Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

contoh posting referat

Go down

contoh posting referat Empty contoh posting referat

Post by Sheno Almes Fri Feb 27, 2015 12:19 am

REFERAT
“Peran Intervensi Psikoedukasi dalam Mencegah Kekambuhan Skizofrenia”


contoh posting referat Unib10

Oleh:
Yessi Apriance, S.Ked
H1A009051

Pembimbing :
dr. Andri Sudjatmoko, Sp.KJ



KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA
RUMAH SAKIT KHUSU JIWA SOEPRAPTO PROV.BENGKULU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
BENGKULU
2014



Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikanNya, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kepaniteraan klinik psikiatri, dan hingga pada waktunya penulis dapat menyelesaikan referat ini. Penulis menyadari tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit untuk menyelesaikan referat ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pengajar di Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Provinsi Bengkulu khususnya kepada dr. Andri Sudjatmoko, Sp.KJ yang telah menyediakan waktu dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis yang sedang menempuh pendidikan dan bagi kelompok-kelompok selanjutnya.


                                                                                                                                                       
Bengkulu, 19 Juli 2014


                                                                                                                                                        Penulis

DAFTAR ISI

.....................
......................

...........................



BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang bisa didapatkan di seluruh dunia dengan prevalensi sekitar 1% dari populasi. Gangguan skizofrenia biasanya berlangsung kronis dan cenderung menjadi berat dan menetap serta disertai eksaserbasi akut dan penurunan fungsi peran penderita. Onset gangguan skizofrenia biasanya pada usia akhir masa remaja atau awal dewasa (Desjarlais et al, 1995, Sadock & Sadock 2007). Gangguan skizofrenia merupakan suatu neurodevelopmental brain disorder dengan ditandai adanya gangguan interaksi neurotransmiter pada susuanan saraf pusat. Dengan demikian gangguan skizofrenia memerlukan pengobatan yang ditujukan untuk mengatasi gangguan interaksi neurotransmitter pada susunan saraf pusat tersebut. (Stahl, 2000 ; Sadock & Sadock 2007).
Dalam hal perjalanan gangguan skizofrenia, penatalaksaan gangguan skizofrenia merupakan salah satu bagian yang penting dan kompleks. Hal ini dikarenakan penatalaksanaan gangguan skizofrenia tidak hanya meliputi satu aspek, tetapi harus meliputi unsur biopsikososial dan spiritual. (cit Khan 2008, Stahl, 2000 ; Sadock & Sadock 2007 ; Sudiyanto, Aris 2008). Oleh karena permasalahan yang kompleks tersebut maka mengatasi skizofrenia tidak cukup hanya salah satu aspek saja. Faktor psikososial yang melibatkan pasien dan keluarganya merupakan hal yang penting dalam penatalaksanaan jangka panjang dan pencegahan agar tidak terjadi kekambuhan. (Sudiyanto, Aris 2008)
Mengingat adanya faktor keluarga yang turut berperan dalam pengobatan pasien skizofrenia, dimana masih banyaknya kendala seperti penolakan keluarga untuk merawat pasien, ekspresi emosi yang tinggi pada pasien skizofrenia, tentu akan mempengaruhi outcome pengobatan, maka peran psikoedukasi sebagai salah satu terapi psikososial untuk keluarga pasien dan juga pasien akan sangat dibutuhkan, dengan harapan dapat menurunkan angka kekambuhan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menjadi tertarik untuk membuat referat mengenai “Peran Intervensi Psikoedukasi dalam Mencegah Kekambuhan Skizofrenia,” dengan harpaan referat ini bisa menjadi referensi yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam menangani pasien gangguan jiwa secara komprehensif, serta melibatkan keluarga sebagai salah satu ujung tombak penangangan pasien gangguan jiwa.
1.2. Tujuan
Referat ini memiliki tujuan untuk memberikan pengetahuan mengenai peranan intervensi psikoedukasi sebagai salah satu terapi psikososial yang dapat membantu mencegah kekambuhan skizofrenia.

1.3. Manfaat
Referat ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca, baik akademisi, pasien, maupun keluarga pasien mengenai peran intervensi psikoedukasi sebagai salah satu terapi psikososial yang dapat membantu mencegah kekambuhan skizofrenia.


Bab II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Skizofrenia
2.1.1. Definisi Skizofrenia
Skizofrenia menurut Eugen Bleuler merupakan istilah yang menandakan adanya perpecahan (schism) antara pikiran, emosi dan perilaku pada pasien yang terkena. Meyer berpendapat bahwa skizofrenia dan gangguan mental lainnya adalah reaksi terhadap berbagai stres kehidupan, yang dinamakan sindrom suatu reaksi skizofrenik. (Kaplan & Sadock, 2010)
Skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik, fisik, sosial dan budaya. Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pemikiran dan persepsi, serta oleh efek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih (clear conciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.  (Maslim, Rusdi, 2003)
Belum ada kesepakatan tentang definisi  baku kekambuhan skizofrenia. Sedangkan kekambuhan diartikan kembalinya suatu penyakit setelah nampaknya mereda, kekambuhan menunjukan gejala-gejala sebelumnya yang pernah timbul, cukup parah, dan mengganggu aktivitas sehari-hari (Dorland, 2002)
2.1.2 Epidemiologi
Hampir 1% penduduk di dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka. Gejala skizofrenia biasanya muncul pada usia remaja akhir atau dewasa muda. Awitan pada laki – laki biasanya antara 15 – 25 tahun dan pada perempuan antara 25 – 35 tahun. (Elvira, 2003)
2.1.3 Etiologi
Etiologi skizofrenia belum pasti (Elvira, 2003). Namun secara umum sebab-sebab gangguan jiwa dibedakan atas beberapa faktor berikut :

a. Sebab biologik
Tidak ada gangguan fungsional dan struktur yang patognomonik ditemukan pada skizofrenia. Meskipun demikian beberapa gangguan organik dapat terlihat (telah direplika dan dibandingkan) pada subpopulasi pasien. Gangguan yang paling banyak dijumpai yaitu pelebaran ventrikel tiga dan lateral, yang stabil yang kadang – kadang sudah terlihat sebelum awitan penyakit, atropi bilateral lobus temporalis medial dan lebih spesifik yaitu girus parahipokampus, hipokampus, dan amigdala, disorientasi spasial sel pyramid hipokampus, dan penurunan volume korteks prefrontal dorsolateral. (Elvira, 2003)
b. Genetik
Dapat dipastikan bahwa ada faktor keturunan yang juga menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan berdasarkan penelitian tentang keluarga – keluarga penderita skizofrenia dan terutama anak – anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 – 1,8%, sedangkan bagi saudara kandung 7 – 15%, bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita skizofrenia 7 – 16%, bila kedua orang tua menderita skizofrenia 40 – 68%, bagi kembar dua telur (heterozigot) 2 – 15%, dan bagi kembar satu telur (monozigot) 61 – 86%. Tetapi pengaruh genetik tidak sesederhana seperti hukum Mendel. Diduga bahwa potensi untuk mendapatkan skizofrenia diturunkan melalui gen resesif. Potensi ini mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan individu itu apakah akan terjadi skizofrenia atau tidak. (Maramis, WF. 2005)
Beberapa gen yang dijumpai pada penderita skizofrenia, antara lain 1q,  5q, 6p, 6q, 8p, 10p,13q, 15q,dan 22q. Adanya mutasi gen dystrobrevin DTNBP 1 dan Neureglin 1 berhubungan dengan munculnya gejala negatif pada pasien skizofrenia. Selain itu kepribadian skizoid, skizotipal, dan paranoid memiliki kemungkinan besar dalam timbulnya skizofrenia. Pendekatan sekarang ini pada genetika diarahkan pada mengidentifikasi silsialah besar dari orang yang terkena dan meneliti keluarga untuk RFLP (restriction fragment lenght polymorphisme) yang memisah dengan fenotip penyakit. Banyak hubungan antara tempat kromosom tertentu dengan skizofrenia. Lebih dari setengah kromosom telah dihubungkan dengan skizofrenia dalam berbagai laporan tersebut, tetapi lengan panjang kromosom 5, 11 dan 18. Lengan pendek pada kromosom 19 dan kromosom X adalah yang paling sering dilaporkan.


c. Faktor Keluarga
Kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan penting dalam menimbulkan kekambuhan dan mempertahankan remisi. Pasien yang pulang ke rumah sering relaps pada tahun berikutnya bila dibandingkan dengan pasien yang ditempatkan dipanti penitipan (Elvira, 2003). Ekspresi emosi yang tinggi (seperti pasien yang tinggal bersama keluarga hostil, memperlihatkan kecemasan yang berlebihan, sangat protektif terhadap pasien, sangat pengeritik) dari keluarga diperkirakan menyebabkan kekambuhan yang tinggi pada pasien. Hal lain adalah pasien mudah dipengaruhi oleh stress yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Keluarga mempunyai tanggung jawab yang penting dalam proses perawatan di rumah sakit jiwa, persiapan pulang dan perawatan di rumah agar adaptasi klien berjalan dengan baik. Kualitas dan efektifitas perilaku keluarga akan membantu proses pemulihan kesehatan pasien sehingga status kesehatan pasien meningkat. (Mahar, 2009)
d. Biokimia
Etiologi biokimia skizofrenia belum diketahui. Hipotesis yang paling banyak yaitu gangguan neurotransmitter sentral yaitu terjadinya peningkatan aktivitas dopamin sentral (hipotesis dopamin). (Elvira,2003)
Hipotesis dibuat berdasarkan tiga penemuan utama, yaitu :
 Efektivitas obat – obat neuroleptik (misalnya fenotiazin) pada skizofrenia, ia bekerja memblok reseptor dopamin pasca sinaps (tipe D2)
 Terjadinya psikosis akibat penggunaan amfetamin. Psikosis yang terjadi sukar dibedakan, secara klinis, dengan psikosis skizofrenia paranoid akut. Amfetamin melepaskan dopamine sentral. Selain itu, amfetamin juga memperburuk skizofrenia.
 Adanya peningkatan jumlah reseptor D2 di nukleus kaudatus, nukleus akumben, dan putamen pada skizofrenia.
e. Metode Diatesis-Stress
Satu model untuk intergrasi faktor biologis, faktor psikososial dan lingkungan adalah model diathesis-stress. Model ini menggambarkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diathesis) yang bila dikenai pengaruh lingkungan yang menimbulkan stress memungkinkan perkembangan gejala skizofrenia. Pada model diathesis stress yang paling umum dapat biologis atau lingkungan atau keduanya.
2.1.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan skizofrenia harus meliputi aspek organobiologis, psikologis, dan sosial. Terapi organobiologis meliputi pemberian antipsikotik baik untuk fase akut maupun rumatan. Intervensi psikoterapi meliputi psikoterapi individu, psikoedukasi individu, keterampilan koping, Cognitive Behavior therapy (CBT), dukungan keluarga, dan psikoedukasi pada keluarga. Intervensi psikososial meliputi dukungan psikososial jangka panjang, program rehabilitasi, penyesuaian kepada kebutuhan dan kapasitas individu (cit Khan 2008, Stahl 2000; Sadock & Sadock 2007).
Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia perlu mempertimbangkan tiga hal berikut ini :
1. Pasien skizofrenia mempunyai profil psikologik individual, familial dan sosial yang unik. Penentuan bentuk pengobatan yang akan diberikan memperhatikan bagaimana skizofrenia mempengaruhi pasien dan bagaimana pengobatan akan membantu pasien.
2. Berbagai penelitian menyatakan bahwa 50% kejadian pada kembar monozigotik menunjukkan kemungkinan faktor lingkungan dan psikologik yang berperan. Sehingga penatalaksanaan farmakologik hanya ditujukan pada ketidakseimbangan kimiawi sedangkan masalah nonbiologi membutuhkan strategi nonfarmakologik.
3. Skizofrenia merupakan kelainan yang kompleks sehingga pendekatan terapi tunggal tidak memadai untuk menghadapi berbagai masalah yang ada.

2.2. Psikoedukasi
Psikoedukasi sebenarnya sudah cukup populer dalam praktek klinis selama 30 tahun terakhir di Amerika dan seluruh dunia. Namun, untuk Indonesia sendiri bentuk intervensi ini belum banyak diterapkan untuk setiap seting.
2.2.1 Definisi Psikoedukasi
Beberapa tokoh dan organisasi psikologi mendefinisikan Psikoedukasi secara berbeda, yaitu :
• Psikoedukasi adalah suatu bentuk pendidikan ataupun pelatihan terhadap seseorang dengan gangguan psikiatri yang bertujuan untuk proses treatment dan rehabilitasi. Sasaran dari psikoedukasi adalah untuk mengembangkan dan meningkatkan penerimaan pasien terhadap penyakit ataupun gangguan yang ia alami, meningkatkan partisipasi pasien dalam terapi, dan pengembangan coping mechanism ketika pasien menghadapi masalah yang berkaitan dengan penyakit tersebut. (Goldman, 1998 dikutip dari Bordbar & Faridhosseini, 2010)
• Psikoedukasi adalah suatu intervensi yang dapat dilakukan pada individu, keluarga, dan kelompok yang fokus pada mendidik partisipannya mengenai tantangan signifikan dalam hidup, membantu partisipan mengembangkan sumber-sumber dukungan dan dukungan sosial dalam menghadapi tantangan tersebut, dan mengembangkan keterampilan coping untuk menghadapi tantangan tersebut. (Griffith, 2006 dikutip dari Walsh, 2010)
• Psikoeduakasi adalah sebuah tindakan modalitas yang disampaikan oleh professional, yang mengintegerasikan dan mesinergiskan antara psikoterapi dan intervensi edukasi (Lukens & McFarlane, 2004)
• Psikoedukasi adalah suatu bentuk intervensi psikologi, baik individual ataupun kelompok, yang bertujuan tidak hanya membantu proses penyembuhan klien (rehabilitasi) tetapi juga sebagai suatu bentuk pencegahan agar klien tidak mengalami masalah yang sama ketika harus menghadapi penyakit atau gangguan yang sama, ataupun agar individu dapat menyelesaikan tantangan yang mereka hadapi sebelum menjadi gangguan.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, Psikoedukasi (PE) dapat diterapkan tidak hanya kepada individu tetapi juga dapat diterapkan pada keluarga dan kelompok. PE dapat digunakan sebagai bagian dari proses treatment dan sebagai bagian dari rehabilitasi bagi pasien yang mengalami penyakit ataupun gangguan tertentu, bahkan dapat pula digunakan sebagai media dalam mencegah kekambuhan. PE banyak diberikan kepada pasien dengan gangguan psikiatri termasuk anggota keluarga dan orang yang berkepentingan untuk merawat pasien tersebut.

2.2.2 Tujuan Psikoedukasi
Di dalam Walsh (2010), menjelaskan mengenai pengertian psikoedukasi dari Griffiths (2006). Berdasarkan pengertian tersebut, ditarik kesimpulan bahwa fokus dari psikoedukasi adalah sebagai berikut :
• Mendidik partisipan mengenai tantangan dalam hidup
• Membantu partisipan mengembangkan sumber-sumber dukungan dan dukungan sosial dalam menghadapi tantangan hidup
• Mengembangkan keterampilan coping untuk menghadapi tantangan hidup
• Mengembangkan dukungan emosional
• Mengubah sikap dan belief dari partisipan terhadap suatu gangguan (disorder)
• Mengidentifikasi dan mengeksplorasi perasaan terhadap suatu isu
• Mengembangkan keterampilan penyelesaian masalah

Menurut Walsh (2010), PE dapat menjadi intervensi tunggal, tetapi juga sering digunakan bersamaan dengan beberapa intervensi lainnya untuk membantu partisipan menghadapi tantangan kehidupan tertentu. Salah satu kombinasi intervensi psikoedukasi seperti yang dilakukan Aguglia E, Elisabetta PF (2007) yang menilai efektivitas kombinasi terapi obat jangka panjang dan intervensi psikoedukasi pada pasien skizofrenia dalam mengurangi kekambuhan.
Psikoedukasi tidak sama dengan psikoterapi walaupun kadang terjadi tumpang tindih antara kedua intervensi tersebut. Psikoedukasi kadang ikut menjadi bagian dari sebuah psikoterapi. Walsh (2010) menjelaskan bahwa psikoterapi dapat dipahami sebagai proses interaksi antara seorang profesional dan kliennya (individu, keluarga, atau kelompok) yang bertujuan untuk mengurangi distres, disabiliti, malfungsi dari sistem klien pada fungsi kognisi, afeksi, dan perilaku. Psikoterapi juga lebih fokus pada diri individu yang mendapatkan intervensi, sedangkan psikoedukasi fokus pada sistem yang lebih besar dan mencoba untuk tidak mempatologikan pasien.

2.2.3 Media Psikoedukasi
Psikoedukasi bukanlah merupakan suatu pengobatan, namun hal ini dirancang untuk menjadi bagian dari rencana pengobatan secara keseluruhan. Misalnya, pengetahuan tentang penyakit seseorang sangat penting bagi individu dan keluarga mereka untuk dapat merancang rencana perawatan dan pengobatan yang optimal. Seringkali sulit bagi pasien dan anggota keluarga untuk menerima diagnosis pasien, sehingga intervensi psikoedukasi ini memiliki fungsi memberikan kontribusi bagi destigmatisasi gangguan psikologis dan untuk mengurangi hambatan dalam pengobatan. Dengan berkembangnya penggunaan internet, maka program edukasi dalam hal pemberian informasi menjadi lebih mudah. Karenanya, selain menerbitkan brosur, pamflet, booklet, maupun poster pusat pelayanan kesehatan jiwa juga dapat membuat website yang memberikan berbagai informasi umum tentang masalah kesehatan jiwa, khususnya skizofrenia.
Dalam penelitian Aguglia (2007), digunakan psikoedukasi dengan metode pendidikan interaktif yang melibatkan pasien dan keluarga pasien, pertemuan berlangsung dalam delapan sesi dengan materi yang menjelaskan mulai dari definisi skizofrenia, penyebab skizofrenia, pengobatan, strategi pengobatan psikososial, mencegah kekambuhan, dan peran keluarga dalam membantu proses pengobatan pasien skizofrenia.
2.2.4 Model – model program psikoedukasi
Model – model program psikoedukasi ini memiliki bentuk yang bervariasi. Dapat sebagai psikoedukasi keluarga atau kelompok multipel, tunggal atau sesi campuran, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Berdasarkan survei yang dilakukan pada seluruh institusi psikiatri di Jerman, Austria dan Swiss, jumlah peserta tiap kelompok program psikoedukasi berkisar 6 – 15 peserta yang bertemu 1 -2 minggu sekali, selama kurang lebih 1 – 1,5 jam. Program tersebut memiliki 8 – 12 sesi, dan dipandu oleh 2 orang moderator. (Sukmarini, 2008)
Psikoedukasi sesi campuran dengan melibatkan pasien dan keluarga pasien skizofrenia sebanyak 150 orang, dengan metode pendidikan interaktif berlangsung dalam 8 sesi pertemuan selama 60 – 90 menit sekali pertemuan dilakukan pada Italian community psychiatric network, menunjukkan hasil adanya penurunan yang bermakna angka kekambuhan skizofrenia. (Aguglia, 2007)
Dari hasil meta-analisis terhadap 16 penelitian diketahui bahwa program dengan jumlah sesi kurang dari 10, tidak memiliki efek terhadap beban perawatan. Kemudian terdapat juga beberapa penelitian yang menemukan bahwa psikoedukasi tunggal lebih membawa manfaat daripada psikoedukasi kelompok. Namun demikian diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini, dan hingga saat ini, belum banyak studi yang meneliti tentang “dosis” efektif terkecil psikoedukasi yang perlu dilaksanakan. (Sukmarini, 2008)
2.2.5 Tempat dan Waktu Psikoedukasi
Program psikoedukasi ini dapat berlangsung di rumah sakit, di rumah, maupun tempat tertentu di komunitas, tergantung sumber daya dan fasilitas yang dimiliki. Apabila dilakukan di rumah sakit, tentu memudahkan tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit tersebut untuk melakukan psikoedukasi. Namun demikian, terkadang pada beberapa hal (contoh stigma, transportasi) membuat keluarga lebih memilih psikoedukasi dilakukan di rumah maupun di tempat tertentu di komunitas. Hal ini membuat mereka lebih akrab dan nyaman sehingga berpengaruh terhadap compliance program psikoedukasi. Pemilihan waktu yang tepat juga dipertimbangkan dan lebih fleksibel. (Sukmarini, 2008)
2.2.6 Materi Psikoedukasi
Hal – hal yang dianggap penting adalah pengetahuan mengenai skizofrenia dan penatalaksanaannya, memperbaiki pola – pola komunikasi dalam keluarga , keterampilan dalam intervensi krisis, meningkatkan problem solving skills, memperbaiki daya adaptasi keluarga, serta mendorong keikutsertaan keluarga maupun caregiver dalam aktivitas – aktivitas sosial. Berdasarkan survei yang dilakukan di Eropa, topik utama yang diberikan adalah gejala awal kekambuhan, farmakoterapi dan efek samping, rencana darurat saat emergensi/ krisis, serta aspek – aspek emosional yang berhubungan dengan stigmatisasi, isolasi, perasaan bersalah dan rasa malu. (Sukmarini, 2008)

2.3   Peran Psikoedukasi dalam mencegah kekambuhan skizofrenia
Penatalaksanaan skizofrenia masih merupakan tantangan besar walaupun perkembangan antipsikotik dan intervensi keluarga serta sosial telah mengalami kemajuan pesat. Meskipun secara relatif hasil yang diperoleh dapat menurunkan lama perawatan di rumah sakit melalui pembinaan masyarakat dan penggunaan psikofarmaka, namun ternyata angka kekambuhan pasien dengan skizofrenia masih tetap tinggi (Fleischacker, 2003).
Suatu variasi modalitas pengobatan dibutuhkan untuk perawatan yang menyeluruh pada pasien skizofrenia. Obat-obat antipsikotik merupakan dasar pengobatan, penggunaannya untuk meminimalkan beratnya gejala skizofrenia. Untuk mencapai dan mempertahankan pemulihan fungsi dan hilangnya gejala skizofrenia dibutuhkan pula intervensi lain termasuk psikoterapi individual dan kelompok, terapi keluarga, case management, perawatan di rumah sakit, kunjungan rumah dan pelayanan rehabilitasi sosial dan vokasional (Sadock, 2003). Dalam penatalaksanaan pasien skizofrenia digunakan pendekatan eklektik holistik, bahwa manusia harus dipandang sebagai suatu keseluruhan yang paripurna, termasuk adanya faktor lingkungan yang terdekat yaitu keluarga. Keluarga berperan dalam pemeliharaan dan rehabilitasi anggota keluarga yang menderita skizofrenia (Durand, 2007).
Pasien gangguan jiwa sering menjadi beban bagi keluarga karena perawatan dan pengobatan yang lama dan adanya kecenderungan untuk kambuh. Keluarga kadang menjadi jenuh sehingga mereka tidak lagi memperhatikan pasien. Pasien memerlukan bantuan orang lain yang mendorong dan memotivasi agar dapat mandiri. Oleh karena itu, dukungan sosial dari keluarga sangat diperlukan. Sebuah tinjauan studi diterbitkan dalam bidang terapi skizofrenia, sejak awal tahun 1980-an, menegaskan bahwa terapi psikososial yang dikombinasikan dengan tepat dalam terapi antipsikotik jangka panjang, dapat mengurangi persentase kekambuhan dalam satu tahun menjadi sekitar 54%. Jika intervensi psikoedukasi dilakukan dengan pasien dan keluarga mereka, kekambuhan pada tahun berikutnya turun menjadi 27%. Di antara intervensi psikososial, psikoedukasi bagi pasien dan keluarga pasien, telah dianggap paling menjanjikan dan sukses  dalam tiga puluh tahun terakhir. (Aguglia E, Elisabetta PF, 2007)
Perubahan terbaru dalam pengobatan gangguan skizofrenia memungkinkan kita untuk mengkombinasikan terapi tradisional dengan menggunakan antipsikotik atipikal dan intervensi psikososial tampaknya dapat dihandalkan dalam mengatasi gejala positif dan gejala negatif skizofrenia. Mengingat tujuan yang jelas tentang pengobatan gangguan skizofrenia tidak hanya untuk mengontrol gejala, tetapi juga untuk mencegah kekambuhan, mengajak pasien untuk mematuhi rencana pengobatan yang diresepkan, mengembalikan fungsi sosial dan bekerja dan untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik. (Aguglia E, Elisabetta PF, 2007)
Sejak 1970-an, banyak penelitian telah menegaskan bahwa partisipasi dalam jangka panjang dan terapi obat yang stabil dapat lebih baik mencegah kekambuhan dibandingkan dengan terapi obat yang terputus-putus. Namun, sayangnya, hanya 50% orang yang terkena skizofrenia menjalani terapi obat yang memadai untuk jangka waktu yang lama. Di sisi lain, bahwa tidak semua  pasien merespon sama terhadap terapi obat dan bahwa perlakuan tersebut tidak menunjukkan hasil yang sama dengan setiap pasien karena itu tidak semua pasien dan keluarga mereka menyukainya. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa sekitar sepertiga pasien yang patuh pada awalnya, berkurang menjadi sepertiga bagian yang patuh sampai pada separuh perjalanan terapi, dan tinggal sepertiga yang patuh hingga akhir pengobatan. (Aguglia E, Elisabetta PF, 2007)
Terkait pengobatan yang lama pada pasien skizofrenia, tentu memiliki beberapa penyebab yang dapat menyebabkan diskontinuasi dalam pengobatan. Salah satu penyebab tersebut datangnya dari pihak keluarga seperti karena alasan ekonomi (cit Prawirohusodo, 1991 ; Sadock dan Sadock 2007). Selain itu, beberapa penyebab kekambuhan pasien gangguan jiwa salah satunya fungsi keluarga yang berkaitan dengan kesehatan yaitu fungsi perawatan kesehatan. Keluarga merupakan suatu sistem yang kompleks. Sistem keluarga dapat berfungsi dengan baik dan memelihara taraf kesehatan anggota-anggotanya, serta mendukung perkembangan setiap anggota dan menerima serta melakukan perubahan-perubahan. Namun, sistem keluarga juga dapat menimbulkan disfungsional, meskipun hanya pada satu atau beberapa anggota keluarga saja, akan mempengaruhi anggota keluarga yang lain.
Melalui psikoedukasi keluarga, diharapkan pengetahuan keluarga terkait penyakit pasien meningkat dan penerimaan keluarga terhadap kondisi pasien menjadi lebih baik, sehingga pengobatan pasien dapat mencapai outcome yang baik pula termasuk menurunnya angka kekambuhan pasien. Didalam keluarga diharapkan adanya anggota keluarga yang dapat berperan khusus sebagai seseorang yang memberikan bantuan kepada pasien (caregiver) yang dalam hal ini mengalami ketidakmampuan dan keterbatasan terkait penyakitnya. Bantuan tersebut mulai dari mencari pengobatan atau terapi yang dibutuhkan pasien, memastikan kepatuhan minum obat untuk mencegah kekambuhan, mengenali gejala – gejala kekambuhan dan tindakan yang dilakukan selanjutnya, mengenali gejala – gejala munculnya efek samping. (Mahar, Agusno. 2009)
Melalui psikoedukasi pula, keluarga dibekali pengetahuan bagaimana peran keluarga dalam membantu pasien skizofrenia menjalani pengobatan, termasuk juga peran dalam memberikan dukungan emosinal, kasih sayang, dan perhatian. Greenberg menemukan bahwa kualitas hidup pasien skizofrenia terlihat lebih tinggi pada caregiver keluarga yang mengekspresikan kehangatan, hubungan yang erat dan suportif. Dalam penelitian Aguglia 2007, juga menunjukkan adanya hasil yang bermakna terkait peran psikoedukasi dalam menurunkan angka kekambuhan pasien skizofrenia, yang dinilai dengan beberapa skala penilaian psikiatri ditinjau dari beberapa aspek antara lain, penurunan gejala positif, penurunan gejala negative, peningkatan kualitas hidup, yang ditunjukkan dengan adanya penurunan jumlah rehospitalisasi dan jumlah hari rawat.
Psikoedukasi merupakan informasi yang sistematis dan terstruktur mengenai penyakit atau gangguan serta penanganannya, termasuk aspek – aspek emosional, yang bertujuan agar keluarga dapat beradaptasi dengan penyakit atau gangguan tersebut secara adekuat. Psikoedukasi terbukti dapat menurunkan angka kekambuhan, memperbaiki kepatuhan minum obat, berpengaruh positif terhadap perjalanan penyakit, menurunkan beban perawatan, memiliki pengaruh positif pada situasi dalam keluarga, serta membantu daya adaptasi yang lebih baik.


Bab III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang bisa didapatkan di seluruh dunia dengan prevalensi sekitar 1% dari populasi. Gangguan skizofrenia biasanya berlangsung kronis dan cenderung menjadi berat dan menetap serta disertai eksaserbasi akut dan penurunan fungsi peran penderita. Dalam hal perjalanan gangguan skizofrenia, penatalaksaan gangguan skizofrenia merupakan salah satu bagian yang penting dan kompleks. Hal ini dikarenakan penatalaksanaan gangguan skizofrenia tidak hanya meliputi satu aspek, tetapi harus meliputi unsur biopsikososial dan spiritual. Faktor psikososial yang melibatkan pasien dan keluarganya merupakan hal yang penting dalam penatalaksanaan jangka panjang dan pencegahan agar tidak terjadi kekambuhan.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa terapi psikososial yang dikombinasikan dengan tepat dalam terapi antipsikotik jangka panjang, dapat mengurangi persentase kekambuhan dalam satu tahun menjadi sekitar 54%. Jika intervensi psikoedukasi dilakukan dengan pasien dan keluarga mereka, kekambuhan pada tahun berikutnya turun menjadi 27%. Di antara intervensi psikososial, psikoedukasi bagi pasien dan keluarga pasien, telah dianggap paling menjanjikan dan sukses  dalam tiga puluh tahun terakhir. Dengan kata lain, berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan adanya efek psikoedukasi dalam menurunkan angka kekambuhan skizofrenia.

3.2 Saran
Intervensi psikoedukasi di Indonesia masih belum banyak diterapkan, berkaca dari hasil penelitian di Negara lain, yang menunjukkan hasil adanya pengaruh psikoedukasi dalam menurunkan angka kekambuhan skizofrenia, maka perlu dipertimbangkan untuk menerapkan intervensi psikoedukasi ini yang dapat dikombinasi dengan farmakoterapi, dengan harapan dapat semakin menekan angka kekambuhan skizofrenia sehingga jumlah hospitalisasi dan jumlah hari rawat semakin berkurang.


DAFTAR PUSTAKA

Aguglia E, Elisabetta PF, Francesca B, and Mariano B. 2007. Psychoeducational intervention and prevention of relapse among schizophrenic disorders in the Italian community psychiatric network. In Clinical Practice and Epidemiology in Mental Health 2007, 3:7 doi:10.1186/1745-0179-3-7

Bordbar, Mohammad. Faridhosseini, Farhad. 2010. Psychoeducation for Bipolar Mood Disorder. Jurnal: Clinical, Research, Treatment Approaches to Affective Disorders.

Desjarlais, R., Eisenberg, L., Good, B., & Kleinman, A. 1995. World Mental Health. Problems and Priorities in Low – Income Countries. Oxford University Press. New York

Dorland.2002. Kamus Saku Kedokteran Dorland. EGC : Jakarta

Elvira D, Sylvia, Hadisukanto, Giyanti.2003. Buku Ajar Psikiatri. FKUI. Jakarta: Penerbit FKUI

Greenberg JS, Knudsen KJ, Aschbrenner KA. Prosocial family processes and the quality of life of persons with schizophrenia. Psychiatric Services. 2006; 57 (12) ; 1771-7

Harold l. Kaplan, Benjamin J. Sadock, Jack A. Grebb. 2010. Sinopsis Psikiatri jilid satu. Jakarta : Binarupa Aksara, . Hal : 699-744.

Lukens, Ellen P. McFarlane, William R. 2004. Journal Brief Treatment and Crisis Intervention Volume 4. Psychoeducation as Evidence-Based Practice: Consideration for Practice, Research, and Policy. Oxford University Press

Mahar, Agusno. 2009. Peranan Falsafah Hidup Keluarga Dalam Mendukung Kelangsungan Pengobatan Penderita Skizofrenia, studi kualitatif dalam Jiwa, Indon Psychiat Quart 2009 : XLII : 1

Maramis, WF. 2005. Catatan : Ilmu Kedokteran Jiwa cetakan kesembilan. Airlangga University Press.Surabaya

Maslim, Rusdi.2003. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. PT.Nuh Jaya. Jakarta.

Prawirohusodo, S. 1978. Rehabilitasi Tridimensional Sebagai Terapi Alternatif Tatalaksana Terapi Penderita Psikosis Kronis. Konseptualisasi Operasional. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Kedokteran Jiwa pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Sadock B.J, & Sadock V.A (2007). Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioural Sciences/Clinical Psychiatry [ebook]. 10th ed. Wolters Kluwer / Lippincott Williams and Wilkins Health. Philladelphia

Stahl, S.M. 2000. Essential Psychopharmacology. Neuroscientific Basis and Practical Applications. 2nd ed. Cambrige University Press. New York dalam Agusno, Mahar. 2009. Peranan Falsafah Hidup Keluarga Dalam Mendukung Kelangsungan Pengobatan Penderita Skizofrenia, studi kualitatif dalam Jiwa, Indon Psychiat Quart 2009 : XLII : 1

Sudiyanto, Aris. 2008. Hambatan Terapi Pasien Skizofrenia dan Penyelesaiannya Ditinjau dari Sudut Pandang Pasien dan Keluarga. Bagian Psikiatri FK Universitas Sebelas Maret ; Surakarta

Sukmarini, Natalingrum. 2008. Optimalisasi Peran Caregiver Dalam Penatalaksanaan Skizofrenia. Bagian Psikiatri FK UNPAD; Bandung

Walsh, Joseph. 2010. Psycheducation In Mental Health. Chicago: Lyceum Books, Inc.
Sheno Almes
Sheno Almes
Admin

Posts : 12
Reputation : 0
Join date : 21.02.15
Age : 41
Location : Bengkulu

https://psikiatri.forumid.net

Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik