Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Referat :Hubungan Tingkat IQ dengan Kejadian Depresi

Go down

Referat :Hubungan Tingkat IQ dengan Kejadian Depresi Empty Referat :Hubungan Tingkat IQ dengan Kejadian Depresi

Post by Bella Sagita Pratiwi Fri Feb 19, 2016 10:48 pm

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Gangguan depresi dibawah naungan gangguan mood. Pembahasan emosi mencakup afek, mood, emosi yang lain dan gangguan psikologis yang berhubungan dengan mood. Sehingga dalam pembahasan gangguan depresi maka akan dibahas emosi dan mood. Emosi merupakan kompleksitas perasaan yang meliputi psikis, somatik dan perilaku yang berhubungan dengan afek dan mood. Emosi juga memiliki sinonim yaitu afek yang merupakan suasana perasaan hati seorang individu. Mood merupakan subjektivitas peresapan emosi yang dialami dan dapat diutarakan oleh pasien dan terpantau oleh orang lain termasuk contohnya depresi, elasi dan marah.
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri (Kaplan dkk, 1992).
Kaplan menyatakan depresi merupakan salah satu gangguan psikiatrik yang sering ditemukan dengan prevalensi seumur hidup adalah kira kira 15%. Pada pengamatan yang universal terlepas dari kultur atau negara prevalensi gangguan depresi berat pada wanita dua kali lebih besar dari pria. Pada umumnya onset untuk gangguan depresi berat adalah pada usia 20 sampai 50 tahun, namun yang paling sering adalah pada usia 40 tahun. Depresi berat juga sering terjadi pada orang yang tidak menikah dan bercerai atau berpisah.






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Depresi
2.1.1 Definisi
Depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode depresif, gangguan distimik, gangguan depresif mayor dan gangguan depresif unipolar serta bipolar (Ingram dkk, 1993).
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri (Kaplan dkk, 1992).
Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia) maka orang tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan, karena ia kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya (Ingram dkk, 1993).

2.1.2 Epidemiologi
Gangguan depresi berat, paling sering terjadi, dengan prevalensi seumur hidup sekitar 15 persen. Perempuan dapat mencapai 25%. Sekitar 10% perawatan primer dan 15% dirawat di rumah sakit. Pada anak sekolah didapatkan prevalensi sekitar 2%. Pada usia remaja didapatkan prevalensi 5% dari komunitas memiliki gangguan depresif berat (Ismail dkk, 2010).

1. Jenis Kelamin
Perempuan 2x lipat lebih besar disbanding laki-laki. Diduga adanya perbedaan hormon, pengaruh melahirkan, perbedaan stresor psikososial antara laki-laki  dan perempuan, dan model perilaku yang dipelajari tentang ketidakberdayaan (Ismail dkk, 2010).
Pada pengamatan yang hampir universal, terdapat prevalensi gangguan depresif berat yang dua kali lebih besar ada wanita dibandingkan dengan laki-laki (Kaplan, 2010). Pada penelitian lain disebutkan bahwa wanita 2 hingga 3 kali lebih rentan terkena depresi dibandingkan laki-laki (Akhtar, 2007). Walaupun alasan adanya perbedaan tersebut tidak diketahui, alasan untuk perbedaan tersebut didalilkan sebagai keterlibatan dari perbedaan hormonal, efek kelahiran, perbedaan stressor psikososial dan model perilaku keputusasaan yang dipelajari (Kaplan, 2010).  
Pada penelitian yang dilakukan NIMH (2002) ditemukan bahwa prevalensi yang tinggi pada wanita dibandingkan pria kemungkinan dikarenakan adanya ketidakseimbangan regulasi hormon yang langsung mempengaruhi substansi otak yang mengatur emosi dan mood contohnya dapat dilihat pada situasi PMS (Pre Menstrual Syndrome). Untuk wanita yang telah menikah, depresi dapat diperparah dengan masalah keluarga dan pekerjaan, merawat anak dan orangtua lanjut usia, kekerasan dalam rumah tangga dan kemiskinan.  

2. Usia
Rata-rata usia sekitar 40 tahun-an. Hampir 50% onset diantara usia 20-50 tahun. Gangguan depresi berat dapat timbul pada masa anak atau lanjut usia. Data terkini menunjukkan gangguan depresi berat diusia kurang dari 20 tahun. Mungkin berhubungan dengan meningkatnya pengguna alkohol dan penyalahgunaan zat dalam kelompok usia tersebut (Ismail dkk, 2010).
Pada umumnya, rata-rata usia onset untuk gangguan depresif berat adalah kira-kira 40 tahun, dimana 50% dari semua pasien mempunyai onset antara usia 20 dan 50 tahun. Gangguan depresif berat juga memiliki onset selama masa anak-anak atau pada lanjut usia. Beberapa data epidemiologis menyatakan bahwa insidensi gangguan depresif berat mungkin meningkat pada orang-orang yang berusia kurang dari 20 tahun (Kaplan, 2010). Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Akhtar (2007) didapatkan bahwa tingkat prevalensi tertinggi terjadi pada kelompok usia 20-24 tahun (14,3%) dan yang terendah pada kelompok usia >75 tahun (4,3%), sementara data yang didapatkan dari NIMH (2002) menyebutkan bahwa tingkat depresi terbanyak ditemukan pada kelompok usia >18  tahun (10%).

3. Status Perkawinan
Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai hubungan interpersonal yang erat atau pada mereka yang bercerai atau berpisah. Wanita yang tidak menikah memiliki kecenderungan lebih rendah untuk menderita depresi dibandingkan dengan wanita yang menikah namun hal ini berbanding terbalik untuk laki-laki (Ismail dkk, 2010).
Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada orang yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat, pasangan yang bercerai atau berpisah (Kaplan, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Akhtar (2007) memperlihatkan bahwa prevalensi tertinggi dari depresi didapatkan pada pasangan yang bercerai atau berpisah.

4. Faktor Sosioekonomi dan Budaya
Tidak ditemukan korelasi antara status sosioekonomi dan gangguan depresi berat. Depresi lebih sering terjadi di daerah pedesaan dibanding daerah perkotaan (Ismail dkk, 2010).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh National Academy on An Aging Society (2000) didapatkan data bahwa pada kelompok responden dengan pendapatan rendah ditemukan tingkat depresi yang cukup tinggi yaitu sebesar 51%. Pada penelitian Akhtar (2007) ditemukan tingkat depresi terendah pada kelompok pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar (9,1%) dan sebaliknya tingkat depresi yang tertinggi ditemukan pada responden dengan kelompok pendidikan yang lebih tinggi sebesar (13,4%). Walaupun hasil ini dapat menjadi indikasi adanya perbedaan tingkat depresi pada tingkat pendidikan, namun hal tersebut tidak memiliki korelasi positif dengan terjadinya gangguan depresif (Kaplan, 2010).
2.1.3 Etiologi
Etiologi depresi terdiri dari:
1. Faktor genetik
Dari penelitian keluarga didapatkan gangguan depresi mayor dan gangguan bipolar terkait erat dengan hubungan saudara; juga pada anak kembar, suatu bukti adanya kerentanan biologik, pada genetik keluarga tersebut.
Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor penting di dalam perkembangan gangguan mood adalah genetika. Tetapi, pola penurunan genetika adalah jelas melalui mekanisme yang kompleks. Bukan saja tidak mungkin untuk menyingkirkan efek psikososial, tetapi faktor non genetik kemungkinan memainkan peranan kausatif dalam perkembangan gangguan mood pada sekurangnya beberapa orang. Penelitian keluarga menemukan bahwa sanak saudara derajat pertama dari penderita gangguan depresif berat berkemungkinan 2 sampai 3 kali lebih besar daripada sanak saudara derajat pertama (Kaplan, 2010; Tomb, 2004).

2. Faktor Biokmia
Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan di dalam metabolit amin biogenik yang mencakup neurotransmitter norepinefrin, serotonin dan dopamine (Gambar 2.1.4.1). Dalam penelitian lain juga disebutkan bahwa selain faktor neurotransmitter yang telah disebutkan di atas, ada beberapa penyebab lain yang dapat mencetuskan timbulnya depresi yaitu neurotransmitter asam amino khususnya GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan peptida neuroaktif, regulasi neurendokrin dan neuroanatomis (Kaplan, 2010).
Pada regulasi neuroendokrin, gangguan mood dapat disebabkan terutama oleh adanya kelainan pada sumbu adrenal, tiroid dan hormon pertumbuhan. Selain itu kelainan lain yang telah digambarkan pada pasien dengan gangguan mood adalah penurunan sekresi nocturnal melantonin, penurunan pelepasan prolaktin terhadap pemberian tryptophan, penurunan kadar dasar FSH (Follicle Stimullating Hormon) dan LH (Luteinizing Hormon), dan penurunan kadar testosteron pada laki-laki (Trisdale, 2003).  

Gambar 2.1.4.1. Mekanisme terjadinya depresi dengan etiologi neurotransmitter

Ada dua hipotesis terjadinya depresi secara biokimia, yaitu:
a. Hipotesis Katekolamin
Beberapa penyakit depresi berhubungan dengan defisiensi katekolamin pada reseptor otak. Reserpin yang menekan amina otak diketahui kadang-kadang menimbulkan depresi lambat (Ingram dkk, 1993).
Disamping itu, MHPG (Metabolit primer noradrenalin otak) menurun dalam urin pasien depresi sewaktu mereka mengalami episode depresi dan meningkat di saat mereka gembira (Ingram dkk, 1993).

b. Hipotesis Indolamin
Hipotesis indolamin membuat pernyataan serupa untuk 5-hidroxitriptamin (5 HT). metabolit utamnya asam 5-hidroksi indolasetat (5HIAA) menurun dalam LCS pasien depresi, dan 5 HIAA rendah pada otak pasien yang bunuh diri. L-Triptofan, yang mempunyai efek antidepresi meningkatkan 5HT otak (Ingram dkk, 1993).

3. Faktor Hormon
Kelainan depresi mayor dihubungkan dengan hipersekresi kortisol dan kegagalan menekan sekresi kortisol sesudah pemberian dexametason. Pasien depresi resisten terhadap penekanan dexametason dan hasil abnormal ini didapatkan pada sekitar 50% pasien, terutama pada pasien dengan depresi bipolar, waham dan ada riwayat penyakit ini dalam keluarga (Ingram dkk, 1993).
Wanita dua kali lebih sering dihubungkan dengan pruerperium atau menopause. Bunuh diri dan saat masuk rumah sakit biasanya sebelum menstruasi. Selama penyakit afektif berlangsung sering timbul amenore. Hal ini menggambarkan bahwa gangguan endokrin mungkin merupakan faktor penting dalam menentukan etiologi (Ingram dkk, 1993).

4. Faktor Kepribadian Premorbid
Personalitas siklotimik menjadi sasaran gangguan afek ringan selama hidupnya, keadaan ini tidak berhubungan dengan penyebab eksterna. Kepribadian depresi ditunjukkan dengan perilaku murung, pesimis dan kurang bersemangat. Personalitas hipomania berperilaku lebih riang, energetik dan lebih ramah dari rata-rata (Ismail dkk, 2010).
Mereka dengan rasa percaya diri rendah, senantiasa melihat dirinya dan dunia luar dengan penilaian pesimistik. Jika mereka mengalami stres besar, mereka cenderung akan mengalami depresi. Para psikolog menyatakan bahwa mereka yang mengalami gangguan depresif mempunyai riwayat pembelajaran depresi dalam pertumbuhan perkembangan dirinya. Mereka belajar seperti model yang mereka tiru dalam keluarga, ketika menghadapi masalah psikologik maka respon mereka meniru perasaan, pikiran dan perilaku gangguan depresif. Orang belajar dengan proses adaptif dan maladaptif ketika menghadapi stres kehidupan dalam kehidupannya di keluarga, sekolah, sosial dan lingkungan kerjanya. Faktor lingkungan mempengaruhi perkembangan psikologik dan usaha seseorang mengatasi masalah. Faktor pembelajaran sosial juga menerangkan kepada kita mengapa masalah psikologik kejadiannya lebih sering muncul pada anggota keluarga dari generasi ke generasi. Jika anak dibesarkan dalam suasana pesimistik, dimana dorongan untuk keberhasilan jarang atau tidak biasa, maka anak itu akan tumbuh dan berkembang dengan kerentanan tinggi terhadap gangguan depresif (Ismail dkk, 2010).

5. Faktor Lingkungan
Enam bulan sebelum depresi, pasien depresi mengalami lebih banyak peristiwa dalam hidupnya. Mereka merasa kejadian ini tidak memuaskan dan mereka keluar dari lingkungan social. 80% serangan pertama depresi didahului oleh stress, tetapi angka ini akan jatuh menjadi hanya 50% pada serangan berikutnya. Pasien depresi diketahui juga lebih sering pada anak yang kehilangan orang tua di masa kanak-kanak dibandingkan dengan populasi lainnya (Ingram dkk, 1993).
Menurut Freud, kehilangan obyek cinta, seperti orang yang dicintai, pekerjaan tempatnya berdedikasi, hubungan relasi, harta, sakit terminal, sakit kronis dan krisis dalam keluarga merupakan pemicu episode gangguan depresif. Seringkali kombinasi faktor biologik, psikologik dan lingkungan merupakan campuran yang membuat gangguan depresif  muncul (Ismail dkk, 2010).
Satu pengamatan klinis yang telah lama direplikasi adalah bahwa peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood daripada episode selanjutnya (Kaplan, 2010; Slotten, 2004). Satu teori yang diajukan untuk menjelaskan pengamatan tersebut adalah bahwa stress yang menyertai episode pertama menyebabkan perubahan biologi otak yang bertahan lama. Perubahan yang bertahan lama tersebut dapat meyebabkan perubahan keadaan fungsional berbagai neurotransmitter dan sistem pemberi sinyal intraneuronal. Hasil akhir dari perubahan tersebut akan menyebabkan seseorang berada pada resiko yang lebih tinggi untuk menderita episode gangguan mood selanjutnya, bahkan tanpa adanya stresor external (Kaplan, 2010).

2.1.4 Perjalanan penyakit
Menurut Kaplan dan Ismail, sebelum episode pertama teridentifikasi, sekitar 50% gangguan depresi berat memperlihatkan gejala depresi yang bermakna. Gejala depresi yang teridentifikasi dini dan dapat teratasi lebih awal dapat mencegah berkembangnya gejala tersebut menjadi episode depresi penuh. Pada pasien dengan gangguan depresi berat, meskipun gejala mungkin telah ada, umumnya belum menunjukkan  suatu premorbid gangguan kepribadian. Sekitar 50% pasien dengan episode depresi pertama terjadi sebelum usia 40 tahun biasanya dihubungkan dengan tidak adanya riwayat gangguan mood dalam keluarga, gangguan kepribadian antisocial dan penyalahgunaan alkohol.
Episode depresi yang tidak ditangani akan berlangsung 6 – 13 bulan. Kebanyakan penanganan episode depresi sekitar 3 bulan. Namun karena merujuk kepada prosedur baku penatalaksaan gangguan depresi maka penatalaksanaan setidaknya dilakukan  selama 6 bulan agar tidak mudah kambuh (Kaplan, 2010).

2.1.5 Gejala
Episode depresi. Mood terdepresi, kehilangan minat dan berkurangnya energy adalah gejala utama dari depresi. Pasien mungkin mengatakan perasaannya sedih, tidak mempunyai harapan, dicampakkan, atau tidak berharga. Emosi pada mood depresi kualitasnya berbeda dengan emosi duka cita atau kesedihan yang normal (Ingram dkk, 1993).
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi dan minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir mati atau bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat aktivitas, kemampuan kognitif, bicara dan fungsi vegetative (termasuk tidur, aktivitas seksual dan ritme biologik yang lain). Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan (Ismail dkk, 2010).
Adapun gambaran klinik dari pasien depresi ini antara lain (Ingram dkk, 1993):
1. Adanya gejala psikologis berupa penurunan vitalitas umum, yang mungkin dinyatakan pasien sebagai suatu kehilangan dan sedih. Biasanya dia menarik diri dari kehidupan sosialnya. Segala sesuatu kelihatannya tanpa harapan, selalu murung, ansietas mungkin ada atau pasien mungkin mencoba untuk menyembunyikan keluhannya (depresi senyum).
2. Variasi diurnal, dimana semua gejala cenderung memburuk pada dini hari dan membaik di siang hari.
3. Bunuh diri, dapat menjadi tanda awal penyakit. Kemungkinan bunuh diri sulit diduga sebelumnya, tetapi selalu harus diperhitungkan. Pikiran bunuh diri seharusnya selalu ditanyakan dan jika ada harus dianggap serius. Penderita depresi jarang membunuh keluarganya, tetapi kalau terjadi biasanya karena dia merasa harus menyelamatkan keluarganya dari kehidupan yang sengsara.
4. Retardasi atau perlambatan berpikir biasa ditemukan dan dicerminkan dalam pembicaraan serta pergerakannya. Ada kemiskinan pikiran dan kesulitan berkonsentrasi. Pada  kasus lain agitasi mungkin menjadi gejala dominan, disertai dengan adanya kegelisahan motorik yang nyata.
5. Perasaan bersalah sering ditemukan disertai mengomeli diri sendiri dan turunnya penilaian diri. Dalam kasus berat, bisa timbul waham dimana penyakit yang dideritanya merupakan suatu hukuman untuk dosanya di masa lampau, baik itu dosa yang dikhayalkannya maupun kesalahan yang memang benar-benar pernah ia lakukan. Pasien juga bisa merasa bahwa dia dipandang rendah dan dituduh bejad oleh orang lain. Kemungkinan ada keasyikan sendiri, hipokondriasis dan waham hipokondria. Mungkin juga ada waham kemiskinan atau waham nihilistik.
6. Halusinasi jarang ditemukan, tetapi dapat timbul pada kasus berat.
7. Depersonalisasi dan derealisasi tidak jarang terjadi. Pasien menyatakan bahwa dia kehilangan perasaan dan mempunyai sensasi asing. Dia merasa tidak nyata dan baginya benda-benda terlihat tidak nyata.
8. Pikiran dan tindakan berisi perasaan bersalah atau menyalahkan diri sendiri mungkin ditemukan.
9. Insomnia sering ditemukan. Gejala khasnya pasien mula-mula bangun dini hari, kemudian semakin lama semakin pagi dan bahkan akhirnya dapat menjadi insomnia total.
10. Anoreksia, konstipasi, gangguan pencernaan, penurunan berat badan, amenore dan kehilangan libido biasa ditemukan. Mungkin terjadi kelelahan dan letargi, atau tanda autonom ansietas.

Menurut Kaplan dan Ismail, pikiran untuk melakukan bunuh diri dapat timbul pada sekitar dua pertiga pasien depresi, dan 10-15% melakukan bunuh diri. Mereka yang dirawat dirumah sakit dengan percobaan bunuh diri dan ide bunuh diri mempunyai umur hidup lebih panjang disbanding yang tidak dirawat. Beberapa pasien depresi terkadang tidak menyadari ia mengalami depresi dan tidak mengeluh tentang gangguan mood meskipun mereka menarik diri dari keluarga, teman dan aktifitas yang sebelumnya menarik bagi dirinya. Hampir semua pasien depresi (97%) mengeluh tentang penurunan energi dimana mereka mengalami kesulitan menyelesikan tugas, mengalami kendala disekolah dan pekerjaan, dan menurunnya motivasi untuk terlibat dalam kegiatan baru. Sekitar 80% pasien mengeluh masalah tidur, khusunya terjaga dini hari (terminal insomnia) dan sering terbangun dimalam hari karena memikirkan masalh yang dihadapi. Kebanyakan pasien menunjukkan peningkatan atau penurunan nafsu makan, demikian pula dengan bertambah dan menurunnya berat badan serta mengalami tidur lebih lama dari yang biasa.







2.1.7 Diagnosis
Tabel 1. Kriteria diagnostik gangguan depresi berat menurut DSM-IV-TR
A. Pasien mengalami gangguan mood terdepresi (contoh: sedih atau perasaan kosong) atau kehilangan minat atau kesenangan sepanjang waktu selama 2 minggu atau lebih ditambah 4 atau lebih gejala-gejala berikut ini:
- Tidur: insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari
- Minat: menurunnya minat atau kesenangan hampir pada semua kegiatan hampir sepanjang waktu
- Rasa bersalah: perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak sesuai atau rasa tidak berharga hampir sepanjang waktu
- Energi: kehilangan energi atau letih hampir sepanjang waktu
- Konsentrasi: menurunnya kemampuan untuk berpikir/ konsentrasi; sulit membuat keputusan hampir sepanjang waktu
- Selera makan: menurun atau meningkat
- Psikomotor: agitasi atau retardasi
- Bunuh diri: pikiran berulang tentang mati/ ingin bunuh diri.
B. Gejalanya tidak memenuhi untuk kriteria episode campuran (episode  
    depresi berat dan episode manik).
C. Gejalanya menimbulkan penderitaan bermakna secara klinik atau  
    hendaya sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya.
D. Gejalanya bukanlah merupakan efek fisiologi langsung dari zat
   (contoh: penyalahgunaan obat atau medikasi) atau kondisi medik    
   umum (hipotiroidisme).
E. Gejalanya tidaklah lebih baik dibandingkan dengan berkabung, misalnya
   setelah kehilangan seseorang yang dicintai, gejala menetap lebih dari
   dua bulan atau ditandai hendaya fungsi yang jelas, preokupasi rasa
   ketidakbahagian yang abnormal, ide bunuh diri, gejala psikotik atau
   retardasi mental.

Konsep gangguan jiwa yang terdapat dalam PPDGJ III ini merujuk kepada DSM-IV dan konsep disability berasal dari The ICD-10 Classification of Mental and Behavioral Disorders. Menurut PPDGJ (2003), gangguan afektif berupa depresi dapat terbagi menjadi episode depresif dan episode depresif berulang, dimana episode depresif sendiri terbagi menjadi episode depresif ringan, sedang, dan berat. Sedangkan untuk episode berulang terbagi menjadi episode berulang episode kini ringan, episode kini sedang, episode kini berat tanpa gejala psikotik, episode kini berat dengan gejala psikotik dan episode kini dalam remisi.

2.1.8 Prognosis
Gangguan mood cenderung memiliki perjalanan penyakit yang panjang dan pasien cenderung mengalami kekambuhan. Episode depresif yang tidak diobati berlangsung 6 sampai 13 bulan, sementara sebagian besar episode yang diobati berlangsung kira-kira 3 bulan. Menghentikan antidepresan sebelum 3 bulan hampir selalu menyebabkan kembalinya gejala (Kaplan, 2010).
Pasien yang dirawat di rumah sakit untuk episode pertama gangguan depresif berat memiliki kemungkinan 50% untuk pulih dalam tahun pertama. Banyak penelitian telah berusaha untuk mengidentifikasi indikator prognostik yang baik dan buruk di dalam perjalanan gangguan depresif berat. Episode ringan, tidak adanya gejala psikotik, fungsi keluarga yang stabil, tidak adanya gangguan kepribadian, tinggal dalam waktu singkat di rumah sakit dalam waktu yang singkat, dan tidak lebih dari satu kali perawatan di rumah sakit adalah indikator prognostik yang baik.  Prognosis buruk dapat meningkat oleh adanya penyerta gangguan distimik, penyalahgunaan alkohol dan zat lain, gejala gangguan kecemasan, dan riwayat lebih dari satu episode sebelumnya.  (Kaplan, 2010).

2.2 Kecerdasan Intelektual (IQ)
Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu. Sedangkan IQ atau singkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan.
Intelligence Quotient atau yang biasa disebut dengan IQ merupakan istilah dari pengelompokan kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh Alferd Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian Lewis Ternman dari Universitas Stanford berusaha membakukan test IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mengembangkan norma populasi, sehingga selanjutnya test IQ tersebut dikenal sebagai test Stanford-Binet. Pada masanya kecerdasan intelektual (IQ) merupakan kecerdasan tunggal dari setiap individu yang pada dasarnya hanya bertautan dengan aspek kognitif dari setiap masing-masing individu tersebut. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Weschler (1958) mendefinisikan kecerdasan sebagai kumpulan atau totalitas kemampuan seseorang untuk belajar (ability to learn), bertindak dengan tujuan tertentu, berpikir secara rasional, serta menghadapi lingkungannya dengan efektif. Stenberg & Slater (1982) mendefinisikan kecerdasan sebagai tindakan atau pemikiran yang bertujuan dan adaptif.
Menurut Thurstone (1924/1973) spesifikasi kecerdasan terdiri dari pemahaman dan kemampuan verbal, angka dan hitungan, kemampuan visual, daya ingat, penalaran, kecepatan perseptual.
Semakin tinggi tingkat kecerdasan seseorang, makin memungkinkannya melakukan suatu tugas yang banyak menuntut rasio dan akal dan melaksanakan tugas-tugas yang sifatnya kompleks (Gordon, 2003).
Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern (1912), yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak.
Skala Wechsler yang umum dipergunakan untuk mendapatkan taraf kecerdasan membagi kecerdasan menjadi dua kelompok besar yaitu kemampuan kecerdasan verbal (VIQ) dan kemampuan kecerdasan tampilan (PIQ). Pengukuran nilai kecerdasan pada penelitian ini menggunakan nilai WISC (Wechsler Intelligance Scale for Children) yang dibuat oleh David Wechsler (1974), karena ini pengukuran tingkat kecerdasan yang terbaik dibandingkan dengan pengukuran tingkat kecerdasan yang lain (skala Stanford-Binet).
Pengukuran nilai kecerdasan pada penelitian ini menggunakan nilai WISC (Wechsler Intelligance Scale for Children) yang dibuat oleh David Wechsler (1974), yang terbagi atas 12 macam test dan dikelompokkan dalam 2 kategori yaitu: verbal dan performa sebagaimana tabel dibawah ini :
Skala verbal Skala Performance
1. Informasi
2. Pemahaman
3. Hitungan
4. Persamaan
5. Perbendaharaan kata
6. Rentangan angka 1. Melengkapi gambar
2. Menyusun gambar
3. Rancangan Balok
4. Perakitan objek
5. Simbol
6. Mazes

Pemberian skor pada WISC didasarkan atas kebenaran jawaban dan waktu yang diperlukan oleh subjek dalam memberikan jawaban yang benar tersebut. Skor tesebut kemudian diterjemahkan dalam angka standard melalui norma sehingga akhirnya diperoleh angka IQ untuk skala verbal, dan satu angka IQ untuk skala performans dan satu angka IQ untuk keseluruhan, skala Test Intelligensi Wecshler adalah test individual, yang diberikan secara lisan dan dijawab secara lisan pula. Serta dasar pengukurannya adalah deviation IQ dengan nilai rata-rata 100 dan besar penyimpangan = 15 (Carl, 1982).
Berikut ini pada Tabel 2 diberikan klasifikasi intelegensia berdasarkan skala Wechsler.


Intelegensi secara umum dapat juga diartikan sebagai suatu tingkat kemampuan dan kecepatan otak mengolah suatu bentuk tugas atau keterampilan tertentu. Kemampuan dan kecepatan kerja otak ini disebut juga dengan efektifitas kerja otak. Potensi intelegensi atau kecerdasan ada beberapa macam yang dapat didentifikasikan menjadi beberapa kelompok besar yaitu;

1. Intelegensi Verbal-Linguistik
Merupakan kecerdasan yang berhubungan dengan bahasa dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan membaca dan menulis.
2. Intelegensi Logical-Matematik
Merupakan kecerdasan dalam hal berfikir ilmiah, berhubungan dengan angka-angka dan simbol, serta kemampuan menghubungkan potongan informasi yang terpisah.
3. Intelegensi Visual Spasial
Merupakan kecerdasan yang berhubungan dengan seni visual seperti melukis, menggambar dan memahat. Selain itu juga kemampuan navigasi, peta, arsitek dan kemampuan membayangkan objek-objek dari sudut pandang yang berbeda.
4. Intelegensi Kinestetik Tubuh
Merupakan kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan menggunakan tubuh untuk mengekspresikan perasaan atau disebut juga dengan bahasa tubuh (body language). Kecerdasan ini berhubungan dengan berbagai keterampilan seperti menari, olah raga serta keterampilan mengendarai kendaraan.
5. Intelegensi Ritme Musikal
Merupakan kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan mengenali pola irama, nada dan peta terhadap bunyi-bunyian.
6. Intelegensi Intra-Personal
Kecerdasan yang berfokus pada pengetahuan diri, berhubungan dengan refleksi, kesadaran dan kontrol emosi, intuisi dan kesadaran rohani. Orang yang mempunyai kecerdasan intra-personal tinggi biaasanya adalah para pemikir (filsuf), psikiater, penganut ilmu kebatinan dan penasehat rohani.
7. Intelegensi Interpersonal
Kecerdasan yang berhubungan dengan keterampilan dan kemampuan individu untuk bekerjasama, kemampuan berkomunikasi baik secara verbal maupun non-verbal. Seseorang dengan tingkat kecerdasan Intrapersonal yang tinggi biasanya mampu membaca suasana hati, perangai, motivasi dan tujuan yang ada pada orang lain. Pribadi dengan Potensi Intelegensi Interpersonal yang tinggi biasanya mempunyai rasa empati yang tinggi.
8. Intelegensi Emosional
Kecerdasan yang meliputi kekuatan emosional dan kecakapan sosial. Sekelompok kemampuan mental yang membantu seseorang mengenali dan memahami perasaan orang lain yang menuntun kepada kemampuan untuk mengatur perasaan-perasaan diri sendiri.

Sedangkan Prof. Horward Gardner menyatakan bahwa terdapat delapan kecerdasan yang berbeda untuk menjelaskan potensi manusia yang lebih luas pada anak-anak dan orang dewasa. Kecerdasan-kecerdasan ini adalah :
1. Kecerdasan linguistik
Kecerdasan linguistik adalah kemampuan untuk menggunakan kata-kata secara efektif, baik secara lisan maupun tulisan.Kecerdasan ini mencakup kepekaan terhadap artikata,urutan kata,suara,ritme dan intonasi dari kata yang di ucapkan. Termasuk kemampuan untuk mengerti kekuatan kata dalam mengubah kondisi pikirandan menyampaikan informasi

2. Kecerdasan logic metematik
Kecerdasan logic matematik ialah kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah.Ia mampu memikirkan dan menyusun solusi dengan urutan yang logis. Ia suka angka, urutan, logika, dan keteraturan. Ia mengerti pola hubungan, ia mampu melakukan proses berfikir induktif dan deduktif. Proses berfikir deduktif adalah cara berfikir dari hal-hal yang besar kehal-hal yang kecil dan induktif sebaliknya.

3. Kecerdasan visual dan spacial
Kecerdasan visual dan special adalah kemampuan untuk melihat dan mengamati dunia visual dan spasial secara kuat.Visual artinya gambar sedangkan spasial yaitu hal-hal yang berkanaan dengan ruang atau tempat.Kecerdasan ini melibatkan kesadaran akan warna, garis, bentuk, ukuran, dan juga hubungan antara elemen-elemen tersebut. Kecerdasan ini juga melibatkan kemampuan untuk melihat objek dari berbagai sudut pandang.
4. Kecerdasan musik
Kecerdasan musik adalah kemampuan untuk menikmati, mengamati, membedakan, mengarang, membentuk, dan mengekspresikan bentuk-bentuk music.Kecerdasan ini meliputi kepekaan terhadap ritme ,melodi, dan timbre dari music didengar. Musik mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan kemampuan matematika dan ilmu sains dalam diri seseorang.

5. Kecerdasan interpersonal
Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan untuk mengamati dan mengerti maksud, motivasi, dan perasaan orang lain. Peka terhadap ekspresi wajah,suara dan gerakan tubuh orang lain dan ia mampu memberikan respon secara efektif dalam berkomunikasi. Kecerdasan ini juga mampu untuk masuk ke dalam diri orang lain, mengerti dunia orang lain, mengerti pandangan, sikap orang lain dan umumnya dapat memimpin kelompok.

6. Kecerdasan intrapersonal
Kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan yang berhubungan dengan kesadaran dan pengetahuan tentang diri sendiri.Dapat memahami kekutan dan kelemahan diri sendiri.Mampu memotivasi dirinya sendiri dan melakukan disiplin diri.Orang yang memiliki kecerdasan ini sangat menghargai nilai etika dan moral.

7. Kecerdasan kinestetik
Kecerdasan kinestetik adalah kemampuan dalam mengunakan tubuh kita secara terampil untuk mengungkapkan ide, pemikiran dan perasaan.Kecerdasan ini juga meliputi keterampilan fisik dalam bidang koordinasi, keseimbangan, daya tahan, kekuatan, kelentukan dan kecepatan.

8. Kecerdasan naturalis
Kecerdasan naturalis adalah kemampuan untuk mengenali, membedakan, mengungkapkan dan membuat kategori terhadap apa yang di jumpai di alam maupun di lingkungan. Intinya adalah kemampuan manusia untuk mengenali tanaman, hewan, dan bagian lain dari alam semesta.

2.3 Hubungan Antara Nilai IQ dengan Kejadian Depresi
Menurut Hung et al nilai IQ pada anak usia 7 tahun memiliki peranan penting dalam kejadian depresi pada usia dewasa. Anak-anak atau dewasa muda dengan kemampuan kognitif yang rendah, dilihat dari nilai IQ, lebih sering mengalami gangguan psikiatri saat dewasa. Kognitif berperan dalam etiologi dan prognosis pada seseorang dengan depresi. Semakin tinggi tingkat kognitif seseorang maka akan semakin mempengaruhi angka kesembuhan dan mencegah kekambuhan pada seseorang yang mengalami gangguan psikiatri. Pada penelitiannya performance IQ dan verbal IQ dikombinasikan untuk menilai kempuan kognitif dan hasil ini memiliki hubungan yang kuat dengan kejadian kronisitas depresi dan kejadian bunuh diri. Orang dengan performance IQ yang rendah sangat berhubungan dengan kejadian depresi pada masa lampau, durasi episode terpanjang, kejadian masuk rumah sakit karena depresi, ide bunuh diri, serta percobaan bunuh diri.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Harvard School of Public Health (HSPH) yang menyebutkan bahwa anak-anak dengan IQ yang rendah memiliki peningkatan resiko untuk terjadinya gangguan psikitri. Selain itu, orang dengan IQ yang rendah memiliki resiko untuk terjadinya gangguan psikiatri yang lebih berat disertai dengan peningkatan resiko untuk memiliki diagnosis pada gangguan psikiatri lebih dari satu diagnosis.
Koenen et al dalam penelitiannya menyebutkan IQ yang rendah pada anak-anak diprediksi akan meningkatkan resiko terjadinya skizofrenia, depresi dan ansietas pada usia dewasa. Tetapi IQ yang rendah tidak berhubungan dengan angka kejadian fobia, gangguan panik, dan gangguan obsesif kompulsif. Koenen et al menyimpulkan hasil penelitiannya sebagai berikut :
1. IQ anak-anak yang lebih rendah dapat menjadi penanda defisit neuroanatomical yang meningkatkan kerentanan terhadap gangguan mental tertentu. Dari hasil pecitraan (imaging) menunjukkan bahwa struktur dan fungsi otak berhubungan dengan kondisi kejiwaan. Sebagai contoh, IQ berkorelasi positif dengan volume cerebellum,  dan pada anak laki-laki, IQ verbal telah terbukti berkorelasi dengan volume hipokampus.
2. IQ anak-anak yang lebih rendah diperkirakan dapat meningkatkan komorbiditas. Pasien dengan kemampuan kognitif yang lebih rendah dapat memiliki kesulitan untuk mengakses layanan kesehatan ataupun kesulitan untuk memahami dan mematuhi protokol pengobatan.
3. Anak-anak dengan IQ yang lebih rendah mungkin terkait dengan gangguan kejiwaan pada usia dewasa melalui stres psikososial. Individu dengan IQ pada masa anak-anak yang lebih rendah tidak memiliki kesiapan untuk mengatasi peristiwa atau kejadian pada kehidupan yang penuh dengan stres, membuat mereka lebih berpotensi untuk terjadinya gangguan jiwa. Peristiwa kehidupan yang penuh stres memiliki peranan penting dalam etiologi depresi berat, gangguan kecemasan, PTSD, dan fobia sosial.
Sejalan denga Koenen, Kaplan menyebutkan bahwa Studi MRI menunjukkan bahwa pasien gangguan depresif berat memiliki nucleus kaudaus dan lobus frontalis yang lebih kecil dibandingkan dengan subjek kontrol, dan pasien depresi memiliki waktu relaksasi T1 hipokampus yang abnormal dibandingkan dengan subjek kontrol
Banyak laporan di dalam literatur memperlihatkan aliran darah otak di dalam gangguan mood,yang basanya diukur menggunakan Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT) atau Positron Emission Tomography (PET). Mayoritas studi menunjukkan berkurangnya aliran darah umumnya terjadi pada korteks serebri dan khususnya area korteks frontal. Sebaliknya, para peneliti pada studi menemukan adaya peningkatan aliran darah otak pada pasien gangguan depresi berat. Mereka menemukan peningkatan yang bergantung keadaan di korteks, ganglia basalis, serta thalamus medial, dengan kesan peningkatan bergantung ciri bawaan di amigdala. Diperlukan studi lebih lanjut mengenai hal ini (Kaplan, 2010).
Menurut teori kognitif, depresi terjadi akibat distorsi spesifik yang terdapat pada seseorang yang rentan terhadap depresi. Distorsi tersebut, yang disebut sebagai depressogenic schemata, merupakan cetakan kognitif yang menerima data internal maupun eksternal dengan cara yang diubah oleh pengalaman sebelumnya. Beck memberikan postulat trias kognitif depresi, terdiri atas :
1. Pandangan mengenai diri, aturan diri yang negatif
2. Mengenai lingkungan, kecenderungan mengalami dunia sebagai sesuatu yang memusuhi dan menuntut
3. Mengenai masa depan, harapan mengenai penderitaan dan kegagalan
Hasil penelitian Hung et al dan Koenen et al pun menyebutkan kronisitas depresi (dilihat dari episode durasi dan apisode berulang atau recurrent), angka kejadian masuk ke Rumah Sakit, ide serta percobaan bunuh diri memiliki resiko untuk meningkatkan perburukan prognosis terutama pada pasien yang masa kanak-kanak nya memiliki IQ rendah.














BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri.
Inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional.
Terdapat hubungan yang erat antara tingkat IQ dengan kejadian depresi. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa kognitif berperan dalam etiologi dan prognosis pada seseorang dengan depresi. Semakin rendah kognitif, dalam hal ini adalah nilai IQ, maka akan meningkatkan resiko terjadinya depresi, angka kekambuhan, kesembuhan, prognosis serta morbiditas.

3.2 Saran
Penulis sangat mengharapkan kritik maupun saran yang membangun untuk kemajuan dalam penulisan referat ini. Diharapkan untuk dapat mengembangkan lagi dan melanjutkan tentang isi referat ini yang lebih baik lagi.








DAFTAR PUSTAKA

Arozal W, Gan S. Psikotropik dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : FKUI,  2007.

I.M Ingram. dkk. 1993. Catatan kuliah Psikiatri. Jakarta: buku kedokteran EGC

Kaplan and Saddock. Synopsis of Psychiatry. 7th ed. Vol 1. Sans Tache. New York, 1993.

Kaplan and Saddock. Comprehensive Textbook Of Psychiatry. 7th Ed. Lippincott Wiliams And Wilkins. Philadelphia, 2010.

Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkasan PPDGJ-III “Gangguan Depresi”. PT Nuh Jaya. Jakarta, 2001.

Maslim, Rusdi. Panduan Praktis pengguaan klinis obat psikotropik edisi ketiga. Jakarta:2002.

Dryden,Gordon dkk.2003.Revolusi cara Belajar.alih bahasa oleh Word++ Translation service. Bandung : Kaifa.

Whiterington, H.Carl. 1982. Psikologi Pendidikan.alih bahasa oleh M. Buchori M.ED. Bandung : Jemmars.

Koenen, Karestan. Moffitt, Terrie. Andrea, Roberts. Laurrie, Martin. Laura, Kubzansky. Childhooh IQ and Adult Mental Disorders : a Test of The Cognitive Reseve Hypothesis. Am J Psychiatry. 2009 January ; 166(1): 50–57. doi:10.1176/appi.ajp.2008.08030343

Hung, Galen Chin-Lun . Pietras , Stefanie A.. Hannah Carliner. Laurie Martin. Larry J. Seidman. Stephen L. Buka and Stephen E. Gilman. Cognitive ability in childhood and the chronicity and suicidality of depression. The British Journal of Psychiatry 1–8. doi: 10.1192/bjp.bp.114.158782

Bella Sagita Pratiwi
Admin

Posts : 5
Reputation : 0
Join date : 20.01.16
Age : 32
Location : Bengkulu

Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik