Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Case Report - PTSD

Go down

Case Report - PTSD Empty Case Report - PTSD

Post by Merdalis Nurlivia Mon Jan 18, 2016 5:47 am

BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. F
Usia : 5 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Anak ke : 1 dari 1 bersaudara
Agama : Isla
Pendidikan : PAUD
Suku : Jawa
Status : Belum Menikah
Pekerjaan : Pelajar
Alama     : JL. xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
       Kota Bengkulu
No RM : xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Tanggal Pemeriksaan : 19/12/2015 pukul 16.00 WIB

B. IDENTITAS ORANG TUA
Nama Ayah : Tn. G
Umur :  28 Tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : TKI
Nama Ibu : Ny. Y
Umur :  25 Tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga

C. RIWAYAT PSIKIATRI
(Alloanamnesis)
1. Keluhan Utama
Pasien menjadi pendiam dan mudah ketakutan sejak ± 1 bulan SMRS

2. Riwayat Gangguan Sekarang
Diperoleh dari Ibu pasien, Ny. Y, berusia 25 tahun, seorang ibu rumah tangga yang tinggal serumah dengan pasien. Ny. Y mengatakan bahwa sejak ± 1 bulan SMRS pasien  menjadi pendiam dan mudah ketakutan. Pasien sebelumnya adalah anak yang periang dan mudah bergaul mengalami perubahan setelah pasien mengalami peristiwa perkosaan yang dilakukan oleh tetangganya sendiri. Peristiwa tersebut diketahui oleh Ny. Y dari cerita pasien sendiri, pasien bercerita kepada ibunya bahwa tetangganya (anak laki-laki umur 12 tahun) memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluan pasien. Sejak kejadian itu, pasien juga menjadi pemurung dan malas pergi ke sekolah (PAUD), sehingga ibu pasien harus menunggui pasien disana agar pasien mau bersekolah. Di sekolah pasien sering mengadu kepada ibunya bahwa teman-teman laki-laki di sekolahnya jahat hanya karena mereka mendekati dan memegang tangan pasien. Pasien masih dapat berinteraksi dan bermain dengan teman-teman perempuan, namun tiba-tiba menceritakan kembali peristiwa perkosaan tersebut kepada ibunya yang menungguinya seolah-olah kejadian itu baru saja terjadi. Pasien tidak pernah lagi bermain ke rumah tetangganya tersebut. Pasien juga menjadi susah makan dan sering terbangun karena mimpi buruk. Saat bangun di pagi hari pasien selalu menceritakan kembali peristiwa perkosaan itu.

3. Riwayat Gangguan Sebelumnya
a. Riwayat Gangguan Psikiatri
Pasien belum pernah ada gangguan psikiatri sebelumnya, pasien belum pernah berobat ke rumah sakit jiwa maupun ke psikiater.
b. Riwayat Gangguan Medik
• Pasien tidak ada riwayat gangguan medis, dan pasien belum pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya.
• Riwayat mengalami kejang demam (-), kejang tanpa demam (-), penyakit malaria (-), thypoid (-), trauma kepala (-)
c. Riwayat Penggunaan Zat Psikoaktif / Alkohol
Riwayat mengkonsumsi alkohol, rokok, dan narkoba tidak ada.
4. Riwayat Kehidupan Pribadi
a. Riwayat pranatal
Periksa kehamilan An.F rutin setiap bulan ke bidan, penyakit selama kehamilan disangkal, tidak ada minum obat-obatan dan jamu.
b. Riwayat perinatal
Pasien lahir cukup bulan, spontan, di rumah, ditolong bidan, berat lahir 3,2 kg, lahir langsung menangis, dan mendapat suntikan vit. K dan imunisasi.
c. Riwayat masa kanak-kanak awal (0-3 tahun)
Pasien tumbuh dan berkembang seperti anak normal, mendapat imunisasi sesuai jadwal posyandu.
d. Riwayat masa kanak pertengahan (3-11 tahun)
Pertumbuhan dan perkembangan pada masa ini normal dan sama seperti anak-anak lainnya. Pasien menempuh pendidikan PAUD, dan selama sekolah pasien mampu belajar dengan baik dan bermain bersama teman-temannya. Pasien merupakan anak yang periang dan mudah bergaul.
e. Riwayat pendidikan
Pasien baru masuk PAUD selama ± 1 tahun.
f. Riwayat pernikahan
Pasien belum menikah
g. Riwayat kehidupan beragama
Pasien beragama Islam dan rajin beribadah
h. Riwayat Psikoseksual
Pasien mengalami perkosaan oleh tetangganya ± 1 minggu yang lalu
i. Riwayat pelanggaran hukum
Pasien tidak pernah melakukan pelanggaran hukum dan terlibat dalam masalah hukum.
j. Aktivitas sosial
Pasien saat ini masih berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Hanya saja pasien sekarang jadi lebih pendiam dan lebih suka berada di dalam rumah.

5. Riwayat Keluarga
Di keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa dengan pasien. Pasien merupakan anak tunggal. Hubungan pasien dengan keluarga inti seperti ibu, ayah dan keluarga besarnya baik.

Genogram








Keterangan :

 Pasien

 Laki- laki

 Perempuan

 Menikah

 Tinggal dirumah
                                               
6. Situasi Kehidupan Sekarang
Pasien sekarang tinggal dirumah bersama ibunya. Keseharian pasien lebih banyak di rumah. Pasien belajar di PAUD sejak ± 1 tahun terakhir. Pasien lebih suka di rumah dan malas pergi ke PAUD sejak kejadian perkosaan itu. Lingkungan tempat tinggal terkesan cukup baik. Pasien tinggal di daerah yang cukup padat penduduk dan berdekatan dengan tetangga. Hubungan pasien dengan keluarga dan tetangga dikenal cukup baik, namun paien tidak pernah lagi berinteraksi dengan tetangga yang mempekosanya dan keluarganya.
Dalam biaya pengobatan pasien dengan biaya umum. Keluarga  pasien cukup terbuka dan mendukung kesembuhan pasien dengan bekerjasama dengan dokter/psikolog dalam terapi hingga kontrol untuk menilai perkembangan pasien.

7. Persepsi Pasien Terhadap Dirinya dan Lingkungannya
Pasien tidak menyadari saat ini sedang mengalami masalah. Pasien menyadari bahwa kejadian perkosaan itu membuat ibunya bersedih dan ikut sedih karenanya.

D. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL
Pemeriksaan dilakukan di rumah pasien pada tanggal 19 Desember 2015, hasil pemeriksaan ini menggambarkan situasi keadaan pasien saat home visit.
1. Deskripsi Umum
a. Penampilan
Perempuan berusia 5 tahun, paras sesuai umur dengan postur tubuh yang atletikus, kesan gizi pasien cukup. Pasien memakai baju kaos lengan panjang berwarna merah dengan jilbab berwarna merah, celana kaos panjang warna merah. Kuku pasien pendek, tidak menggunakan kutex, sesuai umurnya. Pasien tampak ceria dan tenang saat didatangi Home visite.
b. Kesadaran
Kompos mentis, secara kualitas tidak berubah
c. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor
Keadaan pasien tenang. Pasien tidak memperlihatkan gerak-gerik yang tidak bertujuan, gerak berulang, maupun gerakan abnormal/involunter.
d. Pembicaraan
• Kuantitas : Pasien dapat menjawab pertanyaan dan dapat mengungkapkan isi hatinya dengan jelas.
• Kualitas : pasien dapat menjawab pertanyaan jika ditanya dan menjawab pertanyaan dengan spontan, Pasien sering bercerita dengan spontan mengenai keadaan dirinya saat ini sesuai usianya. Intonasi berbicara pasien cukup jelas. Pembicaraan dapat dimengerti.
e. Tidak ada hendaya berbahasa.
f. Sikap terhadap pemeriksa
Pasien kooperatif, kontak mata adekuat. Pasien selalu menjawab pertanyaan dengan melihat kearah pemeriksa. Pasien dapat menjawab pertanyaan dengan cukup baik.

2. Keadaan Afektif
a. Mood : Eutimia
b. Afek : Luas
c. Keserasian : Serasi

3. Gangguan Persepsi
Tidak ada

4. Proses Pikir
a. Bentuk pikir : Realistik
b. Arus pikir
• Produktivitas : pasien dapat menjawab spontan saat diajukan pertanyaan,
• Kontinuitas : Koheren, mampu memberikan jawaban sesuai pertanyaan
• Hendaya berbahasa : Tidak terdapat hendaya berbahasa
c. Isi pikiran : preokupasi ( isi pikiran pasien terfokus pada masalah pada pasien)

5. Fungsi Intelektual / Kognitif
a. Taraf pendidikan, pengetahuan umum dan kecerdasan
• Taraf pendidikan
Pasien masih mungikuti PAUD
• Pengetahuan Umum
Baik, pasien dapat menjawab dengan tepat siapa presiden Indonesia dan Ibukota negara Republik Indonesia.
b. Daya konsentrasi dan perhatian
Konsentrasi pasien baik, pasien dapat mengurangkan angka 10 dikurang 1, dan menambahkan 1 dengan 2
Perhatian pasien Baik, pasien bisa mengeja kata AYAH dan bisa menyebutkan benda-benda yang berawalan huruf A.
c. Orientasi
• Waktu : Baik, pasien mengetahui saat wawancara saat sore
hari
• Tempat : Baik, pasien mengetahui dia sedang berada
dirumahnya
• Orang : Baik, pasien mengetahui nama ibunya, dan
mengetahui sedang diwawancara oleh siapa.
d. Daya Ingat
• Daya ingat jangka menengah
Baik, pasien dapat mengingat kapan terakhir kali bertemu dengan ayahnya (± 1 tahun yang lalu)
• Daya ingat jangka pendek
Baik, pasien dapat mengingat makan apa tadi pagi
• Daya ingat segera
Baik, pasien dapat mengingat nama pemeriksa  dan dapat mengulang tiga kata yang disebutkan oleh pemeriksa
• Akibat hendaya daya ingat pasien
Tidak terdapat hendaya daya ingat pada pasien saat ini.
e. Kemampuan baca tulis: baik
f. Kemampuan visuospatial: baik
g. Berpikir abstrak: baik, pasien dapat menjelaskan persamaan apel dan pir
h. Kemampuan menolong diri sendiri : baik, pasien dapat melakukan perawatan diri sehari- hari secara mandiri seperti mandi, makan dan minum.

6. Pengendalian Impuls
Pengendalian impuls pasien baik, selama wawancara pasien dapat mengendalikan emosi dengan baik dan tampak selama pemeriksaan dilakukan pasien tenang.

7. Tilikan
Tilikan derajat 1, pasien tidak menyadari bahwa dirinya sedang mengalami masalah.

8. Taraf Dapat Dipercaya
Kemampuan pasien untuk dapat dipercaya cukup akurat, pasien berkata dengan jujur mengenai peristiwa yang terjadi, dan di cross check juga dengan keterangan dari ibu pasien yang menceritakan kejadian yang serupa.

E. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
a. KU : Tampak Sehat
b. Sensorium : CM   (GCS: E4 V5 M6)
a. Vital Sign
• Nadi : 92 x/menit
• RR : 26 x/menit
• Suhu : 36,8 oC






2. Status Internus
Kepala Normocephali, rambut tidak mudah dicabut, pertumbuhan rambut merata, dan warna rambut hitam
Mata Sklera ikterik -/-, conjungtiva palpbera anemis -/-, edema palpebra -/-
Hidung deformitas (-), tidak ada sekret.
Telinga deformitas (-), liang lapang, pengeluaran sekret (-).
Mulut bibir tidak sianosis, lidah kotor (-), papil lidah tersebar merata, mukosa lidah merah
Leher Dalam batas normal
Thorax Tidak terdapat scar, simetris kiri dan kanan
Paru I Pernapasan Statis-Dinamis kiri = kanan.
P Tidak dilakukan
P Dalam batas normal
A Dalam batas normal
Jantung I iktus kordis tidak  terlihat
P Tidak dilakukan
P Tidak dilakukan
A Bunyi jantung normal
Abdomen I Datar, tampak benjolan (-)
A Bising usus (+)
P Timpani (+) di seluruh regio abdomen
P Nyeri tekan di reg. epigastrium
Ektremitas Pitting edema (-/-) pada ekstrimitas, akral teraba hangat.

3. Status Neurologis
a. Saraf kranial : dalam batas normal
b. Saraf motorik : dalam batas normal
c. Sensibilitas : dalam batas normal
d. Susunan saraf vegetatif : dalam batas normal
e. Fungsi luhur : dalam batas normal

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSIS LANJUT
Belum diperlukan pemeriksaan penunjang pada pasien saat ini

G. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA
1. Wanita berusia 5 tahun, belum menikah.
2. Penampilan bersih dan rapi, perawatan diri baik
3. Pasien mempunyai keluhan perubahan perilaku, menjadi pendiam dan mudah ketakutan, sejak kejadian perkosaan yang dilakukan oleh tetangganya.
4. Pasien jadi cenderung malas mengikuti PAUD karena pasien menganggap temen-teman laki-laki yang ada disana jahat.
5. Pasien mengalami penurunan nafsu makan, gangguan tidur dan selalu teringat akan kejadian perkosaan tersebut seolah-olah baru saja terjadi.
6. Pasien menyadari ibunya merasa sedih atas kejadian yang menimpanya dan merasa sedih karenanya.
7. Pasien kooperatif, kontak mata adekuat, pembicaraan pasien koheren. Mood pasien eutimia  dengan afek luas.
8. Terdapat bentuk pikir realistik, arus pikir koheren, & isi pikir : preokupasi (isi pikiran pasien terfokus pada masalah kejadian perkosaan).

H. FORMULASI DIAGNOSIS
Pada PTSD, pasien harus mengalami suatu stress emosional yang besar yang bersifat traumatik bagi setiap orang. Peristiwa trauma tersebut termasuk trauma peperangan, bencana alam, penyerangan, pemerkosaan, dan kecelakaan yang serius. PTSD terdiri dari pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang membangunkan (wakin through), penghindaran yang persisten oleh penderita terhadap trauma dan penumpulan responsivitas pada penderita tersebut, kesadaran berlebihan (hyperarousal) yang persisten. Pada pasien ini mengalami trauma berupa perkosaan yang dilakukan oleh tetangganya dan memiliki gejala-gejala PTSD.
Gangguan stress akut dengan PTSD pada dasarnya sama, baik dari segi gejala-gejala, etiologi yang berupa stressor. Menurut DSM-IV perbedaan antara gangguan stress akut dengan PTSD adalah lamanya gejala berlangsung yaitu pada gangguan stress akut berlangsung 2 hari hingga 1 bulan sedangkan pada PTSD berlangsung lebih dari 1 bulan. Keluhan yang dirasakan pasien sudah terjadi ± 1 bulan.
Tidak ada riwayat cedera kepala selama trauma. Tidak ada riwayat epilepsi, gangguan penggunaan alkohol, dan gangguan berhubungan zat lainnya.

I. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
1. Aksis I
F.62 PTSD
2. Aksis II
Tidak ada diagnosis
3. Aksis III
Tidak ada diagnosis
4. Aksis IV
Tidak ada diagnosis
5. Aksis V
GAF scale 60 – 51

J. PROGNOSIS
1. Faktor yang memberikan pengaruh baik:
Indikator psikososial: Ibu pasien selalu memberikan dukungan kepada anaknya & tidak pernah memarahi anaknya. Pasien masih mengikuti PAUD dengan ditunggui oleh ibunya.
a. Tidak ada komorbiditas dengan gangguan psikiatri lainnya.
b. Kepribadian premorbid à menunjukan kepribadian yg baik di lingkungannya dan interaksi sosialnyabaik

2. Faktor yang memberikan pengaruh buruk:
a. Pasien menyadari kesedihan yang dirasakan ibunya atas kejadian yang menimpanya.
b. Tidak ada anggota keluarga lain yang tinggal bersama yang dapat membantu selain ibunya.
c. Pelaku masih tinggal di sekitar rumah pasien sehingga kemungkinannya untuk bertemu cukup besar.
Prognosis pasien secara menyeluruh adalah dubia ad bonam. Sehingga kesimpulan prognosis pada pasien berdasarkan wawancara diatas, sebagai berikut :
 Quo Ad Vitam : dubia ad bonam
 Quo Ad Functionam : dubia ad malam
 Quo Ad Sanationam : dubia ad bonam

K. Terapi
1. Psikofarmaka
-
2. Psikoterapi & Edukasi
a. Terapi paparan (exposure therapy). Pasien dihadapkan pada keadaan traumatis secara perlahan-lahan dan bergradasi untuk mencapai desensitisasi.
b. Manajemen stress (anxiety management). Mengajari pasien cara menangani stress termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk mengatasi masalah.
 relaxation training
 breathing retraining
 positive thinking dan self-talk
 asser-tiveness training
 thought stopping
 cognitive therapy
c. Terapi bermain (play therapy).
d. Pendidikan dan supportive konseling
e. Modifikasi pola hidup seperti diet yang sehat, menghindari konsumsi kafein, alkohol, rokok dan obat-obatan lainnya, perlunya olahraga yang teratur, dll


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder adalah Gangguan kejiwaan pada seseorang yang dialami dan berkembang setelah pengalaman traumatik, atau menyaksikan suatu kejadian yang mengancam jiwa, mencederai luka, atau ancaman terhadap integritas dari tubuh, biasanya diiringi dengan ketidakmampuan seseorang untuk beradaptasi. Pengertian lain dari PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) adalah kecemasan patologis yang umumnya terjadi setelah seseorang mengalami atau menyaksikan trauma berat yang mengancam secara fisik dan jiwa orang tersebut. Pengalaman traumatik ini dapat berupa:
1. Trauma yang disebabkan oleh bencana seperti bencana alam (gempa bumi, banjir, topan), kecelakan, kebakaran, menyaksikan kecelakaan atau bunuh diri, kematian anggota keluarga atau sahabat secara mendadak.
2. Trauma yang disebabkan individu menjadi korban dari interpersonal attack seperti: korban dari penyimpangan atau pelecehan seksual, penyerangan atau penyiksaan fisik, peristiwa kriminal (perampokan dengan kekerasan), penculikan, menyaksikan perisiwa penembakan atau tertembak oleh orang lain.
3. Trauma yang terjadi akibat perang atau konflik bersenjata seperti: tentara yang mengalami kondisi perang, warga sipil yang menjadi korban perang atau yang diserang, korban terorisme atau pengeboman, korban penyiksaan (tawanan perang), sandera, orang yang menyaksikan atau mengalami kekerasan.
4. Trauma yang disebabkan oleh penyakit berat yang diderita individu seperti kanker, rheumatoid arthritis, jantung, diabetes, renal failure, multiple sclerosis, AIDS dan penyakit lain yang mengancam jiwa penderitanya.


B. EPIDEMIOLOGI
Pada Studi community-based yang dilakukan di AS mendokumentasikan prevalensi seumur hidup pada PTSD sekitar 8% dari populasi orang dewasa. Menurut National Comorbidity Survey Replication gambaran ini sekitar 6,8 %. Kejadian PTSD muncul paling tinggi terutama pada orang yang mengalami trauma (muncul pada 1/3 hingga ¾ dari mereka yang mengalami pemerkosaan, perang, penculikan, pengasingan dengan alasan politik, dan genosida.
Studi epidemiologi menunjukkan PTSD seringkali kronik, dengan jumlah orang yang secara signifikan bergejala beberapa tahun setelah kejadian awal. Untuk menegaskan pandangan ini, data epidemiologis menunjukkan frekuensi. Sebagai contohnya,studi dari the National Vietnam Veterans Readjustment menemukkan prefalensi seumur hidup, 30,9% hingga 15,2 % pada pria dan 26,9% hingga 8,5% pada perempuan. Pada populasi korban perkosaan, illpatrick dan colleagues menemukan prevalensi seumur hidup 75,8% dan prevalensi 39,4%. Pada studi oleh Pynoos and associates pada anak-anak menunjukkan tingkat prevalensi 58,4% pada anak-anak yang mendapat serangan sniper di AS dan 70,2% pada mereka yang terkena gempa bumi di Armenia. Kessler and colleagues mendokumentasikan 1/3 dari mereka yang terdiagnosis PTSD gagal sembuh setelah beberapa tahun.
Epidemiologi dari PTSD berdasarkan studi Community-based epidemiological menunjukkan 70% dari individu yang mengalami trauma, yang dipengaruhi oleh kejadian traumatik, faktor predisposisi dan faktor lingkungan peritraumatik dalam memahami etiologi dari PTSD, terutama pada gangguan interaksi dari 3 grup faktor. Perkembangan dari PTSD berhubungan dengan kejadian yang dialami pasien, yang secara konsisten memiliki keterkaitan erat dengan stress yang dialami dan resiko perkembangan PTSD. Keterkaitan ini terdapat pada populasi orang yang mengalami trauma.



C. FAKTOR RESIKO PTSD
1. Jenis kelamin perempuan, 2 hingga 4 kali lipat dibandingkan pada laki-laki meskipun laki-laki lebih cenderung mengalami kejadian traumatik.
2. Gangguan jiwa sebelumnya (preexisting anxiety disorder atau preexisting major depression) beresiko 2 kali lipat dibandingkan mereka yang tidak mengalami gangguan jiwa.
3. Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang bersangkutaan maupun keluarganya.
4. Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual.
5. Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependent, atau antisosial.
6. Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya problem menyesuaikan diri.
7. Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna.
8. Terpapar oleh kejadian-kejadian dalam kehidupan yang luar biasa sebelumnya baik tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif oleh suatu kondisi atau peristiwa yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya.

D. ETIOLOGI
Respon kognitif dan afektif juga penting dalam menentukkan PTSD yang dikembangkan. Kejadian traumatik didefinisikan dengan kejadian yang melibatkan pengalaman atau menyaksikan kejadian nyata yang mengancam jiwa, cedera berat, atau mengatahui kematian yang mengenaskan yang melibatkan ketakutan yang mendalam, ketidakberdayaan, atau kejadian mengerikan.
1. Psikodinamika
Ego klien telah mengalami trauma berat, sering dirasakan sebagai ancaman terhadap integritas fisik atau konsep diri. Hal ini menyebabkan ansietas berat yang tidak dapat dikendalikan oleh ego dan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku simtomatik. Karena ego menjadi rentan, superego dapat menghukum dan menyebabkan individu merasa bersalah terhadap kejadian traumatik tersebut.  dapat menjadi dominan, menyebabkan perilaku impulsif tidak terkendali.

2. Faktor Biologi
Pasien dengan PTSD kronis mengalami peningkatan norepinephrine di sirkulasi dan peningkatan reaktifitas alpha-2-adrenergic receptors. Perubahan ini dihipotesiskan sesuai gejala somatik yang muncul pada individu dengan PTSD. Studi neuroanatomi mengaitkan perubahan pada amygdala dan hippocampus pada pasien dengan PTSD, MRI fungsional dan positron-emmision tomography yang menunjukkan peningkatan pada aktifitas amygdala dan anterior paralimbic region ke stimulus yang berhubungan dengan trauma. Maka, sebagai respon yang beerhubungan dengan trauma, terjadi penurunan reaktifitas dari anterior cingulate dan orbitofontal areas. Perubahan biologis ini menunjukkan gejala neuroanatomical substrate untuk gejala yang termasuk karakteristik dari PTSD (intrusive recollections dan gangguan kognitif lainnya). Bagaimanapun tidak diketahui perubahan sebelumnya sebagai hasil terpaparnya trauma atau karena menderita PTSD.

3. Sympathetic Nervous System Alterations.
Terdapat assosiasi positif antar diagnosis PTSD dan akitivitas cardiovascular, terutama individu yang telah didiagnosis PTSD dengan nadi yang tinggi pada saat istirahat yang berkaitan dengan individu yang terpapar trauma tanpa diagnosis PTSD dan kontrol yang tidak terpapar trauma, hal ini menunjukkan studi dengan sampel PSTD kronis terdapat peningkatan urin cathecolamine 24 jam, selain itu terdapat peningkatan aktivitas simpatis. Terdapat demonstrasi berulang terhadap peninggian sympathetic arousal pada pasien dengan PTSD yang direkonstruksi ulang saat trauma.
Meskipun kondisi ini dapat dijelaskan dengan keterkaitan trauma dengan respon fisiologis yang meningkat pada pasien dengan PTSD, namun tidak menjelaskan individu yang mengalami seseorang individu dapat mengalami perkembangan PTSD, sementara individu yang lain tidak. Dapat dihipotesiskan terdapat perbedaan suskeptibilitas untuk membentuk PTSD pada masing-masing variasi individu dibandingkan dengan individu lain, maka individu yang mengalami kejadian traumatik lebih sering mengalami PTSD.
Terdapat disfungsi otak pada individu dengan PTSD, dimana terdapat pembangkitan potensial yang abnormal. Pada ERP dapat menggagaskan pasien dengan PTSD mengalami penghambatan kortikal pada stimulus dengan intensitas tinggi, gangguan pada memori dan konsentrasi, defisit auditorik dan peningkatan perhatian pada stimulus yang berkaitan dengan trauma. Bagaimanapun perlu dilakukan studi lanjutan pada PSTD.
Respon psychophsiological pada pemaparan trauma yang akut dapat memprediksi perkembangan PTSD, individu yang selamat setelah kejadian traumatik mengalami peningkatan nadi selama 1 minggu.

4. Sympathetic Nervous System Alterations.
Pada individu yang mengalami PTSD terjadi upaya untuk mempertahankan homeostasis, terjadi perubahan endogen, stress-responsive neurohormon, seperti cortisol, epinephrine, norepinephrine, vasopressin, oxytocin, pada stress awal terjadi perubahan The hypothalamic-pituitary-adrenal yaitu hypothalamic dan extrahypothalamic corticotropin-releasing hormon, monoaminergic, dan gamma-amniobutyric acid/ benzodiazepine systems, stress juga menunjukkan perubahan struktural dan fungsional pada otak seperti depresi, dari data terlihat kelainan terutama pada The hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis secara ekstensif dipelajari dalam sistem neuroendokrin pada pasien dengan PTSD. Penemuan penting yaitu: berkurangnya ekskresi cortisol urin 24 jam, supersuppresion pada cortisol setelah pemberian low-dose dexamethasone, menumpulnya respon corticotropin pada corticotropin releasing-hormone dan peningkatan reseptor glukokortikoid, hal ini menunjukkan PTSD kronis diikuti oleh supersuppresion pada emergency HPA response pada stress akut. Hal ini dapat terjadi karena proteksi diri individu pada toksisitas tingginya corticosteroid yang muncul pada pemaparan berulang stress yang mengingatkannya terhadap trauma. Selain itu perubahan aksis HPA terhadap perubahan reseptor glukokortikoid berkaitan dengan beratnya gejala PTSD, tetapi tidak dengan less specific anxiety dan depressive symptoms, pada penelitian dengan sampel veteran AS perang vietnam yang bertarung langsung yang mengalami PTSD memiliki cortisol yang lebih rendah dibandingkan veteran AS perang Vietnam yang tidak bertarung langsung yang mengalami PTSD.
Jadi faktor neuroendokrin pada PTSD menunjukkan abnormalitas yang spesifik, dibandingkan gangguan jiwa lainnya, pada pasien dengan PTSD menunjukkan negative feedback inhibiton dengan berlebihannya respon cortisol terhadap dexamethasone, disertai peningkatan reseptor glukokortikoid dan cortisol basal, penemuan ini kontras terhadap pasien dengan depresi mayor yaitu wanita dengan childhood abuse dengan didiagnosis current major depression menunjukkan 6 kali lipat respon adrenocorticotropic hormone terhadap stress terjadi penumpulan respon cortisol terhadap dexamethasone disertai pengurangan jumlah reseptor glukokortikoid dan cortisol basal pada studi biologi longitudinal terdapat penurunan kortisol 15 μg/dL hingga ke 30 μg/dL, selain itu efek ini juga dipengaruhi fight-or-flight reactions.

5. Sleep Studies
Pada studi didapatkan dua kriteria jelas yang berhubungan dengan keluhan tidur pada individu dengan PTSD:nightmare dengan kejadian traumatik, kegagalan untuk memulai dan mempertahankan tidur, data selanjutnya menggagaskan kesulitan tidur pada individu dengan PTSD dengan aktivitas motorik yang berlebih dan awakening with somatic anxiety symptoms. Terdapat juga komplain pada penggunaan polysomnography pada studi, terutama pada pasien dengan waktu tidur yang kurang atau efisiensi, dan peningkatan kesadaran pada pasien PTSD. Terdapat juga dokumentasi pada pasien dengan PTSD dengan gangguan nafas akibat tidur. PTSD juga dikaitkan dengan REM yang terfragmentasi.

6. Faktor Struktural dan Fungsional Pada Otak
Pada pemeriksaan MRI bila ditemukan white matter lesion dan penurunan volume hippocampal, abnormalitas ini menunjukkan kerentanan pretrauma untuk berkembang menjadi PTSD bila mendapat pengalaman traumatik, pada PET scan bila terlihat peningkatan aktivitas metabolik hanya di bagian hemisfer kanan saja, yang secara spesifik, pada area emosi yaitu: amygdala, insula, dan lobus temporal medial, selama pemaparan kejadian traumatik terjadi juga penurunan aktivasi area frontal inferior-Broca, yang mempengaruhi motor speech, dapat pula ditemukan aktivasi pada cingulate cortex pada respon trauma related stimuli, pada individu PTSD. Pada proyeksi amygdala ke reticularis pontis caudalis mempengaruhi respon terkejut, rasa takut, bahaya dan ancaman, amygdala diaktivasi dengan respon ekspresi wajah terhadap rasa takut, dibandingkan dengan neutral, gembira, atau ekspresi wajah lain, peranan hippocampus pada PTSD menunjukkan fungsi declarative memory, context dependent memory, terjadi penurunan volume hippocampus pada pasien PTSD dan depresi, diperkirakan karena pengalaman negative, emosi ekstrim dan reaksi biologi yang mengingatkan mereka pada trauma, sehingga individu yang mengalami kerusakan hippocamus, cenderung menunjukkan perubahan perilaku yang tidak sesuai konteks. Pada individu dengan PTSD terjadi penurunan kemampuan aktivasi Anterior Cingulate Cortex sehingga terjadi penurunan kemampuan mengerjakan tugas kognitif dan penguasaan emosi, pada inidividu dengan PTSD dapat terjadi penurunan aliran darah ke otak sehingga terjadi perubahan struktur pada left inferior prefrontal cortex atau Broca area dan dorsolateral prefreontal cortex, juga terjadi penurunan akitvasi thalamus, medial frontal gyrus (Brodmann’s area), berbeda pada perempuan dengan childabuse menunjukkan peningkatan aliran darah pada anterior prefrontal cortex, pada pasien dengan PTSD terjadi penurunan aktivasi pada dorsolateral frontal cortex sehingga pasien dengan PTSD kembali mengingat trauma dengan kesadaran yang terbatas, sehingga hanya mengingat sebagian unsur trauma, selain itu ditemukan juga hemispheric lateralization pada pasien dengan PTSD yang terpapar memori negatif, pada bagian hemisfer kanan mengembangkan terlebih dahulu dibandingkan hemisfer kiri, yang melibatkan ekspresi emosi nonverbal yaitu intonasi, ekspresi wajah, komunikasi visual atau spasial, dengan kata lain hemisfer kanan khusus mempengaruhi emosi, yang berlawanan dengan hemisfer kiri yang memediasi komunikasi verbal dan mengorganisasi penyelesaian masalah, pada (gambar 1.) dapat dilihat peranan neurotransmitter pada respon fight or flight pada pengaktifan HPA terjadi peningkatan cortisol, tingginya tingkat cortisol diasosiasikan dengan kerusakan hippocampus dan mengubah fungsi hippocampus yang berperan dalam gejala PTSD. Pada (gambar 2.) dapat dilihat peranan serotonin pada respon fight or flight melalui komunikasi secara langsung dengan limbik dan struktur kortikal terjadi peningkatan cortisol, tingginya tingkat cortisol diasosiasikan dengan kerusakan hippocampus dan mengubah fungsi hippocampus yang berperan dalam gejala PTSD, kejadian trauma dapat menyebabkan otak gagal memproses informasi, memori episodik menetap di sistem limbik, yang menghasilkan gambaran kejadian traumatik.

Gambar 1. Sirkuit dari noradrenergic pada respon trauma, respon akut: “fight or flight”, rasa takut, konsolidasi memori, gejala ASD/ PTSD: hypervigilience, arousal, fear, startle, flashback, intrusive recollections.

Locus coeruleus: pigmented area pada regio rostrolateral pontine dari fourth ventricle floor dan memanjang hingga mesencephalon pada lateral portion dari periaqueductal gray substance; cell dari nukleus yang mengandung melanin.

Gambar 2. Jalur serotonergic pada traumatic stress response. Respon akut: “fight or flight”, kemarahan, melemahkan rasa takut, ASD/ PTSD; yang berkaitan dengan gejala aggression/violence, anger, impulsivity, anxiety, depression.

7. Dinamika Keluarga
Tipe pendidikan formal, kehidupan keluarga, dan gaya hidup merupakan perkiraan yang signifikan terjadinya PTSD. Keberhasilan dalam pendidikan yang di bawah rata-rata, perilaku orang tua yang negatif, dan kemiskinan orang tua merupakan prediktor perkembangan PTSD.


8. Faktor Psychological
Bila terjadi kegagalan dalam adaptasi 3 fase stress dapat menyebabkan PTSD, 3 fase stress itu antara lain: (1) Fase Initial yaitu fase dengan realisasi kejadian yang menyakitkan yang meenyebabkan kemarahan, kesedihan, dan penyesalan, (2) Fase Denial yaitu fase dengan karakterisitik defense againt intrusion of memories pada kejadian traumatik, dimana pasien menunjukkan kegagalan memori pada kejadian, yang mengingatkan mereka pada kejadian traumatik, dan menggunakan fantasi mereka untuk melawan persepsi yang realistis pada kejadian, (3) Fase Intrusive yaitu fase dengan karakteristik hypervigilance, terkejut yang berlebihan, tidur, gangguan mimpi, intrusive dan repetitive trauma-related thoughts, dan kebingungan.

9. Model Perilaku
Teori kondisi dapat membantu dalam menjelaskan proses dengan stimulus yang berkaitan dengan kejadian traumatik dengan respon emosi pada individu yang mengalami PTSD. Kondisi-kondisi penyerta yang terjadi saat kejadian traumatik selain kejadian traumatik itu sendiri dapat direspon pasien sebagai kejadia traumatik, dengan respon pasien berupa takut, ketidakberdayaan dengan respon emosi yang kuat, sebagai contoh, perempuan yang diperkosa (unconditioned stimulus) di lorong gelap (conditioned stimulus) oleh laki-laki (conditioned stimulus) memiliki respon rasa takut pada conditioned stimulus dan unconditioned stimulus, dapat merasa ketakutan ketika berada di lorong gelap atau diikuti seorang laki-laki. Perilaku menghindar dapat berkembang dengan anxietas yang berkaitan dengan conditioned stimulus. Sebagai contoh perempuan yang diperkosa takut keluar ketika gelap atau diikuti laki-laki. Terapi perilaku dapat menggunakan prinsip pemaparan yang memerlukan konfrontasi pada situasi yang ditakuti dan dapat mengurangi anxietas.



10. Proses Kognitif dan Informasi
Pemaparan terhadap kejadian traumatik yang berat atau tidak dapat diprediksi, mengakibatkan kegagalan proses dan asimilasi dengan pengalaman yang cukup untuk secara efektif menerima akibatnya, selain itu bila periode traumatiknya berkepanjangan, kesulitan dan asimilasi yang tidak lengkap dapat terjadi. Pengalaman dipertahankan pada memori aktif, mengakibatkan seseorang dengan kesadaran saat siang atau malam. Pada pengalaman yang menyakitkan terjadi penghindaraan untuk mengingat kejadian traumatik.
Rasa takut dapat dijelaskan dengan struktur kognitif dengan tiga unsur: stimulus, respon dan arti. Untuk mengurangi rasa takut, memori terhadap rasa takut harus diaktifkan kemudian informasi baru diberikan untuk merubah struktur rasa takut. Intervensi kognitif dapat digunakan untuk mengenali dan merubah maladaptive cognitions dan menggantikan interpretasi dari bahaya dengan interpretasi yang realistis dan aman, dengan harapan pasien dapat mengintegrasikan informasi baru pada struktur rasa takut, mengakibatkan pemikiran realistis terhadap derajat bahaya.

11. Faktor Genetic-Familial
Dari literatur yang ada, dibuat berdasarkan pertarungan langsung pada veteran AS laki-laki, dengan survey populasi umum dan pemerkosaan traumatik yang berkaitan dengan PTSD, didapatkan hasil berdasarkan genetik dengan kluster tiga gejala (intrusive, avoidant, dan gejala hyperarousal) pada pemeriksaan terhadap pengaruh genetik dan lingkungan pada pertarungan langsung, post traumatic stress disorder, dan penggunaan alkohol pada kembar identik laki-laki, menemukan bahwa penggunaan alkohol berkaitan dengan gen yang mempengaruhi kerentanan terhadap pertarungan langsung yang juga mempengaruhi kerentanan terhadap gejala PTSD dan konsumsi alkohol. Merupakan catatan penting, untuk mengetahui faktor lingkungan yang unik pada kembar tidak lebih penting dari pengaruh genetik terhadap pertarungan langsung dan gejala PTSD, dimana pengaruh lingkungan terlihat setara dengan pengaruh genetik terhadap konsumsi alkohol, secara keseluruhan kejadian ini menggagaskan pada riwayat psychiatric, baik personal maupun pada anggota keluarga, meningkat dengan terpaparnya trauma dan perkembangan PTSD setelah terpapar, dengan kata lain  orang tuan dengan PTSD berkaitan dengan rendahnya kadar cortisol pada anak-anakya, yang menunjukkan kerentanan yang berkaitan dengan gejala akut atau kronik dari PTSD. 6, 7, 8, 9, 10, 11
12. Faktor Lainnya
Meskipun penelitian sistematis telah dilakukan, individu yang mengalami trauma berulang dan berkelanjutan, terutama yang berasal dari interpersonal, lebih mungkin mengalami PTSD. Trauma yang melibatkan berkurangnya community atau support structures. Karena social support memiliki efek buffering, berkurangya support dapat menjadi faktor kerentanan. Perempuan memiliki resiko PTSD yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Pada umumnya individu yang mempunyai karakter extrovert atau lebih berpikir positif lebih jarang mengalami masalah psikologis seperti ini. Karakteristik dari peristiwa traumtik yang dialami juga akan mempengaruhi jenis reaksi psikologis yang bakan terjadi, seperti :
• Durasi dan intensitas dari stressor yang dialami
• Derajatnya dalam kaitan dengan ancaman terhadap  kehidupan seseorang
• Berat ringannya kehilangan yang dialami (baik material maupun personal)
• Perilaku korban yang selamat pada waktu menghadapi peristiwa traumatik tersebut, misalnya apakah ia juga menyelamatkan orang lain pada saat kejadiaan itu atau dia hanya menyelamatkan dirinya sendiri.
Setelah mengalami peristiwa traumatik, maka sistem keyakinan dan latar belakang budaya yang dianut oleh individu yang bersangkutan, serta dukungan sosial dari lingkungan sekelilingnya akan memegang peranan yang penting bagi individu untuk menyesuaikan dirinya kembali.

E. Tanda dan Gejala
Ada tiga kelompok dari gejala yang diperlukan untuk mendiagnosis suatu PTSD, yaitu:
1. Gejala re-experience
• Selalu teringat akan peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami
• Flashback (merasa seolah-olah peristiwa yang menyedihkan terulang kembali)
• Nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih)
• Reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.

2. Gejala avoidance
• Menghindari aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan yang berhubungan dengan trauma.
• Kehilangan minat terhadap semua hal
• Perasaan terasing dari orang lain
• Emosi yang dangkal.

3. Gejala hyperaurosal,
• Susah tidur
• Mudah marah/tidak dapat mengendalikan marah
• Susah berkonsentrasi
• Kewaspadaan yang berlebih
• Respon yang berlebihan atas segala sesuatu
Sedikitnya 1 gejala re-experience, 3 gejala avoidance dan 3 gejala hyperaurosal harus ada selama paling sedikit 1 bulan dan harus disebabkan oleh distress yang signifikan atau kekurangan fungsional untuk mendiagnosis suatu PTSD. PTSD menjadi kronik jika terjadi lebih dari 3 bulan.

F. DIAGNOSIS
Berikut adalah kriteria diagnostik untuk Gangguan Stres Pascatraumatik menurut DSM-IV:
A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini terdapat:
1) Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain.
2) Respon orang tersebut berupa takut yang kuat, rasa tidak berdaya, atau horror. Catatan: pada anak-anak hal ini dapat diekspresikan dengan perilaku yang kacau atau teragitasi.
B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara berikut:
1) Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengganggu tentang kejadian, termasuk bayangan, pikiran, atau persepsi. Catatan: pada anaka kecil, dapat menunjukkan permainan berulang dengan tema atau aspek trauma.
2) Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian. Catatan: pada anak-anak, mungkin terdapat mimpi menakutkan tanpa isi yang dapat dikenali.
3) Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali (termasuk perasaan penghidupan kembali pengalaman, ilusi, halusinasi, dan episode kilas balik disosiatif, termasuk yang terjadi selama terbangun atau saat terintoksikasi). Catatan: pada anak kecil, dapat terjadi penghidupan kembali yang spesifik dengan trauma.
4) Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
5) Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditujukan oleh tiga (atau lebih) berikut ini:
1) Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan trauma.
2) Usaha untuk menghindari aktivitas, tempat, atau orang yang menyadarkan rekoleksi dengan trauma.
3) Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma.
4) Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna.
5) Perasaan terlepas atau asing dari orang lain.
6) Rentang afek yang terbatas (misalnya, tidak mampu untuk memiliki perasaan cinta)
7) Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek (misalnya, tidak berharap memiliki karir, menikah, anak-anak, atau panjang kehidupan normal)
D. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut:
1) Kesulitan untuk tidur atau tetap tertidur.
2) Iritabilitas atau ledakan kemarahan.
3) Sulit berkonsentrasi.
4) Kewaspadaan berlebihan.
5) Respon kejut yang berlebihan.
E. Lama gangguan (gejala dalam kriteria A, B, C, dan D) adalah lebih dari satu bulan.
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lain.5
Sementara itu kriteria diagnostik untuk gangguan stres pascatraumatik menurut PPDGJ III (F 43.1) adalah sebagai berikut:
1. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan).
Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori gangguan lainnya.
2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashbacks).
3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.
4. Suatu “sequelae” menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).6

G. Diagnosis Banding
Pertimbangan utama dalam diagnosis banding gangguan stress pascatraumatik adalah kemungkinan bahwa pasien juga mengalami cedera kepala selama trauma. Pertimbangan organik lainnya yang dapat menyebabkan atau mengeksaserbasi gejala adalah epilepsi, gangguan penggunaan alkohol, dan gangguan berhubungan zat lainnya. Intoksikasi akut atau putus dari suatu zat mungkin juga menunjukkan gambaran klinis yang sulit dibedakan dari gangguan stres pascatraumatik sampai efek zat menghilang.
Pada umumnya, gangguan stres pascatraumatik dapat dibedakan dari gangguan mental lain dengan mewancarai pasien tentang peristiwa traumatik sebelumnya dan melalui sifat gejala sekarang ini. Gangguan stress  akut, gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguna buatan, gangguan panik dan berpura-pura juga harus dipertimbangkan. Gangguan kepribadian ambang mungkin sulit dibedakan dengan gangguan stress pascatraumatik. Dua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama atau bahkan saling berhubungan sebab akibat. Pasien dengan gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat perilaku menghindar, kesadaran berlebih (hiperaurosal) otonomik, atau riwayat trauma yang dilaporkan oleh pasien gangguan stress pascatraumatik. Sebagian karena publisitas yang telah diterima gangguan stress pascatraumatik dalam berita popular, klinisi harus juga mempertimbangkan kemungkinan suatu gangguan buatan dan berpura-pura.

H. Tatalaksana
Ada beberapa psikoterapi yang dapat digunakan. Yang pertama adalah terapi paparan (exposure therapy). Pasien dihadapkan pada keadaan traumatis secara perlahan-lahan dan bergradasi untuk mencapai desensitisasi. Terapi dapat berjalan dengan cara: exposure in the imagination, yaitu bertanya pada penderita untuk mengulang cerita secara detail sampai tidak mengalami hambatan menceritakan; atau exposure in reality, yaitu membantu menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misal: kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di rumah). Ketakutan bertambah kuat jika kita berusaha mengingat situasi tersebut dibanding berusaha melupakannya. Pengulangan situasi disertai penyadaran yang berulang akan membantu menyadari situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan dapat diatasi.
Yang kedua manajemen stress (anxiety management). Tipe yang kedua ini adalah mengajari pasien cara menangani stress termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk mengatasi masalah. Terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui: 1) relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan kelompok otot -otot utama, 2) breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan -lahan, santai dan menghindari bernafas dengan tergesa -gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala, 3) positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilang-kan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor), 4) asser-tiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain, 5) thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress. Dalam cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan-kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati -hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang.
Di samping itu, didapatkan pula terapi bermain (play therapy) mungkin berguna pada penyembuhan anak dengan PTSD. Terapi bermain dipakai untuk menerapi anak dengan PTSD. Terapis memakai permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya.
Selain itu, didapatkan pula support group therapy dan terapi bicara. Dalam support group therapy seluruh peserta merupakan penderita PTSD yang mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi) dimana dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka, kemdian mereka saling memberi penguatan satu sama lain. Sementara itu dalam terapi bicara memperlihatkan bahwa dalam sejumlah studi penelitian dapat membuktikan bahwa terapi saling berbagi cerita mengenai trauma, mampu memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan berbagi, bisa memperingan beban pikiran dan ke -jiwaan yang dipendam. Bertukar cerita membuat merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang diderita dan melawan kecemasan.
Pendidikan dan supportive konseling juga merupakan upaya lain untuk mengobati PTSD. Konselor ahli mempertimbangkan pentingnya penderita PTSD (dan keluarganya) untuk mempelajari gejala PTSD dan bermacam terapi dan pengobatan yang cocok untuk PTSD. Walaupun seseorang mempunyai gejala PTSD dalam waktu lama, langkah pertama yang pada akhirnya dapat ditempuh adalah mengenali gejala dan permasalahannya sehingga dia mengerti apa yang dapat dilakukan untuk mengatasinya.
Di lain pihak, sampai saat ini masih didapatkan pula beberapa tipe psikoterapi yang lain. Misalnya, eye movement desensitization reprocessing (EMDR), hypnotherapy dan psikodinamik psikoterapi, yang seringkali digunakan untuk terapi PTSD dan kadang sangat membantu bagi sebagian penderita.
Data menunjukkan bahwa manajemen stress lebih cepat mengatasi PTSD namun hasil dari terapi paparan berlangsung lebih lama. Dalam beberapa kasus, katarsis dapat berguna, namun hal ini dapat menjadi sangat tidak nyaman bagi pasien. Selain terapi individu, terapi kelompok dan terapi keluarga juga efektif pada kasus PTSD. Terapi kelompok sangat baik untuk pasien sehingga mereka dapat membagi pengalaman mereka satu sama lain. Terapi keluarga penting terutama untuk mempertahankan pernikahan saat gejala sedang timbul. Bila gejala menjadi sangat parah dapat pula dipertimbangkan untuk melakukan rawat inap.
Medikasi yang terbukti bermanfaat untuk mengatasi kasus ini adalah pemberian antidepresan golongan SSRI (penghambat selektif ambilan serotonin) seperti Fluoxetin 10-60 mg/hr, Sertralin 50-200mg/hr atau Fluvoxamine 50-300mg/hr. Antidepresan lain yang juga dapat digunakan adalah Amiltriptilin 50-300mg/hr dan juga imipramin 50-300mg/hr.
Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD, tatalaksana gangguan stress pascatraumatik sebaiknya mempertimbangkan beberapa aspek di bawah ini:
1. Gangguan stress pascatraumatik merupakan suatu gangguan yang kronik dan berulang serta sering berkormobiditas dengan gangguan-gangguan jiwa serius lainnya.
2. Antidepresan golongan penghambat selektif dari ambilan serotonin/SSRI merupakan obat pilihan pertama untuk kasus ini.
3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan.
4. Exposure therapy (terapi pemaparan) merupakan terapi dengan pendekatan psikososial terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan.
Penatalaksaan pada psychology pada pasien dengan PTSD dikategorikan menjadi lima jenis yaitu:
1. Psychodynamic Approaches
Pada terapi ini dilakukan melalui pendekatan 3 fase stress bila terjadi kegagalan dalam adaptasi  3 fase ini akan menyebabkan PTSD, sehingga terapi ini bertujuan agar pasien dapat beradaptasi melalui reinterpretasi dari kejadian traumatik, mengubah atribut kerusakan dan mengembangkan  intrepretasi yang realistis.
2. Cognitive-behavioral Approaches
Terapi ini diadaptasi dari teknik penatalaksaan untuk gangguan anxiety lain, pada learning theory model mengemukakan incorporate classical dan operant conditioning untuk menjelaskan perkembangan dan menetapnya gejala PTSD. Teori Kognitif diajukan untuk menambahkan learning theory untuk menjelaskan kenapa perceived threat lebih kuat dalam memicu gejala PTSD, sehingga inti dari penatalaksaan ini adalah repetitive exposure to trauma-relevant fear stimuli unuk mengurangi anxiety, terapi ini menekankan pada intensive exposure namun tidak diikuti pengaturan pada fear-antagonistic state, penatalaksaan ini dilakukan pada in vivo kembali ke lokasi kejadian traumatik, atau berimajinasi, sehingga anxiety teratasi dan hilang potensinya.
3. Flooding Techniques
Pada penatalaksanaan ini dilakukan exposure, desensitization atau teknik exposure terarah, terapi ini dapat mengatasi gejala intrusive dan hyperarousal, kelemahan terapi ini adalah tidak dapat menatalaksana avoidance symptom, dan dapat memperberat gejalanya.
4. Training in Coping Skills
Pada penatalaksaan ini dilakukan untuk meningkatkan self-control symptom dan meningkatkan adaptive respone pada anxiety, yang terbagi menjadi 2 fase yaitu: fase edukasi dan fase coping skill, fase edukasi, memberikan pemahaman yang rasional untuk menjaga kepercayaan diri, sedangkan pada fase coping skill, diajarkan cara melakukan relaksasi diri, untuk menghambat negative rumination dan mempertahankan rasa percaya diri, penatalaksaan ini efektif mengurangi reexperiencing, intrusive, dan avoidance symptom pada korban pemerkosaan.
5. Eye Movement Desensitization Reprocessing (EMDR)
Pada terapi ini dilakukan exposure pada kejadian traumatik dengan mata terbuka, selama verbalisasi kognisi dan emosi yang berkaitan dengan trauma, diikuti dengan visual saccadic eye movements agar menghasilkan fear-antagonistic state sehingga menghasilkan relaksasi dan systemic desensitization.

I. Prognosis
Prognosis yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi gejala yang singkat (kurang dari enam bulan), dukungan sosial yang kuat, dan tidak adanya gangguan psikiatrik, medis, atau berhubungan zat lainnya.
Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih banyak kesulitan dengan peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalam usia paruh baya. Kemungkinan, anak-anak belum memiliki mekanisme mengatasi kerugian fisik dan emosional akibat trauma. Demikian juga dengan orang lanjut usia, jika dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih muda, kemungkinan memiliki mekanisme mengatasi yang lebih kaku dan kurang mampu melakukan pendekatan fleksibel untuk mengatasi efek trauma. Kecacatan psikiatrik yang ada sebelumnya, apakah suatu gangguan kepribadian atau suatu kondisi yang lebih serius, juga meningkatkan efek stresor tertentu. Tersedianya dukungan sosial juga mempengaruhi perkembangan, keparahan, dan durasi gangguan stres pascatraumatik. Pada umumnya, pasien yang memiliki jaringan dukungan sosial yang baik, kemungkinan tidak menderita gangguan atau tidak mengalami gangguan dalam bentuk yang parahnya.  



BAB III
PEMBAHASAN

Dari hasil pemeriksaan pada A. F ditemukan gejala PTSD dialami sejak ± 1 bulan yang lalu. Gejala muncul setiap hari secara bervariasi. Gejala-gejala berupa. Keluhannya ini dirasakan setelah kejadian pemerkosaan yang dilakukan oleh tetangganya ± 1 minggu yang lalu,  maka dapat digolongkan sebagai PTSD.
Pada pasien ini, mengalami perubahan perilaku menjadi lebih pendiam dan mudah ketakutan, namun pasien masih dapat berinteraksi dan bermain dengan teman-teman yang perempuan dan masih mengikuti PAUD walaupun harus ditunggui oleh ibunya.
Sehingga diagnosis F62 PTSD pada pasien wanita, An. F usia 5 tahun ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan psikiatri.
Pada pasien ini tidak diberikan psikofarmaka karena usia pasien masih kecil, gejala yang ditunjukkan tidak terlalu berat dan masih harus dilakukan observasi perkembangan keadaan pasien.
Selain terapi psikofarmaka, pasien dengan PTSD dapat juga dilakukan psikoterapi. Terapi paparan (exposure therapy). Pasien dihadapkan pada keadaan traumatis secara perlahan-lahan dan bergradasi untuk mencapai desensitisasi.
Manajemen stress (anxiety management). Mengajari pasien cara menangani stress termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk mengatasi masalah, antara lain:
1. relaxation training
2. breathing retraining
3. positive thinking dan self-talk
4. asser-tiveness training
5. thought stopping
6. cognitive therapy
Selain itu, dapat juga dilakukan terapi bermain (play therapy), pendidikan dan supportive konseling, modifikasi pola hidup seperti diet yang sehat, menghindari konsumsi kafein, alkohol, rokok dan obat-obatan lainnya, perlunya olahraga yang teratur untuk mengatasi pasien PTSD ini.





BAB IV
LAPORAN HOME VISIT

A. RIWAYAT GANGGUAN SEKARANG
Sejak ± 1 bulan SMRS pasien  menjadi pendiam dan mudah ketakutan. Pasien sebelumnya adalah anak yang periang dan mudah bergaul mengalami perubahan setelah pasien mengalami peristiwa perkosaan yang dilakukan oleh tetangganya sendiri. Peristiwa tersebut diketahui oleh Ny. Y dari cerita pasien sendiri, pasien bercerita kepada ibunya bahwa tetangganya (anak laki-laki umur 12 tahun) memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluan pasien. Sejak kejadian itu, pasien juga menjadi pemurung dan malas pergi ke sekolah (PAUD), sehingga ibu pasien harus menunggui pasien disana agar pasien mau bersekolah. Di sekolah pasien sering mengadu kepada ibunya bahwa teman-teman laki-laki di sekolahnya jahat hanya karena mereka mendekati dan memegang tangan pasien. Pasien masih dapat berinteraksi dan bermain dengan teman-teman perempuan, namun tiba-tiba menceritakan kembali peristiwa perkosaan tersebut kepada ibunya yang menungguinya seolah-olah kejadian itu baru saja terjadi. Pasien tidak pernah lagi bermain ke rumah tetangganya tersebut. Pasien juga menjadi susah makan dan sering terbangun karena mimpi buruk. Saat bangun di pagi hari pasien selalu menceritakan kembali peristiwa perkosaan itu.

B. IDENTIFIKASI KELUARGA PASIEN
Keluarga pasien merupakan keluarga inti yang harmonis, dimana ayah dan ibu pasien sangat menyayangi  pasien. Ayah pasien sehari-hari bekerja sebagai TKI yang bekerja di Malaysia sejak ± setahun terakhir. Pasien hanya tinggal berdua dengan ibunya yang berperan sebagai ibu rumah tangga.

C. KEADAAN SOSIAL EKONOMI
Keadaaan sosial ekonomi pasien cukup, pasien tinggal di rumah bersama ibunya. Rumah pasien merupakan rumah milik sendiri, keadaan rumah bersih dan rapi, luas rumah kira-kira 10x20 m2, rumah berada di lingkungan yang baik. Pasien mengenal tetangga di sekitar rumah, hubungan pasien dengan tetangga baik, kecuali dengan pelaku dan keluarganya.

D. SIKAP ANGGOTA KELUARGA TERHADAP PASIEN
Ibu pasien mengetahui bahwa pasien membutuhkan terapi di RSJ untuk mengatasi traumanya. Ibu pasien sangat mendukung kesembuhan pasien, dan akan membantu pasien untuk menghilangkan traumanya.  Ayah pasien tidak mengetahui kejadian yang menimpa putrinya.

E. EDUKASI KEPADA KELUARGA
- Diberikan  informasi mengenai penyakit yang dialami pasien sehingga keluarga dapat membantu dalam proses penyembuhan pasien.
- Menyarankan kepada keluarga untuk pentingnya dukungan kepada pasien, jangan membatasi aktivitas pasien secara wajar, ajak pasien bergembira, mengajarkan pasien bagaimana cara mengatasi masalahnya dengan benar, jangan menghindarinya.

















DAFTAR  PUSTAKA

David A. Buku saku psikiatri  PPDGJ III. edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2004

Elvira, Sylvia D, Hadisukanto G. Gangguan Stres Pasca Trauma Dalam: Elvira, Sylvia D, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2010 h: 254-264

Hibbert A, Godwin A, dan Dear F. Rujukan cepat psikiatri. Jakarta: Cendika. EGC; 2009

Katzung, B.G. 2002. Penyalahgunaan Obat dalam: Farmakologi Dasar dan Klinik. Buku 2, ed.VIII. Jakarta: Salemba Medika.

Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed: Wiguna, I Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher

Kay J dan Tasman A. Anxiety Disorders: Traumatic Stress Disorders. Dalam: Kay J dan Tasman A Essentials of Psychiatry. Tottenham: John Wiley & Sons; 2009 h: 627-638.

Maramis, Willy F. 2004. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.  Airlangga University Press: Surabaya.

Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa / PPDGJ-III. Jakarta: PT Nuh Jaya; 2001.

Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis obat Psikotropika ed. Ketiga. Jakarta : Bagian ilmu kedokteran Jiwa FK-UNIKA Atmajaya; 2010

Merdalis Nurlivia

Posts : 3
Reputation : 0
Join date : 09.01.16

Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik