberapa gangguan heterogen dan berbagai faktor psikososial. Terapi yang terbaik untuk retardasi mental adalah pencegahan primer, sekunder, dan tersier (Kaplan, 2010).  
A. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan atau menurunkan kondisi yang menyebabkan perkembangan gangguan yang disertai dengan retardasi mental. Tindakan tersebut termasuk :
• Pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat umum tentang retardasi mental.
• Usaha terus-menerus dari professional bidang kesehatan untuk menjaga dan memperbaharui kebijaksanaan kesehatan masyarakat.
• Aturan untuk memberikan pelayanan kesehatan maternal dan anak yang optimal.
• Eradikasi gangguan yang diketahui disertai dengan kerusakan system saraf pusat.
Konseling keluarga dan genetik membantu menurunkan insidensi retardasi mental dalam keluarga dengan riwayat gangguan genetic yang berhubungan dengan retardasi mental. Untuk anak-anak dan ibu dengan sosioekonomi rendah, pelayanan medis prenatal dan perinatal yang sesuai dan berbagai program pelengakap dan bantuan pelayanan social dapat menolong menekan komplikasi medis dan psikososial.

B. Pencegahan Sekunder dan Tersier
Jika suatu gangguan yang disertai dengan retardasi mental telah dikenali, gangguan harus diobati untuk mempersingkat perjalanan penyakit (pencegahan sekunder) dan untuk menekan sekuele atau kecacatan yang terjadi setelahnya (pencegahan tersier).
Gangguan metabolik dan endokrin herediter, seperti PKU dan hipotiroidisme, dapat diobati dalam stadium awal dengan control diet atau dengan terapi penggantian hormone.
Anak retardasi mental seringkali memiliki kesulitan emosional dan perilaku yang memerlukan terapi psikiatrik. Kemampuan kognitif dan sosial yang terbatas yang dimiliki anak tersebut memerlukan modalitas terapi psikiatrik yang dimodifikasi berdasarkan tingkat kecerdasan anak.
a. Pendidikan untuk anak
Lingkungan pendidikan untuk anak-anak dengan retardasi mental harus termasuk program yang lengkap yang menjawab latihan keterampilan adaptif, latihan keterampilan sosial, dan latihan kejujuran. Perhatian khusus harus dipusatkan pada komunikasi dan usaha untuk meningkatkan kualitas hidup. Terapi kelompok seringkali merupakan format yang berhasil dimana anak-anak dengan retardasi mental dapat belajar dan mempraktekkan situasi hidup nyata dan mendapatkan umpan balik yang mendukung.

b. Terapi perilaku, kognitif, dan psikodinamika
Kesulitan dalam beradaptasi di antara orang retardasi mental adalah luas dan sangat bervariasi sehingga sejumlah intervensi sendiri atau dalam kombinasi mungkin berguna.
Terapi perilaku telah digunakan selama bertahun-tahun untuk membentuk dan meningkatkan perilaku sosial dan untuk mengendalikan dan menekan perilaku agresif dan destruksi pasien. Dorongan positif untuk perilaku yang diharapkan dan memulai hukuman (seperti mencabut hak istimewa) untuk perilaku yang tidak diinginkan telah banyak menolong.
Terapi kognitif seperti menghilangkan keyakinan palsu dan latihan relaksasi  dengan instruksi dari diri sendiri, juga telah dianjurkan untuk pasien retardasi mental yang mampu mengikuti instruksi pasien.
Terapi psikodinamika telah digunakan pada pasien retardasi mental dan keluarganya untuk menurunkan konflik tentang harapan yang menyebabkan kecemasan, kekerasan, dan depresi yang menetap.

c. Pendidikan keluarga
Satu bidang yang penting dalam pendidikan keluarga dari pasien dengan retardasi mental adalah tentang cara meningkatkan kompetensi dan harga diri sambil mempertahankan harapan yang realistik untuk pasien. Keluarga seringkali merasa sulit untuk menyeimbangkan antara mendorong kemandirian dan memberikan lingkungan yang mengasuh dan suportif bagi anak retardasi mental, yang kemungkinan mengalami suatu tingkat penolakan dan kegagalan di luar konteks keluarga.
Orang tua mungkin mendapatkan manfaat dari konseling yang terus-menerus dari terapi keluarga. Orang tua harus diberikan kesempatan untuk mengekspresikan perasaan bersalah, putus asa, kesedihan, penyangkalan yang terus-menerus timbul, dan kemarahan tentang gangguan dan masa depan anak. Dokter psikiatrik harus siap untuk memberikan semua informasi medis dasar dan terakhir tentang penyebab, terapi, dan bidang lain yang berhubungan (seperti latihan khusus dan perbaikna defek sensorik).

d. Intervensi farmakologis
Pendekatan farmakologis dalam terapi gangguan mental komorbid pada pasien retardasi mental adalah banyak kesamaannya seperti untuk pasien yang tidak mengalami retardasi mental. Semakin banyak data yang mendukung pemakaian berbagai medikasi untuk pasien dengan gangguan mental yang tidak retardasi mental. Beberapa penelitian telah memusatkan perhatian pada pemakaian medikasi untuk sindrom perilaku berikut ini yang sering terjadi di antara retardasi mental:
 Agresi dan perilaku melukai diri sendiri
Beberapa bukti dari penelitian telah menyatakan bahwa lithium (Eskalith) berguna dalam menurunkan agresi dan perilaku melukai diri sendiri. Antagonis narkotik seperti naltrexone (Trexan) telah dilaporkan menurunkan perilaku melukai diri sendiri pada pasien retardasi mental yang juga memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan austik infantile. Satu hipotesis yang diajukan sebagai mekanisme kerja terapi naltrexone adalah bahwa obat mempengaruhi pelepasan opioid endogen yang dianggap berhubungan dengan melukai diri sendiri. Carbamazepine (Tegretol) dan valproic acid (Depakene) adalah medikasi yang juga bermanfaat pada beberapa kasus perilaku melukai diri sendiri.  
 Gerakan motorik stereotipik
Medikasi antipsikotik, seperti haloperidol (Haldol) dan chlorpromazine (Thorazine), menurunkan perilaku stimulasi diri yang berulang pada pasien retardasi mental, terapi medikasi tersebut tidak meningkatkan perilaku adaptif. Beberapa anak dan orang dewasa (sampai sepertiga) dengan retardasi mental menghadapi resiko tinggi mengalami tardive dyskinesia dengan pemakaian kontinu medikasi antipsikotik.
 Perilaku kemarahan eksplosif
Penghambat-β, seperti propranolol dan buspirone (BuSpar), telah dilaporkan menyebabkan penurunan kemarahan ekspolasif di antara pasien dengan retardasi mental dan gangguan autistik. Penelitian sistematik diperlukan sebelum obat dapat ditetapkan sebagai manjur.
 Gangguan defisit atensi/hiperaktivitas
Penelitian terapi methylphenidate pada pasien retardasi mental ringan dengan gangguan defisit atensi/hiperaktivitas telah menunjukkan perbaikan bermakna dalam kemampuan mempertahankan perhatian dan menyelesaikan tugas. Penelitian terapi metylphenidate tidak menunjukkan bukti adanya perbaikan jangka panjang dalam keterampilan sosial atau belajar.













BAB III
PEMBAHASAN

Penegakan diagnosis aksis II berdasarkan anamnesis dengan orang tua pasien. Pasien datang dengan keluahan tidak dapat focus. Pasien sudah berusia 15 tahun dan masih duduk di bangku kelas 6 SDLB. Selain itu, pasien sudah 3 tahun tidak naik kelas. Pasien suka membolos pelajar sekolah, cenderung tidak memiliki teman di sekolah tetapi memiliki banyak teman ketika berada di lingkungan rumahnya.
Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi ke-III (PPDGJ III)  adalah suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh hendaya keterampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada semua tingkat intelegensia yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan social. Retardasi mental dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya. Hendaya perilaku adaptif selalu ada, tetapi dalam lingkungan social terlindung dimana sarana pendukung cukup tersedia, hendaya inimungkin tidak tampak sama sekali pada penyandang retardsi mental ringan.
Pada pasien ini tidak dilakukan Tes IQ, dimana menurut PDGJ, nilai IQ dapat turut membantu untuk penegakan diagnosis dari retardasi mental dan dapat membantu untuk menentukan jenis retardasi mental.
Pasien memiliki riwayat terapi bicara pada usia 4 tahun, dimana menurut PPDGJ III, pemahaman dan penggunaan bahasa cenderung telambat pada berbagai tingkat, dan masalah kemampuan bicara yang mempengaruhi perkembangan kemandirian dapat menetap sampai dewasa. Pada pasien ini mengalami retardasi mental ringan (F70). Walaupun mengalami keterlambatan dalam kemampuan bahasa tetapi sebagian besar dapat mencapai kemampuan berbicara untuk keperluan sehari-hari. Kebanyakan juga dapat mandiri penuh dalam merawat diri sendiri dan mencapai keterampilan praktis dan keterampilan rumah tangga, walaupun tngkat perkembangannya agak lambat dari normal. Hal ini terbukti bahwa pasien bias membereskan tempat tidurnya sendiri, masak mie instan dan air panas untuk keperluan pasien itu sendiri.
Penyebab dari retardasi mental pada pasien mungkin dapat disebabkan oleh infeksi yang terjadi saat masa kehamilan dari hasil anamnesis, didapatkan bahwa saat kehamilan ibu pernah mengalami keputihan dan ibu berobat ke dokter Spesialis Kandungan. Oleh dokter, pasien disedot keputihannya dengan menggunakan alat. Keluhan ini pasien alami sebanyak 3 kali selama masa kehamilan. Keputihan yang dialami oleh ibu pasien memang belum dapat dipastikan sebagai penyebab utama dari retardasi mental yang terjadi pada pasien, tetapi dapat berpotensi menyebabkan retardasi mental.
Tatalaksana pada pasien ini adalah terapi perilaku, terapi kognitif, terapi psikodinamika dan pendidikan keluarga. Terapi perilaku telah digunakan selama bertahun-tahun untuk membentuk dan meningkatkan perilaku sosial dan untuk mengendalikan dan menekan perilaku agresif dan destruksi pasien. Terapi kognitif seperti menghilangkan keyakinan palsu dan latihan relaksasi  dengan instruksi dari diri sendiri, juga telah dianjurkan untuk pasien retardasi mental yang mampu mengikuti instruksi pasien. Terapi psikodinamika telah digunakan pada pasien retardasi mental dan keluarganya untuk menurunkan konflik tentang harapan yang menyebabkan kecemasan, kekerasan, dan depresi yang menetap.
Tatalaksana farmakologis pada pasien ini diberikan methylphenidate. Menurut penelitian, terapi methylphenidate pada pasien retardasi mental ringan dengan gangguan defisit atensi/hiperaktivitas telah menunjukkan perbaikan bermakna dalam kemampuan mempertahankan perhatian dan menyelesaikan tugas.









DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA: Retardasi Mental. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis, Binarupa Aksara, Jakarta, 2010
2. Elvira SD, Hadisukanto G. Retardasi Mental. Buku Ajar Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2010
3. Salmiah S: Retardasi Mental. Departemen Kedokteran Fakultas Kedokteran Gigi Univeritas Sumatera Utara, Medan, 2010
4. Maslim R. F70-F79 Retardasi Mental. Buku Saku PPDGJ-III, Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, Jakarta, 2003

Bella Sagita Pratiwi
Admin

Posts : 5
Reputation : 0
Join date : 20.01.16
Age : 32
Location : Bengkulu

Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik